Hari-hari berlalu.
Art semakin meradang, orang-orang sialan itu tak pernah berhenti mengganggu dan ingin membunuhnya. Selain tempat Daichi, dia tidak punya lagi tempat yang aman untuk dirinya. Rumah di jauh sana akan tak baik jika ikut dia libatkan.Tapi Daichi terlalu membosankan diajak bicara dan rumahnya bahkan berbau lumut. Art tak terlalu nyaman di sana. Jadi saat ini, setelah mendapat hasil dari penyelidikannya sebagai Goblin dibantu Daichi melalui keahlian komputernya, Art memutuskan ...."Kau terlalu tenang untuk kategori manusia yang ingin melenyapkan manusia lainnya."Majalah di tangan Erica Filmore terlempar jatuh. Bangun dari tempatnya dengan tampang seperti orang tersengat listrik."K-kau ... ba-bagaimana bisa masuk ke sini?"Bagaimana dia tak akan terkejut, seorang pemuda asing tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya tanpa terdengar kapan dia masuk, yang jelas jendela kamarnya terbuka dengan gordeng berkibar tertiup angin.Art, tentu saja dia, bibirnya tersenyum remeh. "Apa yang membuatmu begitu haus ingin membunuhku ... Nyonya Presiden?" Dia tak menanggapi pertanyaan sederhana Erica sebelumnya. Kakinya bergerak pada sebuah benda, pemutar musik. Menyetel sebuah lagu dengan volume nyaring.Erica paham tujuan itu. Dia ingin meraih ponsel di atas nakas di samping ranjang untuk setidaknya meminta tolong, tapi jaraknya terlalu 'tak memungkinkan. Pasang mata Art terus mengawasinya, tentu dia 'tak akan berhasil.Dengan kaki gemetar, Erica mundur perlahan dan serampangan. Ruangan itu cukup luas, tapi semua memiliki batas. Art terus mendekat sementara wanita itu mulai kehabisan lahan, punggungnya membentur dinding."A-aku tidak paham apa yang kau maksud. Aku bahkan tak mengenalmu," sanggah Erica, mencoba melepaskan diri dengan cara klasik.Satu tangan Art menempel di dinding tepat di dekat telinga Erica, membuat wanita itu semakin ketar-ketir 'tak bisa mengendalikan perasaannya."Kau cemas aku berulah karena mengetahui kelakuan minus-mu, Nyonya?" tanya Art, menipiskan jarak wajahnya dengan wanita itu. Hangat embus napas mereka bahkan saling bertukar bentur. "Sebagai istri presiden, kau cukup berani."Erica menggeleng takut. "Ti-tidak--""Padahal kau bisa bernegosiasi denganku!" Art memotong, bibirnya kembali menyunggingkan senyuman miring yang justru terkesan menakutkan di mata Erica."Ne-negosiasi?""Ya!" jawab Art tanpa merubah posisi. "Bukankah aku tampan? .... Aku bisa memberikan pelayanan lebih dibandingkan pengawalmu itu." Senyuman mengerikan di bibirnya bertambah kadar.Sapuan lembut tangan Art di wajahnya membuat jantung Erica ingin meledak.Art kemudian menjauhkan diri tanpa memudarkan senyum. "Kau lihat aku, aku juga gagah."Lihat kelakuannya, dia membuka baju, mempertontonkan dirinya seperti petinju.Liur di dalam mulut didorong ke kerongkongan dengan susah payah oleh Erica. Bagaimana pun ketakutannya, dia tetap mengakui anugerah maha indah yang dimiliki pria yang ingin dilenyapkannya.Sebenarnya, Erica terlalu muda untuk disandingkan dengan Jared Filmore yang melewati umur setengah abad. Dengan Krystal yang baru menginjak angka 26, usia Erica hanya terpaut tujuh tahun saja di atas usia anak tirinya itu."Bagaiman, Nyonya ... kau tertarik padaku?"Kembali Erica menelan ludah lalu termenung dan berpikir.Dibandingkan dengan membunuh pemuda maha tampan itu, tentu lebih baik menggamitnya sebagai apa yang baru saja dia tawarkan. Memiliki dua pria sebagai mainan, bukankah lebih menyenangkan? Ditambah, dia akan terlindungi dari skandal selama memberikan pria-pria itu apa yang mereka mau. Seperti John Moorder yang tetap bertahan dengan kesetiaannya, Art juga pasti akan begitu. Anggap saja mereka 4njing.Setelah mendapat keputusan di kepalanya, Erica tersenyum. Kini tak lagi ada ketakutan di wajahnya seperti yang tadi terhadap sosok muda di hadapannya."Umm, baiklah aku--""Kau terlalu lama berpikir. Waktu penawaranku tidak sebanyak itu!""Hmm! Hmm!" Erica meronta-ronta ingin melepaskan diri dari sergapan Art. Lelaki itu dengan cepat membungkam mulutnya dengan telapak tangan."Lupakan rencanamu ... atau kau akan menyesal karena berani berurusan denganku!"Art ... tentu saja dia bukan anjing!**Pagi harinya, kediaman presiden digemparkan dengan keadaan Erica yang tergatung di raling bagian luar balkon kamarnya.Mereka berhambur cemas. Beberapa pria dari Phantom sibuk mengevakuasi dengan hati-hati.Mulut yang dilakban serta lampu balkon yang dimatikan, membuat tak seorang pun menyadari keberadaan Erica selama semalaman di sana.Berhasil diselamatkan, wanita itu langsung dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan intensif karena terserang kedinginan juga memar di beberapa bagian tubuh.Phantom akan bekerja keras menemukan pelaku yang berani-beraninya menganiaya ibu presiden."Periksa semua kamera cctv. Jangan lewatkan satu pun!" Goon memerintah anak buahnya."Sudah, Kepala. Tapi kami tak mendapatkan rekaman apa pun di jam sebelas sampai setengah jam setelahnya," satu orang bawahan memberi jawaban.Goon tentu terkejut.Satu lagi masalah kelengahan dalam cara kerja Phantom. Pria itu merasa bersalah lagi. "Bagaimana bisa orang itu melakukannya serapi ini?" dia bergumam tak habis mengerti.Di lain tempat, Jared Filmore yang tengah melakukan kunjungan kemanusiaan pada korban-korban kecelakaan kereta api di sebuah rumah sakit di Eguisheim, terkejut mendengar kabar tentang apa yang terjadi pada istrinya. Segera dia memerintahkan untuk melakukan pengejaran pelaku juga tambahan penjagaan ketat terhadap kediamannya.Semua yang terjadi akhir-akhir ini membuatnya merasa ragu untuk meneruskan kepemimpinan. Keluarganya selalu dalam bahaya.Tiba-tiba seraut wajah menguasai pikirannya. "Krystal!"Mengingat putrinya, di sela waktu senggang, Jared langsung menghubungi Goon."Goon ... jangan tunda lagi. Tinggalkan semua pekerjaanmu dulu. Sesegera mungkin ... cepat temukan di mana keberadaan Art dan bawa dia padaku."Krystal dalam perjalanan pulang dari Acapila setelah melakukan tugasnya sebagai relawan kemanusiaan. Gadis itu akan tiba di hari ulang tahunnya ke istana Filmore. Dan di saat itu, Jared berharap Art sudah ada di sana untuk melindungi putrinya dari kemungkinan terburuk.*****"Kau tidak mau bangun?" Hanna Milton menepuk-nepuk pipi kekasihnya dengan gemas.Art menggeliat lalu membalikan badan membelakangi. "Aku masih mengantuk, Babe.""Ya sudah. Aku akan terbang ke Yellow sore ini dan akan meminta Melvin yang mengantarkan."Cara itu seketika menarik bangkit Art dari rebahnya. "Shitt! Kenapa harus sialan itu?" kesalnya. "Jadi kau akan ke luar negeri?"Hanna tersenyum seraya mendudukkan diri di hadapan Art. "Ya. Ada tugas penting di sana yang harus aku liput."Sedikit tak suka mendengar itu, Art membuang wajah. "Pantas saja semalam kau memberiku tumpangan tempat tidurmu. Ternyata kau akan pergi."Bibir mengerucut itu dikecup Hanna sekilas saja. "Hanya satu minggu tak akan membuatmu berkarat, Sayang."Tetap saja Art merasa berat. Diraihnya tangan Hanna lalu digenggamnya. "Untuk membuatmu tak bekerja lagi seperti ini, bulan depan ... kita menikah saja. Aku akan membawamu ke hadapan orang tuaku. Kita hidup di sana. Aku akan bekerja dan kau hanya perlu menungguku pulang. Ibuku akan sangat menyukaimu."Mendengar seluruh kalimat itu, hati Hanna seketika berbunga dan menghangat. "Kalau begitu, perjalanan ini adalah tugas terakhirku sebagai wartawan. Ke depannya, aku akan jadi istri yang baik."Keadaan di pengungsian mendadak ricuh.Hilangnya Krystal dan Art membuat semua penghuni diserang cemas termasuk teman-temannya. Dibantu warga, mereka menyisir semua tempat yang kemungkinan didatangi Krystal dan juga Art pagi ini atau mungkin dari semalam."Barang-barang mereka masih ada, tapi kemana perginya?" Satu teman wanita yang paling dekat dengan Krystal mondar-mandir di depan tenda, cemas. Melly, namanya Melly Howard."Mereka pasti baik-baik saja, Melly. Mungkin hanya berjalan-jalan. Aku yakin hubungannya dengan Art juga tak sederhana seperti katanya. Art setampan itu, Krystal tidak akan mengabaikannya ya, 'kan?" Gadis berambut panjang dengan riasan tebal berasumsi tenang, bahkan diselip senyum---Pearl Odette."Tapi Krys tak membawa ponsel, itu bukan kebiasaannya!" hardik Melly. "Dia juga bukan wanita bodoh yang pergi tanpa izin lalu membuat cemas semua orang, Pearl!" Dia tak peduli hubungan seperti apa yang dijalani Krystal dengan seorang Art, yang jelas keselamatan mereka le
"Kalau kau mendekat, gadis ini akan kulempar ke sungai!" Sebenarnya Art bukan tipe orang yang takut dengan ancaman, tapi keadaan saat ini benar-benar di luar dugaan. Dia menoleh ke bawah sana. Aliran sungai terlihat deras dalam keadaan cukup keruh, hujan masih terus turun hingga sore kemarin. Orang itu juga tak ada nampak bercanda, jadi Art harus benar berhati-hati. Berpikir sesaat, sampai .... "Diam di tempatmu atau kau akan menyesal." Sedikit gertakan mungkin akan berhasil. Tapi yang terlihat pria itu justru memasang seringai. "Kapan lagi aku punya kesempatan mati bersama putri presiden." Art langsung membulatkan mata. Pria itu ternyata tahu jika Krystal adalah seorang putri presiden. "Siapa kalian sebenarnya?" Dia menyipitkan mata. Rupanya penculikan ini tak sederhana. Mereka mengetahui jelas siapa Krystal, demikian berarti semua yang mereka lakukan sudah matang direncanakan. "Hahahaha!" Pria itu malah tertawa. Tak nampak sedikit pun raut lelah dan pegal di wajahnya, tubuh K
Dalam mobil itu terasa hening. Krystal diam dengan pandangan mengarah ke jalanan di balik kaca, sementara Art fokus pada kemudi.Sesaat sebelum keluar motel, gadis itu sempat meminta maaf untuk kesalahan konyolnya pada Art, tapi tanggapan pria itu terlalu sederhana baginya yang berucap sungguh-sungguh. Alhasil sekarang perasaannya malah bertambah kacau makin tak tenang."Tak perlu berlebihan, aku tak akan terpengaruh dengan hal kecil."Terus terngiang di telinga Krystal, sesombong itu perangai seorang pengawal. Dia tak memiliki kata lain untuk menimpal. Pria itu ... entah kenapa lebih mengintimidasi dari pada ayahnya sendiri."Kita sudah sampai."Suara seksi Art menyentak dalam hening. Krystal menoleh dan mendapati pria itu tengah melepas sabuk pengaman kemudian membuka pintu dan keluar. Dia mengikuti hal serupa, tapi saat hendak membuka pintu, sudah terbuka lebih dulu karena Art yang melakukannya."Terima kasih." Krystal nampak canggung setengah mati. Tas diselempangkan lalu keluar d
Hujan masih saja deras. Krystal berdiri, memandang ke luar jendela dengan perasaan resah. Teh hangat di tangan mulai mendingin.Bukan karena hujan, tapi ini kali pertama dia berada satu kamar dengan seorang pria. Hatinya terus berkicau; semoga pagi lekas datang dan dia terbangun dengan perasaan tenang.Berbeda dengan Krystal, Art seperti tak ada beban. Pria itu duduk di atas sofa, fokus pada ponsel dengan dahi mengernyit sesekali, lalu datar kembali.Krystal memerhatikan melalui ekor mata, bibirnya tergerak mencebik dengan suara yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri. "Sesantai itu. Apa dia sering satu kamar dengan wanita?" Sedikit ingin tahu tentang itu. "Hh, aku lupa, wajah tampannya pasti sangat sayang jika tidak dimanfaatkan. Aku yakin dia sudah meniduri banyak wanita." Memikirkan itu Krystal jadi kesal sendiri."Sial, memangnya siapa dia? Kenapa jadi aku yang pusing. Awas saja kalau sampai malam ini dia berani kurang ajar padaku!" Detik berikutnya gadis 26 tahun itu melang
Dalam tiga hari, berita tentang Raul Abellard yang terserang penyakit kulit aneh langsung menyebar ke seluruh penjuru negeri.Belum diketahui penyebab pasti, yang jelas pria dengan posisi penting di pemerintahan itu harus mendapat perawatan intensif hingga membaik.Art tersenyum puas. Soda kalengan di tangan ditenggak satu teguk dengan elegan. "Selamat menikmati keterpurukanmu dengan bisul-bisul itu, Pak Tua.”Tidak peduli dari mana Daichi mendapatkan serbuk aneh itu, Art hanya perlu berterima kasih. Rekaman cctv parkiran yang menunjukkan perbuatannya juga telah dihapus Daichi melalui peretasan seperti biasa.Satu telapak tangan meraih remote di atas meja lalu mematikan layar yang baru saja menyiarkan berita tentang kondisi Abellard."Itu baru awal. Akan datang waktu aku menuntaskan apa yang telah kau mulai." Berubah dalam sekejap, sorot mata Art berganti tajam. "Kau harus membayar semuanya, Abellard."Dia tak ingin kematian mengenaskan Hanna hanya menjadi tragedi yang terkubur begitu
Ketampanan tak biasa dengan tatanan wajah tak manusiawi, tubuh tinggi di atas 180 senti dengan pundak, dada dan lengan bidang juga berotot. Jago beladiri, pandai berbicara walau tak banyak, kemampuan otomotif juga mekanik yang sejalan. Dan yang paling mengejutkan ... tangan dinginnya, jari-jari lancipnya ... bisa menghasilkan karya yang begitu indah."Bagaimana bisa manusia sesempurna itu?"Pertanyaan itu pasti akan berulang dia ucapkan.Krystal tak bisa mengkondisikan perasaannya. Jantungnya terus bertalu seolah akan meledak. Bayangan wajah Art mengusir semua yang ada di kepalanya, menguasai tak tahu malu. Lukisan dirinya di dinding kamar seperti sihir yang mengantar pikirannya pada sosok sialan itu, sosok yang sudah hampir dua minggu ini terus dilihatnya setiap saat."Sayang."Suara itu entah mengacau, atau justru menyelamatkan Krystal dari dunianya, dunia tentang seorang pria yang tak ada siapa pun lagi di dalamnya. Gadis itu menoleh ke sisi kanan dan mendapati Erica berjalan mende