"A–Aku…." Wajah Dannis tampak kelu ketika kakeknya sudah berada di depan mereka. "Apa Anda mengenal mereka?" Tanya seorang pengawal yang menghampiri Aji Kartanegara.Selagi kedua mahasiswa di sampingnya mengalihkan perhatian tuan Kartanegara, Juna langsung menggunakan teknik seribu jari untuk mengetik pesan singkat yang diakhiri dengan bantahannya atas kenalnya mereka dengan tuan Aji Kartanegara. "Kami tidak mengenal beliau!" Bantah Juna yang menyela pembicaraan antara pengawal Aji Kartanegara dengan tuannya. Karena perkataan Juna yang mendadak itu, semua orang yang berada di dekatnya langsung menoleh ke arah Juna dengan herannya. Bahkan Dannis tidak bisa berkata apapun ketika pengawalnya bersikeras dengan ucapannya. "Kau…?" Pengawal Aji Kartanegara menunjuk Juna sambil mengingat-ingat wajahnya yang tampak tidak asing. "Ju–" "–Jujur kami tidak mengenal Anda. Sebenarnya siapa Anda?" Dannis langsung memotong ucapan kakeknya yang hendak memanggil pengawalnya. Lelaki itu langsung me
"Oh, terima kasih. Maaf, aku buru-buru, tapi terima kasih lagi." Luna belum sempat memandang wajah pria yang menolongnya. Ia langsung masuk ke dalam mobil sambil mengambil jepitan kecil yang berada di tangan pria itu.Ketika mobil sudah pergi lumayan jauh, pria itu berputar dan kembali ke dalam gedung. Terlihat setiap kali ia melewati ruangan, koridor ataupun lift, semua karyawan yang ditemuinya memberi salam dan menundukkan kepalanya. "Pak, tuan Aji Kartanegara sudah menunggu Anda di ruanganmu." Salah seorang sekretaris berbisik ke arahnya. "Aku mengerti. Oh, yah, apa ada mahasiswa yang magang di sini?" Tanyanya ke sekretaris itu. "Ada lima orang. Memangnya kenapa, Pak?" Sekretaris itu bertanya. Maklum saja, pria yang ada di depannya itu agak sedikit sensitif dengan para pemagang. Tanpa menjawabnya, senyuman kecil pria itu sudah mewakili jawaban dirinya. Dan ketika ia memasuki ruangannya yang berada di lantai paling atas, dekat dengan ruang arsip, dirinya tidak menyangka bila Aji
"Oke, untuk hari ini. Agenda kalian adalah menghadiri acara ulang tahun perusahaan," ucap Pak Tio yang mempersilahkan kepada para mahasiswanya untuk menuju ke ballroom yang berada di lantai dasar, dekat dengan lobi. Ketika memasuki ballroom, ada beberapa stand makanan yang berbaris di sepanjang sisi ballroom. Makanan khas dalam negeri hingga beberapa jenis makanan luar ikut meramaikan acara itu. Lalu ada begitu banyak kursi untuk tamu yang dibalut dengan cover kain putih dan membuat penampilan kursi itu begitu elegan serta mewah. Semuanya terlihat ditempatkan di bawah panggung, di mana panggungnya dirancang sendiri oleh salah satu vendor kontraktor milik PT. Kartanegara Karya.Beberapa karyawan terlihat telah mengisi beberapa kursi tamu yang masih kosong. Suasana menjadi bertambah hangat dan meriah ketika Gilang Kartanegara, sang CEO, masuk dari pintu utama ballroom sambil dikawal oleh beberapa direksi utama perusahaan serta pengawalnya.
"Oh, yah, mau––ikut hangout ke mall terdekat? Kebetulan aku mau cari referensi buku bacaan buat mengisi waktu senggang." Luna mengajak lelaki yang berdiri di sampingnya. Matanya tampak berpaling ke arah lain dan enggan menatap lelaki itu.Ucapannya juga terdengar terbata-bata. Rasa malu menghinggapi wajah perempuan itu. Namun ia begitu senang karena sudah melontarkan kalimat itu. "Kamu tidak keberatan bila aku ikut?" Dannis menahan senyuman di bibirnya. Dalam benaknya, seakan ada kembang api yang baru saja meledak dengan begitu indah. "Keberatan dari mana? Mumpung kita punya waktu. Karena yang aku tahu, besok akan ada kunjungan ke beberapa proyek," ungkap Luna yang menggiring lelaki itu melewati pintu otomatis yang berada di lobi. Ia sempat menelepon seseorang dan memintanya untuk menjemput di depan lobi. Luna tampak tersenyum kecil dan berusaha menjaga sikapnya agar tidak terlihat seakan ia salah tingkah. Tap
"Tolong lakukan operasinya, Dok! Saya janji akan melunasi semua pembayaran setelah operasinya selesai!" Aryo tampak kalut. "Saya bisa jual motor dan tanah sambil menunggu operasinya selesai," ungkap Aryo lagi. Terlihat sedari tadi ia terduduk di lantai ruang IGD sambil bersujud di hadapan seorang dokter. "Ini bukan lembaga amal! Kalau kamu mau operasi dilakukan, segera urus pembayarannya dulu! Minimal bayar uang mukanya!" Dokter itu membentaknya dan bertolak pergi ke ranjang pasien lain. Kehebohan di ruangan itu menjadi perhatian beberapa pengunjung yang berada diluar pintu IGD yang terbuka. Mereka saling berbisik dan sesekali menunjuk ke arah Aryo dengan melontarkan cibiran kasar ataupun menyumpahinya dengan ungkapan kotor. Dannis merasa ia perlu tahu tentang apa yang terjadi. Tanpa sadar, langkah kakinya malah berbelok arah ke ruangan IGD. Entah apa yang menggerakkan kakinya, namun ia merasa harus menghampiri Aryo. "Tolong, Dok! Ibu saya sedang sekarat! Tolong kasihani saya…."
"Buaya?!" Gilang tampak kesal ketika dirinya dipanggil seperti itu. Dannis terus saja menunjuk kedua orang yang berdiri di depannya dengan penuh keheranan. Seakan ia baru saja bertemu dengan sesuatu yang sudah lama hilang. Dirinya sangat tidak menduga sama sekali bila mereka berdua bisa berada di kamar rawat inap itu. "A–apa yang terjadi? Kenapa kakek dan Pak Gilang ada di sini?" Dannis bertanya-tanya. "Kami datang untuk menjenguk pengawalmu. Dia baru saja tersengat listrik di tempat Gilang." Aji Kartanegara memilih menghampiri sofa kosong yang berada di seberang ranjang Juna dan duduk di sana. Tampak wajahnya begitu biasa, seakan ia tidak mempermasalahkan atas kedatangan Gilang Kartanegara yang merupakan CEO Kartanegara Karya, perusahaan tempat di mana Dannis melakukan praktek kerja lapangan."Hah?! Tersengat listrik? Kok, bisa?" Dannis menoleh ke arah Juna yang tampak menyembunyikan wajahnya dari Dannis.
"Jangan memaksaku. Aku tidak peduli dengan harta-harta kakek. Masalah tentang hartaku yang suatu hari nanti dibekukan oleh paman pertama, biar aku yang akan menghadapinya." Lelaki itu bangun dari tempatnya dan pergi keluar kamar. Kedua tangannya masuk ke dalam masing-masing kantong celana. Ia berjalan dengan raut wajah gusar. Bahkan ketika menutup pintu, ia terlihat tidak menoleh sedikitpun ke belakang. "Dasar! Anak itu benar-benar susah diatur!" Aji Kartanegara merasa segan menegur Dannis. Meski ia merasa kesal, namun senyuman kecil sempat tersemat di bibirnya. Pria tua itu mengagumi sikap cucunya yang satu itu. "Sebaiknya aku pulang. Ini sudah lumayan malam. Juna, sampaikan salamku pada peliharaanmu. Bilang padanya, 'Jangan sampai telat ke kantor besok!' Karena aku ingin mengajaknya ke suatu tempat." Gilang ikut bangun dari tempatnya. Ia melambaikan satu tangannya dan pergi dari kamar itu. Bila dilihat dari wajah pengawal itu, ia merasa sangat cemas dan khawatir dengan tim yang
"Apa sudah kumpul semua?" Pak Tio mengumpulkan para mahasiswa magang di lobi bawah. Kunjungan kerja ke proyek jembatan kereta api yang berada diluar daerah menjadi agenda para mahasiswa magang untuk empat hari kedepan. "Sudah lengkap, Pak!" Anya menyahuti ucapan pembimbingnya. Namun ketika Dannis menoleh ke sekitarnya, Aryo belum juga tiba. Ia lupa mencari tahu kabar tentang operasi Ibu Darmi semalam. Terlihat ia sangat khawatir. Kecemasan mulai menyerang dirinya. Ia takut bila operasinya tidak berjalan lancar. [Jun, apa kau bisa mencari tahu keadaan Ibu Darmi yang baru saja dioperasi di rumah sakit kita? Dia adalah ibunda dari Aryo, mantan sahabatku. Tolong cari tahu keadaannya, lalu segera hubungi aku.] Pesan singkat yang dipenuhi rasa khawatir itu telah terkirim. "Mungkin dia bolos, Pak. Biasalah, bangun kesiangan atau mungkin habis begadang main game." Randy asal bicara. "Mungkin saja ada keluarganya yang sakit, makanya Aryo tidak bisa hadir!" Sahut Dannis yang begitu keras