Share

Bunuh Aku, Sayang!
Bunuh Aku, Sayang!
Penulis: DeyaaDeyaa

MALAM PEMBATAIAN

“A – ampuni aku, bung … a – aku punya seorang putra di rumah. Ka – kalau boleh, ijinkan aku melihatnya untuk terakhir kali.”

Dengan suara bergetar terbata, seorang pria tambun yang terpojok membungkuk dan memohon di depan pria yang berjalan lambat, tidak terburu-buru tetapi beraura predator.

“Tolong … aku akan memberikan seluruh kekayaanku asal kau mau melepaskan aku.”

Terdengar bunyi klik pertama langsung diikuti klik lainnya, pria itu meraung-raung semakin kencang, menyadari arti bunyi tersebut. Dalam genggaman tangan pria di depannya, telah teracung sepucuk senjata dengan posisi siap menembak.

“Aku mohon … aku belum mau mati. Aku akan bertobat dan menjadi pria baik-baik …” pria itu meracau. Malaikat maut berdiri siaga di sebelahnya, siap menangkap nyawanya sesudah tembakan pertama dilepaskan.

“Kata-kata terakhir?” Ucapan yang serupa ancaman itu menusuk telinga pria yang kini berlutut di tanah.

“I – istriku … dia memasak sup asparagus malam ini. Dia …”

Go to hell, fellas!” Suara tembakan menggetarkan malam di sebuah gudang bekas pembuatan obat-obatan terlarang.

Wajah pria tambun itupun hancur, tubuhnya terkulai ke tanah. Darah mengalir ke kaki pembunuhnya secepat dan segelap tinta yang tumpah. Pembunuh itu mengerdikkan kaki, menyingkirkan darah yang mengotori sepatu barunya.

Dialah Richard Allan alias Richie. Empat belas tahun lalu dia hanyalah seorang pemuda kurus yang lemah. Kini, dia telah menjelma menjadi pria tegap dan tampan dengan jambang kemerahan. Richie membalikkan badannya, meninggalkan onggokan daging yang sebentar lagi akan menjadi santapan anjing-anjing liar.

“Cih! Musuh yang terlalu mudah! Bandar narkotika, kacangan, kelas teri. Alfa Boss lagi-lagi menyepelekan kemampuanku. Mungkin dia pikir aku sudah tua!” Pria itu berjalan setegap karang. Wajahnya keras serta sorot matanya cukup tajam hingga mampu memotong berlian.

Richie berhenti pada sebuah keran air karatan di luar gudang. Diputarnya keran air yang berdenyit ngilu. Air bercampur tanah dimuntahkan dari keran yang lama tidak digunakan. Richie membasahi sepatunya yang terkena darah, mencuci tangannya yang juga terkena cipratan darah.

Sedikit membasuh wajahnya, kemudian Richie kembali berjalan. “Sup asparagus. Boleh juga …” desisnya.

Sebagai seorang profesional di bidangnya, kemampuan dan instingnya yang luar biasa membuat Richie menjadi eksekutor yang paling ditakuti. Dalam perjalanan karirnya itu, tak ada satupun misi yang pernah gagal di tangannya. Dengan menunggangi kekasihnya – Harley Davidson duo glinde tahun 60-an – Richie menembus dinginnya malam yang sedingin hatinya.

Dalam hembusan angin malam yang menyapu wajahnya, Richie kembali mengingat peristiwa terkutuk yang dalam sekejap mengubah hidupnya. Pada sore menjelang malam hari itu, dia baru saja kembali dari hutan. Dengan bangga, dia menggotong ranting-ranting yang terkumpul untuk mengisi perapian.

Namun, langkahnya terhenti saat tiga ledakan senjata api berperedam melesat sebelum dirinya sempat membuka pintu belakang rumah. Bayangan daging kalkun panggang yang disajikan bersama potongan kentang dan buncis seketika hancur. Tembakan jitu di kepala ayah, ibu dan gadis kecil berusia lima tahun sukses merobohkan ketiganya dan mati di tempat.

Richie menjatuhkan kayu-kayu yang dibawanya. Nafasnya berpacu dengan cepat. Otaknya menegang. Richie merapatkan tubuhnya menempel pada dinding kayu yang berlumut. Matanya mengintip pantulan di kaca jendela. Seorang pria berjubah hitam dengan mata merah yang buas masih memegang pistolnya tinggi-tinggi, matanya memindai ke sekeliling rumah.

“Aku pasti mati! Aku pasti mati!” ucap Richie dalam hati. Matanya dipejamkan rapat-rapat.

Di tengah atmosfer ketegangan antara hidup dan mati, suara seorang pria yang baru saja masuk ke dalam rumah seolah mengijinkan Richie untuk memperpanjang nyawanya malam itu.

“Tuan Baron, kita harus cepat. Putri anda menangis lagi,” ucap seorang pria dengan nafas terengah.

Pria yang dipanggil berdecak marah. “Aku benci punya anak perempuan!” ucapnya. “Bukankah dia bersama pengasuhnya?”

“Iya , Tuan … tapi kelihatannya Nancy sudah kewalahan menghadapinya.”

“Dasar pengasuh tidak berguna! Kita pergi sekarang!” Terdengar hentakan sepatu di lantai kayu. “Hubungi ‘tukang bersih-bersih’. Malam ini juga bereskan dan hilangkan semua jejak. Aku tidak menyentuh apapun di rumah ini. Pintunya sudah terbuka saat aku datang.”

Suara langkah kaki yang menyadarkan Richie dari ketakutannya. Dia menjulurkan kepala, mengintip sosok si pembunuh yang berjalan menjauh. Alih-alih menghampiri tubuh keluarganya yang sudah tak bernyawa, Richie lebih memilih mengendap-endap membuntuti pembunuh biadab itu. Diapun berjalan sambil mengepalkan amarah.

Baron bersama anak buahnya menuju limousine hitam yang terparkir di pinggir jalan. Di depan mobilnya, Baron tidak langsung membuka pintu mobil. Dia lebih dulu menyembunyikan kaliber 9 mm-nya di balik jubah panjangnya.

Richie mengamati sambil merapatkan rahangnya. Pintu limousine terbuka. Seorang gadis kecil yang merajuk keluar dari dalamnya dan melompat ke tubuh Baron. Pria itu menimang-nimang si gadis dalam pelukannya, memunggungi Richie yang bersembunyi di balik semak belukar.

Gadis kecil yang nyaris seusia dengan adiknya itu tampak bahagia berada dalam pelukan pria yang semenit lalu telah menghabisi keluarganya. Richie menatap tak berkedip. Gadis kecil berambut pirang itu melambaikan tangan ke arahnya. Hatinya tercabik antara benci dan kasihan. Tadi dia sempat mendengar pria pembunuh itu mengatakan, kalau dia ‘benci punya anak perempuan’.

Sebelum Richie sempat membayangkan apa yang akan dia lakukan selanjutnya, dua orang pria berbadan kekar membekap Richie dan menarik tubuhnya masuk ke dalam hutan. Dia yang saat itu baru berusia 24 tahun – tanpa pengalaman berkelahi – kewalahan melepaskan diri dari dua orang yang mencengkram dan menyeretnya.

“Bocah! Sedang apa kau? Pemuda bodoh!” Tubuh Richie di lempar dan menghantam batang pohon oak tua. Seorang pria menjejakkan kakinya ke perut Richie. “Sudah bosan hidup – HAH?!”

"Ma – maafkan aku, Tuan. Aku hanya pemuda pengumpul kayu bakar yang kebetulan melintas,” ucap Richie berbohong.

“Apa kau melihat yang terjadi di rumah hakim itu?” Seorang pria lainnya menjenggut rambut Richie dan menunjuk ke arah yang mungkin searah dengan rumahnya.

“Tidak! Aku tidak tahu apa-apa …” Richie berusaha menggelengkan kepalanya. Jantungnya berdebar tak karuan.

“Ikut kami!” Richie terus di seret lebih jauh ke dalam hutan. “Dengar! Malam ini kau beruntung. Seharusnya, siapapun yang berurusan dengan Baron Hayden, dia harus mati – seperti hakim tua bangka itu dan keluarganya.”

Sejurus kemudian, tubuh kurus Richie kembali dihadiahi pukulan bertubi-tubi. Richie terbatuk, darah kental keluar dari mulutnya. Puas bermain-main dengan tubuh Richie, mereka melemparkan tubuh pemuda yang hampir kehilangan kesadarannya itu ke jurang.

Tubuh Richie berguling mengukur jurang sepanjang puluhan meter. Lalu dengan sisa nyawanya, dia mengerang dan berteriak sekencangnya di dasar jurang.

“BARON HAYDEN KEPARAT!! AKU AKAN MEMBUNUHMU!! AKAN AKU BALAS KEMATIAN KELUARGAKU!! BANGSAAATT!!”

Deyaa’s note :

Selamat membaca karya kedua DeyaaDeyaa di GoodNovel. Baca karya lainnya berjudul “Kebangkitan Sang Pewaris”. Happy reading!

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Loki Winarta
kayak nyata serem
goodnovel comment avatar
Sri Wahyuni
Serem bayanginnya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status