Share

13. Curiga

Author: SayaNi
last update Last Updated: 2025-05-06 06:18:00

Setibanya di depan lobi hotel, Erol turun lebih dulu, lalu membuka pintu untuk Elara.

"Ini kartu kamar Anda, dan ponsel baru untuk Anda," ujar Erol sambil menyerahkan sebuah kartu akses dan kantong berisi ponsel kepada Elara. "Hubungi saya kapan saja Anda memerlukan sesuatu. Selamat beristirahat."

Tanpa menunggu respons, Erol berbalik dan masuk kembali ke mobilnya.

Namun, sebelum mobil itu sempat bergerak, Elara mengetuk jendela dengan ragu.

Erol menurunkan kaca dan menatapnya dengan ekspresi tak terbaca. "Ada hal lain yang Anda butuhkan?"

Elara ragu dan malu dengan pertanyaannya sendiri. "Itu..., bagaimana cara masuk ke dalam?" suaranya begitu pelan. Ia takut penjaga pintu hotel yang berdiri megah itu akan mengusirnya.

Sejenak, Erol hanya menatapnya, lalu tanpa banyak bicara, ia turun kembali dan berjalan mendahului Elara memasuki hotel. Penjaga pintu segera menyapa dan membukakan pintu untuk mereka.

Elara mengikutinya, menundukkan kepala, merasa asing di tengah kemewahan lobi yan
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   88. Jus Alpokat

    Dekan yang sebelumnya melecehkan Elara, telah dikabarkan kritis di rumah sakit, setelah jatuh dari tangga kampus. Tanpa penjelasan detail, pihak universitas segera menunjuk wakil dekan sebagai pelaksana tugas. Informasi dibatasi, dan tidak ada satu pun yang mengaitkan insiden itu dengan siapa pun.Di salah satu kelas, tak ada yang benar-benar memperhatikan saat kelompok Elara disebut.Kelas tetap gaduh. Sebagian mahasiswa menoleh, sebagian lagi tetap sibuk dengan ponsel, mengobrol. Layar proyektor telah menyala. Judul besar terpampang jelas di dinding putih:“Faktor yang Mempengaruhi Sensasi dan Persepsi”Kelompok 3 – Elara Maheswari, Leona, Revan AdityaElara berdiri di depan. Jari-jarinya menyentuh touchpad laptop dengan tenang. Beberapa detik pertama, ia menunggu. Mungkin berharap suasana lebih kondusif. Tapi yang ia dapat justru sebaliknya.Beberapa mahasiswa masih sibuk ngobrol.Ada yang tertawa pelan, menoleh ke belakang.Beberapa yang lain memainkan ponsel. Dan selebihnya ha

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   87. Ulat bulu nemui Elara

    Setelah makan siang bersama, Ryota langsung pergi.'Sepertinya dia memang sangat sibuk,' pikir Elara sambil berdiri sejenak di depan pintu akses menuju lift, memperhatikan belakang mobil suaminya yang perlahan menghilang di tikungan ramp menuju pintu keluar. Mobil miliknya sendiri sudah terparkir tak jauh. Orang kepercayaan Ryota yang mengantarnya ke sana. Pria itu sempat menyarankannya agar diantar oleh pak sopir, khawatir ia masih terguncang setelah insiden dengan Pak Dekan. Tapi Elara menolak dengan halus.Ia bersikeras pergi sendiri. Menjemput Anya.Bukan karena keras kepala, tapi karena ia tak ingin terlihat rapuh.Elara masuk ke mobilnya, menarik napas sejenak sebelum menyalakan mesin. Mobil itu melaju tenang, menuju sekolah Anya.Elara memarkir mobilnya perlahan, mematikan mesin, lalu turun dengan tenang.Baru saja ia hendak berjalan ke arah lobi sekolah, sebuah suara pelan terdengar dari belakang.“Elara…”Suaranya tak asing. Tapi tak diharapkan.Perlahan, Elara menoleh.Wan

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   86. Vanessa Ngajak Kepo

    Sebuah pesan masuk di ponsel Ryota. Ia tersenyum tipis. "Putramu baik baik saja," katanya pada Elara yang tengah mengaduk sup ikannya. "Benarkah?" dengan mata berbinar, lekas lekas Elara menoleh ke arah Ryota. Ryota memberikan ponselnya dengan layar yang menyala. "Apakah kau sudah bisa tidur nyenyak sekarang?" Elara menerimanya dengan semangat. Layar ponsel Ryota menampilkan dokumen resmi dari Dinas Perlindungan Anak. Ia mulai membaca. Rumah tempat Arka tinggal disebutkan dalam kondisi layak. Nyaman. Bersih. Ruangan cukup. Ventilasi dan pencahayaan dinilai baik. Ada kamar untuk Arka, dengan tempat tidur sendiri, dan mainan seperlunya. Neneknya disebut sebagai pengasuh utama. Wawancara menunjukkan ia cukup perhatian—menyiapkan makanan, menemani tidur, mengantar sekolah. Tidak ditemukan keluhan serius. Tidak juga ada kekurangan yang bisa dijadikan alasan intervensi. Elara menggulir ke bawah. Bagian berikutnya membuat napasnya pelan-pelan menurun. Kondisi fisik: normal.

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   85. Waktu Berharga Ryota

    TING! Lift terbuka. Di hadapan mereka berdiri seorang gadis berambut lurus dengan setelan kasual. Elara langsung mengenalinya. Gadis yang semalam di lift... Yang membicarakan suaminya sambil tertawa kecil di telepon. “Selamat siang, Pak,” sapa Tania. Sopan. Tapi sorot matanya menyiratkan keterkejutan kecil yang tak sempat ia sembunyikan. Wajah Ryota mengeras. Datar. Ia mengangguk singkat, lalu tersenyum tipis—dingin. Tangannya terulur, menekan tombol tutup di panel lift. “Kau seharusnya tidak ada di lift ini,” tegasnya. Tania langsung mundur setengah langkah. “Baik, Pak.” Tapi sebelum pintu lift benar-benar tertutup, ia sempatkan matanya melirik ke dalam. Di belakang Ryota, berdiri seorang gadis muda. Diam. Hampir tersembunyi. Hanya setengah terlihat dari balik bahu presdirnya. Lalu... Matanya jatuh ke kantong belanja yang dibawa sang Presdir, tepat sebelum pintu lift tertutup. Warna pink. Bergambar Maruko Chan. Tania hampir tertawa kecil dalam hati. P

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   84. Kasmaran

    “Kau menjalankan tugasmu dengan baik,” suara Ryota terdengar datar, samar-samar terasa bahaya di setiap katanya. Di seberang, Leona membeku sejenak. Ia tidak menduga sosok yang berada di atas Erol akan bicara langsung padanya. Apalagi dengan nada yang terdengar seperti pujian... tapi juga bisa berubah jadi hukuman.“Suatu kehormatan mendapat pengakuan langsung dari Anda, Tuan,” ucapnya hati-hati.“Sepertinya wanitaku terlalu rendah hati di kampusnya,” ujar Ryota—sarkastik, tanpa intonasi.Ia menduga ada yang terjadi.Segala yang melekat pada Elara—seharusnya cukup untuk menunjukkan status sosialnya. Bukan orang yang mudah disentuh. Apalagi diintimidasi.Jika masih ada yang berani menyentuhnya, maka hanya ada dua kemungkinan, terlalu bodoh... atau memang sedang cari mati.Di ujung sambungan, Leona kembali terdiam.Jika ia menyebutkan rumor buruk yang beredar tentang Elara sekarang, pria di balik sambungan telepon ini mungkin akan murka—karena informasi itu tak pernah ia laporkan seja

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   83. Patah Remuk

    Pintu ruangan tiba-tiba terbuka cepat oleh Leona. Tanpa berkata sepatah kata, ia menghantam Pak Dekan yang tengah membekap Elara.“Krak!”Pak Dekan terpelanting, menghantam tepi meja, lalu jatuh ke lantai dengan suara berat. Wajahnya berdarah. Rahangnya tampak tidak simetris.Ia menggeliat, membuka mulutnya seakan ingin bicara—namun yang keluar hanya rintihan serak dan liur bercampur darah.Tubuhnya gemetar pelan, antara kesakitan dan syok.Leona tidak langsung menghampiri Elara. Ia menutup pintu, dan memeriksa ruangan dengan cepat—mata elangnya menyapu setiap sudut.Kamera kecil di rak buku. Masih menyala. Leona mendekat, mencabut memorinya dan memasukkan ke saku celananya. Baru setelah semua aman, ia berjongkok di sisi Elara.“Anda terluka?”Elara menggeleng lemah, masih limbung.Leona mengangguk. Satu tangan mengambil ponselnya, dan menghubungi Erol. “E secured. Hostile injured—level three trauma. Site clear," lapornya. Leona menatap Elara sekali lagi setelah memutuskan sambunga

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status