"Sudah saatnya Anda ganti suami, bukan?" Elara membeku. Kata-kata itu menampar pikirannya. Ganti suami? Sekarang? Dia baru saja melepaskan diri dari Daris — luka itu bahkan belum sempat mengering. Yang ia butuhkan hanya satu: pekerjaan. Harga diri. Bukan tawaran nikah, saat statusnya saja belum sah sebagai janda. "Katakan," ucap Ryota, suaranya tenang tapi menghujam. "Apa yang Anda inginkan? Uang? Kedudukan? Kekuasaan?" Di dunia Ryota Kenneth, tidak ada yang gratis. Dan setiap pilihan membawa harga yang harus dibayar. Dalam perang antara harga diri dan godaan, apa pilihan Elara? Atau justru, perlahan, ia akan menyerahkan seluruh dirinya... pada pria yang selalu membuatnya merasa terperangkap dalam ketakutan. Khusus 21+ | Mengandung konten eksplisit. Tidak disarankan untuk pembaca sensitif.
ดูเพิ่มเติม“Elara! Kenapa lantai ruang makan masih kotor?!”
Suara itu memecah pagi seperti sirene. Elara Maheswari tersentak, tangannya yang tengah mengaduk sayur hampir menjatuhkan sendok. Jantungnya berdegup kencang. Bukan karena takut, tapi karena sudah terlalu sering dibentak seperti itu, dan tetap saja tubuhnya belum kebal. Rahayu berdiri di ambang pintu dapur. Wajah wanita paruh baya itu masam, matanya menyapu ruangan seolah mencari celah kesalahan. “Baru saja Elara pel, Ma,” sahut Elara pelan. “Jangan banyak alasan!” potong Rahayu tajam. “Ini juga, kenapa masaknya lama? Kau mau bikin suamimu dan adik-adiknya telat ke kantor dan kampus, hah?” Elara menunduk. “S-sebentar lagi, Ma…” Tanpa diminta, tangannya langsung bergerak lebih cepat. Menyendok nasi, mengaduk tumisan, memeriksa ayam di penggorengan. Semuanya dilakukan dengan napas yang tersengal. Sejak dini hari ia belum berhenti. Menyapu, mencuci, menyiapkan sarapan. Dan sekarang, dimarahi seolah ia belum melakukan apa-apa. Usianya baru 23 Tahun, tapi rasanya seperti jiwa mudanya telah dicuri oleh hari-hari yang penuh bentakan dan perintah. Empat tahun lalu, Elara menerima perjodohan yang diatur oleh Rahayu—ibu Daris, pria yang kini sah menjadi suaminya. Saat itu, ia benar-benar sendiri. Hingga akhirnya, ada sepasang tangan mungil yang meraih jari-jarinya. Arka. Bayi kecil yang menangis dalam pelukannya seolah meminta untuk tidak ditinggalkan. Elara luluh. Ia pikir, menjadi istri Daris adalah cara untuk tetap berada di sisi anak itu—anak dari pernikahan pertama Daris yang tak lagi punya ibu. Namun, keputusannya menikah dengan Daris ternyata bukanlah penyelamat hidupnya. Justru ia seperti membuang dirinya sendiri ke dalam neraka. Pukul enam kurang lima, Elara membawa makanan ke meja makan. Wajahnya masih pucat, tangannya sedikit gemetar. Daris sudah duduk di kursinya. Tak menoleh, tak menyapa. Seolah Elara tak ada di ruangan itu. Mertua dan kedua adik iparnya juga mulai makan tanpa menunggu. Tidak ada ucapan terima kasih, tidak juga sekadar lirikan peduli. Elara buru-buru masuk ke kamar, membangunkan Arka. “Arka, Sayang... bangun. Sudah pagi, waktunya sekolah,” bisiknya lembut sambil mengelus punggung anak itu. “Kalau terlambat, nanti Ayah marah.” Arka mengerang pelan, tapi akhirnya membuka mata. Dengan tenaga sisa, Elara menggendongnya ke kamar mandi. Ia bergerak cepat, membasuh, mengganti baju, menyisir rambut. Semua dilakukan dalam diam agar tidak menambah keributan. Saat mereka kembali ke meja makan, Daris sudah hampir selesai makan. Elara tak sempat duduk. Ia langsung mengambil sendok, meniup bubur agar tak terlalu panas, lalu menyuapkan pada Arka. “Kenapa lama sekali urus anak? Aku bisa telat ke kantor gara-gara kau!” bentak Daris tiba-tiba. Jantung Elara mencelos. Ia buru-buru meletakkan sendok. “Maaf, Mas...” “Sudah tahu Arka susah bangun, kenapa nggak dibangunin lebih awal?” sindir Alia ketus sambil menyambar tasnya. Elara menelan ludah, tapi tak menjawab. “Arka, cepat habiskan. Kita berangkat sekarang!” hardik Daris. Arka menatap Elara, bingung. Elara menahan napas, mencoba tersenyum. Ia menyodorkan kotak kecil berisi roti ke tangan mungil itu. "Habiskan di mobil, ya," bisiknya. Daris tidak menunggu. Ia sudah melangkah ke pintu utama tanpa menoleh sedikit pun. Elara tergopoh menuntun Arka, memastikan anak itu menyusul ayahnya dengan langkah kecilnya. Begitu mobil Daris melaju dan menghilang di ujung jalan, Elara baru berbalik masuk ke dalam rumah. “Mbak Elara! Mana baju kuliahku yang aku titip buat disetrika?!” suara Dinda menyambutnya dari ruang tengah. Nada bicaranya tinggi, seperti tengah menagih utang. “Di lemari kamar Alia,” jawab Elara pelan. “Duh! Aku tuh udah bilang, bajuku jangan dicampur sama yang lain! Masa segitu aja nggak ngerti, sih?!” Dinda mendengus kesal lalu berjalan cepat ke kamar. Elara diam. Menelan ludah. Tak ada yang bisa ia lakukan selain menunduk dan menerima semua cercaan itu. Setiap hari di rumah ini seperti hukuman yang tak pernah usai. Mertua yang kasar. Adik-adik ipar yang selalu merasa lebih tinggi darinya. Dan suami... Daris, pria itu bahkan tak pernah melihatnya sebagai istri. Apalagi sebagai manusia. Bagi Daris, Elara tak lebih dari pembantu yang tidak digaji. Yang harus bangun paling pagi, tidur paling akhir. Yang harus mendengar omelan tanpa boleh menjawab. Yang harus bersyukur meski tak pernah diberi apa-apa. “Seorang istri tugasnya melayani suami tanpa mengeluh. Ridho suami itu surgamu.” Itu yang selalu Daris ucapkan padanya. Setiap kali ia mengeluh, setiap kali ia lelah, setiap kali ia hanya ingin didengar—kalimat itu jadi palu yang menghancurkan mulutnya agar tetap diam. *** Keesokan paginya, setelah pagi yang riuh seperti biasa—menyiapkan sarapan, membangunkan Arka, dibentak Rahayu—Elara pergi ke pasar. Bukan pasar dekat rumah, tapi yang lebih jauh, karena harga sayur di sana lebih murah. Hari ini, mertuanya mengadakan arisan keluarga. Elara harus masak untuk belasan orang. Sendirian. Setelah menyusuri lorong-lorong pasar dan menyelesaikan semua daftar belanja, ia memanggul kantong-kantong plastik besar ke atas motor. Beratnya membuat punggungnya pegal. Tapi ia tak mengeluh. Tak pernah mengeluh. Di tengah perjalanan pulang, saat berhenti di lampu merah, matanya tanpa sengaja menangkap sesuatu. Sebuah mobil hitam berhenti di seberang jalan. Jantung Elara berdegup pelan. ‘Itu… mobil Mas Daris,’ bisiknya. Ia memicingkan mata. Mencoba memastikan. Dan benar—itu mobil suaminya. Ia hafal betul plat nomornya. Tapi bukan itu yang membuat perutnya tiba-tiba mual. Di kursi penumpang, ada sosok wanita muda. Rambutnya panjang, tertata rapi. Bahunya sedikit menyandar ke arah Daris. Keduanya tertawa—terlihat akrab. Terlalu akrab.Mobil yang dikemudikan Elara melaju dengan kecepatan sedang. Livia duduk di kursi penumpang depan, sibuk memeriksa kembali berkas-berkas di tangannya. Sesekali ia berceloteh soal wawancara. Elara menggenggam setir, tidak banyak bicara. Sesekali, ia melirik Leona di kaca spion. Apakah gadis itu hanyalah seorang bodyguard atau sekaligus mata mata? “Ra, ke kiri ya, bentar lagi sampai,” kata Livia sambil menunjuk petunjuk ke persimpangan. Elara mengangguk, menarik napas tanpa suara.Beberapa menit kemudian—“Di sini, masuk di pintu depan itu,” seru Livia lebih keras.Elara langsung menginjak rem. Mobil melambat drastis.“Di sini?” ulangnya. Mobil berhenti tepat sebelum gerbang. Darah Elara berhenti mengalir, tangannya dingin. Ia menelan ludah. "Lho kenapa berhenti, Ra?" tanya Livia bingung. "Masuk aja, nggak apa-apa. Nanti bilang aja sama satpamnya mau ketemu bu Fira."Elara masih terdiam. Jantungnya berdebar tidak karuan. 'Mengapa mereka tidak bilang kalau mau ke Ryota Energy Corp?'
Sudah tiga hari sejak malam itu, dan Ryota… manis. Terlalu manis, malah. Pria itu duduk di kursi makan, sudah rapi dengan style kerjanya, lengkap dengan jam tangan mahal. Wajahnya terlihat tenang, matanya sibuk membaca sesuatu di layar tablet.Elara duduk di seberangnya, menuangkan susu ke gelas Anya sambil mencuri pandang. Tiga hari lalu hatinya sempat disesaki ketakutan, kecemasan, bahkan sempat berpikir... kalau semua sudah berakhir gara gara mantan yang datang-datang bikin rusuh. Pria itu nyatanya kembali bersikap hangat, senyum yang bisa membuat siapa pun lupa bahwa ia pernah bisa begitu dingin. Dan nyatanya adalah monster kanibal saat berhubungan. Elara tersenyum kecil, getir.Mungkin, memang sia-sia terlalu terbawa perasaan menghadapi pria seperti Ryota.Lain kali, saat pria itu mendadak berubah dingin dan menjauh, yang harus ia lakukan hanyalah diam. Tidak memasukannya ke dalam hati. Anggap saja pria itu sedang datang bulan. Karena toh... Suaminya itu akan kembali baik se
Sementara Elara dengan kegalauannya, Ryota kembali ke kantornya, dan duduk dengan tenang di kursi kerjanya.Satu tangan di lengan kursi, satu lagi memegang tablet yang menyala. Di telinga kirinya, satu earbuds menyala biru."Kode Icefall aktif." Ucapan dingin dari Hugo, salah satu tangan kanannya yang menjalankan Perusahaan Investor miliknya di luar negeri, Frontier Capital. Itu berarti seluruh skema penghancuran Daris sebagai Direktur Asterra—yang mereka rancang—resmi dimulai.Ryota tidak menjawab.Matanya tetap pada grafik. Alis kirinya terangkat. “Tiga sektor utama sudah dikunci. Dokumen sedang saya unggah ke cloud pribadi Anda. Legal Distortion. Fund Withdrawal Path. Local Exposure Risk," ucap Hugo memberi laporannya. "Rekayasa laporan temuan hukum palsu status lahan, sudah final," lanjut Hugo. Ryota menyentuh layar tabletnya, halaman dokumen berikutnya terbuka. Gambar udara lahan sengketa. Sebuah lahan yang direncanakan menjadi proyek fiktif Urban Superblock. Sebuah kawasan
Rapat masih berlangsung ketika notifikasi pesan dari Erol muncul di layar ponsel Ryota.Ryota membaca pop up pesan dari asistennya itu, dan tersenyum samar. Ia kembali memperhatikan layar presentasi di depannya. Tanpa mengalihkan pandangan dari layar presentasi, ia mengetuk meja dengan ujung telunjuknya.Satu detik kemudian, ia meraih ponsel dan menekan nomor seseorang. Salah satu tangan kanannya yang menjalankan operasi luar negeri, Hugo. “Finish him," katanya dingin, setelah panggilan teleponnya terhubung.*** Sementara itu, di jalan raya, Elara menatap kaca spionnya. Mobil hitam milik Daris masih membuntutinya. Tangannya menggenggam stir erat. 'Mengapa mereka masih menggangguku?' Geramnya herman. Waktu itu selingkuhan mantan suaminya, sekarang si mantan suami. Ia menepikan mobilnya di sisi jalan. Perlukah ia melapor ke polisi? Mengaku sedang diikuti stalker? Ia melirik ponselnya. Mengetik nama di layar—Ryota. Tapi jari-jarinya tidak jadi menekan tombol call. "Dia pasti se
Ruang kerja Ryota selalu dingin. Seperti dirinya. Erol berdiri beberapa langkah dari meja besar itu. “Apakah Tuan yakin tidak ingin menyelesaikan tuan Daris sekarang?” suaranya datar. Ryota tidak mengangkat kepala. Matanya tetap fokus pada layar tablet. “Semakin lama, semakin besar kerugian yang harus ia tanggung.”Erol mengangguk, lalu menyodorkan informasi tambahan. “Baru-baru ini, Asterra Land Development menjalin kerja sama dengan Universitas Xyx.”Jari Ryota berhenti menggulir layar. Otot rahangnya menegang. Itu kampus Elara.“Kemungkinan mereka bertemu sangat kecil,” gumamnya. “Hampir tidak mungkin, kan?”Erol menunduk. Tidak menjawab. Dan tidak berani menebak.Sementara itu—di kampus yang sedang mereka bicarakan. Elara baru saja keluar dari gedung fakultasnya ketika langkahnya terhenti mendadak. Di depannya, seseorang baru turun dari mobil hitam. Setelan jas pria itu rapi, langkahnya mantap. Tapi ekspresinya terkejut ketika melihatnya.Daris.Pria itu juga terdiam. Jika buk
Setelah hari pertama kuliah yang melelahkan, Elara menghabiskan waktu sorenya bersama Anya membuat cemilan di dapur. Ia tersenyum kecil saat melihat Anya yang sibuk mencetak adonan dengan cetakan bintang.“Terus ditekan pelan, sayang, jangan sampai patah,” ujarnya lembut.Anya mengangguk serius, lalu berseru, “Mami, kuliah mami seru, ya?”Elara terkekeh. “Seru dong, ada dosen yang galak tapi baik hati.”“Kayak guru Anya, dong!” sahut Anya cepat.“Iya dong.”Percakapan mereka terhenti, begitu melihat Ryota berdiri di ambang pintu dapur, mengenakan kaus dan celana santai. Rambutnya masih lembab. Ia memang selalu mandi dulu setiap kali pulang, sebelum bermain dengan putrinya. “Kamu pulang cepat hari ini?” Elara menyambutnya dengan ceria, melepas apron dan buru-buru menuang teh krisan ke dalam cangkir porselen.Ryota mengangguk sambil berjalan ke meja dapur. Menatap putrinya. “Anya belajar apa hari ini?”“Bikin kebun binatang!" seru Anya. "Papa mau lihat,” " Okay Pa!" Anya langsung m
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
ความคิดเห็น