Mungkinkah ini akhir dari takdir pilu yang ku alami. Yang terus-menerus datang tanpa welas asih, dan menggerogoti harapan tulus yang terus ku panjatkan setiap harinya. Dinginnya air sungai tidak sebanding dengan kesunyian yang ku alami.
Air ini seakan-akan berbicara kepadaku, jika dunia terlalu pemilih untuk manusia lemah seperti diriku saat ini. Gelapnya kedalaman sungai kini mulai membuaku merasakan kehampaan paling mengerikan.
“Caramel.” Dalam gelap dan heningnya sungai ini, aku mendengar satu suara yang sepertinya pernah ku dengar sebelumnya. Aku melihat seorang wanita muda berenang ke arahku. Dia menggapai tubuhku dan berusaha menyelamatkanku, tetapi aku pun tidak bisa melawan kehendak tubuhku yang lemah dan mulai menutup mata rapat-rapat.
***
“Apa kata dokter?” tanya seorang wanita dengan blazer hitam yang bangkit dari sofa, ketika seorang laki-laki masuk ke dalam ruangan ini.
“Ini buruk,” jawab laki-laki itu menggelengkan kepala. Perlahan mendekati sang wanita dan memeluknya erat-erat, kemudian menatapku.
Wajah mereka tampak tidak asing bagiku, namun aku tidak melihatnya dengan jelas. Sepasang suami istri dengan cincin pernikahan di jari manis mereka, kemudian menghampiriku yang tergeletak lemas di atas kasur tosca.
Sang wanita menyalahkan dirinya atas kejadian yang menimpaku, begitupun dengan laki-laki yang bersamanya. Mengedipkan mata beberapa kali untuk memberi tanda bahwa aku baik-baik saja, ternyata tidak begitu berguna untuk menenangkan mereka.
Sesaat kemudian, perawat masuk ke ruangan kubus ini dan menjemput mereka dengan raut wajah yang tidak biasa. Tubuhku yang tidak berdaya terus berusaha untuk bangun dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Caramel,” panggil seseorang yang baru saja masuk ke dalam ruangan ini. Dia tampaknya mengenaliku, dari caranya bersikap sok akrab dengan bahasa santai yang terlontarkan dari mulut tebalnya itu. Tiba-tiba, dia menyuntikkan sesuatu ke dalam cairan infusku.
Aku berusaha meronta, namun itu sia-sia karena cairan itu kini sudah menyebar di dalam tubuh lemah ini. Ketika membuka mata, aku mendapati diriku berselimut kardus tipis tepat di samping tempat pembuangan sampah jalan Serdadu.
***
“Bibi,” ucapku lirih kemudian memaksakan diri untuk membuka mata lebar-lebar. Ruangan asing ini, nampaknya tidak terlalu asing lagi bagiku. Tubuhku terguncang, tepat saat aku sadar ini adalah ruangan pria menyebalkan itu.
“Caramel, apa kamu baik-baik saja?” tanya Bisma melihatku sadar dan terbangun dengan tatapan khawatir yang jelas terukir di wajahnya.
“Mengapa aku masih hidup?” tanyaku memperhatikan sekeliling ruangan dengan nyeri kepala yang terus menyiksa diriku dari dalam.
“Jangan berkata seperti itu,” jawab Bisma kemudian memberiku segelas air dengan senyum tipis di bibirnya.
“Mengapa kamu ikut campur dengan urusanku?” tanyaku melemparkan gelas air itu, kemudian berdiri dengan tatapan marah kepada Bisma.
“Tenanglah,” pinta Bisma berusaha menenangkanku, mengisyaratkan bahwa dia menunjukkan belas kasih yang sama sekali tidak ku harapkan.
Tanpa berpikir panjang dan bertanya bagaimana bisa aku selamat dari maut itu. Aku mengambil tas dan bergegas keluar dari apartemen itu. Bisma mencoba menghentikanku, namun kali ini aku tidak ingin ada seorangpun yang ikut campur tentang pilihan dalam hidupku, termasuk dia.
***
Pukul 04.25, aku sampai di apartemenku dalam keadaan kacau. Persis setelah semua hal mengerikan itu menimpaku, bahkan untuk berdiri pun aku tidak memiliki alasan lagi. Samar-samar foto bibi membuatku terhibur dengan senyuman lebar di bibirnya.
“Bibi, kamu membohongiku. Bibi bilang jika aku menyelesaikan pendidikan dan mulai bekerja dengan layak, kita akan berlibur ke pantai bersama. Bibi menipuku,” ucapku meraih bingkai foto itu kemudian memeluknya erat-erat, seakan tidak percaya dia sudah kembali ke pelukan Tuhan.
Tanpa sadar, aku tertidur dan melupakan bahwa hari ini aku memiliki kelas penting di semester terakhirku. Ketika terbangun, aku pun bergegas untuk pergi ke kampus dan berharap kelas belum usai.
“Maaf, Pak. Saya terlambat,” ucapku menundukkan kepala tanda penyesalan dan dengan tubuh bergetar.
“Masuk dan duduklah,” balas dosen itu mempersilahkanku duduk dan mulai melanjutkan kelas yang sempat terjeda karena kedatanganku.
***
“Caramel,” panggil Rosa berlari ke arahku kemudian memelukku tiba-tiba dan membuat tubuhku terguncang karena tidak memiliki tenaga lagi.
“Ada apa?” tanyaku pelan sembari berusaha tersenyum lebar kepadanya, dan berharap dia tidak mengungkit tentang kematian bibi.
“Maafkan aku, Cara. Aku tidak tahu jika Bibi meninggal,” jawab Rosa kemudian memelukku dan menepuk pundakku halus, berharap bisa mengurangi derita yang ku pikul seumur hidupku.
Mendengar perkataan Rosa, beberapa teman seangkatanku kini meletakkan pandangannya kepadaku. Berpasang-pasang mata elok saat ini menatapku tanpa henti, baik dengan tatapan duka maupun dengki.
“Bukankah, Bibi yang dimaksud adalah wanita yang selama ini menghidupinya. Pasti dia meninggal karena pengaruh sial perempuan itu,” ucap seorang wanita dengan tatapan sinis yang ditujukan untukku, seakan-akan aku akar masalah dari musibah yang menimpa diriku sendiri.
“Pacar yang selama ini dia banggakan, ternyata berselingkuh. Aku baru menerima kabar ini dari mahasiswa fakultas teknik. Tetapi aku tidak percaya laki-laki itu berselingkuh, yang ada malah perempuan busuk itu berselingkuh,” hardik mahasiswa lainnya yang makin tidak memiliki batasan dalam ucapannya. Seperti bom waktu yang siap meledak sekaligus membinasakan targetnya.
“Tutup mulut kalian,” teriak Rosa dengan lantang menandakan kesabarannya sudah habis.
Aku tidak bisa berkata apapun dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Bahkan saat ini untuk menopang tubuhku sendiri, aku tidak mampu dan hampir terjatuh jika Rosa tidak menopangku kuat-kuat.
Caramel… Caramel… Caramel…
Suara itu kembali datang dan membuat kepalaku mengalami nyeri yang luar biasa. Suara yang sama ketika aku tenggelam di dasar sungai, saat berniat mengakhiri hidupku. Suara itu terus membuatku tidak nyaman dan mulai terjatuh.
Rosa yang panik kemudian meminta bantuan kepada semua mahasiswa/i yang tengah memperhatikanku, namun tidak ada seorangpun yang mendekat. Tubuhku terguncang hebat dan mulai merintih kesakitan. Darah perlahan keluar dari kedua lubang hidungku, dan membuat Rosa berteriak hidteris memohon bantuan untukku.
“Caramel, ini Bunda.”
“Dia adalah sekretarisku, aku akan membawanya,” ucap Ravi dengan kuat meraihku dan membawaku pergi.Dengan tubuh yang masih gemetar, sepucuk ingatan lamaku muncul. Rasanya seperti mengalami de javu. Aku ingat, Ravi pernah berjalan bersamaku seperti ini sebelumnya.“Permisi,” ucapku kemudian berhenti ketika hendak masuk kedalam lift.“Jangan berbicara. Ikutlah denganku,” perintah Ravi kemudian melangkah maju ketika pintu lift terbuka.Pada awalnya, ku kira dia hanya ingin membawaku pergi ke unit kesehatan. Namun ternyata, dia membawaku pergi dengan mobil hitamnya. Karena parkiran mobil berada di basecamp, suara petir hampir tidak terdengar.Aku mengencangkan sabuk pengaman dan perlahan menarik napas dalam-dalam. “Ku mohon, Caramel. Tenanglah.” Aku sudah berlatih, mengucapkan kalimat itu berulang kali sejak terakhir bereaksi histe
Aku tidak menyangka akan bertemu kembali dengan pria kripik seblak di swalayan itu. Mungkin rasa kesalku masih tersa sampai sekarang, karena pria itu mengambil jatah kripik seblak pertama yang seharusnya jadi milikku.“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya pria itu sembari makan beberapa kripik seblak di tangannya.“A-ku, sedang bekerja. Bagaimana denganmu paman? Kenapa kamu ada di perusahaan besar ini?” tanyaku mengumpulkan kepercayaan diri bahwa telah di terima di perusahaan ini.“Aku bekerja di perusahaan besar ini. Dan satu lagi, aku tidak mengambil keripik seblak milikmu, tapi aku membelinya karena kamu mengizinkanku, oke,” jelas pria itu sembari membenarkan kacamatanya.“Baiklah, paman. Tapi, bisakah kamu membagi keripik itu. Aku, belum sarapan pagi ini. Karena mereka menyuruhku untuk datang pagi sekali. Aku akan menunggumu di ruangan kepala departemen pemasaran, oke,” pintaku kemudian be
Entah mengapa, tetapi suara-suara itu terus mengangguku. Semakin aku ingin tahu, dari mana asal suara itu, mereka justru terus berdatangan dan membuatku bingung. Hingga akhirnya, aku kembali ke fase trauma psikologi ini.“Caramel…,” teriak Bisma ketika aku pingsan di pangkuannya.Tanpa bertanya lagi, Bisma menggendongku dan segera membawaku ke ruang Kesehatan perusahaan ini. Dokter perusahaan memeriksa kondisiku, dengan catatan yang Bisma katakana, bahwa aku sering mengalami hal ini.45 menit kemudian, aku tersadar dan mulai membuka mata. Aroma ini, sangatlah nyaman, berbeda dengan ruang Kesehatan lainnya. Jari jemariku perlahan bergerak, bersamaan dengan terbukanya kedua kelopak mataku.Seseorang dengan jas dokter kemudian menghampiriku. Begitu juga dengan Bisma yang tersenyum lebar melihatku siuman.“Caramel, bagaimana keadaanmu?” tanya Bisma meme
Rasa syukur mungkin terus terungkapkan ketika matahari mulai muncul. Semua orang menyatukan kedua telapak tangan sembari tersenyum, atau bahkan menangis untuk memuji Tuhan.Sama seperti semua orang, aku menjalani pagi ini dengan berdoa kepada Tuhan seraya menyerahkan semua hasil yang akan ku dapatkan hari ini kepadanya. Berjalan melalui lobi kantor ini, membuatku sedikit gugup sekaligus Bahagia.“Baiklah, kita akan mulai interview untuk gelombang pertama. Bagi nomor urut 1 sampai 5, silakan ikut saya,” ucap seorang wanita dengan tubuh langsing dan setelan yang terlihat cocok untuknya.“25.” Aku melihat nomor yang ada pada id card kemudian menghela napas. Ini adalah kesempatan emas bagiku, untuk mendapatkan pekerjaan di salah satu perusahaan terbesar se Asia.Kring…kring…kring…“Ada apa menelponku pagi-pagi seper
Tanpa menggubris pria itu, aku pun pergi dengan keadaan kesal dan memutuskan untuk meminjam buku itu dan membacanya di rumah. Tepat ketika aku berdiri di depan mesin minuman kaleng, seseorang kembali membuatku kesal.Kling…“Kamu lagi? Apa kamu tidak bisa mengantre?” tanyaku kesal kemudian menatapnya.Dia tidak menjawab petanyaanku dan meneruskan perbuatan menyebalkannya. Ketika minuman itu sudah turun dari mesin, dia kemudian mengambilnya dan memberikannya kepadaku.“Apa maksudmu memberi minuman ini?” tanyaku terkejut saat dia menyodorkan minuman itu.“Minumlah, ini akan meredakan rasa kesalmu,” jawabnya kemudian tersenyum.“Astaga, kenapa kamu juga tersenyum? Kamu membuatku takut,” ucapku mundur beberapa langkah setelah menerima minuman itu.“Aku Ravi,” ucapnya kemudian menyodorkan tangan untuk bersalam
Aku pergi ke dapur untuk memasak beberapa makanan. Karena hari semakin larut, aku mempercepat tanganku dan segera menyelesaikan masakan itu. Namun, terdengar suara barang pecah yang membuatku terkejut.Prakkk…“Bisma, ada apa? Aku mendengar suara pecahan barang,” tanyaku menghampiri Bisma yang mulai membersihkan pecahan barang itu.“Maafkan aku, aku tidak sengaja memecahkan album foto ini,” jawab Bisma meminta maaf sembari memberikan album berisi foto pertama saat bibi menemukanku.“Lupakanlah, makanan hampir siap. Sebaiknya kamu pergi dan duduk di meja makan, oke,” balasku tersenyum kepadanya dan segera mengambil sapu untuk membersihkan bekas pecahan itu.Ketika makanan siap, aku memberi posi sup yang cukup besar kepada Bisma untuk mengisi ruang kosong yang menyebabkan bunyi menganggu itu. Tentu saja, kali ini dia bahkan tidak bisa berdiri karena kekenyan