Richie mengeram pelan dan dalam satu hujaman, membenamkan diri seutuhnya. Dia telah menempatkan berat badannya di atas Patty. Desah nafas mereka menggema dan hangat tubuh mereka menciptakan embun di jendela karavan.
“Aku sudah ada di dalam dirimu. Apa kau menyukainya?” Respon Patty hanyalah mendengkeram lengan Richie. Membenamkan kuku-kuku lentiknya.
“Ah, sialan! Jangan lakukan itu. Aku – belum ingin menaikkan libidoku. Aku – tidak ingin terburu-buru.”
“Aku …” ucapan Patty tertahan. Richie menggerakkan pinggulnya perlahan. Sebelah tangan pria itu membimbing Patty untuk melengkungkan panggulnya ke atas dan berayun di tubuh Richie.
Gerakan pria itu semakin leluasa dan gadis itu telah terbang sampai langit ke tujuh. Richie mengerang dan menumpangkan tangan di bahu Patty, lalu menaikkan badannya. Kemudian dia dengan blak-blakan berkata, “Aku akan mulai bercinta denganmu.”
Patty hampir m
Patty kaku pada posisinya. Titik laser merah itu mengarah ke tengah dahinya. Keheningan yang mencekam seketika mengambil alih perasaan Patty dan juga Richie. Masih tegap pada posisinya, Patty melirik Richie dengan sudut matanya.Patty merapatkan giginya dan berbisik, “kali ini aku pasti mati.”Richie meragukan sikap skeptis Patty. Seandainya snipper itu berniat membunuh, pasti dia sudah melakukannya sejak tadi. Pembunuh macam apa yang menunggu bermenit-menit hanya untuk menembak musuh yang begitu mudah untuk ditumbangkan.Richie menggelengkan kepalanya. “Masuk. Dia tidak akan membunuhmu.”“No,” desis Patty.“Go! Trust me! (percaya sama aku)” seru Richie, mulai kehilangan kesabarannya.“No! Aku bisa mati!”Richie mengerang frustasi. Tangannya merogoh laci dan meraih bobcat-nya. Dia harus bergegas melakukan sesuatu agar gadis itu mau menurut. Di pungutnya tas yang semalam
Patty mengarahkan moncong pistol ke arah dua orang yang bersitegang. Posisi Richie memunggungi Patty. Karena itu, butuh perhitungan matang bagi seseorang yang baru memegang senjata api untuk menembak tepat sasaran. Kecuali dia memang mengincar Richie.“Patty! Aku tahu kau memegang pistol! Letakkan sekarang!” seru Richie. Matanya tetap mengawasi Matthias dan kapak pria itu.“Kenapa kau punya pistol? Ada berapa pistol yang kau miliki?” Patty bertanya dengan suara bergetar.“Oohh please, Patty! Bukan saatnya kita membahas tentang pistol. Letakkan itu sekarang juga!” Richie meneriakkan kata-kata terakhirnya.“Tidak mau! A – aku mengambilnya untuk berjaga-jaga. Tadi ada orang yang mau membunuhku.”“Shit! Kau harus tahu dulu caranya sebelum menggunakan itu! Letakkan sekarang!!” Richie kehilangan kesabarannya.Matthias tertawa kencang. “Patricia Carol? Anakku sudah lama menyuka
Mereka saling menatap ke dalam mata satu sama lain. Tatapan Richie seolah mengintimidasi Patty dengan mengatakan kepada gadis itu untuk jangan coba-coba berbohong darinya. Tetapi bukan berarti gadis itu berbohong, Richie hanya memberi peringatan. “A – aku sungguh tidak tahu dia pergi kemana. Aku juga sangat kehilangan dirinya,” ucap Patty takut-takut. “… dan setelah kepergiannya, bagaimana caranya kau dapat bertahan hidup?” tanya Richie masih pada kecurigaannya. “Bernadeth memberikan aku pekerjaan sebagai pelayan bar. Dia memberikan aku upah yang layak sehingga aku bisa membeli makanan untuk diriku.” Patty menundukkan kepalanya. “Bernadeth?” “Iya. Dia salah satu pelayan sekaligus pemilik bar itu. Suaminya seorang pelaut. Jadi dia mencari kesibukan dengan menghidupkan kembali bar yang sudah bobrok itu.” Richie menganggukkan kepalanya. Sejauh ini cerita Patty masih masuk akal dilogikanya. Meskipun begitu, ia memutuskan untuk tetap berhat
Richie dengan sengaja menjauhkan bibirnya dari dada Patty, menatap dengan nikmat maha karyanya di dada Patty yang mengilap. Dalam sekejap Richie merasa lebih muda belasan tahun. Setelah bertahun-tahun hanya menganggap bercinta sebagai sebuah aktifitas olah raga penyaluran libido, sekarang dirinya merasa bahwa percintanya dengan Patty membawanya pada sebuah sensasi yang berbeda.Richie pun kembali terangsang, bahkan lebih dari yang semalam. Mereka tenggelam dalam tatap selama beberapa detik sampai gelombang hasrat yang begitu besar melesat di sekujur tubuh keduanya. Permainan pun di mulai atas inisiatif seorang gadis kecil yang masih belajar mencengkeram dengan lembut kejantanan seorang pria.Richie menggeram. Dirinya tak bisa lagi menahan hasratnya untuk memasuki Patty. Dan setelah permainan berakhir dengan sempurna, Patty yang telah kehabisan tenaga berbaring tak bergeming di samping Richie. Matanya terpejam dan bibirnya melengkungkan senyuman.“Aahh &hel
Meski dia sedikit alergi dengan tempat bernama ‘gereja’, tetapi akhirnya Richie tetap pergi menemani Patty. Satu saja alasan yang membuatnya malas mendatangi tempat itu. Dia masih belum siap kalau harus bertobat saat itu juga. Terlebih lagi dia masih punya waktu sekitar lima bulan lagi untuk bersenang-senang bersama seorang gadis.Keduanya berjalan menelusuri pepohonan rindang yang memagari jalan menuju gereja tua itu. Richie menggosok telapak tangannya. Sekalipun dirinya seorang pembunuh berdarah dingin, tapi tetap saja ada perasaan aneh yang merundungnya saat dengan sadar kalau dia tengah berjalan menuju rumah suci.Mereka tiba di pelataran gereja. Patty mendorong pintu masuk gereja dengan mudah. Dia sepertinya sudah terbiasa melakukannya. Patty menengok pada Richie yang hanya berdiri terpaku di depan pintu. Gadis itu memamerkan barisan gigi putihnya.“Ayoo … katanya kau mau menemaniku?” ajak Patty.“Maaf – ada
Seorang pria paruh baya berpakaian pastor yang sebenarnya – jubah keuskupan yang berlapis – berjalan perlahan dengan bertumpu pada tongkat keemasan di tangan kirinya. Terdengar helaan nafas berat dari bilik di bagian tengah. Richie kembali memfokuskan pandangannya pada sosok berjubah yang sudah tidak diragukan lagi jenis kelaminnya.Karena tak ada juga jawaban dari dalam bilik, Pastor kembali bertanya, “suster Nancy, apa anda baik-baik saja? Jam berapa helikoptermu akan menjemput?” Nafasnya terengah.Suster Nancy terkesan tidak ingin menjawab pertanyaan pastor. Dia sepertinya dapat merasakan kehadiran Richie di bilik sebelahnya. Langkah kaki pastor semakin mendekati bilik. Richie merapatkan tubuhnya ke dinding terdalam bilik.“Yes, Father! Anda sudah lebih baik?” Sosok itu pun akhirnya bersuara. Suaranya lembut dan merdu. Richie menerka membayangkan wajah yang akan cocok untuk suara yang indah itu.“Yah begitulah
“Richie! Kau mau ke mana?!” Patty berteriak memanggil Richie yang melesat meninggalkannya.Tanpa mempedulikan seruan gadis itu, Richie terus berlari mengejar sosok wanita berjubah yang telah sangat mencurigakan baginya. Dia berlari kencang menembus hutan pinus. Dan jauh ke dalam hutan, pepohonan menjadi semakin beragam dengan dedaunan yang menjuntai.Suasana dalam sekejap berubah dingin dan menegangkan. Richie berlari melompati batang pohon yang tumbang, menembus ranting-ranting yang menjulur rendah dan menginjak dedaunan kering yang berguguran. Sosok wanita itu terus berlari mengikuti arah helikopter.Richie menebak-nebak, akan sejauh mana wanita itu masuk ke dalam hutan. Namun satu yang pasti, helikopter tersebut datang untuk menjemput wanita itu. Dan di dalam helikopter sudah ada satu atau dua orang menunggu.Richie tak ingin melewatkan kesempatan untuk menyergap wanita itu. Harga dirinya akan terkoyak seandainya kecepatan berlarinya dikala
Dua belas tahun yang lalu, Woodstock hanyalah sebuah desa kecil dengan penghuni tak lebih dari seribu orang. Desa yang teduh dengan pohon rindang di sepanjang jalan serta bugenvile yang merambat di dinding-dinding rumah. Persis seperti yang pernah dihembuskan Alfa Boss saat menyuruh Richie untuk berlibur. Desa sunyi yang kemungkinan hanya diminati oleh para veteran dan pensiunan untuk menghabiskan masa tua mereka. Setenang itulah Woodstock – sebelum keberadaannya ditemukan oleh sekelompok mafia besar yang mengiming-imingi penduduk desa dengan berbagai fasilitas dan teknologi. Tawaran menggiurkan yang menutupi sebuah kejahatan terselubung. Malam itu, seorang gadis kecil berlari menerobos pintu kamarnya dan menuruni tangga. Dia kegirangan saat pengasuhnya mengatakan kalau ayah gadis itu akan mengajak mereka berkeliling kota. Sudah satu bulan lamanya mereka mendekam di dalam mansion dan gadis kecil itu hampir setiap hari menangis karena bosan. “Nancy, kapan ayah