“A – ampuni aku, bung … a – aku punya seorang putra di rumah. Ka – kalau boleh, ijinkan aku melihatnya untuk terakhir kali.”
Dengan suara bergetar terbata, seorang pria tambun yang terpojok membungkuk dan memohon di depan pria yang berjalan lambat, tidak terburu-buru tetapi beraura predator.
“Tolong … aku akan memberikan seluruh kekayaanku asal kau mau melepaskan aku.”
Terdengar bunyi klik pertama langsung diikuti klik lainnya, pria itu meraung-raung semakin kencang, menyadari arti bunyi tersebut. Dalam genggaman tangan pria di depannya, telah teracung sepucuk senjata dengan posisi siap menembak.
“Aku mohon … aku belum mau mati. Aku akan bertobat dan menjadi pria baik-baik …” pria itu meracau. Malaikat maut berdiri siaga di sebelahnya, siap menangkap nyawanya sesudah tembakan pertama dilepaskan.
“Kata-kata terakhir?” Ucapan yang serupa ancaman itu menusuk telinga pria yang kini berlutut di tanah.
“I – istriku … dia memasak sup asparagus malam ini. Dia …”
“Go to hell, fellas!” Suara tembakan menggetarkan malam di sebuah gudang bekas pembuatan obat-obatan terlarang.
Wajah pria tambun itupun hancur, tubuhnya terkulai ke tanah. Darah mengalir ke kaki pembunuhnya secepat dan segelap tinta yang tumpah. Pembunuh itu mengerdikkan kaki, menyingkirkan darah yang mengotori sepatu barunya.
Dialah Richard Allan alias Richie. Empat belas tahun lalu dia hanyalah seorang pemuda kurus yang lemah. Kini, dia telah menjelma menjadi pria tegap dan tampan dengan jambang kemerahan. Richie membalikkan badannya, meninggalkan onggokan daging yang sebentar lagi akan menjadi santapan anjing-anjing liar.
“Cih! Musuh yang terlalu mudah! Bandar narkotika, kacangan, kelas teri. Alfa Boss lagi-lagi menyepelekan kemampuanku. Mungkin dia pikir aku sudah tua!” Pria itu berjalan setegap karang. Wajahnya keras serta sorot matanya cukup tajam hingga mampu memotong berlian.
Richie berhenti pada sebuah keran air karatan di luar gudang. Diputarnya keran air yang berdenyit ngilu. Air bercampur tanah dimuntahkan dari keran yang lama tidak digunakan. Richie membasahi sepatunya yang terkena darah, mencuci tangannya yang juga terkena cipratan darah.
Sedikit membasuh wajahnya, kemudian Richie kembali berjalan. “Sup asparagus. Boleh juga …” desisnya.
Sebagai seorang profesional di bidangnya, kemampuan dan instingnya yang luar biasa membuat Richie menjadi eksekutor yang paling ditakuti. Dalam perjalanan karirnya itu, tak ada satupun misi yang pernah gagal di tangannya. Dengan menunggangi kekasihnya – Harley Davidson duo glinde tahun 60-an – Richie menembus dinginnya malam yang sedingin hatinya.
Dalam hembusan angin malam yang menyapu wajahnya, Richie kembali mengingat peristiwa terkutuk yang dalam sekejap mengubah hidupnya. Pada sore menjelang malam hari itu, dia baru saja kembali dari hutan. Dengan bangga, dia menggotong ranting-ranting yang terkumpul untuk mengisi perapian.
Namun, langkahnya terhenti saat tiga ledakan senjata api berperedam melesat sebelum dirinya sempat membuka pintu belakang rumah. Bayangan daging kalkun panggang yang disajikan bersama potongan kentang dan buncis seketika hancur. Tembakan jitu di kepala ayah, ibu dan gadis kecil berusia lima tahun sukses merobohkan ketiganya dan mati di tempat.
Richie menjatuhkan kayu-kayu yang dibawanya. Nafasnya berpacu dengan cepat. Otaknya menegang. Richie merapatkan tubuhnya menempel pada dinding kayu yang berlumut. Matanya mengintip pantulan di kaca jendela. Seorang pria berjubah hitam dengan mata merah yang buas masih memegang pistolnya tinggi-tinggi, matanya memindai ke sekeliling rumah.
“Aku pasti mati! Aku pasti mati!” ucap Richie dalam hati. Matanya dipejamkan rapat-rapat.
Di tengah atmosfer ketegangan antara hidup dan mati, suara seorang pria yang baru saja masuk ke dalam rumah seolah mengijinkan Richie untuk memperpanjang nyawanya malam itu.
“Tuan Baron, kita harus cepat. Putri anda menangis lagi,” ucap seorang pria dengan nafas terengah.
Pria yang dipanggil berdecak marah. “Aku benci punya anak perempuan!” ucapnya. “Bukankah dia bersama pengasuhnya?”
“Iya , Tuan … tapi kelihatannya Nancy sudah kewalahan menghadapinya.”
“Dasar pengasuh tidak berguna! Kita pergi sekarang!” Terdengar hentakan sepatu di lantai kayu. “Hubungi ‘tukang bersih-bersih’. Malam ini juga bereskan dan hilangkan semua jejak. Aku tidak menyentuh apapun di rumah ini. Pintunya sudah terbuka saat aku datang.”
Suara langkah kaki yang menyadarkan Richie dari ketakutannya. Dia menjulurkan kepala, mengintip sosok si pembunuh yang berjalan menjauh. Alih-alih menghampiri tubuh keluarganya yang sudah tak bernyawa, Richie lebih memilih mengendap-endap membuntuti pembunuh biadab itu. Diapun berjalan sambil mengepalkan amarah.
Baron bersama anak buahnya menuju limousine hitam yang terparkir di pinggir jalan. Di depan mobilnya, Baron tidak langsung membuka pintu mobil. Dia lebih dulu menyembunyikan kaliber 9 mm-nya di balik jubah panjangnya.
Richie mengamati sambil merapatkan rahangnya. Pintu limousine terbuka. Seorang gadis kecil yang merajuk keluar dari dalamnya dan melompat ke tubuh Baron. Pria itu menimang-nimang si gadis dalam pelukannya, memunggungi Richie yang bersembunyi di balik semak belukar.
Gadis kecil yang nyaris seusia dengan adiknya itu tampak bahagia berada dalam pelukan pria yang semenit lalu telah menghabisi keluarganya. Richie menatap tak berkedip. Gadis kecil berambut pirang itu melambaikan tangan ke arahnya. Hatinya tercabik antara benci dan kasihan. Tadi dia sempat mendengar pria pembunuh itu mengatakan, kalau dia ‘benci punya anak perempuan’.
Sebelum Richie sempat membayangkan apa yang akan dia lakukan selanjutnya, dua orang pria berbadan kekar membekap Richie dan menarik tubuhnya masuk ke dalam hutan. Dia yang saat itu baru berusia 24 tahun – tanpa pengalaman berkelahi – kewalahan melepaskan diri dari dua orang yang mencengkram dan menyeretnya.
“Bocah! Sedang apa kau? Pemuda bodoh!” Tubuh Richie di lempar dan menghantam batang pohon oak tua. Seorang pria menjejakkan kakinya ke perut Richie. “Sudah bosan hidup – HAH?!”
"Ma – maafkan aku, Tuan. Aku hanya pemuda pengumpul kayu bakar yang kebetulan melintas,” ucap Richie berbohong.
“Apa kau melihat yang terjadi di rumah hakim itu?” Seorang pria lainnya menjenggut rambut Richie dan menunjuk ke arah yang mungkin searah dengan rumahnya.
“Tidak! Aku tidak tahu apa-apa …” Richie berusaha menggelengkan kepalanya. Jantungnya berdebar tak karuan.
“Ikut kami!” Richie terus di seret lebih jauh ke dalam hutan. “Dengar! Malam ini kau beruntung. Seharusnya, siapapun yang berurusan dengan Baron Hayden, dia harus mati – seperti hakim tua bangka itu dan keluarganya.”
Sejurus kemudian, tubuh kurus Richie kembali dihadiahi pukulan bertubi-tubi. Richie terbatuk, darah kental keluar dari mulutnya. Puas bermain-main dengan tubuh Richie, mereka melemparkan tubuh pemuda yang hampir kehilangan kesadarannya itu ke jurang.
Tubuh Richie berguling mengukur jurang sepanjang puluhan meter. Lalu dengan sisa nyawanya, dia mengerang dan berteriak sekencangnya di dasar jurang.
“BARON HAYDEN KEPARAT!! AKU AKAN MEMBUNUHMU!! AKAN AKU BALAS KEMATIAN KELUARGAKU!! BANGSAAATT!!”
Deyaa’s note :
Selamat membaca karya kedua DeyaaDeyaa di GoodNovel. Baca karya lainnya berjudul “Kebangkitan Sang Pewaris”. Happy reading!
Setelah teriakan meraungnya, ingatan terakhir Richie hanyalah tetesan hujan yang turun membasahi tubuhnya. Hingga kemudian dia terbangun dari tidur panjangnya dan melihat dirinya dalam keadaan telanjang, hanya memakai secarik kain menutupi bagian kemaluannya. Richie berusaha menggerakkan tubuhnya, tapi usahanya sia-sia. Kaki dan tangannya di pasangi papan penyangga yang berat. “Sialan! Di mana aku? Kenapa aku dipasung?” Matanya membelalak. Keringat dingin bermunculan di sela-sela dahinya. “Siapapun! Lepaskan aku!” Pintu kamar dibuka, seorang wanita berpakaian pelayan masuk membawa troli berisi obat-obatan. Seorang pria berkacamata bulat dengan wajah tenang tersenyum menatap Richie yang kebingungan. “Kau sudah bangun rupanya, nak … kami telah lama menunggumu.” “Siapa kau? Mau apa kau dengan tubuhku?” Pria itu tertawa kecil, “maaf kalau kau merasa dipermalukan. Lihat – badanmu penuh luka. Tanganmu patah, begitu juga dengan kakimu. Dalam keadaan
Kembali pada masa kini, Richie dengan kekasih roda duanya memasuki halaman luas sebuah mansion yang tersembunyi di tengah hutan pinus. Udara dingin semakin menyergap, menusuk tulang. Richie memarkirkan kekasihnya di dekat kolam air mancur dan mengucapkan salam perpisahan. Dia berjalan menaiki puluhan anak tangga yang panjang. Kini, mansion yang luas itu hanya di huni oleh dirinya dan Alfa Boss. Kamar mereka berseberangan. Richie di sayap kanan, sementara boss-nya di sayap kiri – kamar utama di mansion itu. Richie menengok pintu kamar Alfa sebelum masuk ke kamar. Pintunya sedikit terbuka. Richie pun berbelok menuju kamar Alfa. Dia berniat mengajukan protesnya sekarang, mumpung pria itu masih terjaga. Namun, baru saja tangannya hendak mengetuk pintu kamar, terdengar suara terengah seorang wanita diiringi makian ala surgawi yang terucap dari mulut seorang pria. Richie mendengus jijik. Pria flamboyan berdarah dingin itu pasti sedang bercinta dengan salah satu gun
Richie terbangun gelagapan, langit sudah berubah gelap. Lampu jalanan berpendar kekuningan dengan malas. Sayup-sayup dia mendengar suara ramai orang-orang yang mengobrol dan tertawa. Richie melompat dari posisi tidur lalu membuka matanya lebar-lebar.Tiga jam yang lalu dia tiba di Woodstock diantarkan seorang kakek tua suruhan Alfa. Sungguh menyedihkan, dia tidak diijinkan untuk membawa kekasihnya yang kedinginan di taman mansion. Setibanya di Woodstock, Richie langsung menyadari bahwa dirinya telah berhasil dibodohi boss-nya.Sepanjang jalan setapak yang dilaluinya tadi siang, dia sama sekali tak mendapati adanya tanda-tanda kehidupan penduduk desa. Daripada menyebut wilayah tersebut sebagai sebuah desa, Richie lebih setuju kalau menyebutnya sebagai tempat jin buang anak.Sunyi, kering dan mati – tiga kata itu berhasil menjelaskan kenapa Woodstock yang dipilih Alfa Boss sebagai tempat ‘berlibur’ Richie. “Alfa Boss berengsek!”
Gerakan spontan Richie mencuri perhatian sebagian besar orang yang berada di dalam bar. Tetapi orang-orang itu hanya bersikap siaga sebagai penonton, bukan sebagai orang yang hendak menolong. Richie menarik tinggi kerah baju pemuda itu. Mata mereka bertemu dan Richie dapat melihat getaran di kedua bola mata lawannya. “Berapa usiamu? 20 tahun? Pakai otakmu untuk memikirkan masa depan, bukan untuk melecehkan seorang gadis!” Richie menggeram – jarak wajah mereka terpisah satu jengkal saja. “Cih! Siapa suruh dia memakai rok sependek itu? Jadi saja aku memakai otakku untuk membayangkan bokong di balik roknya,” pemuda itu cukup bernyali menjawab kata-kata Richie, membuat Richie semakin bernafsu mengencangkan tarikannya. Tenggorokan pemuda itu tercekik, “be-berani bertaruh, kau juga suka membayangkan hal yang sama kan, pak – pak tua?” ucapnya terbata. Richie melirik Patty yang berdiri kaku di sampingnya. Diamati dari dekat, gadis itu memang sangatlah c
Masih terlalu pagi, semalaman Richie gagal memejamkan matanya. Ternyata sekalipun dikatakan liburan, instingnya tidak serta merta berlibur. Tempat satu-satunya yang bisa membuatnya tertidur seperti bayi hanyalah di mansion. Di luar sini dia tetap harus terjaga dari bahaya yang sewaktu-waktu mengicarnya.Saat pikirannya masih dipenuhi dengan pertanyaan mengenai seperti apakah desa Woodstock ini sesungguhnya, Richie melihat serombongan pria yang berjalan melewati depan karavannya.Sebuah truk telah menunggu mereka. Supir truk tampak marah-marah meneriaki rombongan itu. "Lebih cepat! Masuk! Masuk! Kita sudah terlambat!” teriaknya sambil menggerak-gerakkan tangannya.Salah seorang pria menengok ke arah karavan. Mungkin dia menyadari kalau kini ada seseorang yang menghuni karavan itu. Richie merapatkan tubuhnya ke dinding karavan. Dia belum ingin lagi berinteraksi dengan banyak warga di sana setelah kejadian semalam.Richie mengapit kedua tangan di sela-
Richie tiba di rumah Patty setelah perjalanan cukup menegangkan menggunakan sepeda mini yang dikayuh gadis itu dengan kepayahan. Richie menyumpah serapah sepanjang perjalanan sambil menahan darah yang merembes dari celah pakaiannya. Sumpah serapahnya teruntuk pada dirinya sendiri yang bisa-bisanya lengah dari seorang pemuda bau kencur. “Maafkan aku, paman … gara-gara aku paman jadi terluka.” Patty bergegas membukakan pintu bagi Richie. “Silahkan masuk dulu, paman … aku akan mengambil kotak P3K.” “Kau tinggal di sini?” Richie mendongak pada bangunan dua lantai bergaya Mediterania yang klasik. Kelihatannya, dari semua rumah yang ada di Woodstock, rumah itulah yang paling mewah. “Iya, paman. Ayo masuk cepat … sedikit banyak aku tahu cara mengobati luka …” ucap Patty penuh percaya diri. “Sedikit banyak?” Richie meringis. Harusnya tadi lebih baik dia minta diantarkan ke karavannya saja. Mati perlahan karena kehabisan darah rasanya akan lebih elegan ketimba
“Patty! Bahaya! Kau dalam bahaya!” Seorang pemuda berwajah panik melepaskan alas kakinya dengan sembarangan dan menerobos ke dalam rumah Patty. “James? Kenapa berteriak?” Patty balas berseru sambil melanjutkan langkahnya menuju dapur. Pemuda seusia Patty itu mengabaikan Richie yang sedang bersandar di kursi dan berjalan melewatinya begitu saja. James terus membuntuti Patty, berseru-seru menyuruh gadis itu untuk berhenti dan mendengarkannya sebentar saja. Kata bahaya yang dia ulang-ulang membuat telinga Richie berdengung. “Berisik! Katakan saja langsung, ada bahaya apa? Aku sudah terbiasa dengan bahaya,” gerutu Patty sambil mengisi gelas dengan air hangat untuk diberikan kepada Richie. James menyambar gelas yang telah diisi dan meneguknya sampai habis. “Aaahh! Kau tahu? Aku berlari sepanjang jalan agar bisa cepat sampai ke rumahmu.” “Apa aku harus peduli dengan itu? Kembalikan gelasnya! Aku mengisinya bukan untukmu, dasar bodoh!” James
“James! Ohh Tuhan! Kau terluka?” Patty kalap. Tangannya meraba-raba tubuh James yang ambruk menimpa sisi kakinya.“Apa itu?! Seseorang mencoba membunuh kita?!” Suara James bergetar. Tangannya menyilang melindungi kepalanya.Richie berjongkok, lalu berjalan mengendap-endap mendekati jendela. Dalam sikap awas, Richie menyadari kekonyolannya yang lain. Dia meninggalkan tiga set senjata apinya di dalam karavan.Richie berdecak, lanjut berjalan dengan hati-hati menghindari pecahan kaca yang berserakan di lantai. Dia merapatkan tubuhnya ke tembok di bawah bingkai jendela yang kosong. Dari sana dia melihat sisi kayu jendela yang mencuat tergores peluru.Richie menyipitkan matanya, menganalisa. Perluru tersebut ditembakkan dari jarak jauh dan penembaknya tentu saja seorang profesional yang dengan sengaja menyerempetkan pelurunya, untuk mengurangi kecepatannya. Richie menyapu tatapannya ke lantai, mencari butiran keemasan yang berkilau.