"Tunggu!" Dannis lari menuju pintu lift yang hampir menutup.
Untungnya ia bisa menahan pintu lift sebelum keburu tertutup sepenuhnya. Orang yang ada di dalam lift justru mengalihkan pandangannya dan merasa bodo amat ketika Dannis berdiri di samping dirinya. Raut wajahnya terlihat datar, bahkan ia malah memilih melihat smartphone dari pada menolong Dannis."Aku ikut ke ruang arsip." Dannis sebenarnya tidak butuh persetujuan darinya, namun ia merasa perlu mengatakannya."Terserah kau saja. Lagi pula, sampai di sana kau tidak akan berguna." Randy turun dari lift ketika pintu lift terbuka di lantai yang ia tuju.Ruangan arsip berada di lantai paling atas di dalam gedung itu. Di lantai tersebut ada beberapa ruangan selain ruang arsip, seperti ruangan untuk meeting yang biasa digunakan oleh CEO, lalu ruangan CEO, serta ruangan yang diperuntukkan untuk menerima tamu penting yang jumlahnya lebih dari satu. Bila dilihat dari tata letak"Hah?! Oh, aku… aku diminta oleh Pak Leo untuk mengambil beberapa berkas dokumen proyek untuk kami kerjakan." Dannis menyeringai karena tidak menyangka bila yang menolongnya justru Luna. "Lalu? Kau sudah mendapatkannya?" Tanya Luna yang melihat keadaan Dannis yang tampak tidak baik-baik saja.Terlihat seluruh wajahnya dipenuhi oleh keringat. Raut mukanya tampak takut dan gelisah. Temannya itu juga langsung menyingkir dan berdiri di luar ruangan arsip, seakan ia menghindari ruangan itu. "A–Aku… sudah mendapatkannya!" Dannis menundukkan kepalanya. Tidak mungkin ia memberitahukan perempuan di depannya kalau dirinya baru saja terkunci di dalam sana. "Bohong! Kamu pasti terkunci di dalam sana, 'kan? Bila kamu sudah menemukan dokumennya, lalu di mana berkasnya? Tanganmu itu kosong." Sedari tadi perempuan itu terus memeriksa kedua tangan Dannis yang disembunyikan di belakang.Gelagat aneh dari lelaki di depannya membuat Luna merasa curiga. Ia mencium ada yang tidak beres. "Aku terkunci d
"A–Aku…." Wajah Dannis tampak kelu ketika kakeknya sudah berada di depan mereka. "Apa Anda mengenal mereka?" Tanya seorang pengawal yang menghampiri Aji Kartanegara.Selagi kedua mahasiswa di sampingnya mengalihkan perhatian tuan Kartanegara, Juna langsung menggunakan teknik seribu jari untuk mengetik pesan singkat yang diakhiri dengan bantahannya atas kenalnya mereka dengan tuan Aji Kartanegara. "Kami tidak mengenal beliau!" Bantah Juna yang menyela pembicaraan antara pengawal Aji Kartanegara dengan tuannya. Karena perkataan Juna yang mendadak itu, semua orang yang berada di dekatnya langsung menoleh ke arah Juna dengan herannya. Bahkan Dannis tidak bisa berkata apapun ketika pengawalnya bersikeras dengan ucapannya. "Kau…?" Pengawal Aji Kartanegara menunjuk Juna sambil mengingat-ingat wajahnya yang tampak tidak asing. "Ju–" "–Jujur kami tidak mengenal Anda. Sebenarnya siapa Anda?" Dannis langsung memotong ucapan kakeknya yang hendak memanggil pengawalnya. Lelaki itu langsung me
"Oh, terima kasih. Maaf, aku buru-buru, tapi terima kasih lagi." Luna belum sempat memandang wajah pria yang menolongnya. Ia langsung masuk ke dalam mobil sambil mengambil jepitan kecil yang berada di tangan pria itu.Ketika mobil sudah pergi lumayan jauh, pria itu berputar dan kembali ke dalam gedung. Terlihat setiap kali ia melewati ruangan, koridor ataupun lift, semua karyawan yang ditemuinya memberi salam dan menundukkan kepalanya. "Pak, tuan Aji Kartanegara sudah menunggu Anda di ruanganmu." Salah seorang sekretaris berbisik ke arahnya. "Aku mengerti. Oh, yah, apa ada mahasiswa yang magang di sini?" Tanyanya ke sekretaris itu. "Ada lima orang. Memangnya kenapa, Pak?" Sekretaris itu bertanya. Maklum saja, pria yang ada di depannya itu agak sedikit sensitif dengan para pemagang. Tanpa menjawabnya, senyuman kecil pria itu sudah mewakili jawaban dirinya. Dan ketika ia memasuki ruangannya yang berada di lantai paling atas, dekat dengan ruang arsip, dirinya tidak menyangka bila Aji
"Oke, untuk hari ini. Agenda kalian adalah menghadiri acara ulang tahun perusahaan," ucap Pak Tio yang mempersilahkan kepada para mahasiswanya untuk menuju ke ballroom yang berada di lantai dasar, dekat dengan lobi. Ketika memasuki ballroom, ada beberapa stand makanan yang berbaris di sepanjang sisi ballroom. Makanan khas dalam negeri hingga beberapa jenis makanan luar ikut meramaikan acara itu. Lalu ada begitu banyak kursi untuk tamu yang dibalut dengan cover kain putih dan membuat penampilan kursi itu begitu elegan serta mewah. Semuanya terlihat ditempatkan di bawah panggung, di mana panggungnya dirancang sendiri oleh salah satu vendor kontraktor milik PT. Kartanegara Karya.Beberapa karyawan terlihat telah mengisi beberapa kursi tamu yang masih kosong. Suasana menjadi bertambah hangat dan meriah ketika Gilang Kartanegara, sang CEO, masuk dari pintu utama ballroom sambil dikawal oleh beberapa direksi utama perusahaan serta pengawalnya.
"Oh, yah, mau––ikut hangout ke mall terdekat? Kebetulan aku mau cari referensi buku bacaan buat mengisi waktu senggang." Luna mengajak lelaki yang berdiri di sampingnya. Matanya tampak berpaling ke arah lain dan enggan menatap lelaki itu.Ucapannya juga terdengar terbata-bata. Rasa malu menghinggapi wajah perempuan itu. Namun ia begitu senang karena sudah melontarkan kalimat itu. "Kamu tidak keberatan bila aku ikut?" Dannis menahan senyuman di bibirnya. Dalam benaknya, seakan ada kembang api yang baru saja meledak dengan begitu indah. "Keberatan dari mana? Mumpung kita punya waktu. Karena yang aku tahu, besok akan ada kunjungan ke beberapa proyek," ungkap Luna yang menggiring lelaki itu melewati pintu otomatis yang berada di lobi. Ia sempat menelepon seseorang dan memintanya untuk menjemput di depan lobi. Luna tampak tersenyum kecil dan berusaha menjaga sikapnya agar tidak terlihat seakan ia salah tingkah. Tap
"Tolong lakukan operasinya, Dok! Saya janji akan melunasi semua pembayaran setelah operasinya selesai!" Aryo tampak kalut. "Saya bisa jual motor dan tanah sambil menunggu operasinya selesai," ungkap Aryo lagi. Terlihat sedari tadi ia terduduk di lantai ruang IGD sambil bersujud di hadapan seorang dokter. "Ini bukan lembaga amal! Kalau kamu mau operasi dilakukan, segera urus pembayarannya dulu! Minimal bayar uang mukanya!" Dokter itu membentaknya dan bertolak pergi ke ranjang pasien lain. Kehebohan di ruangan itu menjadi perhatian beberapa pengunjung yang berada diluar pintu IGD yang terbuka. Mereka saling berbisik dan sesekali menunjuk ke arah Aryo dengan melontarkan cibiran kasar ataupun menyumpahinya dengan ungkapan kotor. Dannis merasa ia perlu tahu tentang apa yang terjadi. Tanpa sadar, langkah kakinya malah berbelok arah ke ruangan IGD. Entah apa yang menggerakkan kakinya, namun ia merasa harus menghampiri Aryo. "Tolong, Dok! Ibu saya sedang sekarat! Tolong kasihani saya…."
"Buaya?!" Gilang tampak kesal ketika dirinya dipanggil seperti itu. Dannis terus saja menunjuk kedua orang yang berdiri di depannya dengan penuh keheranan. Seakan ia baru saja bertemu dengan sesuatu yang sudah lama hilang. Dirinya sangat tidak menduga sama sekali bila mereka berdua bisa berada di kamar rawat inap itu. "A–apa yang terjadi? Kenapa kakek dan Pak Gilang ada di sini?" Dannis bertanya-tanya. "Kami datang untuk menjenguk pengawalmu. Dia baru saja tersengat listrik di tempat Gilang." Aji Kartanegara memilih menghampiri sofa kosong yang berada di seberang ranjang Juna dan duduk di sana. Tampak wajahnya begitu biasa, seakan ia tidak mempermasalahkan atas kedatangan Gilang Kartanegara yang merupakan CEO Kartanegara Karya, perusahaan tempat di mana Dannis melakukan praktek kerja lapangan."Hah?! Tersengat listrik? Kok, bisa?" Dannis menoleh ke arah Juna yang tampak menyembunyikan wajahnya dari Dannis.
"Jangan memaksaku. Aku tidak peduli dengan harta-harta kakek. Masalah tentang hartaku yang suatu hari nanti dibekukan oleh paman pertama, biar aku yang akan menghadapinya." Lelaki itu bangun dari tempatnya dan pergi keluar kamar. Kedua tangannya masuk ke dalam masing-masing kantong celana. Ia berjalan dengan raut wajah gusar. Bahkan ketika menutup pintu, ia terlihat tidak menoleh sedikitpun ke belakang. "Dasar! Anak itu benar-benar susah diatur!" Aji Kartanegara merasa segan menegur Dannis. Meski ia merasa kesal, namun senyuman kecil sempat tersemat di bibirnya. Pria tua itu mengagumi sikap cucunya yang satu itu. "Sebaiknya aku pulang. Ini sudah lumayan malam. Juna, sampaikan salamku pada peliharaanmu. Bilang padanya, 'Jangan sampai telat ke kantor besok!' Karena aku ingin mengajaknya ke suatu tempat." Gilang ikut bangun dari tempatnya. Ia melambaikan satu tangannya dan pergi dari kamar itu. Bila dilihat dari wajah pengawal itu, ia merasa sangat cemas dan khawatir dengan tim yang