Semenjak menghilangnya anak perempuan di keluarga Peterson, sepasang suami istri di rumah itu terlihat murung dan juga tak bersemangat. Makan pun tak dilakukan dengan benar, pipi mereka terlihat lebih tirus dari sebelumnya.
Meggan bahkan mengurung diri semenjak hari itu di dalam kamarnya, sementara Charlie duduk termenung di ruang tamu, memikirkan keadaan anak perempuannya yang juga masih belum ditemukan. Walau pencarian sudah berjalan selama dua hari.
Kondisi kacau balau tersebut malah digunakan oleh Louis untuk mengambil alih perusahaan utama sang papa untuk sementara waktu. Apalagi, semua itu atas kehendak dan perintah yang dikeluarkan oleh Charlie sendiri, padahal Louis tak mengatakan apa-apa padanya, tetapi sang papa malah menyuruhnya menjadi pemimpin perusahaan sementara mereka mencari Julia yang entah berada di mana.
Sementara sang papa menun
Jacob menatap layar ponselnya dengan tatapan sendu. Baru beberapa detik yang lalu, sang adik memberitahunya untuk pergi ke rumah lama mereka yang ada di kaki pegunungan. Walau sudah menolak ajakan adiknya, tetapi Javier dengan gigihnya tetap merayunya untuk pergi ke sana. Alasannya adalah karena rumah itu harus diperbaiki dan ada yang ingin sang adik sampaikan padanya. Meskipun tak mengerti, pada akhirnya Jacob pun mengiyakan apa yang Javier inginkan. Sebenarnya, jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, ia tak ingin lagi berurusan dengan masa lalunya yang menyakitkan. Terutama dengan rumah yang menyimpan banyak sekali kenangan di antaranya dan kedua orang tua mereka yang telah tiada. Akan tetapi, karena Javier terlalu mendesaknya kali ini, mau tidak mau akhirnya ia pun menuruti permintaan sang adik. Sesaat setel
Javier terkekeh pelan. "Kenapa?" tanyanya dengan nada remeh. "Kenapa Kakak sekarang marah? Itu fakta di lapangan, bukan? Aku tak bohong tentang hal itu." Kakaknya semakin menyudutkannya di dinding, lehernya di tahan dengan kuat oleh tangan besar sang kakak. Meski begitu, Javier tak ingin mundur. "Kakak beruntung karena Emily sangat mencintai Kakak, jadi dia meminta kepada orang tuanya untuk membebaskan Kakak dari sel tahanan. Walau sudah diperlakukan seperti itu, dia tetap membela Kakak." Javier masih melayangkan kata-kata yang mampu menyulut emosi Jacob, dan saat ini, ia masih terus berusaha memancing amarah sang kakak. "Emily melakukan apa saja untuk Kakak, tapi Kakak malah mencampakkannya dan tak mau kembali padanya? Kak, jangan kejam kepada Emily." Jacob menatapnya tajam. Bisa-bisanya adik kecilnya yang sela
Lima menit sudah berlalu, tetapi agaknya Jacob belum juga bisa memasuki dunia alam bawah sadarnya. Membuatnya kembali termenung sambil menatap langit-langit kamar yang bergambarkan awan putih dengan latar biru. Senyumnya tercipta. Dia ingat semuanya. Tentang kamar ini, tentang hari itu. Ketika dia berumur lima tahun dan adiknya Javier berumur sekitar dua tahun; balita dan masih kecil, kedua orang tua mereka membuatkan kamar khusus untuk keduanya. Jacob ingat, waktu itu dia begitu menyukai alam dan juga burung bebas yang terbang di atas langit. Atas dasar itulah, sang papa menghiasi langit-langit kamarnya dan sang adik dengan awan-awan putih berlatar warna biru. Hasilnya cantik sekali. Pria itu teringat dengan percakapan singkat antara dirinya dan sang papa. "Apa kau suka, Sa
Jacob terengah-engah setelah bangun dari tidur. Wajahnya basah oleh keringat dingin yang keluar dari pori-pori tubuhnya sendiri. Ia usap keningnya perlahan, dan ia tatapi tangannya yang masih gemetaran. Perlahan ia bangkit, dan membuat dirinya terduduk di atas ranjang. Sembari mengatur pernapasannya yang belum kembali seperti semula, Jacob melirik arloji di tangan kirinya dengan susah payah; mengingat apa yang baru saja ia lihat di dalam tidurnya. Pukul 7 malam. Setidaknya, ia sudah tidur di sini selama kurang lebih dua jam. Mencengkeram pelan rambut hitamnya, Jacob lantas bangkit dari tempat tidur. Turun dari ranjang secara perlahan sembari melirik ke arah meja belajar, tempat di mana terakhir kali ia menaruh obat penenangnya, dan kini obat itu sudah menghilang dari atas sana. Obat yang sangat ia perlukan saat ini tak ada, justru sebotol air minum
"Ju-Julia?" Betapa terkejutnya Jacob saat ini. Pasalnya, ia menemukan gadis yang selama ini dicari-cari olehnya tengah terikat di sebuah kursi kayu tua berwarna cokelat. Gadis itu terduduk sendirian di dalam ruang bawah tanah yang sepi. Rambut sang gadis yang panjang tergerai, membuatnya terlihat seperti sebuah boneka porselen yang sengaja dipajang di depan tangga. Gadis itu duduk di bawah temaram lampu dengan cahaya yang remang-remang. Sekilas, semua kondisi Julia saat ini sama persis seperti jawaban dari teka-teki sederhana yang Javier berikan kepadanya. Apa maksud dari ini semua? "Juli!" Tanpa berpikir panjang lagi, Jacob langsung berlari menuruni setiap anak tangga. Tak peduli dengan tangga kayu yang berusia hampir sama dengan usianya saat ini, yang bisa saja membuatnya terjatuh di sana. Tujuan Jacob hanya satu, segera membebaskan sang kekasih.
Julia tampak kebingungan begitu melihat reaksi sang kekasih. Jacob memandangi sesuatu di tangannya dengan ekspresi yang sulit dibaca. Seperti perpaduan serius dengan perasaan getir lainnya. "Apa itu, Sayang?" tanya Julia dengan susah payah, bisikannya terlalu lirih. Dari cara bicaranya yang lemas, masih terdengar jelas jika ia tak punya tenaga lebih saat ini. Ekspresi Jacob tampak mengeras, ia kelihatan marah. Pria itu terlalu fokus pada kertas di tangannya, sehingga membuatnya tak menanggapi ucapan Julia, bahkan mendengar saja tidak sepertinya. Jacob bak patung yang hanya diam saja tatkala memandangi secarik kertas yang ia temukan di bawah kursi yang tadi Julia duduki. Sebuah kertas berwarna kuning dengan tinta merah bertuliskan 'selamat', serta tulisan berwarna hitam yang tak terlalu jelas garis tulisannya. Bahasanya saja tak Jacob mengerti, entah bahasa yang berasal dari mana. Apa ini sebuah petunjuk? Batin Jacob bertanya-ta
Jacob salah, Javier malah terkekeh pelan saat menyadari kebimbangan sang kakak. Jacob tengah dilema dan Javier tahu bahwa tak ada seorang pun yang bisa mendengar tawa liciknya. "Jadi, Kakak akan tetap memilih jalang itu meski Kakak tahu dia itu sebenarnya adalah siapa?" tanya Javier dengan tenang. Jacob kembali berhenti melangkah, ia menatap adiknya yang telah mengubah posisinya menjadi duduk dengan tatapan tajam. "Apa maksudmu?" tanyanya datar. Tersimpan kemarahan di nada bicaranya. Sejak kapan adik yang ia besarkan dengan penuh perhatian dan kasih sayang itu mengucap kata-kata yang tidak pantas seperti itu? Terlebih lagi, panggilan hina itu dialamatkan kepada Julia, gadis yang ia cintai. Pengaruh buruk organisasi itu sepertinya telah merusak otak adik kesayangannya. "Tentu saja, Kakak akan berterima kasih
"Uggh! To-TOLONG!" "Tolong! Be-berhenti—ah!" "Hiks! To-tolong!" Jacob yang sedang berbaring sambil membaca sebuah buku, langsung mengubah posisinya menjadi duduk. Telinganya samar-samar mendengar suara aneh yang berasal dari luar, yang berarti di dalam kafe sang mama. "Ada apa, Kak?" tanya Javier penasaran, ia begitu keheranan melihat ekspresi Jacob yang menegang seperti baru saja melihat hantu. "Kakak sakit perut? Aku antar ke toilet ya." "Javi, kau dengar suara itu?" Alih-alih menjawab pertanyaan sang adik, Jacob malah mengajukan pertanyaan padanya. "Suaranya dari kafe mama." Javier terlihat kebingungan, belum pernah mendengar suara aneh yang terdengar begitu kesakitan. Ia lalu mengikuti langkah sang kakak yang mendekati pintu keluar secara hati-hati. Meninggalkan Sylvia seorang diri di belakang. Sylvia yang sibuk me