Maya Anindita memilih menjadi ibu rumah tangga demi mendukung karier suaminya. Ia bahkan menggunakan warisan keluarganya untuk mendanai bisnis suami hingga sukses. Sayangnya, keluarga pria itu selalu meremehkan Maya dan menganggapnya tidak pantas. Puncaknya, sang suami dijodohkan dengan wanita lain dan tampak mulai terpikat! Cukup sudah! Maya akan menunjukkan siapa dirinya. Tapi, mengapa suami dan keluarganya tampak terkejut melihat perlawanannya?
View More“Kenapa belum dipasang juga balon di sisi kanan? Cepat sedikit, nanti tamu-tamu datang ruangan ini belum siap!” Suara tajam Sulastri kepada seorang pelayan, memecah kesunyian.
Maya hanya bisa menghela napas pelan sebelum kembali sibuk dengan tugasnya. Setelah memastikan semuanya berjalan sesuai rencana, Maya mendekati Sulastri dengan senyum kecil yang berusaha dia pasang meski lelah. “Ibu, Vina tidak datang membantu hari ini? Kan biasanya dia selalu ikut kalau ada acara keluarga besar seperti ini,” tanya Maya, menyebut nama adik iparnya dengan nada setenang mungkin. Sulastri menoleh dengan ekspresi sedikit terganggu. “Vina sedang hamil. Kasihan, jangan terlalu dibebani dengan hal-hal seperti ini. Ibu sudah bilang dia harus banyak istirahat,” Maya merasa ada sengatan kecil di dadanya, tapi dia menutupinya dengan senyum. “Lihat Vina. Baru satu tahun menikah, sudah mau punya anak. Kamu bagaimana, Maya? Lima tahun menikah dengan Bima, kapan mau ngasih cucu buat keluarga ini?” Sulastri melanjutkan dengan suara lebih keras, seakan sengaja ingin menekankan setiap kata. Pertanyaan itu seperti panah tajam yang menancap di hati Maya. Dia tetap berusaha mempertahankan wajah tenang, meskipun matanya mulai terasa panas. “Ibu, saya dan Bima sudah mencoba ... mungkin belum waktunya,” jawab Maya dengan suara pelan. Berusaha sekuat tenaga menahan getaran dalam nada suaranya. Sulastri mendengus, seolah jawaban Maya sama sekali tidak memuaskannya. “Belum waktunya?” ulang Sulastri, memekik. “Jangan-jangan kamu memang terlalu sibuk bekerja sampai lupa kodratmu sebagai istri? Percuma kamu kelihatan sibuk di acara seperti ini, kalau hal yang paling penting untuk keluarga saja kamu tidak bisa penuhi!” Maya ingin menjelaskan, ingin membela diri. Tetapi dia tahu bahwa apa pun yang dia katakan tidak akan mengubah apa pun di mata Sulastri. Sejenak, Maya memandang ke arah ruangan yang dia tata dengan susah payah. Setiap detail kecil adalah hasil kerja kerasnya, tetapi tetap saja. Itu tidak pernah cukup. Bukan hanya untuk Sulastri, tapi juga untuk seluruh keluarga Santoso. Di balik semua senyum dan keramahan yang mereka tunjukkan, mereka hanya melihat Maya sebagai kegagalan—seorang istri yang belum mampu memberi mereka pewaris. Setelah Sulastri pergi, Maya berdiri mematung di tengah ruangan. Tangan gemetar memegang daftar tugas yang tadi dia gunakan sebagai panduan. Perasaan kecewa, marah, dan sedih bercampur menjadi satu. Dia ingin berteriak, tetapi tahu itu hanya akan menjadi bahan olokan baru. Pelayan rumah mendekati Maya dengan ragu sambil membawa vas bunga yang baru tiba. “Ibu Maya, ini bunga tambahan untuk meja tamu. Harus disusun sekarang?” tanya pelayan itu pelan. Maya menoleh dengan senyum dipaksakan. “Ya, letakkan saja di sana. Nanti saya susun,” jawabnya sambil menunjuk meja di dekat jendela. Pelayan itu mengangguk, lalu pergi. Maya menatap jauh ke depan, mencoba melawan air mata yang menggenang. Suara tawa kecil terdengar dari jendela lantai atas. Maya menoleh dan melihat Vina sedang duduk di kursi, ditemani Sulastri yang membawakan jus segar. Wajah Vina berseri-seri sambil memegang perutnya yang mulai membesar. Pintu belakang rumah terbuka dan Bima muncul membawa beberapa amplop undangan. “Ini beberapa undangan yang harus kamu urus ke kantor pos. Jangan sampai terlambat dikirim,” kata Bima dingin. Maya mengangguk, mengambil tumpukan undangan dari tangan Bima tanpa berkata apa-apa. Seperti biasa, Bima hanya datang untuk memberi perintah. “Sudah selesai urusan dekorasi? Kalau belum, jangan keluar dulu. Kita harus pastikan semuanya sempurna untuk ulang tahun Papa,” kata Bima sebelum berbalik dan masuk ke dalam rumah lagi. *** Pesta ulang tahun Harjono dimulai dengan megah. Para tamu mulai berdatangan. Ruang tamu kini berubah menjadi tempat berkumpul keluarga besar dan kolega-kolega penting. Maya berdiri di sisi ruangan, mengenakan gaun sederhana berwarna biru pastel. Meski penampilannya rapi dan anggun, dia merasa kecil di tengah keramaian ini. Suara tawa dan percakapan bergaung di sekitarnya, tetapi Maya lebih memilih mengamati dari kejauhan. Sulastri tampak bersemangat menyambut tamu-tamu penting, selalu berdiri di samping Harjono. Tidak butuh waktu lama sebelum percakapan mulai mengarah pada topik keluarga. “Wah, keluarga Santoso semakin sukses saja. Anak-anak sudah menikah semua, ya? Bagaimana dengan cucu, Bu Sulastri? Sudah banyak cucu yang bisa bermain di rumah ini?” Salah seorang tamu, seorang wanita paruh baya dengan perhiasan mencolok, bertanya sambil tersenyum lebar. Maya mendengar pertanyaan itu dari tempatnya berdiri. Dadanya berdebar, sudah menduga arah pembicaraan ini akan menuju padanya. Sulastri tertawa kecil, lalu menjawab dengan nada halus, tapi setiap kata seperti belati yang menyayat hati Maya. “Oh, Vina, istri anak kedua kami, sudah hamil. Kami semua sangat senang menanti kehadiran cucu pertama. Sayangnya, Maya dan Bima belum diberi rezeki itu. Ya, mungkin karena Maya sibuk dengan urusannya sendiri,” Maya mengepalkan tangan di balik punggungnya, mencoba menahan emosinya. “Ya ampun, Bima sangat beruntung menikah dengan Maya, ya? Meski belum bisa memberikan keturunan, dia tetap istri yang baik, kan?” komentar seorang tamu lain, membuat Maya merasakan panas di wajahnya. “Benar sekali,” tambah Sulastri, dengan senyum tipis. “Tapi sepertinya harus diralat. Maya adalah istri yang sangat beruntung. Menikah dengan Bima itu seperti memenangkan lotre. Bima anak yang pintar, tampan, dan punya masa depan cerah. Maya harus bersyukur setiap hari bisa menjadi bagian keluarga ini,” kelakar Sulastri sambil tertawa. Tamu-tamu lain tertawa kecil, seolah-olah komentar itu hanyalah gurauan biasa. Namun bagi Maya, kata-kata itu seperti beban yang menghantam dadanya. Beruntung? Dia yang telah memberikan segalanya—rumah, mobil, dan bahkan kebebasan finansial bagi Bima dan sekarang dia hanya dilihat sebagai "istri yang beruntung"? “Saya juga kasihan sekali dengan Maya. Dia anak yatim piatu, sendirian tanpa keluarga. Jika bukan kami yang merangkulnya, lalu siapa lagi?” Sulastri melanjutkan tanpa rasa bersalah. Vina tiba-tiba muncul di sisi Sulastri, membawa gelas minuman dan tersenyum lemah. “Ibu, jangan keras-keras. Kasihan Kak Maya,” bisik Vina sambil sesekali melirik Maya. “Lagipula, tidak semua wanita seberuntung aku. Bisa hamil di tahun kedua pernikahan itu benar-benar anugerah. Kak Maya pasti sedang menunggu waktu yang tepat,” Sulastri menepuk tangan Vina dengan lembut, seolah-olah menyanjung menantunya yang satu itu. “Kamu benar, Vina. Kamu memang anak yang baik,” puji Sulastri. “Tuhan punya rencana untuk semua orang. Tapi tentu, kita juga harus berusaha. Jangan hanya menunggu!” Para tamu yang mengelilingi Sulastri mengangguk setuju. Beberapa ada yang menoleh ke arah Maya karena sadar Mayalah menantu pertama keluarga Santoso. *** Maya merasa kepalanya berdenyut hebat. Seolah seluruh percakapan tadi terus bergema di telinga. Tanpa sadar, langkah kakinya membawa Maya keluar dari ruang pesta. Dia butuh udara segar, butuh keluar dari tempat yang penuh dengan tatapan dan kata-kata yang menghakimi. Dia berjalan menyusuri koridor menuju taman belakang rumah Harjono. Dia berharap bisa menemukan suaminya. Setidaknya untuk berbagi sedikit ketenangan di tengah kekacauan emosi yang dia rasakan. Namun, langkahnya terhenti ketika suara tawa terdengar dari sudut taman yang teduh. Tawa itu familiar, suara yang sering dia dengar bertahun-tahun lamanya. Itu suara Bima. Maya bergegas mendekat, tapi kemudian langkahnya melambat ketika dia melihat pemandangan yang membuat dadanya sesak. “Aku selalu tahu kamu akan sukses,” ujar Nina. “Kamu dulu pemimpin di kampus, dan sekarang lihatlah, kamu bahkan lebih menawan,” Di bawah pohon besar yang diterangi lampu taman, Bima sedang berbicara dengan seorang wanita yang Maya kenali sebagai Nina—teman lama Bima di kampus. Mereka berdiri sangat dekat. Terlalu dekat. Bima tertawa kecil. “Kamu sendiri juga tidak berubah, masih seperti dulu. Menarik perhatian semua orang di sekitarmu,” goda Bima. “Kalau saja aku tahu kamu akan seperti ini, mungkin aku tidak akan melepaskanmu dulu,” Suara Nina nyaris seperti bisikan. Dia menarik kerah Bima mendekat.Abi demam tinggi malam itu. Tubuh mungilnya menggigil meski sudah diselimuti rapat-rapat. Bima panik. Ia mondar-mandir di kamar, tak tahu harus melakukan apa. Tangan gemetar saat menyentuh kening Abi yang panas membara. Nafas anak itu terdengar berat, diselingi isakan kecil yang membuat dada Bima seperti diremas."Abi... bangun, Nak..." suara Bima bergetar, mencoba membangunkan Abi yang matanya terpejam namun gelisah. Tak ada jawaban. Panik sepenuhnya menguasainya.Tanpa pikir panjang, Bima menggendong Abi dan berlari menuju mobil. Tengah malam, hujan rintik-rintik membasahi jalanan. Tapi dia tak peduli. Hanya ada satu hal dalam pikirannya: selamatkan Abi.Sesampainya di rumah sakit, Bima nyaris menjatuhkan kunci mobil saat turun. Suster langsung menyambut dan membawa Abi ke ruang observasi. Bima mengejar, tak peduli dengan prosedur atau administrasi.Waktu terasa begitu lambat. Dia duduk di ruang tunggu dengan tangan mencengkeram ujung kursi. Kepalanya menunduk. Dalam hatinya, dia be
Langit mendung menggantung rendah ketika Maya melangkah melewati gerbang besi yang menjulang dingin. Bau logam dan lembab menyambutnya, seolah penjara itu tidak hanya mengurung tubuh manusia, tetapi juga menyimpan semua sisa dosa yang tak pernah sempat ditebus. Petugas mengantar Maya tanpa banyak kata. Di wajah wanita itu tak ada senyum, hanya ekspresi datar—dingin seperti batu nisan.Di balik dinding kaca dan jeruji, Nina duduk membungkuk, tubuhnya tampak lebih kecil daripada terakhir kali Maya melihatnya. Wajahnya pucat dengan luka memar masih membekas di pelipis. Rambutnya acak-acakan, matanya kosong, tapi berubah tegang saat menyadari siapa yang berdiri di seberang kaca.Maya duduk perlahan. Ia tidak mengucapkan salam. Tidak menanyakan kabar. Hanya menatap Nina seperti seseorang memandangi bangkai hewan di pinggir jalan—penuh jijik, tapi tidak cukup penting untuk ditangisi.“Kau kelihatan seperti bayangan dirimu sendiri,” ucap Maya akhirnya, suaranya tenang namun penuh ironi.Nina
Tatapan Bima pias, tampak kosong. Hari masih begitu pagi untuk dia melamun. Namun tampaknya Bima tidak peduli. Sembari pikirannya melayang ke banyak hal, Bima mengisi botol air panasnya ke dispenser.“Pak Bima, awas!” jerit salah satu karyawannya.“Argh!” Bima mengaduh kesakitan, melepaskan pegangan botolnya setelah sadar tangannya tersiram percikan air panas dari dispenser.“Bapak tidak apa-apa?” Karyawan wanita itu mendekat, mencoba menolong Bima.Bima dengan cepat menggeleng. “Aku baik-baik saja,” jawabnya. “Terima kasih,”Raka mengawasi peristiwa itu dari kejauhan. Namun tidak ada tanda-tanda dia hendak ikut menolong. Dia terus memperhatikan Bima, dengan satu tangan kanan memegang gelas kopi dan tangan kiri masuk ke dalam saku celana.“Sampai kapan dia akan seperti ini?” gumam Raka, tak melepaskan pandangannya dari Bima.Tidak seperti sebelumnya, Raka sudah lebih melepaskan perasaan iri hati pada Bima. Setelah segala yang terjadi, apalagi dia berjanji pada Maya untuk tidak melakuk
Bima yang baru saja keluar dari ruang meeting, mengangkat telepon dari ibunya. “Halo, Ma…”“Bim, Mama cuma mau tanya, kamu baik-baik saja, kan?” tanya Sulastri. Suaranya terdengar pelan, penuh perhatian. Di ujung sana, dia duduk di ruang tengah sambil memperhatikan Abi dan Angel bermain dari kejauhan.Bima menarik napas dalam. Dia menatap jendela kantor yang memperlihatkan langit siang yang terik. “Aku baik, Ma. Hanya butuh waktu saja untuk menerima semuanya,”Sulastri diam sejenak. “ Vina tadi sempat bicara. Dia mempertanyakan soal Abi. Tentang statusnya, dan kenapa masih ada di sini,”Bima terdiam. Hatinya berdenyut tak nyaman.“Aku tahu ini bukan hal yang mudah,” lanjut Sulastri. “Tapi Mama cuma mau memastikan kamu siap menghadapi semuanya, Bim. Termasuk pertanyaan orang-orang. Abi memang bukan darahmu, tapi dia tetap anak yang butuh kasih sayang. Yang dia tahu kamu adalah—”“Aku tahu,” potong Bima cepat. “Terima kasih sudah menjaga Abi, Ma. Tapi untuk sekarang, kurasa dia lebih am
Bima melangkah masuk ke ruang kerjanya di kantor yang sempat kosong selama beberapa hari. Beberapa staf menyambutnya dengan senyum kaku, tidak berani bertanya.“Selamat pagi, Pak Bima,” sapa para staf. Meski banyak diantara mereka yang cukup penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi.Raka yang sedang sibuk di depan layar komputernya, mendongak terkejut ketika melihat Bima lewat di hadapannya sebelum melangkah masuk ke ruang kerja dengan tenang.“Mas Bima?” panggil Raka. Berdiri dari kursinya. “Kamu sudah masuk lagi?”Bima mengangguk kecil. “Terlalu banyak yang harus dibereskan di kantor,”Raka maju beberapa langkah, masih dengan ekspresi bingung. “Tapi … bagaimana kabar Nina?” bisiknya.Bima tersenyum tipis. “Kamu tahu dia sedang tidak bersamaku, kan?”Raka menatap kakaknya lama, sebelum akhirnya mengangguk ragu. “Kalau begitu, aku siap membantu apapun yang kamu butuhkan,”Bima menepuk bahu Raka pelan. “Kamu sudah membantu banyak,” timpalnya. “Bagaimana Abi? Apa dia mencariku?”“Di
Rumah besar itu sunyi, seolah kehilangan napas setelah semua kekacauan yang berlangsung tadi. Abi sudah tertidur di kamarnya, setelah susah payah Sulastri mencoba untuk mengalihkan fokusnya pada Nina.Bima duduk di ujung sofa, membungkuk. Wajahnya tertutup kedua tangan. Napasnya berat, seolah menahan beban yang sudah terlalu lama menghimpit dadanya. Setelah memastikan Abi benar-benar terlelap, Sulastri kembali ke ruang tengah dan menatap Bima yang kini tampak begitu rapuh.“Sekarang kamu sendirian di rumah ini, Bim,” tukas Sulastri. “Apa rencanamu selanjutnya?”Bima mengangkat wajahnya perlahan. “Ma, aku belum bisa. Aku belum sanggup menjaga Abi, setelah semua yang terjadi. Setelah mengetahui kebenarannya,” Suaranya parau. “Kumohon… bawa Abi… bawa Abi tinggal bersama Mama untuk sementara waktu, sampai—”“Kamu yakin?” sambar Sulastri. Bima mengangguk perlahan. Nyaris seperti orang yang sedang menahan tangis. “Aku hanya takut dia menjadi korban dari semua kekacauan dan kebohongan ini.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments