"Katakan kau tak mendengar apa pun, Nona?" Pria itu bertanya yang kedua kali. Satu telapak tangannya mencengkram dagu seorang wanita yang terduduk paksa di atas lantai.
"Ti-tidak, Tuan. A-aku sungguh tak mendengar apa pun. To... long, lepaskan aku." Wanita itu mengiba. Tubuhnya gemetar menahan takut.Pria lainnya nampak sudah berumur, duduk bersilang kaki di hadapannya, menyeringai tipis. Dari tampang dan sikap yang ditunjukkan, dia pasti atasan dari semua pria yang ada di sana. "Tapi ekspresi wajahmu mengatakan sebaliknya ... Nona Milton." Nama itu dia ketahui dari id card yang tergantung di leher wanita naas itu.Hanna Milton, wanita itu melengak pada si pria tua. Kembali kepala digelengkan dengan susah payah karena pria sangar tadi masih mencengkram dagunya dengan sangat kuat.Ya, Hanna Milton, kekasih dan wanita yang akan dinikahi Art Januari mendatang--rencananya, dan itu terhitung kurang lebih satu bulan lebih sepuluh hari dari sekarang.Dan saat ini Hanna tengah mendapat kesulitan.Sebelum terbang ke luar negeri jam lima sore nanti, terlebih dulu Hanna datang ke sebuah tempat untuk melakukan wawancara singkat terhadap seorang pengusaha yang akan membangun tempat wisata.Selepas dari hal itu Hanna tergesa meninggalkan area, tetapi sesuatu hal menarik perhatiannya, di sebuah tempat sepi masih di area yang sama, sekumpulan pria tengah melakukan obrolan mencurigakan.Jiwa reporter Hanna mencuat tinggi. Dia mendekat lalu mencuri dengar. Bersembunyi di sebilah dinding tanpa memikirkan apa pun termasuk keamanan dan keselamatannya.Sekian saat termakan, dan Hanna benar-benar mendapatkan kabar mengejutkan dari hal itu. Dia mengenali satu pria yang ada di sana. "Ya, Tuhan!" Memekik kecil seraya membekap mulut. Yang didengarnya adalah semacam pertukaran nyawa manusia dengan kekuasaan. "Aku harus merekam mereka." Tergesa mengambil ponsel di dalam tas, tak sengaja lipstiknya ikut terjatuh hingga menimbulkan suara nyaring.Begitulah ... dunia tak selamanya berpihak pada yang benar.******SEORANG REPORTER WANITA DITEMUKAN TAK BERNYAWA DI TEPI SUNGAI AVEYREN DENGAN LUKA TUSUK DI BAGIAN PERUT.Tajuk yang tertera di berita internet sore itu juga, langsung tersebar hingga ribuan kali ditonton dalam hitungan kurang dari satu jam.Langkah cepat sepasang kaki Art menggema di sepanjang lorong rumah sakit. Kabar kematian Hanna didapatnya dari seorang polisi yang datang ke apartemen, bukan dari internet. Kebetulan malam itu Art memang masih di sana. Seperti yang sudah dijanjikan, dia akan mengantar Hanna ke bandara menggunakan mobil hitam milik Daichi.Hanya berpikir Hanna mungkin terlambat karena sibuk dan menunda keberangkatan, Art tak berpikir akhirnya akan semengenaskan ini.Lain niat lain kehendak Tuhan, Hanna mati dengan cara yang tak terduga.Kaki yang tadi berlari cepat itu kini limbung, mendekat pada sebuah brankar tanpa bantal dimana jasad Hanna terbaring di sana dengan kain putih menyelimuti hingga ke leher.Sakit di dalam hati telah tumpah jadi tangisan."Sayang ... Hanna, kau hanya bercanda, 'kan? Kau tak benar-benar meninggalkan aku, 'kan?" Dia merangkum kedua pipi Hanna yang telah dingin dan sangat pucat, lalu mengadukan kening seraya sesenggukkan. Masih belum bisa mencerna apa yang baru saja terjadi.Takdir terkadang sepahit itu.Tiga hari pasca pemakaman, Art masih mengurung diri di apartemen Hanna. Menikmati sakit dari rindu dan kehilangan yang bergabung menjadi satu dan terus menyerang tanpa ampunan. Dia terus murung.Tidak akan pernikahan, tidak akan ada anak-anak yang selalu mereka rebutkan jumlahnya, tidak ada lagi senyum dan tawa bersama-sama, tidak ada lagi Hanna.Ruangan begitu hening dan menyesakkan.Art baru menginzinkan dirinya keluar dari apartemen Hanna setelah Ximena dan Tobias Ricky datang dan memberinya sedikit kekuatan.Dua orang itu adalah yang mengenalkan Art dengan Hanna saat acara di kafe Ximena satu setengah tahun lalu. Art langsung tertarik dan memutuskan untuk mengejar Hanna hingga berhasil. Dan dia memang berhasil, seluruh hati Hanna direbutnya tanpa sisa untuk siapa pun."Di mata Hanna kau begitu kuat, Art. Aku yakin dia akan sangat bersedih melihatmu serapuh ini," ujar Ximena terus mendorong. Segelas minuman bening disodorkannya ke hadapan Art yang kini terduduk diam di kursi kafe."Xim benar, Sobat." Tobi mendorong diri ke depan, menyangkan kedua lengan ke atas meja setelah sekilas menepuk punggung Art memberi tenang. Segelas jus berry mulai sibuk diaduk-aduknya. "Lebih baik ikut aku ke lintasan. Aku tahu kemampuan mengemudimu luar biasa. Di sana akan sangat menyenangkan. Percayalah.""Kau!" Ximena mengepruk kepala Tobi dengan nampan. "Orang yang sedang kalut kau ajak untuk balapan? Apa kau menyuruhnya menyusul Hanna, Sialan?!"Tobi mengusap kepalanya. "Sakit, Xim. Kenapa kau jahat sekali. Aku kan hanya ingin membantu.”Tapi Art tidak menunjukkan ketertarikan pada bahasan dua kawannya. Raut wajahnya yang mula datar, kini berganti tatapan kelam."Pembunuh itu ... binatang yang membuat Hanna-ku meninggal ... aku akan menuntut balas."Ximena dan Tobi saling melempar pandang dengan raut sama-sama terkejut."Art ... aku pikir sebaiknya kau pulang dan beristirahat." Ximena sedikit cemas."Ya, kupikir juga begitu." Tobi menyetujui. "Atau kau ingin beristirahat di rumahku? ... Aku ... aku akan segera mengganti seprei yang lebih bersih khusus untukmu."Ximena mendelik, "Dia tidak akan betah di sarang kuman.""Kau!""Aku akan ke suatu tempat. Terima kasih atas waktu kalian." Art memotong ocehan mereka. Berdiri lalu berjalan pergi.Tobi dan Ximena lumayan tersentak dengan itu."Art! Kau mau kemana? Minumanmu belum kau habiskan. Kali ini aku gratiskan, tolong kau jangan kemana-mana dulu!""Dia tidak akan mendengarmu, Bodoh!" cibir Tobi.Art sudah menjauh dan tak lagi terlihat dari pandangan.____----"Bantu aku menemukan siapa pembunuh Hanna."Daichi melepas kacamatanya, tersenyum prihatin menatap Art yang kini duduk di sampingnya.Pemuda itu baru saja sampai."Tenangkan dirimu dulu, Dude! Kau tak akan berhasil dengan hati sekeruh itu. Dendam harus dilakukan dengan cara santai."Art menelengkan matanya ke wajah Daichi, memberi tatapan kelam. "Sesantai mereka saat menghabisi Hanna maksudmu?!"Daichi terdiam sejenak, lalu mengangguk paham. Kacamata di atas meja kembali dikenakannya. "Aku tahu kau akan seperti ini," katanya mulai memainkan jari di atas keyboard favorit. "Selama kau mengurung diri di apartemen kekasihmu, aku sudah melakukan banyak hal."Itu langsung menarik perhatian Art, sedikit bersemangat dengan memajukan wajahnya lebih dekat dengan Daichi. "Apa yang kau temukan?"Mata Daichi terus ke layar menyala, sementara jarinya terus bekerja."Aku berhasil meretas cctv di jalanan menuju sungai Aveyron. Sebuah mobil dengan plat xxx mengarah ke sana saat hujan deras. Aku yakin mereka menggunakannya untuk membuang jasad Hanna ke tepi sungai."Art memerhatikan sebuah rekaman video yang diputar Daichi di komputernya. "Ada beberapa mobil, kenapa kau mencurigai yang itu?"Daichi menoleh pemuda itu lalu tersenyum. "Sejak kapan kau meragukanku?"Perkelahian sengit terjadi di bawah terowongan rel kereta api, pukul sembilan waktu setempat. Satu lawan empat. “JANGAN LARI KAU, BEDEBAH!!!” Satu meneriaki dengan suara keras, lalu mengejar. “KEMBALIKAN TAS ITU PADA KAMI!” Lawan tunggalnya terus berlari menembus gelap tak peduli suara-suara rusuh di belakangnya. Sebuah tas hitam berukuran 30x20 senti ikut berjoged di tangan kanan, terayun terombang-ambing namun tetap dipertahankan. “Ck! Kemana larinya sialan itu?!” Dua dari empat orang yang tersisa berkeliling badan mengedar tempat, setelah dua lainnya pingsan lebih dulu habis dihajar musuh yang hanya satu. Tak mereka dapati orang yang sedang mereka kejar, tiba-tiba saja menghilang entah kemana. Namun detik berikutnya .... HAPP! DUGG! Setungkai kaki panjang entah dari mana munculnya menendang dua orang tadi sekaligus. Keduanya tersungkur sampai ke tengah rel. Ternyata orang itu bersembunyi, menunggu lawannya lengah. “Keparat!” teriak salah satunya seraya mengusap cairan mera
“Apa alasan Anda begitu percaya pada anak itu, Ketua?” Sargas bertanya pada Jared, ingin tahu. Saat di markas besar Phantom, Jared bukan lagi seorang presiden, melainkan ketua Phantom, itulah alasan panggilan Sargas sesaat lalu. Acara sarapan pagi baru saja usai. Ternyata tidak ada pembahasan penting apa pun seperti yang dikatakan Jared. Art hanya diperkenalkan dengan Awan Ketujuh--lantai ajaib Phantom. Dan anak itu baru saja berlalu dari ruangan bersama Demian Goon. Jared tersenyum, dia sudah paham benar apa yang ada dalam pikiran dan pandangan Sargas terhadap Art. Pria kacamata itu belum bisa mempercayai, terlebih Art hanya anggota baru yang bahkan belum genap enam bulan bergabung dengan Phantom Security. “Dia pelindung putriku. Aku hanya menghargai pekerjaannya,” jawab Jared, masih santai. “Dengan mempersembahkan Awan Ketujuh?” sergah Sargas, keberatan. “Ya,” jawab Jared. “Dia pantas mendapatkan penghargaan ini.” “Tapi, Ketua--” “Berulang kali putriku dicelakai musuh, berul
Menyadari dirinya melewati batas, Art segera menjauhkan diri. Baju depan Krystal yang kancingnya sudah dibuka tiga oleh tangannya, dia rapikan lagi.“Maaf, aku hanya terbawa suasana, aku tidak bermaksud begitu,” ujarnya menyesali. Mulanya dia berniat bangkit, berjalan-jalan untuk setidaknya membuang keinginan kuat dari kelelakiannya, namun ....“Art!”Krystal menahan tangannya.Mereka bersitatap lagi.“Aku tidak keberatan!” kata Krystal, lalu menelan ludah setelahnya, merasa ganjil menyikapi dirinya sendiri.Art mengerut kening. “Maksudmu?”Sesaat Krystal terdiam. Bibirnya bergerak-gerak, ragu untuk berkata. Napas dipautnya sebentar, modal mendorong diri dan suaranya agar keluar. Sampai kemudian .... “Aku tidak keberatan melakukan hal yang tadi. Bukankah kita ....” Rasa ragu itu muncul lagi, namun tak lama .... “suami istri?” tandasnya.Demi apa pun Art terkejut, tak menyangka dia akan mendengar itu dari mulut seorang Krystal yang dasarnya begitu takut dengan hubungan demikian dengan
“Bagaimana bisa ada ular sebesar itu di dalam mobil?” Art berkicau tak habis pikir.Saat ini dia dan Krystal sudah berada di dalam kendaraan yang sama, mulai melaju meninggalkan area danau.“Mungkin terjatuh dari pohon.”Menanggapi asumsi Krystal, pikiran Art bergerak mundur ke pemandangan tempat di mana mobil dia parkirkan tadi.“Tidak mungkin!” sanggahnya setelah dengan jelas meraih ingatan, hanya berlangsung tujuh detik saja. “Pohon sekurus itu tidak akan mungkin menampung ular sebesar tadi. Jika dari danau, tidak ada bekas di rerumputan pergerakannya.”Ukuran phyton itu sebesar betisnya, panjang dan bertenaga, sementara pohon yang disebut Krystal terlihat tak memungkinkan. Daunnya saja hampir botak. Pohon lain lebih sehat bahkan berjauhan jarak.“Huh, lebih jelasnya ular itu sedang berjemur!” sungut Art, kesal sendiri.Krystal terkekeh tanpa suara.Art sempat kesulitan menyingkirkannya karena sang reptil terus berontak dan berusaha ingin melilit. Beruntung dia punya banyak cara. S
Selepas dari kegiatan mengunjungi anak-anak di panti asuhan siang ini, Krystal meminta Art berbelok ke suatu arah di mana ada hamparan Danau Biru menguasai sebuah wilayah di timur Arvis.“Kenapa tiba-tiba ingin ke sini?” tanya Art, ingin tahu. Dia menurunkan tubuh, ikut duduk seperti Krystal di bawah pohon tepian danau.“Udara segar di sini membuatku tenang,” jawab Krystal tanpa mengalihkan tatapan dari depan. “Saat kecil aku sering ke sini bersama Ibu.” Bibirnya menarik senyum, membayangkan masa-masa berkesan itu.Dia sudah bisa mengatur perasaan di hadapan Art. Lebih tenang dan biasa tanpa ada letupan di dalam dada.Art mengangguk sekali sebagai tanggapan. “Sayang sekali kita tidak membawa makanan, minuman, buah-buahan dan alas duduk.”“Kau benar. Andai mereka ada, ini akan terlihat seperti piknik sungguhan.” Krystal sependapat.“Memang sungguhan," sanggah Art. “Hanya makan minum dan alas duduk yang membedakan.”Krystal tersenyum sedikit lebih lebar kali ini.Dalam beberapa saat ked
Selang dua hari kemudian ....Suara derap langkah kaki milik Mesach Shiloh menggema di sebuah lahan sepi jauh dari pedesaan Nadav, kemudian melambat, kaku dan membelalak setelah penglihatannya dikuasai sesuatu beberapa meter di depan sana.Beberapa saat Shiloh membeku, sementara isi kepala terus mencerna keadaan.Pohon yang hanya berdiameter kurang lebih tiga puluh senti beberapa jarak di depan, mengekang seseorang dengan seutas ikatan di batang induk berserat kasar.“Dia benar-benar menepati janjinya,” gumam Shiloh, takjub, juga sedikit masih tidak percaya.Dia yang dimaksudnya tentu adalah Art.Orang itu, pria yang diikat di badan pohon itu ... adalah orang yang telah membuat putri Shiloh menetap di rumah sakit jiwa hingga sekarang. Dia adalah si perampok sekaligus pemerkosa yang sudah tiga tahun ini buron, selalu beruntung dan lolos dari kejaran polisi.Tapi Art ... semudah ini anak itu menangkapnya. Bagaimana bisa?“Tuhan memberkati melalui tanganmu, Anak Muda.”Ponsel di saku Shi