Share

Bab 9 Lupa Karena Panik

"Sekarang katakan padaku di mana Ken?" desak Momo.

"Ken sudah tidak ada bersama kita.”

“Apa? Apa maksudmu?”

“Seperti yang kamu lihat. Ken tidak ada di sini. Kamu pikir apa sehingga kaget begitu,” kata Harry menjitak kepala Momo sambil melangkah pergi. Harry tersenyum geli tapi hatinya sangat sedih.

Momo melongo memandang dan tersentak saat kepalanya dijitak. ‘Aduh, sakit! Ternyata aku dikerjain sama Bos. Berengsek!’ batin Momo kesal.

Momo ikut bergabung kembali dengan Clark yang serius memasang puzzle. Tidak ada yang bisa mengganggunya kalau sedang serius. Bahkan saat Momo duduk dekat Clark, dia cuek saja.

Akhirnya Momo pamit pulang, karena entah sampai kapan Clark mau bicara lagi. Saat Momo menjawil pundak untuk pamit, Clark tetap cuek.

“Saya permisi dulu, Pak, Bu.”

“Terima kasih, Monita. Boleh saya ikut Clark memanggilmu Momo?” tanya Agna.

“Tentu saja. Saya bahkan jarang memakai nama Monita. Lebih sering memakai nama Momo,” kata Momo tersenyum malu. Dia tidak menyangka Agna mau akrab dengannya.

“Saya permisi dulu, Bu,” lanjut Momo.

“Ma, Pa, aku antar Monita dulu ya.”

Momo dan Harry berjalan berdampingan. Walau sebenarnya dia sangat ingin berjalan di belakang Harry karena masih marah.

“Kenapa kamu jalannya lambat sekali? Ingin tinggal di rumahku?” tegur Harry sambil menarik tangan Momo.

“iihh, siapa juga mau tinggal di sini?” gerutu Momo. Terpaksa dengan hati berat, Momo berjalan berdampingan. Tapi hatinya kacau balau. Walau mereka sudah berdampingan, tapi tangan Harry tetap bertengger di tangannya.

Momo sangat ingin menariknya tapi bagaimana caranya. Momo takut membuat Harry marah. Karena setiap Harry marah, keluar kata-kata menyesal menerimanya sebagai pegawai. Tidak lucu kalau baru kerja sehari dan langsung dipecat.

Selama perjalanan, mereka berdiam diri. Masing-masing dengan pikiran yang berkelana ke mana-mana.

“Eh, Pak, kita mau ke mana?” tanya Momo saat tersadar dia sudah tidak mengenal jalan yang dilaluinya. Dia melihat ke kanan dan ke kiri, tapi daerah itu tidak dia kenal.

Harry yang mendengar pertanyaan Momo tersentak kaget. Cepat-cepat dia menyalakan GPS-nya yang menunjukkan mereka sudah berada di tol menuju ke luar kota.

“Waduh, maaf … maaf. Nanti kalau dapat jalan keluar, kita baru putar balik ya,” kata Harry gugup. Dia tidak pernah kehilangan fokus seperti hari ini. Ini pertama kali baginya.

Harry memaki dirinya sendiri karena tidak fokus di jalan. Apalagi mengantar anaknya orang. Dia tidak fokus karena mengingat pertemuan Clark dengan Momo tadi. Hatinya masih diliputi pikiran tentang Ken. Selain itu, dia penasaran bagaimana Momo bisa berteman dengan Ken yang super cuek dan kuper.

Dia masih belum mampu menceritakan tentang Ken pada orang lain, karena perasaan bersalah pada Ken. Seandainya waktu itu dia tidak ngotot untuk minta pulang dari penginapan karena tuntutan pekerjaan, Ken dan Clark tidak akan mengalami kejadian yang tragis.

Momo hanya bisa menghela napas. Dia juga salah terlalu asyik dengan pikirannya yang berkelana ke masa lalu saat bersama Ken.

Saat itu tidak ada yang bisa menggantikan posisi Ken di hatinya. Walau dia tahu Ken adalah tempat pelariannya. Ken juga tahu itu, karena saat pertemuan dengan Ken, Momo masih belum bisa melupakan cowok itu. Orang yang dikasihi dari dunia cermin. Sehingga mengira Ken adalah cowok itu karena wajah mereka sangat mirip.

Ting!! Ting!!

Momo mengangkat ponselnya yang berbunyi. Dia melihat pesan dari Lita.

‘Mo, ada proyek nih. Kamu sudah tiba di rumah? Kamu diterima tidak di kantor itu?’

Waduh, aku lupa bilang ke Lita kalau dia sudah bekerja. Tapi bagaimana ya, apa tidak apa-apa ya kalau bercerita di sini?’ batin Momo.

Ting!! Ting!!

Momo kaget. Ponselnya tidak ada notifikasi pesan, tapi ada bunyi pesan.

“Pak, sepertinya ponsel Bapak yang bunyi,” kata Momo setelah sadar ada kemungkinan bunyi ring tone ponsel Harry sama dengannya.

“Aku tidak bisa menerimanya. Harus fokus. Entah kenapa lampu di tol ini tidak nyala. Gelap banget. Tolong kamu bantu lihatkan dari siapa pesan itu,” pinta Harry.

Momo mengambil ponsel Harry dan membaca nama pengirim.

“Dari Pak Eko, Pak.”

“Bisa tolong bacakan?” Harry tidak malu lagi jika ada penawaran dari Eko. Toh, dia dan Momo bertemu karena penawaran itu.

“Ada proyek. Bisa malam ini kamu datang? Kali ini pasti kamu kalah lagi,” baca Momo dengan kening berkerut.

“Tolong bantu balas. Bukan masalah kalah atau menang. Aku lagi terdampar entah di mana.”

Momo cekikikan mendengar kata-kata Harry. Tapi dia mengetik juga seperti kata-kata itu. Tiba-tiba Eko menelepon, hingga Momo hampir melempar ponsel Harry karena kaget.

“Kenapa dengan kamu?” kata Harry gantian menertawai Momo.

“Pak, jangan bilang kita bersama ya. Kalau Pak Eko tahu dan dia beri tahu pada Lita, habis saya dikerjain.”

“Iyalah. Aku juga begitu kalau dia tahu. Mulut Eko kan ember. Tidak ada rahasia yang bisa dia simpan.”

“Tolong bantu tindis tombol hijau. Kalau tidak diangkat, bisa-bisa kita tambah terdampar ke negeri antah-berantah, karena dia tidak akan puas menelepon sampai diangkat,” kata Harry sambil menghela napas.

Momo cekikikan tapi cepat-cepat menutup mulutnya saat menekan tombol hijau dan pengeras suara.

“Halo, Eko. Ada apa?”

“Maksudmu apa terdampar entah ke mana? Katakan di mana, aku akan menjemputmu!”

“Lhaaa, aku kan sudah bilang, aku tidak tahu di mana? Hari ini ulang tahunnya Clark dan aku mengundang seorang teman. Tapi lebih tepatnya dia temannya Clark. Sekarang aku mengantarnya pulang dan tidak tahu aku tersesat ke mana.

“Saat ini sedang ada di tol. Mana lagi lampu jalannya mati. Gelap sekali. Sudah yah, mau fokus di jalan,” jelas Harry panjang lebar sebelum Eko bertanya kiri kanan yang pasti tidak ada habis-habisnya.

Tiba-tiba bunyi ponsel berdering. Lita menelepon, karena Momo lupa membalas pesannya. Momo cepar-cepat mematikan ponselnya dan memandang panik pada Harrry. Harry hanya memandang sepintas pada Momo. Dia juga panik, tapi ditutupinya dengan pura-pura tidak peduli.

“Hei, apa masih ada temannya Clark itu bersama denganmu? Bagaimana kalau kamu perkenalkan kami? Biar aku bercerita dengannya saja. kamu jadi pendengar setia saja.”

Momo memandang Harry sambil menggelengkan kepalanya. Harry juga mana mau perkenalkan Momo pada mereka. Apalagi kalau ketahuan itu Momo. Habislah sudah.

“Itu ponsel kantor. Aku membawanya karena akan ada kontrak baru. Orangnya di luar negeri, jadi bisa kapan saja dia menghubungiku. Semoga dari dia, bukan telepon iklan. Sudah dulu ya. Nanti tiba di rumah akan kuhubungi. Tapi yang pasti permainan malam ini tidak bisa kuikuti. Bye.”

Harry memberi tanda untuk mematikan ponselnya. Momo dan Harry langsung bernapas lega. Momo tersentak kaget, saat ponselnya berbunyi. Dia memandang nanar pada ponselnya. ‘Lita pasti mengamuk nih, karena tadi aku menutup teleponnya,’ batin Momo pasrah.

Sebelum Momo mengangkat, Harry menyentuh tangannya. “Speaker.”

Momo sempat terperanjat. ‘Kenapa Harry mau mendengar percakapannya?’ batin Momo. Tapi karena ponsel itu berbunyi terus, akhirnya Momo batal bertanya dan menyalakan pengeras suara juga.

“Halo, Lita.”

“Kenapa kamu menutup teleponku?!” teriak Lita dari seberang. Momo terpaksa menarik jauh-jauh ponselnya. Suara Lita membahana di mobil. Harry juga sempat tersentak tapi cepat-cepat menenangkan diri dan menguasai mobil yang hampir oleng.

“Maaf … maaf. Lit, tolong jangan marah. Aku masih kerja, lembur. Tadi Bosku menelepon sebelum masuk ke ruangannya, jadi terpaksa kumatikan.” Momo terpaksa berbohong bercampur dengan kejujuran.

“Heh? Kamu sudah bekerja? Bukankah hari ini kamu baru mau wawancara?” tanya Lita keheranan.

“Iya. Hari ini. Tapi aku langsung ditawarkan bekerja. Sepertinya mereka lagi perlu. Aku diterima menjadi asisten sekretaris.”

“Lho, bukannya kamu melamar di bagian admiistrasi? Coba ceritakan padaku,” kata Lita penasaran.

Sebelum Momo menjawab, terdengar dari seberang suara teriakan Sinta, “Lit, Momo bagaimana?!”

“Oh, duh, jadi lupa. Mo, kamu bisa tidak nanti malam? Kita minta undur deh jamnya.”

“Maaf, Lit. Aku tidak bisa. Aku tidak tahu sampai jam berapa tiba di rumah. Bagaimana kalau minta Sasha saja?”

“Aduh, sakit kepala kalau dengan anak itu. Tapi nanti deh aku coba diskusi dengan Sinta. Besok Sabtu, kamu masuk kerja tidak? Kalau tidak, janjian ketemu yuk.”

“Seharusnya sih tidak. Tapi nanti deh, aku tanya ke Bos.”

“Oke, kalau sudah tiba di rumah, kasih kabar ya. Jangan-jangan kamu sudah tidak utuh saat tiba di rumah, hahaha.”

“Lita!!” tegur Momo langsung melirik Harry yang terlihat cuek. ‘Apa dia marah dengan candaan Lita?’ batin Momo ketakutan.

Harry hanya bisa menelan salivanya karena kaget mendengar candaan Lita. Entah kenapa bayangan ciumannya dengan Momo terbayang kembali. Cepat-cepat dia menepis pikirannya.

Tapi bersamaan saat itu tiba-tiba ada mobil yang melaju dengan kencang tepat di samping mobilnya. Terlalu dekat sehingga Harry kaget sehingga mobilnya lari zig zag dan akhirnya Harry mengerem mendadak.

“Aduh?!” teriak Momo dan ponselnya terlempar. Momo juga kaget saat melihat mobil itu lewat kaca spion, melaju sangat dekat dengan mobil mereka. Dia mengira mereka akan ditabrak sehingga dia melongo memandang ketakutan dan menahan napas..

Pengereman mendadak itu menyentakkan Momo dari lamunan. Setelah menarik napas lega, Momo mengambil ponselnya yang jatuh di dekat kakinya.

“Kamu tidak apa-apa?” tanya Harry panik.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status