Suasana kota yang tadinya dingin karena hembusan udarah malam, kini menjadi sedikit memanas karena perdebatanku dengan gadis itu. Dia terus-menerus mencelaku, karena menyebutnya wanita murahan. Aku bisa memaklumi hal itu, tetapi jika dia berani menyentuhku, tentu aku tidak akan tinggal diam.
Plakk…
“Sakit kan, itu akibatnya jika mulutmu tidak bisa di jaga,” cacinya setelah menamparku keras kemudian mengibaskan rambutnya tanda puas dengan perbuatannya kepadaku.
“Rosa, apa kamu memotret dari sisi yang sempurna?” tanyaku sesaat telah menerima tamparan tangan kotor wanita ini sekaligus membuatnya kebingungan.
“Tentu, ini sangat sempurna. Pakailah ini,” jawab Rosa menghampiriku dengan kamera dsrl di tangannya, kemudian memberikan sweater kepadaku.
“Jadi, Ketrin Anastasya. Putri tunggal dari presdir Jaya Mako, rela membagikan selebaran dengan pakaian seksi, hanya untuk tersenyum dan terawa seperti gadis murahan. Atau, kamu sedang menunggu selingkuhanmu, yang kabarnya baru bercerai dengan istrinya. Benar bukan,” kataku tersenyum kepadanya bak memenangkan lotre yang tidak datang 2 kali.
“Jaga ucapanmu,” teriak Ketrin dengan wajah memerah karena kedoknya sudah terbongkar, teriakannya itu membuat semua orang berhenti dan terus mendengarkan perdebatan kami.
“Bos, selebaranku sudah habis. Tolong tranfer gajiku secepatnya, permisi,” seruku kemudian berjalan meninggalkan tempat itu bersama Rosa, siap memulai peperangan yang sebenarnya untuk kembali bertahan hidup.
Selain bekerja paruh waktu, dan menerima pekerjaan seperti itu, aku juga bekerja sebagai penulis artikel yang cukup populer karena keahlianku. Meskipun berada di jurusan ekonomi, menulis dan mendesain adalah salah satu hobi terbaik, yang bisa menghasilkan uang untukku.
***
“Tagihan apartemen 3 bulan belum di bayar.” Amplop itu ku temukan di kotak surat, di depan apartemenku bersama dengan surat sejenis lainnya. Tunggu, jangan bayangkan ini adalah apartemen mewah yang sering kalian lihat di drama.
Ini hanyalah ruangan sederhana dengan 2 kamar, ruang tamu, kamar mandi, dan dapur serta balkon kecil untuk menjemur pakaian. Setelah rumah bibi, disita 5 tahun yang lalu dan bibi jatuh sakit, aku berusaha untuk hidup mandiri.
“Ah, aku akan melunasinya setelah artikelku terbit,” ucapku kemudian masuk ke dalam apartemen dan menaruh amplop itu di atas meja. Ketika selesai mandi, aku memanaskan makanan yang ku bawa dari restoran. Kemudian menikmatinya, sembari membuka laptop.
Tok… tok… tok…
“Permisi,” teriak seseorang sembari mengetuk pintu dengan keras bak orang yang ingin menagih utang.
“Halo, selamat malam,” sapaku kepada petugas apartemen yang terlihat kesal melihatku keluar dari dalam apartemen.
“Nona, anda belum melunasi pembayaran air dan listrik bulan ini. Aku lelah mengingatkanmu, jika akhir bulan kamu belum melunasi, kami akan memutus akses itu, permisi,” jelasnya meninggikan suara tanpa basa-basi kemudian pergi dengan langkah cepat, meninggalkanku seorang diri yang masih terkejut dengan ucapan kasarnya.
Aku masuk ke dalam lalu menutup pintu, kemudian menghela napas. Biaya rumah sakit bibi, tentu menjadi prioritasku. Tetapi, aku melupakan bahwa kehidupanku juga membutuhkan banyak biaya. Tanpa berpikir panjang, aku kemudian mencari pekerjaan sampingan lain di internet sambil melahap makanan.
***
Sepulang kuliah, aku bergegas berlari dan letakkan tasku di loker. Kemudian pergi ke akademik universitas, untuk membantu pekerjaan di sana sambil bersih-bersih. Saat selesai, aku merapikan beberapa berkas yang berserakan, kemudian duduk di kursi, karena kelelahan.
“Caramel, terima kasih,” ucap bu Sarah memberikan sebotol minuman kepadaku kemudian pergi untuk membereskan dokumen penting yang masih ada di atas mejanya.
“Sama-sama bu, saya permisi,” balasku kemudian pergi menuju loker dan bergegas untuk menerima panggilan pekerjaan.
Ketika mengambil tas, beberapa mahasiswa/i yang seangkatan denganku terdengar terus membicarakanku. Tidak asing lagi bagi telingaku untuk mendengar celotehan maupun gosip, yang terus beredar tentang diriku tanpa dasar di kampus ini.
“Lihatlah, dia selalu mencari perhatian,” ucap seorang gadis yang datang dan mulai membuka loker tidak jauh dari tempatku berdiri saat ini.
“Benar, mungkin dia ingin beasiswanya diperpanjang,” imbuh seorang lelaki yag datang bersamaan dengannya, seakan-akan tahu benar tentang kehidupanku.
“Jika kalian bergosip, seharusnya lebih keras. Bahkan tikus saja tidak bisa mendengar ucapan kalian,” balasku memandangi mereka dengan wajah datar, kemudian menutup loker dan pergi.
***
Malam ini, aku libur untuk bekerja di restoran. Ini adalah saatnya untuk mencari uang tambahan, dengan menjadi sopir pengganti. Aku selalu siap dengan pekerjaan ini, karena menurutku tidak terlalu sulit dan tidak perlu banyak bicara.
“Halo, apa kamu sopir pengganti yang saya hubungi,” tanya seorang perempuan dengan dres hitam yang ku lihat di toko beberapa saat lalu.
“Benar,” ucapku terus memandangi pakaian itu, kemudian masuk ke dalam mobil dan mengerjakan pekerjaanku.
Pukul 20.35, aku mengihitung penghasilan yang masuk di rekeningku. Rp480.000,- nominal yang lumayan untuk hari ini. Memang cukup melelahkan, namun aku menjadikan pekerjaan ini sebagai kegiatan menghibur diriku.
“Apa ini sopir pengganti?” tanya seseorang melalui telepon.
“Benar,” jawabku singkat sembari memasukkan foto bibi yang terus ku pandangi selama beberapa saat.
“Masuklah, pemilik ponsel ini sedang mabuk,” ucapnya kemudian menutup panggilan.
“Aish, bedebah itu,” ucapku mengumpat, kemudian berjalan masuk ke dalam bar dengan perasaan jengkel yang menggebu-nggebu.
Ketika sampai di dalam bar. Salah seorang bartender memberikan kode kepadaku. Dia mengatakan bahwa aku adalah sopir pengganti pria yang duduk diujung ruangan VIP. Aku pun menghampiri pria itu, dan berniat untuk segera menyelesaikan pekerjaan ini karena harus melanjutkan beberapa artikel.
“Permisi, bisa kita pergi,” ucapku berdiri di depan pria yang sedang mabuk berat itu.
“Oh iya, aku akan berdiri,” jawabnya kemudian berdiri, namun terjatuh karena terlalu mabuk tepat di depanku dan membuatku mundur beberapa langkah karena terkejut.
“Kamu, dosen muda itu,” seruku terkejut, melihat wajahnya yang tergeletak di kursi hitam dengan keadaan tidak sadarkan diri.
“Dia adalah sekretarisku, aku akan membawanya,” ucap Ravi dengan kuat meraihku dan membawaku pergi.Dengan tubuh yang masih gemetar, sepucuk ingatan lamaku muncul. Rasanya seperti mengalami de javu. Aku ingat, Ravi pernah berjalan bersamaku seperti ini sebelumnya.“Permisi,” ucapku kemudian berhenti ketika hendak masuk kedalam lift.“Jangan berbicara. Ikutlah denganku,” perintah Ravi kemudian melangkah maju ketika pintu lift terbuka.Pada awalnya, ku kira dia hanya ingin membawaku pergi ke unit kesehatan. Namun ternyata, dia membawaku pergi dengan mobil hitamnya. Karena parkiran mobil berada di basecamp, suara petir hampir tidak terdengar.Aku mengencangkan sabuk pengaman dan perlahan menarik napas dalam-dalam. “Ku mohon, Caramel. Tenanglah.” Aku sudah berlatih, mengucapkan kalimat itu berulang kali sejak terakhir bereaksi histe
Aku tidak menyangka akan bertemu kembali dengan pria kripik seblak di swalayan itu. Mungkin rasa kesalku masih tersa sampai sekarang, karena pria itu mengambil jatah kripik seblak pertama yang seharusnya jadi milikku.“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya pria itu sembari makan beberapa kripik seblak di tangannya.“A-ku, sedang bekerja. Bagaimana denganmu paman? Kenapa kamu ada di perusahaan besar ini?” tanyaku mengumpulkan kepercayaan diri bahwa telah di terima di perusahaan ini.“Aku bekerja di perusahaan besar ini. Dan satu lagi, aku tidak mengambil keripik seblak milikmu, tapi aku membelinya karena kamu mengizinkanku, oke,” jelas pria itu sembari membenarkan kacamatanya.“Baiklah, paman. Tapi, bisakah kamu membagi keripik itu. Aku, belum sarapan pagi ini. Karena mereka menyuruhku untuk datang pagi sekali. Aku akan menunggumu di ruangan kepala departemen pemasaran, oke,” pintaku kemudian be
Entah mengapa, tetapi suara-suara itu terus mengangguku. Semakin aku ingin tahu, dari mana asal suara itu, mereka justru terus berdatangan dan membuatku bingung. Hingga akhirnya, aku kembali ke fase trauma psikologi ini.“Caramel…,” teriak Bisma ketika aku pingsan di pangkuannya.Tanpa bertanya lagi, Bisma menggendongku dan segera membawaku ke ruang Kesehatan perusahaan ini. Dokter perusahaan memeriksa kondisiku, dengan catatan yang Bisma katakana, bahwa aku sering mengalami hal ini.45 menit kemudian, aku tersadar dan mulai membuka mata. Aroma ini, sangatlah nyaman, berbeda dengan ruang Kesehatan lainnya. Jari jemariku perlahan bergerak, bersamaan dengan terbukanya kedua kelopak mataku.Seseorang dengan jas dokter kemudian menghampiriku. Begitu juga dengan Bisma yang tersenyum lebar melihatku siuman.“Caramel, bagaimana keadaanmu?” tanya Bisma meme
Rasa syukur mungkin terus terungkapkan ketika matahari mulai muncul. Semua orang menyatukan kedua telapak tangan sembari tersenyum, atau bahkan menangis untuk memuji Tuhan.Sama seperti semua orang, aku menjalani pagi ini dengan berdoa kepada Tuhan seraya menyerahkan semua hasil yang akan ku dapatkan hari ini kepadanya. Berjalan melalui lobi kantor ini, membuatku sedikit gugup sekaligus Bahagia.“Baiklah, kita akan mulai interview untuk gelombang pertama. Bagi nomor urut 1 sampai 5, silakan ikut saya,” ucap seorang wanita dengan tubuh langsing dan setelan yang terlihat cocok untuknya.“25.” Aku melihat nomor yang ada pada id card kemudian menghela napas. Ini adalah kesempatan emas bagiku, untuk mendapatkan pekerjaan di salah satu perusahaan terbesar se Asia.Kring…kring…kring…“Ada apa menelponku pagi-pagi seper
Tanpa menggubris pria itu, aku pun pergi dengan keadaan kesal dan memutuskan untuk meminjam buku itu dan membacanya di rumah. Tepat ketika aku berdiri di depan mesin minuman kaleng, seseorang kembali membuatku kesal.Kling…“Kamu lagi? Apa kamu tidak bisa mengantre?” tanyaku kesal kemudian menatapnya.Dia tidak menjawab petanyaanku dan meneruskan perbuatan menyebalkannya. Ketika minuman itu sudah turun dari mesin, dia kemudian mengambilnya dan memberikannya kepadaku.“Apa maksudmu memberi minuman ini?” tanyaku terkejut saat dia menyodorkan minuman itu.“Minumlah, ini akan meredakan rasa kesalmu,” jawabnya kemudian tersenyum.“Astaga, kenapa kamu juga tersenyum? Kamu membuatku takut,” ucapku mundur beberapa langkah setelah menerima minuman itu.“Aku Ravi,” ucapnya kemudian menyodorkan tangan untuk bersalam
Aku pergi ke dapur untuk memasak beberapa makanan. Karena hari semakin larut, aku mempercepat tanganku dan segera menyelesaikan masakan itu. Namun, terdengar suara barang pecah yang membuatku terkejut.Prakkk…“Bisma, ada apa? Aku mendengar suara pecahan barang,” tanyaku menghampiri Bisma yang mulai membersihkan pecahan barang itu.“Maafkan aku, aku tidak sengaja memecahkan album foto ini,” jawab Bisma meminta maaf sembari memberikan album berisi foto pertama saat bibi menemukanku.“Lupakanlah, makanan hampir siap. Sebaiknya kamu pergi dan duduk di meja makan, oke,” balasku tersenyum kepadanya dan segera mengambil sapu untuk membersihkan bekas pecahan itu.Ketika makanan siap, aku memberi posi sup yang cukup besar kepada Bisma untuk mengisi ruang kosong yang menyebabkan bunyi menganggu itu. Tentu saja, kali ini dia bahkan tidak bisa berdiri karena kekenyan