Sejak ada kasus Rosa diantar oleh atasan aka Tristan, langsung ke Rumah Sakit perkara datang bulang doang, ternyata dampaknya besar sekali. Selama perjalanan ke Bali, banyak anak-anak satu divisi Rossa yang terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya. Untungnya, Gusti Cs selalu mengatakan ‘gak usah didengar’ kata orang. Bahkan Rossa sampai terharu, sebab satu unit kerjanya itu mengkhawatirkan keadaannya. Termasuk mbak Lis. Walau mulutnya lemes naujubilah, tapi dia ternyata se-care itu pada Rossa. Membuatnya terharu. “Ros, kamu harus banyak konsumsi herbal alami deh. Jangan nanti kalau sudah terlanjur jauh, baru disesali. Masalah haid ini memang kadang kelihatannya sepele, tapi gak boleh dibiarin aja.” “Iya, mbak. Makasih juga buat nasehatnya.” “Nice, mbak mau ketemu sama si bos dulu. Lo sama anak-anak aja, biar gak ada yang sinisin.” Rossa mengangguk dan bergabung ke sofa, dimana Gusti dkk sedang tertawa keras. Entah apa yang lucu. Mereka sedang menunggu giliran cek-in
Agenda mereka hari ini adalah acara keakraban kantor divisi. Semua sudah mendapat tim masing-masing. Dan Rossa kebagian setim dengan anak-anak dari tim divisi lain. Semuanya diacak, satu tim di kantor, tidak boleh setim di permainan mereka. “Eh, lo dari tim utama ya?” Seorang pemuda, berusia tidak berbeda jauh dari Rossa baru saja menyapanya. Rossa tersenyum mengangguk. Umumnya dia bukan tipe yang introvert, tapi karena melihat Tristan dari kejauhan sedang memantaunya. Rossa jadi merasa kurang nyaman. “Lo dari tim apa di kantor?” Rossa akhirnya memulai pembicaraan, dia tidak bisa terus-terusan diam saja, “gue jarang lihat lo soalnya.” “Dari Tim E, maklum kalo lo jarang lihat. Tim gue biasanya turun ke lapangan. Oh ya, gue Rudian, panggil Rudi aja. Lo Rossa kan?” “Eh, lo kenal gue?” “Nama sama muka lo kesebar di grup kantor soalnya, makanya gue kenal.” Menghela nafas, Rossa hanya bisa tersenyum kikuk. Dia tahu sefatal apa jika sudah berurusan dengan Tristan dan ketah
Tidak, bukan Rossa namanya jika dia adalah seorang wanita yang mudah mengeluh, tergoda, dan menyerah akan hal yang berbaur dengan kehidupan. Sebagai anak yang pernah kehilangan kedua orang tua dalam waktu bersamaan, dan bahkan pernah hanya makan nasi tambah kecap doang, Rossa itu bukan tipe cewek lemah. Apalagi dengan game berhadiah jalan-jalan ke luar negeri. Beh. Tidak usah diragukan lagi dan jelas itu kelihatan dari hasil akhir. Kelompok Rossa berhasil memenangkan juara utama dan ya, mereka mendapatkan tiket gratis itu. “Lo hebat banget, padahal tadi kayak biasa aja mainnya.” Rudi terkekeh, “but, thanks. Ini pertama kali tim gue menang.” “Ini bukan karena gue doang, tapi karena kerja sama tim kita.” Rudi tersenyum tulus, “nanti malam, lo available ga?” “Kenapa?” “Anak-anak dari tim lain ngajak makan di daerah sini, mungkin bisa gue kasih rekomendasi juga. Siapa tau lo tertarik buat ikut, sekalian ajak anak-anak dari tim utama. Biar pada kenalan juga, dan mengurangi
Tatapan Rossa menyipit sambil menatap kantong yang sudah berada di tangannya. Lebih lagi manusia yang memberinya adalah Tristan. Sosok yang masih membuatnya merasa kesal hingga detik ini. “Apa nih?” “Buka aja.” “Lo gak naro bahan beracun kan?” “Ya Ampun, Ros. Segitunya sama gue? Sejahat-jahatnya gue, gak mungkin gue maling juga.” Rossa menarik nafas dalam. Dia sudah mendapat rekaman CCTV hotel dari Jake tadi malam setelah dia pulang dari club. Dan memang bukan Tristan yang masuk ke dalam kamarnya. Tapi seorang petugas kebersihan yang kini sedang di proses. Dan rasanya tau seperti itu membuat Rossa malu karena sudah secepat itu menuduh Tristan hal yang tidak-tidak. Padahal lelaki itu tidak ada salah sama-sekali. Rossa menghela nafas panjang. Ingin minta maaf juga segan. Harga dirinya jauh lebih tinggi jika sudah berhadapan dengan Tristan. “Oh, okay. Makasih.” Tristan menyipitkan matanya mengamati ekspresi Rossa yang tidak excited menerima bikini yang baru dia belika
Masih di Bali. Dan juga hari terakhir mereka di sana. Rossa pagi ini sudah bersiap dengan bikini yang baru dibelikan Tristan. Moodnya sudah jauh lebih baik. Dan nuansa pagi sambil berjemur memang tidak ada yang mengalahkan. Dan perkara pencurian bikininya. Pihak hotel sudah mencari tahu seluruh pekerja, tapi bukan salah satu dari mereka. Jadi itu masih menjadi misteri dan sedang diselidiki. “Anjir, demi apa, Ros? Lo kayak kembang desa.” Wajah Rossa langsung ditekuk begitu mendengar ucapan Gusti. Lelaki itu mengenakan baju tema pantai. Dan catat, tidak berhenti menatapnya sejak tadi. Padahal Rossa mengenakan kain putih untuk menutupi bagian bawahnya, serta cardigan rajut untuk menutupi bagian atasnya. Tapi namanya mata lelaki, tetap saja semuanya terlihat transparan. “Udah, Gus. Lama-lama itu mata jadi tembus pandang. Semuanya udah ready? Biar kita langsung ke pantai sebelah. Lihat bule-bule lagi berjemur.” Lis menengahi, dan beruntungnya tidak ada yang bawel. “Ros, gue m
Liburan di Bali sudah usai dan semua orang sudah kembali ke pekerjaan awal. Termasuk Rossa yang pagi ini sedang berkemas dengan baju-bajunya. Masih libur, jadi masih ada waktu untuk istirahat sejenak. “Babe, lihat CD gue gak?” Rossa yang sedang memasukkan cucian ke mesin cuci langsung menatap Tristan sinis. Dia masih kesal dengan manusia satu di hadapannya ini. Untungnya, mereka ini di ruangan tertutup. “Bab…beb, bisa minggir gak sih? Gue lagi sibuk. Urusan CD lo mana gue tau pea.” Tristan mayun. “Yahh…kirain aja kamu sembunyiin.” Telinga Rossa langsung panas. “Demi apa gue nyembunyiin CD lo anjir, mikir dikit dong.” “Ya kan siapa tau aja. Emang kamu nyembunyiin punya gue?” “GAK LAH.” “Nah tinggal jawab itu aja kan.” Rossa menghela nafas. Padahal masih pagi juga, tapi Tristan sudah membuatnya naik pitam. Rossa tidak ambil pusing dan mulai mengoles roti dengan selai coklatnya. Tapi baru saja baru memasukkannya ke dalam mulut, sudah diambil lebih dulu oleh Tristan.
Sudah beberapa hari berlalu sejak kejadian itu, Rossa masih menyesali apa yang sudah dia lakukan. Pagi ini dia sudah bersiap dengan setelan kantor, dan dengan kebiasaan barunya. Berangkat lebih awal untuk menghindari Tristan. Dia tidak punya wajah. “Ros? Berangkat pagi lagi?” Oh iya. Rossa sampai lupa jika sudah beberapa hari ini, dia berangkat pagi dan berpapasan dengan Zaman. Tetangganya. Dia tidak tahu jika ada orang sepagi itu jika berangkat ke kantor. Kata Zaman, dia lebih senang menghindari macet, jadi berangkat di pagi hari. “Padahal, jam masuk kantormu bukannya lebih siang, tuan Zaman?” “Jawabanku tetap sama, Nona.” Rossa terkekeh sambil menuruni anak tangga. Dan pagi ini dia menumpang dengan mobil Zaman, karena arah kantor mereka searah. Motornya sedang dipinjam sepupunya dan Rossa tidak suka naik mobil. Bukannya tidak suka, tapi mobil itu adalah pemberian Tristan. Dia akan teringat lagi dengan adegan dimana dia mengaku menjadi pacar lelaki itu. Tidak ada lagi kedamaia
Nur Ida, menyambut kedatangan Rossa dengan senang. Saking senangnya, dia lupa jika yang ikut makan malam hanyalah mereka bertiga. Padahal dia sudah memesan banyak makanan. “Ayo sayang, gak usah malu-malu. Masakan mama aku enak kok, tidak beracun.” Rossa tersenyum semanis mungkin. Demi akting yang masih harus dia jalani. Tapi lidah tidak bisa bohong, masakan yang tersaji di atas meja sangat enak. Rossa sampai lupa jika dia sudah makan sore. Dan berbicara soal dinner. Rossa masih teringat soal Zaman yang ekspresinya terlihat kecewa saat dia membatalkan janji mereka. Dan Rossa terpaksa berjanji di lain waktu. “Rossa bisa masak, nak?” Mata Rossa refleks melebar mendengar pertanyaan itu. Dia memang anak kos dan perantau di kota orang. Tapi soal memasak? Rossa tersenyum kikuk sambil menggeleng. Mungkin dirinya tidak akan lulus kualifikasi menjadi menantu?! “Tidak apa. Mama juga gak jago masak, makanya keseringan beli. Ini aja mama beli dari restoran.” Nur Ida tertawa lebar, “kalo kam