Share

DILATIH MENJADI PEMBUNUH

Setelah teriakan meraungnya, ingatan terakhir Richie hanyalah tetesan hujan yang turun membasahi tubuhnya. Hingga kemudian dia terbangun dari tidur panjangnya dan melihat dirinya dalam keadaan telanjang, hanya memakai secarik kain menutupi bagian kemaluannya.

Richie berusaha menggerakkan tubuhnya, tapi usahanya sia-sia. Kaki dan tangannya di pasangi papan penyangga yang berat.

“Sialan! Di mana aku? Kenapa aku dipasung?” Matanya membelalak. Keringat dingin bermunculan di sela-sela dahinya. “Siapapun! Lepaskan aku!”

Pintu kamar dibuka, seorang wanita berpakaian pelayan masuk membawa troli berisi obat-obatan. Seorang pria berkacamata bulat dengan wajah tenang tersenyum menatap Richie yang kebingungan. “Kau sudah bangun rupanya, nak … kami telah lama menunggumu.”

“Siapa kau? Mau apa kau dengan tubuhku?”

Pria itu tertawa kecil, “maaf kalau kau merasa dipermalukan. Lihat – badanmu penuh luka. Tanganmu patah, begitu juga dengan kakimu. Dalam keadaan tak sadarkan diri kau terus mengigau, menendang-nendang tak tentu arah. Karena itulah aku memakaikan kayu untuk mengunci kaki dan tanganmu.”

“Ka - kau? Apa kau dokter?” tanya Richie memastikan.

“Bisa dibilang begitu, nak. Aku yang merawatmu selama tiga hari kau tertidur.”

“Tiga hari?” Richie menelan ludahnya susah payah. Tenggorokannya kering.

“Kau haus? Pelayan tolong bawakan air hangat …” perintah sang dokter penuh wibawa.

Richie masih bertemu dengan dokter itu sampai seminggu berikutnya. Setelah dia dapat menggerakkan tangan dan berjalan, dokter itu tak pernah datang lagi ke kamarnya. Berganti dengan sosok seorang pria berwajah tegas, namun memiliki sinar mata yang menenangkan.

“Aku akan melatihmu untuk bisa membalaskan dendam kepada Baron Hayden,” ucap pria itu di pertemuan pertama mereka.

“Dari mana kau tahu, kalau aku …?” Richie terkejut dengan pernyataan pria yang kemudian dia ketahui bernama Alfa Lord. “Oohh … apa jangan-jangan aku mengingaukan nama itu terus?” Alfa Lord menaikkan alisnya, menyetujui tebakan Richie.

Keseharian Richie selanjutnya dipenuhi dengan latihan keras. Alfa Lord melatih Richie dengan intens, bahkan melebihi apa yang dia latihkan kepada adiknya sendiri. Kuurang dari satu tahun, Richie pun telah mengusai berbagai teknik menembak dan bertarung dengan tangan kosong.

“Fokus! Aku mau kau menembak telak target yang bergerak paling belakang!” seru Alfa Lord memerintah Richie.

Mata Richie setajam elang, tangannya kokoh menarik pelatuk dan melesatkan sebuah peluru membelah udara. Dalam gerakan lambat yang dramatis, peluru itu menggores papan-papan kayu yang berdiri acak seakan menghalau papan target yang menjadi sasaran Richie.

Dia menyipitkan matanya. Peluru menembus tepat di tengah kepala papan target. Richie menyerukan ‘yes!’ penuh kemenangan. Alfa Lord dengan bangga menepuk pundak Richie dan merangkulnya. Ya … instingnya tak pernah salah. Dia dapat merasakannya saat melihat tubuh Richie yang terbujur di dasar jurang.

Meski tubuh pemuda itu terlihat lemah, tetapi dalam sekali pandangan dia dapat meyakini kalau Richie memiliki tekad dan kekuatan yang besar. Didorong dengan torehan dendam atas pembantaian terhadap keluarganya itulah, Richi berhasil mengalahkan maut.

“Sekarang – apa aku sudah bisa mendapatkan misi?” tanya Richie – tak sabar untuk menguji kemampuan yang telah dia latih selama ini.

“Tentu saja, Richie.”

“Anda yakin, Alfa Lord?”

“Iya – dengan keterampilanmu sekarang, mana mungkin aku meragukanmu? Kau akan menjadi prajurit terbaik ku, Richie.” Alfa Lord berjalan sambil merangkul Richie.

Di tengah percakapan hangat Richie dan Alfa Lord tersebut. Seorang pemuda berusia sekitar dua tahun lebih tua dari Richie, mengintip mereka dengan wajah merah dan rahang mengetat. Hati pemuda itu terbakar cemburu melihat perlakuan istimewa kakak lelakinya terhadap Richie dan hal itu membuat suasana mansion dipenuhi ketegangan.

Pemuda yang kini dikenal sebagai Alfa Boss itu menduduki posisi sebagai pemimpin Caedis setelah membunuh Alfa Lord dengan mencampurkan racun ke dalam minumannya. Tubuh Alfa Lord tumbang dari kursi singgasana, berdebum di lantai seperti sekarung semen dengan mulut penuh darah.

Pemakaman hari itupun menggoreskan satu lagi luka bagi Richie. Tragisnya, dia tidak bisa kabur kemanapun. Satu-satunya rumah baginya hanyalah Caedis. Dan juga dia telah bersumpah kepada Alfa Lord bahwa untuk dia akan mengabdi sampai berhasil membalaskan dendamnya.

Tahun demi tahun pun berlalu. Tak hanya bertugas menyelesaikan misi pembunuhan, Richie juga bertanggung jawab untuk melatih setiap anggota baru – calon prajurit pembunuh Caedis.

“Hai, kau kah Richie – sang pembunuh yang paling ditakuti itu?” Seorang pria berwajah khas amerika latin mengulurkan tangannya kepada Richie. “Aku Jack Sherman. Mulai hari ini aku bergabung dengan kalian.”

Jack menjadi orang selanjutnya yang dekat dengan Richie. Pria yang ahli dalam menyusun strategi itupun begitu disukai oleh Alfa Boss. Sampai kemudian Alfa Boss memberikan satu kamar di mansion untuk ditempati Jack. Sebuah keistimewaan yang membuat iri anggota lainnya.

Ketegangan di dalam mansion kembali terjadi saat Jack jatuh cinta, kepada seorang penari klab malam yang tubuhnya seindah lukisan dalam rumah-rumah bangsawan.

“Apa rasanya jatuh cinta?” tanya Richie suatu hari kala mereka hanya berdua saja.

Jack mengerdikkan bahu. “Cinta yang aku rasakan begitu buas dan posesif. Aku bagai seekor harimau dengan insting berburunya. Otakku tak bisa lepas dan terus menerus menginginkannya – sampai dia menjadi milikku,” tutur Jack sambil menaikkan sebelah alisnya.

Perumpamaan cinta yang dikatakan Jack membuat Richie mengernyitkan dahi. Kalau seperti itu tampaknya sampai kapanpun dia tak akan pernah mengerti arti cinta. Lagipula, sepertinya dia sudah cukup merasa beruntung, bisa bertahan hidup dan tinggal di mansion  mewah seperti sekarang.

Tak selang berapa lama, Jack akhirnya menikah dengan wanita pujaannya itu lalu berpamitan untuk meninggalkan mansion.

“Biar aku tebak – Alfa Boss pasti tidak menyukainya.” Richie menyeringai.

“Entahlah.” Jack mengangkat bahunya acuh. Dia telah terbutakan oleh cinta. “Tetapi ucapan ‘selamat tinggal’ darinya memang terdengar sedikit aneh. Aku sempat mendengar dia berbisik, ‘wanitamu adalah wanitaku’. Menurutmu apa artinya?”

Richie menautkan alisnya. Alfa Boss seorang pribadi yang sulit ditebak. Akan tetapi, waktu dulu Richie mendengar pria itu berbisik ‘singgasanamu adalah singgasanaku’, satu hari setelahnya Alfa Lord ditemukan dalam keadaan tak bernyawa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status