“Siapa kamu?” tanyaku menatap wajah yang berbinar di bawah cahaya rembulan.
Suara itu terdengar familier di telingaku. Berdiri di bawah pohon persik dengan daun-daun yang mulai berguguran, membuatku merasa bahwa ingatanku mengingat wajah dan suasana itu.
***
“Syukurlah.” Bau obat yang menyengat membuatku mulai membuka mata. Jari-jemariku mulai bergerak bersamaan dengan terbukanya kedua kelopak mataku. Suasana asing dan bau yang tidak kusuka, membuatku terburu-buru untuk bangkit dan melihat keadaan.
“Cara, apa kamu baik-baik saja?” tanya Rosa duduk di sebelahku, kemudian menggenggam tanganku erat-erat.
“Rosa, apa yang terjadi? Mengapa aku ada di kamar ini? Tidak, kita harus pergi. Biaya rumah sakit ini, pasti akan menguras seluruh uang direkeningku,” tanyaku berusaha beranjak dari tempat tidur, dengan tubuh yang masih bergetar setelah mengetahui kamar mewah ini.
“Tenanglah, semua biayanya sudah dilunasi,” jawab Rosa menidurkanku kembali dan mulai tersenyum manis, menandakan semuanya sudah diurus sampai selesai.
Tepat setelah cairan infusku habis, dokter mengizinkanku untuk pulang dan beristirahat di rumah. Rosa terus menemaniku hingga aku masuk ke dalam apartemen dan memastikanku tertidur lelap, setelah menghabiskan semangkuk bubur hangat.
“Beristirahatlah, aku akan pulang.” Sesaat setelah Rosa meninggalkan apartemen, aku yang berpura-pura tertidur pun bangun dan pergi ke kamar bibi. Hari ini, entah mengapa aku sangat merindukan sosok wanita itu.
Malam yang sunyi ini, membuatku berbaring sembari memeluk erat selimut yang biasa bibi gunakan semasa hidupnya. Bahkan, aromanya masih tercium hangat di kamar ini, seakan-akan dia memang tidak pernah meninggalkanku sendirian.
Kring…Kring…
“Tidurlah, selamat malam.” Isi pesan yang baru ku baca sesaat setelah dering ponselku. Nomor itu tidak lain adalah milik Bisma, lelaki yang suka ikut campur itu. Mengabaikan pesan itu adalah pilihan terbaik yang bisa ku ambil kali ini.
***
“Tolong lepaskan putriku,” jerit seorang wanita dengan luka tusuk dan darah yang mengalir deras sembari merintih meminta tolong.
“Apa aku terlihat akan mengabulkan permintaanmu? Diamlah,” bentak seseorang bertudung hitam berdiri tepat di depan wanita yang terkapar lemah itu.
Aku melihat semua itu, tetapi aku tidak tahu apa yang terjadi. Tubuhku terasa kaku, bahkan mulutku tidak bisa terbuka ataupun mengeluarkan suara. Membisu sembari menyaksikan tragedi itu adalah satu-satunya hal yang bisa ku lakukan.
“Mautmu telah tiba, jadi berhentilah memohon, atau akan ku bunuh dia,” ucap seseorang bertudung itu kemudian menarik rambut wanita yang terkapar di tanah dengan keras.
“Tidak, Caramel.”
***
“Tidak.” Aku terbangun tepat setelah mimpi itu berhenti. Entah mengapa aku terus mengalami mimpi yang sama, sejak tenggelam di sungai itu. Sosok wanita itu, terus muncul dan meminta tolong sambil menyebut namaku.
Kring…kring…kring…
“Caramel,” teriak Rosa mengejutkanku tepat saat ponsel itu menyentuh daun telingaku.
“Astaga, ada apa pagi-pagi sudah berteriak? Kamu mengejutkanku,” tanyaku mengelus lembut telingaku yang mungkin akan mengalami gangguan karena suara teriakannya.
“Cepatlah ke kampus,” perintah Rosa kemudian mengakhiri panggilan itu, dan membuatku bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi.
Ketika selesai bersiap-siap, aku bergegas menuju halte bus. Namun, pagi ini tidak ada satu pun bus yang singgah dan membuatku khawatir karena Rosa mengakhiri panggilan itu tanpa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
Chittt…
“Masuklah.” Suara itu terdengar tidak asing bagiku, tepat setelah aku mengecek jam tangan, mobil Bisma menepi dan dia mulai menawarkan tumpangan untukku. Karena tidak memiliki pilihan lain, aku pun setuju dan ikut bersamanya.
***
“Rosa,” teriakku ketika mengetahui Rosa berkelahi dengan seseorang tepat di lobi fakultas.
“Hei, Caramel. Akhirnya kamu datang,” teriak perempuan yang berkelahi dengan Rosa, sesaat setelah menyadari kehadiranku. Perempuan itu tidak lain adalah selingkuhan Riko.
“Lepaskan dia,” perintahku sembari melepaskan tangan kotor itu dari rambut sahabatku. Namun, kali ini dia tampak memendam amarah yang tidak biasa.
“Oke, karena saat ini urusanku adalah denganmu, aku akan bertanya. Apa kamu merebut Riko dariku?” tanya perempuan itu dengan mata berkaca-kaca dengan perut sedikit buncit, membuatku mulai mengerti keadaan yang dia alami.
“Jaga ucapanmu, kamulah yang merebut Riko dari Caramel,” balas Rosa berdiri mengahangi perempuan itu mendekatiku, namun aku memilih untuk maju dan menghadapinya.
Saat ini, tidak hanya mahasiswa/i yang memperhatikan kejadian ini. Banyak juga dosen maupun pegawai akademik lainnya yang terus mengawasi kami. Aku tahu jika pertengkaran ini memanglah sangat memalukan, namun kali ini aku tidak akan mengalah lagi.
“Apa dia mencampakkanmu?” tanyaku perlahan maju dan membuat raut wajah perempuan itu makin memerah.
“Jaga ucapanmu,” jawab perempuan itu perlahan mundur sembari menatap mataku tajam, dan mulai memalingkan wajahnya.
“Apakah dia sudah bosan denganmu? Atau karena dia tahu jika kamu sedang hamil, lalu dia melarikan diri?” tanyaku kembali menyudutkannya dan mebuat semua orang berlomba-lomba mengabadikan moment itu.
“Tutup mulutmu. Lepaskan dia, Riko adalah milikku. Dia tidak akan meninggalkanku dan kembali kepada wanita sepertimu” bantah perempuan itu bersiap mengayunkan telapak tangannya ke wajahku, namun Bisma lagi-lagi ikut campur dan menghalanginya.
Plakk…
“Caramel,” ucap Bisma ketika aku menampar keras wanita itu, tepat saat Bisma menghentikannya menamparku.
“Jangan khawatir, aku tidak membutuhkan sampah yang kamu pungut dariku seperti Riko. Aku yakin dia sudah menemukan perempuan yang lebih kaya darimu,” balasku kemudian menggandeng tangan Rosa dan meninggalkan tempat itu.
Dari kejauhan, Riko terlihat berlari menghampiriku dan membuat langkahku terhenti. Tanpa ku sangka, pria yang selama ini kukenal tidak akan menyakitiku, kini kembali membuat lubang terdalam di hatiku.
Plakk…
“Kamu tidur dengan pria itu?” tanya Riko menunjukkan sebuah video ketika Bisma menggendongku masuk ke apartemennya.
“Dia adalah sekretarisku, aku akan membawanya,” ucap Ravi dengan kuat meraihku dan membawaku pergi.Dengan tubuh yang masih gemetar, sepucuk ingatan lamaku muncul. Rasanya seperti mengalami de javu. Aku ingat, Ravi pernah berjalan bersamaku seperti ini sebelumnya.“Permisi,” ucapku kemudian berhenti ketika hendak masuk kedalam lift.“Jangan berbicara. Ikutlah denganku,” perintah Ravi kemudian melangkah maju ketika pintu lift terbuka.Pada awalnya, ku kira dia hanya ingin membawaku pergi ke unit kesehatan. Namun ternyata, dia membawaku pergi dengan mobil hitamnya. Karena parkiran mobil berada di basecamp, suara petir hampir tidak terdengar.Aku mengencangkan sabuk pengaman dan perlahan menarik napas dalam-dalam. “Ku mohon, Caramel. Tenanglah.” Aku sudah berlatih, mengucapkan kalimat itu berulang kali sejak terakhir bereaksi histe
Aku tidak menyangka akan bertemu kembali dengan pria kripik seblak di swalayan itu. Mungkin rasa kesalku masih tersa sampai sekarang, karena pria itu mengambil jatah kripik seblak pertama yang seharusnya jadi milikku.“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya pria itu sembari makan beberapa kripik seblak di tangannya.“A-ku, sedang bekerja. Bagaimana denganmu paman? Kenapa kamu ada di perusahaan besar ini?” tanyaku mengumpulkan kepercayaan diri bahwa telah di terima di perusahaan ini.“Aku bekerja di perusahaan besar ini. Dan satu lagi, aku tidak mengambil keripik seblak milikmu, tapi aku membelinya karena kamu mengizinkanku, oke,” jelas pria itu sembari membenarkan kacamatanya.“Baiklah, paman. Tapi, bisakah kamu membagi keripik itu. Aku, belum sarapan pagi ini. Karena mereka menyuruhku untuk datang pagi sekali. Aku akan menunggumu di ruangan kepala departemen pemasaran, oke,” pintaku kemudian be
Entah mengapa, tetapi suara-suara itu terus mengangguku. Semakin aku ingin tahu, dari mana asal suara itu, mereka justru terus berdatangan dan membuatku bingung. Hingga akhirnya, aku kembali ke fase trauma psikologi ini.“Caramel…,” teriak Bisma ketika aku pingsan di pangkuannya.Tanpa bertanya lagi, Bisma menggendongku dan segera membawaku ke ruang Kesehatan perusahaan ini. Dokter perusahaan memeriksa kondisiku, dengan catatan yang Bisma katakana, bahwa aku sering mengalami hal ini.45 menit kemudian, aku tersadar dan mulai membuka mata. Aroma ini, sangatlah nyaman, berbeda dengan ruang Kesehatan lainnya. Jari jemariku perlahan bergerak, bersamaan dengan terbukanya kedua kelopak mataku.Seseorang dengan jas dokter kemudian menghampiriku. Begitu juga dengan Bisma yang tersenyum lebar melihatku siuman.“Caramel, bagaimana keadaanmu?” tanya Bisma meme
Rasa syukur mungkin terus terungkapkan ketika matahari mulai muncul. Semua orang menyatukan kedua telapak tangan sembari tersenyum, atau bahkan menangis untuk memuji Tuhan.Sama seperti semua orang, aku menjalani pagi ini dengan berdoa kepada Tuhan seraya menyerahkan semua hasil yang akan ku dapatkan hari ini kepadanya. Berjalan melalui lobi kantor ini, membuatku sedikit gugup sekaligus Bahagia.“Baiklah, kita akan mulai interview untuk gelombang pertama. Bagi nomor urut 1 sampai 5, silakan ikut saya,” ucap seorang wanita dengan tubuh langsing dan setelan yang terlihat cocok untuknya.“25.” Aku melihat nomor yang ada pada id card kemudian menghela napas. Ini adalah kesempatan emas bagiku, untuk mendapatkan pekerjaan di salah satu perusahaan terbesar se Asia.Kring…kring…kring…“Ada apa menelponku pagi-pagi seper
Tanpa menggubris pria itu, aku pun pergi dengan keadaan kesal dan memutuskan untuk meminjam buku itu dan membacanya di rumah. Tepat ketika aku berdiri di depan mesin minuman kaleng, seseorang kembali membuatku kesal.Kling…“Kamu lagi? Apa kamu tidak bisa mengantre?” tanyaku kesal kemudian menatapnya.Dia tidak menjawab petanyaanku dan meneruskan perbuatan menyebalkannya. Ketika minuman itu sudah turun dari mesin, dia kemudian mengambilnya dan memberikannya kepadaku.“Apa maksudmu memberi minuman ini?” tanyaku terkejut saat dia menyodorkan minuman itu.“Minumlah, ini akan meredakan rasa kesalmu,” jawabnya kemudian tersenyum.“Astaga, kenapa kamu juga tersenyum? Kamu membuatku takut,” ucapku mundur beberapa langkah setelah menerima minuman itu.“Aku Ravi,” ucapnya kemudian menyodorkan tangan untuk bersalam
Aku pergi ke dapur untuk memasak beberapa makanan. Karena hari semakin larut, aku mempercepat tanganku dan segera menyelesaikan masakan itu. Namun, terdengar suara barang pecah yang membuatku terkejut.Prakkk…“Bisma, ada apa? Aku mendengar suara pecahan barang,” tanyaku menghampiri Bisma yang mulai membersihkan pecahan barang itu.“Maafkan aku, aku tidak sengaja memecahkan album foto ini,” jawab Bisma meminta maaf sembari memberikan album berisi foto pertama saat bibi menemukanku.“Lupakanlah, makanan hampir siap. Sebaiknya kamu pergi dan duduk di meja makan, oke,” balasku tersenyum kepadanya dan segera mengambil sapu untuk membersihkan bekas pecahan itu.Ketika makanan siap, aku memberi posi sup yang cukup besar kepada Bisma untuk mengisi ruang kosong yang menyebabkan bunyi menganggu itu. Tentu saja, kali ini dia bahkan tidak bisa berdiri karena kekenyan