Calon istri.Dua kata yang menghebohkan seantero kantor Sagara siang itu. Selain asisten sekaligus sekretaris pribadinya yang bernama Radit, tak ada seorangpun dalam kantor itu yang mengetahui bagaimana pribadi sebenarnya Gara. Ia hanya terkenal sebagai CEO muda yang cerdas, tegas dan efisien. Sisi lain yang hobi mabuk dan main ke klab malam, adalah rahasia Radit dan ibunya saja.Dan jika sekarang bos tampan itu tiba-tiba menyebut seorang gadis sebagai calon istri, berarti dunia sedang tidak baik-baik saja."Kak ... " Carissa berkata pelan. Gugupnya kambuh lagi setelah sesaat tadi berhasil akting dengan sempurna. "Kak, kenapa semua orang lihatin kita, begitu?""Menurutmu kenapa?"Duh! Carissa menggaruk tengkuk. "Ap-apa aku kelihatan jelek sekali, ya?""Menurutmu begitu?"Gadis itu mencuri-curi pandang ke arah lelaki tampan di sampingnya. "Aku nggak pede, Kak.""Kamu nggak pernah percaya diri. Pantes aja tunanganmu sampai hilang ditikung orang."Menohok sekali kata-katanya. Carissa han
Yasmin tidak berlebihan ketika berkata bahwa hari ini mereka akan sibuk. Ke sana kemari mengurus sendiri ini dan itu. Dan tahulah Rissa sekarang, mengapa wanita ini sampai bisa memiliki bisnis yang demikian sukses. Sangat hard worker, detail, tegas, dan efisien. Tipe wanita yang tidak akan mengizinkan hidupnya disetir laki-laki manapun.Dan sialnya, Carissa seratus delapan puluh derajat berbeda."Kamu bisa disabet Mami kalau ketahuan ngelamun buang-buang waktu begitu," tegur Sagara di sela-sela pengepasan baju pengantin mereka. Gara memang harus ikut, kan? Karena badan dia yang diukur.Carissa terkesiap. "Ah, iya, Kak. Maaf.""Mikirin apa?""Ah, enggak.""Tell me!"Itu perintah? Bukan perintah, lebih tepatnya tuntutan. Carissa kini perlahan menyadari, lelaki ini memiliki sikap ambisius. Sedikit obsessed, mungkin? Harus ia dapatkan apa yang ia inginkan. Bukankah itu mengerikan?Sekarang, sepasang obsidian setajam mata elang itu tengah melubangi kornea mata Carissa dengan tatapan membiu
"Tidur di sini."Carissa terbelalak. Apakah Gara sedang mabuk? Seingatnya tidak. Seharian ini mereka bersama, jadi kapan lelaki itu sempat menenggak alkohol?Tapi perangainya ini ..."Kamu nggak denger aku ngomong apa, Rissa?"Carissa panik. Pergelangan tangannya masih belum dilepaskan, tapi Gara tidak membuka mata sama sekali."K-Kak ... ""Tidur di sini.""Tapi nanti Mami kamu ... ""Mami udah tidur. Lagian kenapa, sih? Dua hari lagi kamu sah jadi istriku. Apa salahnya mencuri start?""Kak Gara!""Bercanda. Lagian siapa yang mau ngapa-ngapain? Aku kan cuma bilang tidur di sini.""T-tapi Kak– aaakh!"Gara menyentakkan tangannya, sehingga Carissa tertarik hingga hilang keseimbangan. Akhirnya, tubuh gadis itu jatuh tepat di atas tubuh Gara yang berbaring telentang."Astaga! Astaga!""Ssstt!""Kak Gara!""Jangan berisik!" Gara mengubah posisinya sebelum otak Carissa sempat memproses apa yang terjadi. Sekarang si gadis yang berada di bawah, dengan badan kekar Gara mengurungnya, mencegah
Sagara tidak tahu, apa yang terjadi dengan Carissa. Yang jelas, semakin dekat dengan hari H pernikahan mereka, gadis itu menjadi semakin pendiam. Hanya menimpali apapun yang Sagara katakan dengan ya atau tidak. Juga menurut saja apa yang Yasmin titahkan atau larang.Puncaknya hari ini, dua hari tepat sebelum acara dilaksanakan. Carissa minta ijin kepada Yasmin agar diperbolehkan pulang sendirian ke apartemen Sagara, menginap satu malam di sana."Kamu mau ngapain memangnya?" Wanita anggun itu bertanya. "Carissa, sudah tinggal dua hari lagi. Kamu nggak berencana mengacaukan pernikahanmu sendiri, kan?""Nggak, Bu. Bukan begitu. Saya cuma pengen diam sendirian sebentar aja.""Jangan-jangan kamu punya pikiran mau bunuh diri? Carissa, ayo ke psikiater sekarang!"Astaga, orang ini. Carissa menghela napas lelah sembari berusaha tersenyum. "Memangnya di mata Ibu, saya kelihatan seperti orang depresi yang mau bunuh diri, kah?""Heh, Ris, orang jaman sekarang itu lihai memakai topeng yang sempur
*"Kamu tadi bukannya denger sendiri? Ini Mami yang suruh." Gara meletakkan paper bag hitam polos di atas meja ruang tamu apartemennya. Membuat Carissa menghela napas lelah. Paper bag itu berisi sebuah ponsel mahal keluaran terbaru."Kan aku bilang nggak usah, Kak.""Dari kapan kamu berani ngelawan perintah ibuku?" Gara menatap gadis yang duduk di seberangnya itu dengan pandangan penuh intimidasi. "Udahlah. Toh sebenernya kamu juga butuh, kan? Kamu masih simpan kartu SIM-mu yang lama?"Iya, Rissa masih simpan. Tapi gadis itu justru menggeleng. "Aku nggak mau pakai nomor lamaku lagi, Kak.""Good," sahut Gara, "walaupun mungkin kita nggak saling suka, tapi kamu besok tetap jadi istriku yang sah. Aku nggak akan ijinkan kamu berhubungan lagi sama masa lalumu."Carissa ingin menyela dengan pertanyaan mengapa, tapi ia sudah lelah sekali dan ingin tidur. Maka gadis itu hanya memandang dalam diam kala Sagara mengaktifkan ponsel baru itu dengan nomor yang baru pula."Aku udah simpan nomormu. C
*Carissa Tahu, ia tidak tidur dan hanya pura-pura memejamkan mata. Ia sadar ketika rasa hangat itu menyentuh bibirnya dan tertinggal di sana selama beberapa saat. Tapi gadis itu memilih untuk tidak melakukan apapun. Dengan lancangnya ia memilih menikmati saja rasa hangat yang manis, yang ia sadari, belum pernah dirasakannya ketika bersama Abian."Nggak, nggak!" Gadis itu memukul pelan keningnya sendiri. "Nggak boleh begitu. Kok bisa-bisanya sih, aku ini!"Ah, rasa itu bahkan terbawa ke dalam mimpi. Rissa tidak bisa menahan rona pada kedua pipi saat mengingatnya. Yeah, Carissa merasa beban dalam hatinya sedikit ringan. Benar, ia hanya perlu memikirkan segalanya dalam kesendirian, lalu kepalanya akan jernih kembali.Dan ia benar-benar akan menikah.Hari ini."Hei, jangan dipukul-pukul gitu kepalanya. Nona cantik sekali, loh," puji seorang stylist, karyawan salon milik Yasmin yang bertugas mendandani Carissa hari ini."Aku malu." Rissa menggeleng panik. Ia menatap bayangannya sendiri y
**Sepanjang malam itu, Carissa jadi sulit memejamkan mata. Pikiran tentang Gara yang mengaku kecewa karena Abian tidak datang ke pernikahannya, seperti berlari-lari dalam benak. Ah, Abian. Sudah lebih dari satu bulan berlalu sejak Rissa diusir pergi dari rumah Arini. Berarti, sudah sekian lama juga ia tidak melihat lelaki itu. Mungkin sekarang perut Aneska sudah membesar? Ah, tentu saja, itu pasti.Duh, Carissa galau.Tentu saja Gara sendiri tidak tahu bahwa Rissa galau sampai tak bisa tidur, sebab pestanya masih berlangsung hingga fajar nyaris menyingsing. Gila memang.Lelaki itu baru membuka pintu kamar ketika Rissa justru bangun untuk memulai hari."Mau ke mana?" Gara bertanya dengan tangan menyangga keningnya. Membuat Carissa mengernyit curiga."Kakak mabuk?""Aku tanya, kamu mau ke mana, Ris? Bukan dijawab malah balik tanya."Perempuan itu menghela napas. "Ya tentu aja mau bangun, Kak. Ini udah jam enam pagi.""Mau apa kamu bangun subuh-subuh begini?"Subuh? Carissa mengerutkan
**Dua hari setelah tinggal di mansion mewah milik Yasmin, Gara akhirnya memboyong Carissa untuk pindah ke sebuah rumah pribadi yang terletak tidak jauh dari kawasan kantornya. Itu rekomendasi dari Yasmin juga, sebenarnya."Yang bener aja, masa mau pindah ke apartemen?" komentar Yasmin dengan nada sewot, kala Carissa mengusulkan untuk pindah ke apartemen saja."Memangnya kenapa, Mam? Kan apartemen Kak Gara juga nggak terlalu jauh dari kantor.""Apart Gara tuh sempit, tau! Kalau aku sih males tinggal di tempat begituan."Carissa mengulum senyum. Jelas sekali perbedaan standarnya dengan sang ibu mertua bagaikan surga dan neraka. "Rissa nggak keberatan kok, Mam. Lagian sempit dari mananya, sih? Bahkan buat main bola aja bisa, tuh.""Pokoknya jangan. Malu-maluin aja!"Rissa sudah nyaris menjawab 'malu sama siapa?' tapi sebaiknya tidak usah. Kalau sang ibu direktur sudah bertitah, sebaiknya tidak dibantah.Maka, di sinilah ia sekarang. Di sebuah rumah minimalis tapi mewah. Rumah pribadi mi