Not everyone is lucky with a great love story, especially for Riley. Love did nothing but only scar her heart. It began when her family tore apart; she was just two, so all she could remember was her father leaving. The first man she ever loved abandoned her, and she never saw him again. Then a few years later, her mother abandoned her, leaving her older sister in charge. It didn’t stop there, though. Riley got hurt once again when her fiance cheated on her. She decided that love wasn’t meant for her and she should stay single forever, focusing on her life and career. One day she was surfing the internet and found a very great deal. It was a one-week vacation on an island, with a suite over-viewing the ocean, and the price was affordable. It was a sketchy offer, but who cares, she just wanted a week off. So, she took her chance with no hesitation, not realizing the surprise waiting for her on the island. Everything went just fine for her till she found out that she had to share the suite with a stranger, a very hot stranger. Not only will they share a room, but he will also make a deal with her. He made a bargain with her. He would mend her broken heart, showing her what real love is supposed to be in that one week. She agreed, knowing he will lose anyway. The funny part, her clueless self doesn’t even know that stranger was Zack Harrison, the CEO of Harrison’s real estate brokering, one of the top bachelors.
View More"Baju dari mana ini, Dek?”
Aku menolehkan muka dengan senyum penuh kebahagiaan. Bang Agam terhenyak melihat ekspresiku saat menatapnya.
Penuh kebahagiaan, binar bersuka cita memancar dengan hebatnya. Inilah yang seharusnya kurasakan sebagai seorang wanita.
"Dek, baju dari mana? Bagus sekali!" puji Bang Agam lagi.
Senyumku malah semakin merekah. Bukannya menjawab, aku mengedipkan mata pada pria bertubuh tinggi itu.
Setelahnya, kutautkan pandangan di cermin. Cantik sekali pantulan pada bidang datar itu!
Gamis panjang dari brand ternama serta jilbab motif yang sangat lembut terpadu sempurna. Riasan sederhana juga membuat wajahku segar dipandang.
"Dek?"
"Dari mana lagi, Abang. Aku beli, dong!" balasku pada Bang Agam sembari melirik meja rias yang isinya hanya ada beberapa kosmetik murah.
"U-u ...."
Bang Agam tergugu. Aku tahu benar kata apa yang hendak diucapkan olehnya.
"Uangnya dari mana maksud Abang?"
Pria itu lekas membuang pandang. Telinganya merona merah, jelas saja merasa malu dengan ucapanku.
Selama menjadi istrinya, hanya di awal pernikahan saja Bang Agam memperlakukanku sebagai seorang ratu. Di tahun kedua pernikahan, dia membawa neraka untukku.
"Bagus kan, Bang? Harganya satu juta setengah." Aku mengumbar dengan sengaja.
Bang Agam menelan ludah. Bingung dengan apa yang terjadi di depannya.
Bagaimana bisa istri yang dinafkahi hanya lima belas ribu sehari bisa membeli barang berharga jutaan? Itu juga kalau seluruh uangnya ditabung dan tidak dibelanjakan bahan makanan, maka butuh berbulan-bulan.
Terbayang betapa frustrasinya Bang Agam memikirkan hal ini. Apa dia mengira aku akan pergi kondangan ke kampung sebelah hanya dengan gamis tua hasil seserahannya dulu itu? Atau setelan yang dibelinya dua bulan setelah menikahiku?
Kalau dulu, pasti begitu. Sekarang, aku tidak lagi sudi menegak pahitnya rumah tangga sendirian.
“Bang, cepetan! Nanti telat loh kondangannya,” seruku pada Bang Agam yang masih terdiam di belakangku.
Pria itu belum berganti pakaian, masih dengan kaos rumahan dan celana longgar. Wajahnya pucat pasi, keningnya mengernyit tanpa henti.
Tidak ingin menyia-nyiakan keadaan, aku beranjak menuju lemari kami yang megah. Salah satu laci kubuka segera, kemudian mengeluarkan sebuah kotak tersembunyi di dalamnya.
Tertulis sebuah brand besar yang ramai diminati para elit dan sosialita. Meski bukan versi paling bagus, tapi setidaknya berasal dari salah satu merek tersebut.
Kubuka kotak gelap yang kokoh itu, lalu mengurai lapisan atasnya yang selembut kapas. Di bawahnya bersembunyi sebuah tas kecil berwarna hitam. Ada logo dari brand tersebut di atasnya, mengkilap indah dengan dasar warna perak.
“Bagus enggak, Bang?” pamerku pada Bang Agam.
Pria itu seperti menelan biji nangka dan tersangkut di tenggorokannya berhari-hari. Buru-buru dia mengambil tas tersebut dari tanganku, langsung mengamati tanpa henti.
“A-apa ini, Dek?”
“Apa lagi, Bang? Tas, dong. Harganya dua juta setengah untuk tas sekecil itu!” umbarku dengan senyum merekah.
Sudah bisa kupastikan Bang Agam seperti menerima syok terapi. Selama ini dia memperlakukanku dengan buruk dan enggan memberiku nafkah. Tiba-tiba saja, istrinya yang diabaikan membawa banyak barang-barang mahal seperti yang dipakai olehnya dan ibu mertua selama ini.
“Dek, dari mana uangnya? Kenapa ....”
Dibanding menjawab, aku segera mengambil kembali tas bagus milikku. Dulu, aku bisa memakainya bahkan bisa mengoleksi hingga tiga tas di rentang harga ini. Sedangkan sekarang, bermimpi pun rasanya tidak pantas.
Syukurlah, Allah memberiku kekuatan dan ketekunan. Sekarang ... akan kubalas semua perlakuan buruk itu.
“Aku tunggu di luar, ya?” paparku masih dengan senyuman.
Usai menyampir tas di pundak, buru-buru aku melenggang keluar dari kamar. Tidak menghentikan langkah meski Bang Agam keberatan.
Dia mencoba melarang, meminta agar aku tetap bersamanya di kamar. Tapi, telingaku bak tuli dan gerak tubuh ini tidak bisa dikendali.
Aku tetap keluar dari kamar kami yang mewah dengan penampilan yang juga mewah. Siap menghadapi hari ini tanpa rasa ragu meski hanya sedetik.
“A-apa?”
Senyumku terbit lagi. Seruan penuh kejut itu sudah pasti dari ibu mertuaku yang budiman. Perempuan dengan dua anak lelaki itu sangat mencintai menantunya hingga rela mengekori hidup anak-anaknya serta memberi komentar untuk setiap gerak-gerik mereka.
“I-ima?” panggilnya.
Ibu mertuaku, perempuan paruh baya yang berbicara selembut salju berusaha menghampiri. Dia mengabaikan sarapannya demi menemui diriku yang sudah sangat siap menghadapi dunia kali ini.
“Iya, Bu?”
“I-ini? Ini!” Ibu mertuaku menyentuh gamis, jilbab dan juga tas. Semuanya tidak luput dari interogasinya yang tajam serta teliti itu. Perempuan ini tahu benar di mana letak barang-barang baru yang terpakai di tubuhku. “Da-dari ....”
“Dibeliin Bang Agam, ya, kan?” Aku melempar jawaban pada seorang pria yang keluar dari kamar kami.
Ekspresinya masih saja pucat pasi. Aku rasa, Bang Agam kehilangan banyak darah karena harus melihat betapa glamournya perempuan yang dinikahinya tiga tahun lalu hari ini.
Apa dia kira aku akan selamanya hanya diam memandang? Dia memakai banyak barang mahal di tubuh, memberikan puluhan juta untuk ibunya tapi hanya menyisakan secuil untukku.
“Tasnya dua juta setengah, Bu. Bajunya satu juta setengah, jilbabnya lima ratus ribu.” Tegas sekali lidahku bertutur di depan ibu dan Bang Agam.
Keduanya saling lempar pandang. Aku paham benar apa artinya.
“Oh iya, jam tangan yang dibelikan Bang Agam juga bagus banget, Bu. Belum sampai jamnya, mungkin dua hari lagi,” imbuhku masih dengan pundak yang terangkat setinggi langit. “Iya, kan?”
“A-agam?” Ibu mertua menatap putranya. Manik matanya bergetar, penuh kecemburuan.
“Bu, i-ini ....”
“Sama sepatunya juga, satu juta. Aduh, Abang ... terima kasih banyak. Sering-sering, deh.”
“I-ini tidak ....” Bang Agam terus menyangkal.
“Agam, Ibu juga mau. Kenapa hanya kamu belikan Ima dan tidak belikan buat Ibu?”
“Bu, jangan salah paham.” Bang Agam mengelak kembali.
Kali ini, aku melempar granit pada keduanya.
“Apanya yang salah paham? Jelas-jelas kamu memanjakan Ima sampai seperti ini. Ibu tidak mau tahu, Gam. Besok, semua yang kamu belikan untuk Ima juga belikan Ibu. Lebih mahal, lebih bagus. Titik!” Ibu mertuaku berteriak.
Pertama kalinya, kudengar dia marah besar. Biasanya dia bermain dengan intonasi super rendah namun penuh kata-kata menyakitkan.
Melihatnya muntab, aku tergelak. Bahagia rasanya membuat mereka bertengkar dan salah paham.
Kutinggalkan keduanya, masih berdebat dengan siapa yang salah dan benar. Lalu, melenggang ke teras rumah, berjalan keluar pagar hingga ke jalanan. Membiarkan puluhan mata melihat diriku yang berubah.
“Inilah aku yang sebenarnya!” gumamku sembari melempar senyum ke sembarang arah. “Mereka akan menerima balasan karena memperlakukanku dengan buruk selama ini.”
-
Like, subscribe dan komennyaaa ...
Riley's POVIf someone told me a week ago I would take a plane to Ibiza and then stay with a sexy playboy in a fancy hotel suite, agreeing to a stupid deal that a total stranger came up with just to prove to him that my heart isn't able to love again—I would've thought it was a joke.I'm mad at myself for agreeing because damn me and my stupid heart—I'm catching feelings… no I'm falling in love with that total stranger while I wanted to prove him the opposite.And it wasn't because he got me the extra cheesy burger I love or the homemade churros—well, food is typically the fastest way to a woman's heart, add a nice picnic spot preferably somewhere surrounded by nature, and voila you got yourself an instant crush.Zack was very aware of what he was doing, he was playing his cards right to gain my attention.Well… he did get my full attention. This might be my very first date after Chris and I know I should forget about him which I'm trying to do but it's a slow ongoing process.But th
Zack's POVI traced my lips with my fingers with a goofiest grin on my face as I stared at the ceiling, replaying the intense make out in my brain for the hundredth time.It wasn't like I haven't kissed someone before, but Riley was… she's special, and I'm falling hard for her."Zack," her soft voice crooked out, and I was pulled out of my thoughts—returning back to the silent room."Yes, Riles," I answered her, feeling my chest tighten with concern—it was as if I could feel what she was feeling now. Fear."Nevermind." She sounded hesitant, and it wasn't the answer I was expecting. I sat up and looked at the opaque splitterCan you sleep with me?" SheI thought spending time with Zack would be a living hell, or awkward as hell but here I was having dinner with him, enjoying the sunset, and talking wi
Riley's POVI thought spending time with Zack would be a living hell, or awkward as hell but here I was having dinner with him, enjoying the sunset, and talking with him—scratch that we were playing the twenty-question game to know each other well. It wasn't my idea, of course, but it was better than the dead-ass silence.We drifted into an entirely different conversation after he made a serious confusion."Pineapples don't belong on pizza," I argued as I stuffed my mouth with the mouthwatering extra cheesy burger—Zack gave me a dead-serious look, and I lowered the burger, eyeing him with disgust as I chewed on my food.He was serious about the pineapples on pizza."You could always give it a try," he needled, stretching a slice of his untouched pizza, and I eyed it with terror as if he was offering me a dead rat.A deep chuckle roared from his ch
Riley's POVI thought spending time with Zack would be a living hell, or awkward as hell but here I was having dinner with him, enjoying the sunset, and talking with him—scratch that we were playing the twenty question game to know each other well. It wasn't my idea, of course, but it was better than the dead-ass silence.We drifted into an entirely different conversation after he made a serious confusion."Pineapples don't belong on pizza," I argued as I stuffed my mouth with the mouthwatering extra cheesy burger—Zack gave me a dead serious look, and I lowered the burger, eyeing him with disgust as I chewed on my food.He was serious about the pineapples on pizza."You could always give it a try," he needled, stretching a slice of his untouched pizza, and I eyed it with terror as if he was offering me a dead rat.A deep chuckle roared from his ch
"So, how did you meet my brother? Friends with benefits, or are you a gold digger?" He blurted, and I blinked at him, shaking my head as if I didn't hear what he said."Excuse me?" I was about to take my hand out of his grasp, but he tightened his grasp around my hand, pulling me towards him.I swear I could smell the intoxicating smell of his expensive cologne. My stomach tightened once his gaze sharpened at me. "You must've mistaken me for someone else," I don't know how I told him that without a shaky tone.I tried to pull my hand away, but it was a bad idea—he only tightened his hand, his fingers were digging into my skin."Zack doesn't do relationships, and you don't look like one of his junkie bozos, so maybe a gold digger," he opened his mouth again, flickering his greenish eyes between mine."Did Tony pay you to lure him, princess?" He asked in a
Riley's POV"Is the blindfold necessary?" I questioned as I stumbled on a rock in the way—it wasn't like I saw it with this thing covering my eyes. Zack was supposed to be my eyes since he was holding my hand, and his other hand was on my waist—guiding me to this stupid picnic date.Apparently, he was as blind as me."I told you I'm sorry, stop being such a brat," he retorted, and I stopped in my place—snapping my head to where his face was supposed to be—instantly feeling his warm minty breath on my face."Did you just call me a brat?" I heard his light chuckle—feeling a little huff of air on my face as he chuckled.The heat traveled to my cheeks—I was embarrassing myself. "You literally stumble on everything," he remarked, and his words refreshed my mind, playing every scenario I stumbled on something and fell on him.It
Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.
Comments