Ketika Istriku Balik Melawan

Ketika Istriku Balik Melawan

last updateLast Updated : 2025-05-30
By:  Dama MeiCompleted
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
124Chapters
5.3Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Maya Anindita memilih menjadi ibu rumah tangga demi mendukung karier suaminya. Ia bahkan menggunakan warisan keluarganya untuk mendanai bisnis suami hingga sukses. Sayangnya, keluarga pria itu selalu meremehkan Maya dan menganggapnya tidak pantas. Puncaknya, sang suami dijodohkan dengan wanita lain dan tampak mulai terpikat! Cukup sudah! Maya akan menunjukkan siapa dirinya. Tapi, mengapa suami dan keluarganya tampak terkejut melihat perlawanannya?

View More

Chapter 1

Bab 1 Waktu yang Tepat

“Kenapa belum dipasang juga balon di sisi kanan? Cepat sedikit, nanti tamu-tamu datang ruangan ini belum siap!” Suara tajam Sulastri kepada seorang pelayan, memecah kesunyian.

Maya hanya bisa menghela napas pelan sebelum kembali sibuk dengan tugasnya.

Setelah memastikan semuanya berjalan sesuai rencana, Maya mendekati Sulastri dengan senyum kecil yang berusaha dia pasang meski lelah.

“Ibu, Vina tidak datang membantu hari ini? Kan biasanya dia selalu ikut kalau ada acara keluarga besar seperti ini,” tanya Maya, menyebut nama adik iparnya dengan nada setenang mungkin.

Sulastri menoleh dengan ekspresi sedikit terganggu. “Vina sedang hamil. Kasihan, jangan terlalu dibebani dengan hal-hal seperti ini. Ibu sudah bilang dia harus banyak istirahat,”

Maya merasa ada sengatan kecil di dadanya, tapi dia menutupinya dengan senyum.

“Lihat Vina. Baru satu tahun menikah, sudah mau punya anak. Kamu bagaimana, Maya? Lima tahun menikah dengan Bima, kapan mau ngasih cucu buat keluarga ini?” Sulastri melanjutkan dengan suara lebih keras, seakan sengaja ingin menekankan setiap kata.

Pertanyaan itu seperti panah tajam yang menancap di hati Maya. Dia tetap berusaha mempertahankan wajah tenang, meskipun matanya mulai terasa panas.

“Ibu, saya dan Bima sudah mencoba ... mungkin belum waktunya,” jawab Maya dengan suara pelan. Berusaha sekuat tenaga menahan getaran dalam nada suaranya.

Sulastri mendengus, seolah jawaban Maya sama sekali tidak memuaskannya.

“Belum waktunya?” ulang Sulastri, memekik. “Jangan-jangan kamu memang terlalu sibuk bekerja sampai lupa kodratmu sebagai istri? Percuma kamu kelihatan sibuk di acara seperti ini, kalau hal yang paling penting untuk keluarga saja kamu tidak bisa penuhi!”

Maya ingin menjelaskan, ingin membela diri. Tetapi dia tahu bahwa apa pun yang dia katakan tidak akan mengubah apa pun di mata Sulastri.

Sejenak, Maya memandang ke arah ruangan yang dia tata dengan susah payah. Setiap detail kecil adalah hasil kerja kerasnya, tetapi tetap saja. Itu tidak pernah cukup. Bukan hanya untuk Sulastri, tapi juga untuk seluruh keluarga Santoso. Di balik semua senyum dan keramahan yang mereka tunjukkan, mereka hanya melihat Maya sebagai kegagalan—seorang istri yang belum mampu memberi mereka pewaris.

Setelah Sulastri pergi, Maya berdiri mematung di tengah ruangan. Tangan gemetar memegang daftar tugas yang tadi dia gunakan sebagai panduan. Perasaan kecewa, marah, dan sedih bercampur menjadi satu. Dia ingin berteriak, tetapi tahu itu hanya akan menjadi bahan olokan baru.

Pelayan rumah mendekati Maya dengan ragu sambil membawa vas bunga yang baru tiba.

“Ibu Maya, ini bunga tambahan untuk meja tamu. Harus disusun sekarang?” tanya pelayan itu pelan.

Maya menoleh dengan senyum dipaksakan. “Ya, letakkan saja di sana. Nanti saya susun,” jawabnya sambil menunjuk meja di dekat jendela.

Pelayan itu mengangguk, lalu pergi. Maya menatap jauh ke depan, mencoba melawan air mata yang menggenang. Suara tawa kecil terdengar dari jendela lantai atas. Maya menoleh dan melihat Vina sedang duduk di kursi, ditemani Sulastri yang membawakan jus segar. Wajah Vina berseri-seri sambil memegang perutnya yang mulai membesar.

Pintu belakang rumah terbuka dan Bima muncul membawa beberapa amplop undangan. “Ini beberapa undangan yang harus kamu urus ke kantor pos. Jangan sampai terlambat dikirim,” kata Bima dingin.

Maya mengangguk, mengambil tumpukan undangan dari tangan Bima tanpa berkata apa-apa. Seperti biasa, Bima hanya datang untuk memberi perintah.

“Sudah selesai urusan dekorasi? Kalau belum, jangan keluar dulu. Kita harus pastikan semuanya sempurna untuk ulang tahun Papa,” kata Bima sebelum berbalik dan masuk ke dalam rumah lagi.

***

Pesta ulang tahun Harjono dimulai dengan megah. Para tamu mulai berdatangan. Ruang tamu kini berubah menjadi tempat berkumpul keluarga besar dan kolega-kolega penting.

Maya berdiri di sisi ruangan, mengenakan gaun sederhana berwarna biru pastel. Meski penampilannya rapi dan anggun, dia merasa kecil di tengah keramaian ini. Suara tawa dan percakapan bergaung di sekitarnya, tetapi Maya lebih memilih mengamati dari kejauhan.

Sulastri tampak bersemangat menyambut tamu-tamu penting, selalu berdiri di samping Harjono. Tidak butuh waktu lama sebelum percakapan mulai mengarah pada topik keluarga.

“Wah, keluarga Santoso semakin sukses saja. Anak-anak sudah menikah semua, ya? Bagaimana dengan cucu, Bu Sulastri? Sudah banyak cucu yang bisa bermain di rumah ini?” Salah seorang tamu, seorang wanita paruh baya dengan perhiasan mencolok, bertanya sambil tersenyum lebar.

Maya mendengar pertanyaan itu dari tempatnya berdiri. Dadanya berdebar, sudah menduga arah pembicaraan ini akan menuju padanya. Sulastri tertawa kecil, lalu menjawab dengan nada halus, tapi setiap kata seperti belati yang menyayat hati Maya.

“Oh, Vina, istri anak kedua kami, sudah hamil. Kami semua sangat senang menanti kehadiran cucu pertama. Sayangnya, Maya dan Bima belum diberi rezeki itu. Ya, mungkin karena Maya sibuk dengan urusannya sendiri,”

Maya mengepalkan tangan di balik punggungnya, mencoba menahan emosinya.

“Ya ampun, Bima sangat beruntung menikah dengan Maya, ya? Meski belum bisa memberikan keturunan, dia tetap istri yang baik, kan?” komentar seorang tamu lain, membuat Maya merasakan panas di wajahnya.

“Benar sekali,” tambah Sulastri, dengan senyum tipis. “Tapi sepertinya harus diralat. Maya adalah istri yang sangat beruntung. Menikah dengan Bima itu seperti memenangkan lotre. Bima anak yang pintar, tampan, dan punya masa depan cerah. Maya harus bersyukur setiap hari bisa menjadi bagian keluarga ini,” kelakar Sulastri sambil tertawa.

Tamu-tamu lain tertawa kecil, seolah-olah komentar itu hanyalah gurauan biasa. Namun bagi Maya, kata-kata itu seperti beban yang menghantam dadanya. Beruntung? Dia yang telah memberikan segalanya—rumah, mobil, dan bahkan kebebasan finansial bagi Bima dan sekarang dia hanya dilihat sebagai "istri yang beruntung"?

“Saya juga kasihan sekali dengan Maya. Dia anak yatim piatu, sendirian tanpa keluarga. Jika bukan kami yang merangkulnya, lalu siapa lagi?” Sulastri melanjutkan tanpa rasa bersalah.

Vina tiba-tiba muncul di sisi Sulastri, membawa gelas minuman dan tersenyum lemah. “Ibu, jangan keras-keras. Kasihan Kak Maya,” bisik Vina sambil sesekali melirik Maya. “Lagipula, tidak semua wanita seberuntung aku. Bisa hamil di tahun kedua pernikahan itu benar-benar anugerah. Kak Maya pasti sedang menunggu waktu yang tepat,”

Sulastri menepuk tangan Vina dengan lembut, seolah-olah menyanjung menantunya yang satu itu. “Kamu benar, Vina. Kamu memang anak yang baik,” puji Sulastri. “Tuhan punya rencana untuk semua orang. Tapi tentu, kita juga harus berusaha. Jangan hanya menunggu!”

Para tamu yang mengelilingi Sulastri mengangguk setuju. Beberapa ada yang menoleh ke arah Maya karena sadar Mayalah menantu pertama keluarga Santoso.

***

Maya merasa kepalanya berdenyut hebat. Seolah seluruh percakapan tadi terus bergema di telinga. Tanpa sadar, langkah kakinya membawa Maya keluar dari ruang pesta. Dia butuh udara segar, butuh keluar dari tempat yang penuh dengan tatapan dan kata-kata yang menghakimi.

Dia berjalan menyusuri koridor menuju taman belakang rumah Harjono. Dia berharap bisa menemukan suaminya. Setidaknya untuk berbagi sedikit ketenangan di tengah kekacauan emosi yang dia rasakan.

Namun, langkahnya terhenti ketika suara tawa terdengar dari sudut taman yang teduh. Tawa itu familiar, suara yang sering dia dengar bertahun-tahun lamanya. Itu suara Bima.

Maya bergegas mendekat, tapi kemudian langkahnya melambat ketika dia melihat pemandangan yang membuat dadanya sesak.

“Aku selalu tahu kamu akan sukses,” ujar Nina. “Kamu dulu pemimpin di kampus, dan sekarang lihatlah, kamu bahkan lebih menawan,”

Di bawah pohon besar yang diterangi lampu taman, Bima sedang berbicara dengan seorang wanita yang Maya kenali sebagai Nina—teman lama Bima di kampus. Mereka berdiri sangat dekat. Terlalu dekat.

Bima tertawa kecil. “Kamu sendiri juga tidak berubah, masih seperti dulu. Menarik perhatian semua orang di sekitarmu,” goda Bima.

“Kalau saja aku tahu kamu akan seperti ini, mungkin aku tidak akan melepaskanmu dulu,” Suara Nina nyaris seperti bisikan. Dia menarik kerah Bima mendekat.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
124 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status