LOGINElara kehilangan segalanya dalam satu hari. Suami yang berselingkuh. Mertua yang membuangnya seperti sampah. Dan rumah yang tak lagi menyisakan tempat untuk pulang. Ia pergi tanpa uang. Tanpa arah. Tanpa siapa pun. Lalu, pria asing itu datang. Ryota Kenneth, dengan mata sedingin kematian—terlalu berbahaya untuk disebut penyelamat. Ia tak menawarkan pelukan. Tak juga penghiburan. Hanya sebuah tawaran pernikahan yang bisa menyelamatkan Elara—atau menghancurkannya lebih dalam lagi. Antara harga diri dan ketergantungan. Antara logika dan godaan. Beranikah Elara mencintai pria yang membuatnya merasa aman dan terancam di saat bersamaan? Khusus 21+ | Mengandung konten dewasa yang eksplisit. Tidak disarankan untuk pembaca sensitif.
View More“Elara! Kenapa lantai ruang makan masih kotor?!”
Suara itu memecah pagi seperti sirene. Elara Maheswari tersentak, tangannya yang tengah mengaduk sayur hampir menjatuhkan sendok. Jantungnya berdegup kencang. Bukan karena takut, tapi karena sudah terlalu sering dibentak seperti itu, dan tetap saja tubuhnya belum kebal. Rahayu berdiri di ambang pintu dapur. Wajah wanita paruh baya itu masam, matanya menyapu ruangan seolah mencari celah kesalahan. “Baru saja Elara pel, Ma,” sahut Elara pelan. “Jangan banyak alasan!” potong Rahayu tajam. “Ini juga, kenapa masaknya lama? Kau mau bikin suamimu dan adik-adiknya telat ke kantor dan kampus, hah?” Elara menunduk. “S-sebentar lagi, Ma…” Tanpa diminta, tangannya langsung bergerak lebih cepat. Menyendok nasi, mengaduk tumisan, memeriksa ayam di penggorengan. Semuanya dilakukan dengan napas yang tersengal. Sejak dini hari ia belum berhenti. Menyapu, mencuci, menyiapkan sarapan. Dan sekarang, dimarahi seolah ia belum melakukan apa-apa. Usianya baru 23 Tahun, tapi rasanya seperti jiwa mudanya telah dicuri oleh hari-hari yang penuh bentakan dan perintah. Empat tahun lalu, Elara menerima perjodohan yang diatur oleh Rahayu—ibu Daris, pria yang kini sah menjadi suaminya. Saat itu, ia benar-benar sendiri. Hingga akhirnya, ada sepasang tangan mungil yang meraih jari-jarinya. Arka. Bayi kecil yang menangis dalam pelukannya seolah meminta untuk tidak ditinggalkan. Elara luluh. Ia pikir, menjadi istri Daris adalah cara untuk tetap berada di sisi anak itu—anak dari pernikahan pertama Daris yang tak lagi punya ibu. Namun, keputusannya menikah dengan Daris ternyata bukanlah penyelamat hidupnya. Justru ia seperti membuang dirinya sendiri ke dalam neraka. Pukul enam kurang lima, Elara membawa makanan ke meja makan. Wajahnya masih pucat, tangannya sedikit gemetar. Daris sudah duduk di kursinya. Tak menoleh, tak menyapa. Seolah Elara tak ada di ruangan itu. Mertua dan kedua adik iparnya juga mulai makan tanpa menunggu. Tidak ada ucapan terima kasih, tidak juga sekadar lirikan peduli. Elara buru-buru masuk ke kamar, membangunkan Arka. “Arka, Sayang... bangun. Sudah pagi, waktunya sekolah,” bisiknya lembut sambil mengelus punggung anak itu. “Kalau terlambat, nanti Ayah marah.” Arka mengerang pelan, tapi akhirnya membuka mata. Dengan tenaga sisa, Elara menggendongnya ke kamar mandi. Ia bergerak cepat, membasuh, mengganti baju, menyisir rambut. Semua dilakukan dalam diam agar tidak menambah keributan. Saat mereka kembali ke meja makan, Daris sudah hampir selesai makan. Elara tak sempat duduk. Ia langsung mengambil sendok, meniup bubur agar tak terlalu panas, lalu menyuapkan pada Arka. “Kenapa lama sekali urus anak? Aku bisa telat ke kantor gara-gara kau!” bentak Daris tiba-tiba. Jantung Elara mencelos. Ia buru-buru meletakkan sendok. “Maaf, Mas...” “Sudah tahu Arka susah bangun, kenapa nggak dibangunin lebih awal?” sindir Alia ketus sambil menyambar tasnya. Elara menelan ludah, tapi tak menjawab. “Arka, cepat habiskan. Kita berangkat sekarang!” hardik Daris. Arka menatap Elara, bingung. Elara menahan napas, mencoba tersenyum. Ia menyodorkan kotak kecil berisi roti ke tangan mungil itu. "Habiskan di mobil, ya," bisiknya. Daris tidak menunggu. Ia sudah melangkah ke pintu utama tanpa menoleh sedikit pun. Elara tergopoh menuntun Arka, memastikan anak itu menyusul ayahnya dengan langkah kecilnya. Begitu mobil Daris melaju dan menghilang di ujung jalan, Elara baru berbalik masuk ke dalam rumah. “Mbak Elara! Mana baju kuliahku yang aku titip buat disetrika?!” suara Dinda menyambutnya dari ruang tengah. Nada bicaranya tinggi, seperti tengah menagih utang. “Di lemari kamar Alia,” jawab Elara pelan. “Duh! Aku tuh udah bilang, bajuku jangan dicampur sama yang lain! Masa segitu aja nggak ngerti, sih?!” Dinda mendengus kesal lalu berjalan cepat ke kamar. Elara diam. Menelan ludah. Tak ada yang bisa ia lakukan selain menunduk dan menerima semua cercaan itu. Setiap hari di rumah ini seperti hukuman yang tak pernah usai. Mertua yang kasar. Adik-adik ipar yang selalu merasa lebih tinggi darinya. Dan suami... Daris, pria itu bahkan tak pernah melihatnya sebagai istri. Apalagi sebagai manusia. Bagi Daris, Elara tak lebih dari pembantu yang tidak digaji. Yang harus bangun paling pagi, tidur paling akhir. Yang harus mendengar omelan tanpa boleh menjawab. Yang harus bersyukur meski tak pernah diberi apa-apa. “Seorang istri tugasnya melayani suami tanpa mengeluh. Ridho suami itu surgamu.” Itu yang selalu Daris ucapkan padanya. Setiap kali ia mengeluh, setiap kali ia lelah, setiap kali ia hanya ingin didengar—kalimat itu jadi palu yang menghancurkan mulutnya agar tetap diam. *** Keesokan paginya, setelah pagi yang riuh seperti biasa—menyiapkan sarapan, membangunkan Arka, dibentak Rahayu—Elara pergi ke pasar. Bukan pasar dekat rumah, tapi yang lebih jauh, karena harga sayur di sana lebih murah. Hari ini, mertuanya mengadakan arisan keluarga. Elara harus masak untuk belasan orang. Sendirian. Setelah menyusuri lorong-lorong pasar dan menyelesaikan semua daftar belanja, ia memanggul kantong-kantong plastik besar ke atas motor. Beratnya membuat punggungnya pegal. Tapi ia tak mengeluh. Tak pernah mengeluh. Di tengah perjalanan pulang, saat berhenti di lampu merah, matanya tanpa sengaja menangkap sesuatu. Sebuah mobil hitam berhenti di seberang jalan. Jantung Elara berdegup pelan. ‘Itu… mobil Mas Daris,’ bisiknya. Ia memicingkan mata. Mencoba memastikan. Dan benar—itu mobil suaminya. Ia hafal betul plat nomornya. Tapi bukan itu yang membuat perutnya tiba-tiba mual. Di kursi penumpang, ada sosok wanita muda. Rambutnya panjang, tertata rapi. Bahunya sedikit menyandar ke arah Daris. Keduanya tertawa—terlihat akrab. Terlalu akrab.Langit Kelowna bersuhu dua belas derajat Celsius sore itu, berwarna keemasan pucat. Suara bel penutup kelas bergema dari speaker sekolah. Di halaman sekolah, ratusan siswa middle school berseragam biru tua bergerak cepat ke arah area bus. Sekolah elit itu tidak membiarkan murid keluar ke jalan tanpa pengawasan. Bus kuning berjajar rapi, beberapa bertanda 'Route 4 – East Kelowna' dan 'Route 7 – Peachland.' Anya berjalan cepat menuju busnya, seragam biru tua dengan emblem sekolah di dada kiri, rok abu lipit di bawah lutut, dan syal abu muda melingkar longgar di lehernya. Rambutnya dikepang dua. Beberapa mobil orang tua sudah menunggu di jalur drop-off. Dari salah satu mobil itu, Cavell keluar. Ia berdiri, memperhatikan kerumunan sampai matanya menemukan Anya. "Anya Maren Kenneth?” Anya menoleh. Ia jarang mendengar seseorang memanggil nama tengahnya. “Yes?” Cavell tersenyum kecil, “Aku pamanmu. Papamu kasih alamat. Tapi kau tahu, mencari alamat sekolah lebih mudah daripada
Hari keempat belas, adalah hari terakhir Ryota menjalani perawatan di kamar rawat suite yang lebih mirip apartemen kecil daripada ruang rumah sakit, dan laporan patologi anatomi disampaikan oleh dokter Ardi, dokter yang menanganinya sejak pascaoperasi. Kabar baik disampaikan lebih dulu, tentu saja. Tumor berhasil diangkat utuh, dan masih pada stadium awal. Namun, di mana ada kabar baik, di situ kabar buruk menyusul. Seperti siang dan malam, hanya berganti menjaga keseimbangan. Dari hasil patologi, sel kanker menunjukkan sifat lebih agresif, derajat keganasannya tinggi. Itu artinya, meski tumornya sudah diangkat, masih ada risiko sel-sel halus yang tidak kasat mata lolos dan bisa tumbuh kembali. Untuk itu, dokter Ardi tetap menyarankan menjalani kemoterapi pencegahan. Dan kabar buruk lain, letak tumor membuat sebagian saraf di panggul ikut terpotong, saraf yang berperan penting dalam mengendalikan fungsi seksual. Dokter Ardi menyebut masih ada peluang untuk pulih, mungkin dalam hi
Elara menyapu swab stick basah di bibir kering Ryota. “Kata dokter kamu belum boleh makan atau minum,” ujarnya lembut, lalu kembali menikmati potongan buah di tangannya. Ryota menatapnya, tersenyum samar. “Enak?”Elara mengangguk. “Iya, Mame suka apa saja.”“Kalau hanya sayur dan buah terus, nanti bisa kekurangan nutrisi,” sahut Ryota, separuh mengomel. "Kau butuh protein, zat besi, kalsium, karbohidrat. Semua harus seimbang, bukan buah saja.”Ia jadi teringat masa kehamilan Alessia. Saat itu semua pelayan, termasuk Rowena, dibuat kalang kabut demi menuruti kemauan istri tuan mereka yang enggan menyentuh makanan.“Sstt… sstt.” Elara menggerakkan telunjuknya. “Kamu jangan banyak bicara. Harus hemat energi. Bulan puasa kemarin kamu hampir pingsan nunggu buka. Apalagi ini kamu bakalan nggak makan minum sampe 2 hari lho.”Ryota mengangkat tangannya yang masih ditusuk jarum infus. “Cairan ini bisa buat bertahan tanpa makan tiga hari.”“Eh! Jadi kemarin kamu curang?” Elara menatap tajam,
"Alessia menukar nyawanya dengan putrinya." Ryota menatap kedua mata Elara yang masih membulat menatapnya. "Dia berharap aku akan memperlakukan putrinya dengan baik," "Mengapa dia tidak memberikan Anya pada Cavell, tapi pada pria jahat sepertimu?" tanya Elara. Mencoba mengajak Ryota berpikir dari sudut pandang Alessia. Jahat? Kening Ryota mengernyit, mendengar Elara sudah menyebutnya pria yang jahat. Padahal ia belum bercerita. "Karena hingga akhir hayatnya, dia tidak tahu jika bayi yang dilahirkannya adalah hasil hubungannya dengan Cavell, " jawab Ryota. “Kamu adalah papa yang baik buat Anya,” puji Elara, meski ia tidak tahu apa yang pernah dilakukan Ryota pada Alessia hingga membuat mantan istrinya itu putus asa, jatuh dalam depresi, dan akhirnya menyudahi hidupnya. "Aku papa yang baik?" Ryota mempertanyakan penilaian Elara yang menurutnya keliru. "Aku tidak membiarkannya bersama ayah biologisnya." "Kamu sudah melakukan hal yang benar, Anya bukan milik tuan Cavell. Dia
Begitu tiba di rumah, keduanya melewati pelayan yang menyapa tanpa menjawab. Langkah mereka cepat, seakan ingin segera menutup diri dari dunia luar. Sepanjang perjalanan pulang dari rumah sakit, tak ada kata terucap. Hanya pikiran yang berisik di kepala masing-masing. Bentakan Ryota masih terngiang di telinga Elara. Mungkin ia memang terlalu menekannya. Tapi bagaimana bisa ia tenang, kalau hasil pemeriksaan jaringan sudah jelas menunjukkan sel kanker. Elara melangkah menuju walk-in closet untuk mengganti bajunya, dengan wajahnya yang tetap murung. Ryota yang sejak tadi mengamati Elara akhirnya mengulurkan tangan, meraih lengan istrinya itu. “Maaf…” ucapnya lirih. Elara menoleh, terkejut. “Saya yang harusnya minta maaf, karena terlalu menekan kamu. Saya tidak seharusnya begitu. Kamu juga butuh waktu untuk mencerna apa yang dikatakan dokter." Ryota menatap Elara sejenak, sebelum menarik istrinya itu ke dalam pelukannya. Diam. Hanya debar jantung mereka yang saling bertukar.
Di ruang konsultasi yang tenang, di depan pintu tertera sebuah plakat kecil bertuliskan dr. Wiratama, Sp.PD-KGEH* * Spesialis Penyakit Dalam, Konsultan Gastroenterologi Hepatologi. Seorang dokter pria paruh baya duduk di balik meja kayu berlapis kaca. Tatapannya bergeser sebentar ke Ryota, lalu ke Elara yang mendampingi suaminya. “Maaf, Pak Ryota,” ucapnya hati-hati, “apakah saya bisa menyampaikan hasil pemeriksaan ini di hadapan istri Anda?” Ryota menyandarkan tubuh ke kursi, senyum tipis muncul di bibirnya. “memangnya hasilnya sepenting apa sampai harus rahasia? Dia boleh dengar apa pun.” Dokter Wiratama mengangguk, kemudian membuka map hasil medical check-up. “Secara umum, banyak hasil Anda baik. Fungsi hati normal, ginjal dalam batas wajar, kadar gula darah stabil, profil kolesterol juga cukup bagus. Secara metabolik, tubuh Anda sehat.” Ia menoleh sejenak pada Ryota, lalu melanjutkan. “Namun, ada dua hasil yang tidak wajar. Hemoglobin Anda turun. Enam bulan lalu nilai






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments