Melihat dosen itu tergeletak karena mabuk, aku berniat untuk membatalkan pekerjaan ini. Namun, aku akan kehilangan rupiah jika menolak job terakhirku hari ini. Kemudian, aku meminta bantuan kepada beberapa pegawai bar, untuk membawanya masuk ke dalam mobil.
“Terima kasih,” ucapku kemudian masuk ke dalam mobil. Aku mengikuti alamat yang tertera di GPS, dan segera mengantarkan dosen muda ini, agar aku bisa cepat-cepat pergi.
“Tagihannya sudah masuk, silakan di bayar,” ucapku kemudian keluar dari mobil meninggalkannya yang mulai terbangun dan sesekali melepaskan kacamatanya.
“Oke,” ucapnya keluar dari mobil dengan tubuh sempoyongan karena mabuk berat yang menggerogoti kesadaran dosen itu.
Belum sempat melangkah, dosen muda itu kemudian terjatuh. Sebenarnya aku tidak peduli karena pekerjaanku sudah selesai. Namun, aku memikirkan banyak kemungkinan, jika dia terus tergeletak di sana.
Akhirnya, aku membantunya berdiri dan membopongnya sampai di kamar apartemennya. Ketika menunggu lift, tanpa ku sangka ada teman seangkatanku yang melihat kami. “Ah, sial. Mengapa aku bertemu dengan teman seangkatanku di sini?” tanyakuku kemudian bergegas masuk begitu pintu lift terbuka, dan terus menyembunyikan wajahku di balik topi yang ku kenakan.
***
“Caramel,” teriak Rosa berlari ke arahku dengan tatapan kesal sekaligus bingung.
“Oh, Rosa,” ucapku melanjutkan langkah menuju ruang kelas sembari memasukkan buku yang tadi ku ambil dari loker.
“Hei, apa kamu sudah gila? Mengapa kamu ada di apartemen dosen muda itu?” tanya Rosa meninggikan suaranya terkejut mengetahui kenyataan tentang kejadian yang ku lakukan semalam.
“Bagaimana kamu tau?” tanyaku terkejut mendengar lontaran pertanyaan itu dari Rosa.
“Lihat foto ini, wah kamu akan makin menjadi bahan gosipan,” omelnya menunjukkan fotoku membopong dosen itu.
“Ah, lupakan. Itu tidak penting,” balasku kemudian duduk dan mulai memikirkan banyak kemungkinan jika foto itu sampai di tangan para dosen dan akademik lainnya.
“Aish… gadis kurang ajar ini,” seru Rosa duduk disebelahku dengan tatapan serius tanda menginginkan jawaban dari kebenaran yang ku sembunyikan.
Dari kelas pertama, aku menggunakan earphone karena beberapa suara terus menggangguku. Ya, kurang dari 24 jam berita itu sudah menyebar di seluruh penjuru universitas. Namun, aku tidak peduli sedikitpun bahkan jika semua orang bergunjing mengenai kejadian itu.
***
Ketika jam makan siang, aku duduk bersantai di bawah pohon rindang. Ini adalah tempat favoritku, sejak aku datang ke universitas ini. Sepi dan tidak terlalu ramai orang yang berlalulalang membuatku mendapatkan kenyamanan yang selalu kuinginkan.
“Caramel,” panggil seseorang dari belakangku dengan suara yang tidak asing lagi bagiku.
“Mengapa dia memanggilku?” tanyaku menghadap ke asal suara itu kemudian melihat dosen muda yang jelas-jelas ingin ku hindari.
“Terima kasih, telah mengantar saya tadi malam. Tenang saja, saya sudah menjelaskan tentang foto itu kepada seluruh dosen saat rapat. Ternyata mereka justru berpihak kepadamu, syukurlah,” jelasnya kemudian tersenyum sembari melepaskan kacamata dan meletakkannya di saku.
“Tentu,” balasku kemudian menutup tempat makan, dan beranjak pergi berharap tidak akan bertemu dengan orang sepertinya, untuk kedua kalinya.
“Caramel, nama saya Bisma Filbert, kamu bisa memanggil saya Bisma. Karena saya pikir, usia kita tidak terlalu jauh berbeda,” teriak dosen muda itu membuatku berhenti kemudian berbalik badan karena suara teriakan lantangnya.
“Saya pikir usia kita memang berbeda, permisi,” ucapku tanpa menunjukkan ekspresi di wajahku kemudian pergi menjauh meninggalkannya seorang diri.
Aku bergegas pergi ke rumah sakit, karena perawat menghubungiku tentang keadaan bibi. Dengan tangan gemetar, aku berlari meninggalkan kampus, dan segera naik bus kota menuju rumah sakit.
***
Pukul 14.30, aku masih menemani bibi yang berusaha menelan sesendok bubur ayam. Aku terus memperhatikan kulit keriput yang sudah lama berada di wajah elok bibi, sesekali aku tersenyum saat bibi menatapku dengan penuh kasih. Aku kemudian mengupas sebuah apel untuk bibi, dan menyuapinya dengan perlahan.
“Caramel, mengapa kamu masih di sini?” tanya bibi menatapku setelah menelan buah apel yang kuberikan kepadanya.
“Aku akan menemani Bibi,” jawabku tersenyum kemudian melanjutkan mengupas buah apel lainnya, sembari menyembunyikan rasa sedihku melihat keadaan bibi yang tak kunjung membaik.
“Pulanglah, kamu pasti banyak pekerjaan,” pinta bibi memegang tanganku dengan tangan hangatnya.
“Ah, tenang saja. Aku tidak ada pekerjaan yang mendesak hari ini,” balasku memberikan potongan apel kepada bibi.
“Bibi, sayang kepadamu,” ucap bibi kemudian tersenyum, dan meneteskan air mata.
“Caramel juga sangat sayang Bibi, makanlah yang banyak agar segera sembuh. Dan kita bisa pergi ke pantai lagi, untuk melihat senja,” kataku tersenyum kepadanya kemudian meneteskan air mata karena tidak bisa menahannya lagi.
“Sepertinya, Bibi ingin makan buah pir lain kali,” ucap bibi memperhatikan buah apel yang dia pegang.
“Baiklah, aku akan membelikannya untuk Bibi,” jawabku kembali mengupas apel dan mengelap air mata yang tidak bisa ku bendung.
Setelah bibi tertidur lelap, aku berpamitan kepada perawat yang menjaga bibi. Kemudian bergegas pergi ke restoran karena aku sudah terlambat. Namun kali ini, bus kota datang cukup lama, sehingga membuatku menunggu.
***
“Kamu tau jam berapa ini?” tanya kepala dapur meninggikan suara begitu aku tiba terlambat karena suatu alasan yang mungkin tidak penting baginya.
“Tentu,” jawabku singkat, sembari menundukkan kepala tanda penyesalan karena tidaak bisa membuat alasan yang logis untuknya dalam keadaan emosi.
“Cepatlah bekerja,” bentak kepala dapur, kemudian melemparkan apron kepadaku.
Setelah mengerjakan semua pekerjaanku, aku membungkus sisa makanan seperti biasanya. Setelah itu, aku berkemas dan pulang ke apartemen sambil memijat kedua tangan dan kakiku disepanjang perjalanan.
Ketika berjalan melewani mini market, aku melihat buah pir yang segar tersusun rapi, di rak buah-buahan. Seketika aku teringat keinginan bibi, untuk bisa makan buah itu. Aku pun membelikan beberapa buah, dan membungkusnya kemudian pulang.
***
Sesampainya di rumah, perutku terus berbunyi tanda lapar yang terus membuatku risi. Ketika selesai mandi dan memanaskan makanan, aku segera melahapnya sambil berjalan menuju kulkas, untuk mengambil air mineral.
Kring… kring… kring…
“Halo,” sapaku ketika mengangkat panggilan itu sambil menyunyah makanan yang ada di dalam mulutku.
“Caramel, ini dari rumah sakit,” jawab perawat Mira dengan nada serius membuatku menelan makanan dengan cepat.
“Ada apa kak, Mira?” tanyaku, kemudian menengguk air di dalam botol dan mendengarkan ucapannya.
“Bibi, meni-nggal,” ucap perawat Mira dengan nada terputus-putus.
Entah mengapa, ketika mendengar kabar itu. Rasanya duniaku seperti berhenti berputar. Makanan yang kubawa terjatuh, tepat mendengar kata-kata terakhir yang dicapkan perawat Mira kepadaku.
“Dia adalah sekretarisku, aku akan membawanya,” ucap Ravi dengan kuat meraihku dan membawaku pergi.Dengan tubuh yang masih gemetar, sepucuk ingatan lamaku muncul. Rasanya seperti mengalami de javu. Aku ingat, Ravi pernah berjalan bersamaku seperti ini sebelumnya.“Permisi,” ucapku kemudian berhenti ketika hendak masuk kedalam lift.“Jangan berbicara. Ikutlah denganku,” perintah Ravi kemudian melangkah maju ketika pintu lift terbuka.Pada awalnya, ku kira dia hanya ingin membawaku pergi ke unit kesehatan. Namun ternyata, dia membawaku pergi dengan mobil hitamnya. Karena parkiran mobil berada di basecamp, suara petir hampir tidak terdengar.Aku mengencangkan sabuk pengaman dan perlahan menarik napas dalam-dalam. “Ku mohon, Caramel. Tenanglah.” Aku sudah berlatih, mengucapkan kalimat itu berulang kali sejak terakhir bereaksi histe
Aku tidak menyangka akan bertemu kembali dengan pria kripik seblak di swalayan itu. Mungkin rasa kesalku masih tersa sampai sekarang, karena pria itu mengambil jatah kripik seblak pertama yang seharusnya jadi milikku.“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya pria itu sembari makan beberapa kripik seblak di tangannya.“A-ku, sedang bekerja. Bagaimana denganmu paman? Kenapa kamu ada di perusahaan besar ini?” tanyaku mengumpulkan kepercayaan diri bahwa telah di terima di perusahaan ini.“Aku bekerja di perusahaan besar ini. Dan satu lagi, aku tidak mengambil keripik seblak milikmu, tapi aku membelinya karena kamu mengizinkanku, oke,” jelas pria itu sembari membenarkan kacamatanya.“Baiklah, paman. Tapi, bisakah kamu membagi keripik itu. Aku, belum sarapan pagi ini. Karena mereka menyuruhku untuk datang pagi sekali. Aku akan menunggumu di ruangan kepala departemen pemasaran, oke,” pintaku kemudian be
Entah mengapa, tetapi suara-suara itu terus mengangguku. Semakin aku ingin tahu, dari mana asal suara itu, mereka justru terus berdatangan dan membuatku bingung. Hingga akhirnya, aku kembali ke fase trauma psikologi ini.“Caramel…,” teriak Bisma ketika aku pingsan di pangkuannya.Tanpa bertanya lagi, Bisma menggendongku dan segera membawaku ke ruang Kesehatan perusahaan ini. Dokter perusahaan memeriksa kondisiku, dengan catatan yang Bisma katakana, bahwa aku sering mengalami hal ini.45 menit kemudian, aku tersadar dan mulai membuka mata. Aroma ini, sangatlah nyaman, berbeda dengan ruang Kesehatan lainnya. Jari jemariku perlahan bergerak, bersamaan dengan terbukanya kedua kelopak mataku.Seseorang dengan jas dokter kemudian menghampiriku. Begitu juga dengan Bisma yang tersenyum lebar melihatku siuman.“Caramel, bagaimana keadaanmu?” tanya Bisma meme
Rasa syukur mungkin terus terungkapkan ketika matahari mulai muncul. Semua orang menyatukan kedua telapak tangan sembari tersenyum, atau bahkan menangis untuk memuji Tuhan.Sama seperti semua orang, aku menjalani pagi ini dengan berdoa kepada Tuhan seraya menyerahkan semua hasil yang akan ku dapatkan hari ini kepadanya. Berjalan melalui lobi kantor ini, membuatku sedikit gugup sekaligus Bahagia.“Baiklah, kita akan mulai interview untuk gelombang pertama. Bagi nomor urut 1 sampai 5, silakan ikut saya,” ucap seorang wanita dengan tubuh langsing dan setelan yang terlihat cocok untuknya.“25.” Aku melihat nomor yang ada pada id card kemudian menghela napas. Ini adalah kesempatan emas bagiku, untuk mendapatkan pekerjaan di salah satu perusahaan terbesar se Asia.Kring…kring…kring…“Ada apa menelponku pagi-pagi seper
Tanpa menggubris pria itu, aku pun pergi dengan keadaan kesal dan memutuskan untuk meminjam buku itu dan membacanya di rumah. Tepat ketika aku berdiri di depan mesin minuman kaleng, seseorang kembali membuatku kesal.Kling…“Kamu lagi? Apa kamu tidak bisa mengantre?” tanyaku kesal kemudian menatapnya.Dia tidak menjawab petanyaanku dan meneruskan perbuatan menyebalkannya. Ketika minuman itu sudah turun dari mesin, dia kemudian mengambilnya dan memberikannya kepadaku.“Apa maksudmu memberi minuman ini?” tanyaku terkejut saat dia menyodorkan minuman itu.“Minumlah, ini akan meredakan rasa kesalmu,” jawabnya kemudian tersenyum.“Astaga, kenapa kamu juga tersenyum? Kamu membuatku takut,” ucapku mundur beberapa langkah setelah menerima minuman itu.“Aku Ravi,” ucapnya kemudian menyodorkan tangan untuk bersalam
Aku pergi ke dapur untuk memasak beberapa makanan. Karena hari semakin larut, aku mempercepat tanganku dan segera menyelesaikan masakan itu. Namun, terdengar suara barang pecah yang membuatku terkejut.Prakkk…“Bisma, ada apa? Aku mendengar suara pecahan barang,” tanyaku menghampiri Bisma yang mulai membersihkan pecahan barang itu.“Maafkan aku, aku tidak sengaja memecahkan album foto ini,” jawab Bisma meminta maaf sembari memberikan album berisi foto pertama saat bibi menemukanku.“Lupakanlah, makanan hampir siap. Sebaiknya kamu pergi dan duduk di meja makan, oke,” balasku tersenyum kepadanya dan segera mengambil sapu untuk membersihkan bekas pecahan itu.Ketika makanan siap, aku memberi posi sup yang cukup besar kepada Bisma untuk mengisi ruang kosong yang menyebabkan bunyi menganggu itu. Tentu saja, kali ini dia bahkan tidak bisa berdiri karena kekenyan