CEPAT PULANG, PA! MAMA JADI SETAN!
"Pa, cepat pulang! Mama jadi setan!" Suara itu melengking di ujung telepon, membuat Arman terlonjak dari tidur. Jantungnya berdegup kencang, tangan menggenggam ponsel begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Ia menatap layar yang berkedip-kedip, menampilkan nama putrinya, Asha, yang baru berusia tujuh tahun. “Asha? Apa maksudmu?” tanyanya tergesa-gesa, suaranya serak karena baru terbangun. “Mama… Mama aneh, Pa. Matanya merah, suaranya kayak orang lain. Dia nyebut-nyebut nama yang aku nggak ngerti,” Asha terdengar terisak. “Pa, aku takut…” Detik itu juga Arman tahu, ini bukan sekadar mimpi buruk. Asha bukan tipe anak yang suka bercanda, apalagi di saat dia sibuk bekerja. Ada sesuatu yang salah. “Dengar, Nak, jangan mendekat ke Mama, ya? Kamu sembunyi di kamar dan kunci pintunya. Papa akan pulang sekarang juga,” ujar Arman, suaranya gemetar namun berusaha terdengar tenang. “Tapi… Mama ada di depan pintu kamar aku sekarang, Pa…” suara Asha nyaris berbisik, tetapi cukup untuk membuat napas Arman tersengal. Hening. Lalu terdengar ketukan pelan di latar belakang telepon. Tok… tok… tok. “Asha, jangan buka pintunya! Papa di jalan!” Arman langsung bangkit dari tempat tidur, menyambar kunci mobil dan dompet tanpa berpikir panjang. Hatinya berdegup tak karuan, pikirannya dipenuhi bayangan buruk tentang apa yang mungkin terjadi di rumah. Ketika ia melangkah keluar menuju mobil, telepon itu masih tersambung. Napas Asha terdengar pendek-pendek, hampir seperti tercekik. “Asha? Kamu masih di sana?” Arman bertanya, mencoba memastikan putrinya tetap aman. “Pa…” suara Asha hampir tak terdengar. “Mama nggak ketuk pintunya lagi.” Arman terdiam, menghentikan langkahnya. “Apa maksudmu?” tanyanya perlahan. “Mama…” Asha tersendat-sendat. “Mama sekarang di kamar… Asha takut!" Mendadak suara petir terdengar menggelegar di luar kantor Arman, membuat lelaki itu nyaris terlompat dari kursinya. Dan ponselnya terlepas dari genggaman Arman, jatuh ke lantai dengan bunyi dentingan yang memecah waktu maghrib. "Kamu tenang, Sha! Papa pulang sekarang!" ujar Arman tergesa setelah memungut kembali ponselnya. Panggilan terputus. Arman kembali menelepon Asha. Tapi anaknya tak kunjung menerima panggilannya. Arman menatap ke arah jam bulat yang menempel di dinding ruangannya. Sudah jam enam petang. Arman memang rencananya ambil lemburan sampai jam delapan malam. Tapi tak disangka, ada kejadian seperti ini. Tanpa berpikir dua kali, Arman langsung melesat keluar ruangannya. Dia segera menuju ke tempat parkir, lalu melajukan mobilnya seperti orang kesetanan. Jalanan lengang di tengah malam membuatnya memacu kecepatan hingga tak lagi memedulikan lampu lalu lintas. Teleponnya kini tersambung dengan speaker mobil, namun hanya keheningan di seberang yang menyiksanya. “Asha? Kamu masih dengar Papa, kan?!” Arman mencoba memecahkan keheningan, namun tak ada jawaban. Yang terdengar hanyalah suara aneh—napas berat, disertai bisikan samar seperti berbahasa asing. Suara itu bukan milik Asha. “Asha! Jawab Papa!” Arman hampir berteriak, namun tetap tak ada respons. Jari-jarinya mencengkeram setir begitu kuat hingga terasa kesemutan. Seketika pikiran-pikiran buruk menyerbu benaknya. Apa yang terjadi di rumah? Apa yang telah merasuki istrinya? Saat mobilnya berbelok memasuki area perumahan, ia melihat rumah mereka berdiri sunyi dalam kegelapan. Lampu depan yang biasanya menyala kini m a ti, menciptakan bayangan menyeramkan dari pohon besar di halaman. Arman keluar dari mobil, langkahnya tergesa-gesa menuju teras rumahnya. Desau angin dingin menyambut kedatangannya membuat bulu kuduk Arman merinding. Namun, sesuatu membuatnya berhenti. Di jendela lantai dua, di kamar Asha, ia melihat seseorang berdiri di balik tirai. Sosok itu tidak bergerak. Hanya menatap lurus ke arah Arman, meskipun wajahnya tertutupi bayangan. Tapi ada sesuatu yang membuat tengkuknya meremang—mata itu… bersinar merah. “Ya Tuhan…” gumam Arman. Ia segera mencoba membuka pintu, namun terkunci. Tangan gemetar merogoh saku mencari kunci rumah, dan setelah menemukannya, ia buru-buru memutar kenop. Saat pintu terbuka, bau menyengat menyeruak ke hidungnya. Seperti bau busuk bercampur belerang. Rumah itu gelap gulita. Arman menyalakan lampu di ruang tamu, tapi lampu berkedip-kedip sebelum akhirnya mati kembali. Suara langkah kakinya bergema di lantai keramik saat ia melangkah masuk. “Asha? Asha, Papa sudah di rumah! Kamu di mana, Nak?” panggilnya, suaranya bergetar. Hening. Arman mendengar suara samar dari arah dapur—seperti suara sendok yang jatuh. Dengan hati-hati, ia melangkah ke arah sumber suara. Di sana, ia menemukannya. Istrinya, Siska, berdiri di depan wastafel dengan posisi tubuh yang kaku. Rambut panjangnya tergerai, menutupi sebagian wajahnya. Ia tidak bergerak, hanya berdiri diam seperti patung. “Siska…” panggil Arman pelan. Wanita itu perlahan berbalik. Wajahnya pucat, matanya kosong seperti bola kaca. Tapi bibirnya melengkung menjadi senyum aneh yang terlalu lebar, hampir seperti robek hingga ke telinga. “Arman,” suaranya keluar, namun bukan suara Siska. Lebih berat, lebih serak, dan terdengar seperti berasal dari dua mulut sekaligus. “Apa yang kau lakukan pada anakku?!” Arman membentak, meskipun ia tahu sosok ini bukan istrinya lagi. Siska—atau entitas yang ada di tubuhnya—tertawa pelan. Suara itu semakin keras, menggema di seluruh ruangan. “Anakmu?” katanya sambil melangkah maju, tubuhnya bergerak dengan gerakan patah-patah yang tidak manusiawi. “Dia aman… untuk saat ini.” Arman mundur selangkah, jantungnya berpacu liar. Matanya melirik sekeliling, mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk melindungi diri. “Di mana Asha?!” Ia berteriak, namun sosok itu tidak menjawab. Sebaliknya, Siska mendongak ke arah tangga, lalu tersenyum lebih lebar. “Dia… di kamar,” bisiknya. Arman tidak menunggu lebih lama. Ia berlari menaiki tangga, tidak peduli dengan suara tertawa di belakangnya yang kini terdengar seperti jeritan ribuan orang sekaligus. Ketika ia sampai di depan kamar Asha, tangannya gemetar saat menyentuh kenop pintu. Ia mendorongnya terbuka, dan pandangan pertama yang ia dapatkan membuat darahnya membeku. Asha berdiri di sudut kamar, wajahnya pucat dan penuh air mata. Tapi itu bukan yang paling mengerikan. Di langit-langit kamar, tepat di atas kepala Asha, sosok hitam dengan mata merah menyala menempel seperti laba-laba, menatap Arman dengan senyum yang sama menyeramkannya. Next?Arman terdiam, memandang sesajen di ruang tamunya dengan pandangan tak percaya. Ayahnya berdiri di sampingnya, menutup hidung sambil sesekali memandangi pintu dan jendela rumah. “Pintunya terkunci, kan?” tanya Ayahnya dengan suara rendah namun tegas. Arman mengangguk, lalu segera memeriksa kunci pintu utama. Setelah memastikan kuncinya masih dalam keadaan terkunci rapat, ia bergegas menuju jendela, memeriksa satu per satu dengan hati-hati. Tidak ada yang terbuka. Semuanya terkunci dari dalam. “Tidak mungkin ada yang masuk, Yah,” ujar Arman, suaranya bergetar. “Tapi kalau tidak ada yang masuk, bagaimana benda ini bisa ada di sini?” Ayahnya menatap sesajen itu dengan mata tajam. Wajahnya memancarkan kecemasan yang ia coba sembunyikan. “Ini pertanda buruk. Rumah ini sudah tidak aman lagi, Arman.” Arman menggigit bibir, menahan gejolak di dadanya. Ia tahu Ayahnya jarang berbicara seperti itu. “Kalau begitu, aku harus pergi dari sini malam ini.” “Ya,” jawab Ayahnya cepat. “Ambil bar
Jeritan perawat itu menggema di sepanjang lorong, membuat suasana rumah sakit yang semula tenang berubah mencekam. Arman, Ayahnya, dan Pak Ahmad segera berdiri, langkah mereka tertuju pada pintu ruang ICU yang kini terbuka sedikit. Seorang perawat berlari keluar dengan wajah pucat pasi, napasnya terengah-engah. “Ada apa, Sus?” tanya Arman, mencoba menahan rasa paniknya. “Pasien—istri Bapak,” perawat itu terisak, suaranya bergetar. “Dia… dia tiba-tiba bangun dan berteriak. Padahal dia belum sadar penuh dari operasi. Tangan dan kakinya bergerak tidak terkendali… seolah-olah ada sesuatu yang menggerakkan tubuhnya. Padahal seharusnya pasien masih dalam pengaruh obat bius pasca operasi.” Pak Ahmad melangkah maju, wajahnya dingin namun serius. “Saya harus masuk. Ini bukan sekadar efek medis.” “Pak, kami tidak bisa mengizinkan sembarang orang masuk ke ruang ICU,” kata perawat itu, meskipun tubuhnya gemetar. “Saya tahu apa yang saya lakukan,” ujar Pak Ahmad dengan nada tegas. “Percayala
Lorong rumah sakit terasa semakin dingin saat Arman, Ayahnya, dan Ibu Arman menghentikan langkah mereka. Bayangan hitam yang tadi dilihat oleh Asha masih terpatri di benak Arman. Namun, perhatian mereka kini tertuju pada pria paruh baya yang berdiri di depan mereka. Dengan kemeja putih lusuh dan peci di atas kepalanya, pria itu tampak serius namun tenang.“Bapak dan keluarga maaf kalau saya mengganggu,” ucap pria itu sambil menundukkan kepalanya sedikit. “Saya Pak Ahmad. Saya juga wali pasien di rumah sakit ini. Tapi saya tidak bisa diam melihat situasi keluarga Bapak tadi di lorong.”Arman menatap pria itu dengan ragu. Ia merasakan dorongan kuat untuk menolak berbicara dengannya, namun ada sesuatu di tatapan pria itu—kejujuran dan ketegasan yang sulit diabaikan. Ayahnya, di sisi lain, menyipitkan mata, mencoba menilai niat Pak Ahmad.“Kami sedang tidak ingin berbicara dengan orang asing, Pak,” ujar Ayahnya datar, memalingkan wajah.Pak Ahmad mengangguk, tidak terlihat tersinggung. “S
Darah hitam kental itu menyembur dari mulut Siska, memercik ke lantai dan dinding, meninggalkan aroma busuk yang menusuk. Tubuhnya terhuyung ke belakang, lalu terjatuh dengan suara gedebuk keras. Kepalanya menghantam lantai, membuat semua orang di ruangan itu menahan napas.“Siska!” Arman berlari mendekati tubuh istrinya, tetapi Ayahnya dengan cepat menariknya mundur.“Jangan sentuh dia, Arman!” seru Ayahnya, suaranya penuh perintah dan kepanikan.Siska terbaring tak bergerak, wajahnya memucat seperti mayat. Napasnya hampir tak terdengar, sementara tubuhnya gemetar, seperti tersiksa oleh sesuatu yang tak kasat mata. Ibu Arman segera mengambil selimut yang terlipat di sofa, menutupinya untuk menghangatkan tubuhnya yang mulai dingin.“Kita harus membawanya ke rumah sakit sekarang!” ujar Ayahnya.Arman mengangguk, masih gemetar. Ia mengulurkan tangan untuk membantu mengangkat Siska, tetapi tubuh istrinya terasa sangat berat, seolah ada sesuatu yang menahan mereka. Butuh seluruh kekuatan
Arman berlari ke arah Asha, namun bayangan hitam itu bergerak cepat, menempel di dinding, dan menyerangnya dengan gerakan yang tidak manusiawi. Sebelum ia sempat meraih Asha, tangan panjang Siska mencengkeram tubuhnya, menariknya dengan kekuatan yang tak terkira. Arman berusaha melawan, meronta, namun cengkeraman itu semakin kuat, hampir membuat tulangnya retak.Siska melemparkan Arman sampai punggung Arman beradu dengan dinding rumah. Dan dengan gerakan secepat kilat, Siska menatap ke arah Asha, anaknya, tertawa menyeringai, lalu mencekik Asha hingga tubuh sang anak terangkat jauh di atas lantai. Pekikan ketakutan Asha bercampur dengan tawa menyeramkan dari Siska. “Asha!” teriak Arman sekali lagi, mengulurkan tangan dengan sisa kekuatan yang dimilikinya.Namun Asha mulai terdiam, sementara itu warna bola mata Siska semakin menghitam. Siska menatap Asha dengan penuh kebencian, dan Arman tahu bahwa ada kekuatan gelap yang menguasai istrinya. Ini bukan lagi Siska yang ia kenal. Ini ad
CEPAT PULANG, PA! MAMA JADI SETAN! "Pa, cepat pulang! Mama jadi setan!"Suara itu melengking di ujung telepon, membuat Arman terlonjak dari tidur. Jantungnya berdegup kencang, tangan menggenggam ponsel begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Ia menatap layar yang berkedip-kedip, menampilkan nama putrinya, Asha, yang baru berusia tujuh tahun.“Asha? Apa maksudmu?” tanyanya tergesa-gesa, suaranya serak karena baru terbangun.“Mama… Mama aneh, Pa. Matanya merah, suaranya kayak orang lain. Dia nyebut-nyebut nama yang aku nggak ngerti,” Asha terdengar terisak. “Pa, aku takut…”Detik itu juga Arman tahu, ini bukan sekadar mimpi buruk. Asha bukan tipe anak yang suka bercanda, apalagi di saat dia sibuk bekerja. Ada sesuatu yang salah.“Dengar, Nak, jangan mendekat ke Mama, ya? Kamu sembunyi di kamar dan kunci pintunya. Papa akan pulang sekarang juga,” ujar Arman, suaranya gemetar namun berusaha terdengar tenang.“Tapi… Mama ada di depan pintu kamar aku sekarang, Pa…” suara Asha nyaris