Home / Rumah Tangga / CINTA YANG TAK TERMILIKI / 5. PILIHAN JANU MAHIJA

Share

5. PILIHAN JANU MAHIJA

Author: Mada Elliana
last update Last Updated: 2023-03-21 16:09:01

“Kamu harus yakin, Nak. Pergilah, kamu kuliah yang bener. Nggak usah mikirin Ibu. Di sini kan banyak tetangga. Ibu akan baik-baik saja.” Tangan keriput Maria mengusap lembut kepala Janu yang kini berada di pangkuannya. Anak lelakinya ini tetap saja manja meski kini sudah lulus SMA.

“Tapi Bu, Bandung itu jauh. Janu kayaknya nggak bisa ninggalin Ibu sendirian di sini.” Setumpuk ragu kini tiba-tiba saja menyelimuti hati Janu.

“Kamu laki-laki Nak. Kamu harus merantau. Kejar impian kamu. Ibu tahu, dari kecil kamu sudah seneng gambar. Kalau ada yang tanya kamu mau jadi apa, kamu pasti jawab mau jadi tukang gambar gedung-gedung tinggi kayak di Jakarta. Padahal kamu cuma liat dari TV. Gusti Allah dengar doa kamu. Makanya sekarang kamu diterima di ITB. Ini namanya takdir, Nak. Kamu harus kuat jalaninnya.” Bujuk Maria panjang lebar.

Maria tahu, Janu sangat mengkhawatirkan dirinya. Sejak hamil Janu, Maria memilih berpisah dengan suaminya yang ketahuan selingkuh dengan teman sekantornya. Banyak yang merutuki kebodohannya, tapi Maria bergeming. Dia berprinsip, kalau dirinya tidak bahagia, bagaimana kelak dia akan memberikan kebahagiaan kepada anaknya.

Bengkulu menjadi tujuan utama Maria melarikan diri. Jauh dari keluarga dan terutama dari mantan suaminya. Saat itu usia kandungannya baru dua bulan. Bahkan saat dia bercerai, Maria tidak mengetahui kalau dirinya hamil. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Maria tidak mau kembali kepada suami yang sudah memilih perempuan lain dan mengorbankan rumah tangga yang baru mereka bangun selama dua tahun.

Dengan tabungan yang dimilikinya, Maria berusaha membuka toko kue kecil-kecilan. Beruntung, sejak dulu Maria sangat suka membuat kue. Maria kecil tak segan membawa kue-kue buatan ibunya untuk dijual di sekolahnya.

Bayi yang dikandung Maria seolah mengerti dengan kondisi ibunya. Selama kehamilan sampai melahirkan, Maria tidak pernah mengalami kesulitan. Dia bisa bekerja membuat kue seperti biasa sambil mengajari beberapa karyawan yang direkrutnya. Hingga saat Maria harus istirahat pasca melahirkan, toko kuenya tetap bisa beroperasi seperti biasa.

Semesta begitu menolong Maria. Proses kelahiran pun berjalan dengan sangat lancar. Maria melahirkan di seorang bidan tanpa hambatan yang berarti. Lalu bayi itu diberi nama Janu Mahija.

Kehidupan sulit berhasil dilewati Maria dan anaknya. Sampai kini tiba saatnya Janu menentukan masa depan hidupnya. Janu bersikeras ingin tetap kuliah di Bengkulu agar bisa dekat dengan Maria. Namun, Maria bergeming dengan keputusannya bahwa Janu harus mengambil kesempatan bisa kuliah di ITB.

Setelah perdebatan panjang, berbekal restu dan doa dari ibunya, Janu pun berangkat ke Bandung mendekati impiannya.

Begitulah, Janu akhirnya memilih jurusan arsitektur di ITB. Dalam rentang satu semester di awal perkuliahannya, Janu sudah mencuri perhatian salah seorang dosen di sana. Adalah Fauzi, profesor senior yang sangat dihormati. Kecerdasan Janu mampu membuat Fauzi terpikat dengan anak muda itu.

Tentu saja Janu tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia memanfaatkan kedekatannya dengan Fauzi untuk belajar dan menimba ilmu sebanyak mungkin dari sang profesor. Bagi Janu, sosok Fauzi seolah menggantikan kehadiran sang ayah yang tidakpernah dia temui sejak lahir.

Perlahan hubungan Fauzi dan Janu tidak lagi seperti dosen dan mahasiswanya. Namun lebih ke ayah dan anak. Janu yang awalnya sangat tertutup, pelan-pelan bisa membuka diri dan menceritakan kondisi dirinya. Janu juga tak segan main ke rumah Fauzi untuk membaca berbagai jenis buku. Sebagai pasangan dengan gelar profesor, Fauzi dan Anita memang memiliki lebih dari seribu buku yang menjadi koleksi mereka. Fauzi pernah berkata bahwa buku adalah hartanya yang paling berharga.

Ditahun kedua kuliahnya, Fauzi mengajak Janu untuk tinggal di rumahnya. Tawaran yang sangat menggiurkan bagi Janu. Meski begitu, Janu sempat menolak karena alasan tidak enak. Dia tidak ingin hutang budi kepada Fauzi walaupun Janu tahu kebaikan Fauzi itu tidak dibuat-buat.

“Kamu tinggal di rumah saya tidak gratis.” Fauzi berkata seolah bisa memahami keresahan Janu.

“Maksudnya bagaimana, Prof?” Tanya Janu tidak mengerti. Seperti mahasiswa lainnya, Janu lebih senang memanggil Fauzi dengan sebutan Prof. Rasanya lebih nyaman di telinga.

“Iya, kamu harus membayar untuk bisa tinggal di rumah saya. Tapi tenang, saya tidak meminta kamu untuk membayar pakai uang. Saya mau kamu menjadi asisten saya. Kamu bisa membantu beberapa pekerjaan saya baik yang berurusan dengan kampus ini maupun pekerjaan saya di luar kampus.” Fauzi menjelaskan.

“Tapi Prof, jarak rumah Prof sama kampus ini lumayan jauh. Saya tidak sanggup kalau harus pakai angkutan umum.” Janu berkata lirih. Suaranya nyaris tidak terdengar.

“Hahahaha.” Fauzi tergelak. “Kamu bisa pakai motor yang ada di rumah saya. Anggap saja itu sebagai kendaraan operasional kamu. Ingat, kamu harus merawat dan menjaganya karena saya tidak memberikannya cuma-cuma.” Tegas Fauzi.

Mengenal Janu hampir setahun ini, membuat Fauzi sedikit banyaknya tahu bagaimana sifat Janu. Anak muda itu punya harga diri yang sangat tinggi. Dia tidak mau dikasihani. Fauzi juga tahu kalau Janu itu seorang pekerja keras. Tipikal anak muda yang punya prinsip kuat di dalam dirinya.

Begitulah. Sejak masuk semester tiga Janu tinggal di rumah Fauzi. Sebagai orang yang ‘menumpang’, Janu cukup tahu diri. Setiap pagi dia akan membantu merapikan rumah, menyiram tanaman di depan, atau sekedar beres-beres di pekarangan. Apa saja akan dikerjakan oleh Janu. Kebiasaan Janu ini disambuh suka cita oleh Bi Asih. Pembantu di rumah Fauzi. Bi Asih bisa dengan mudah menyayangi Janu. Menurut Bi Asih, anak muda yang rajin dan mau mengerjakan pekerjaan rumah itu ibarat barang langka yang harus dilestarikan.

Selain Bi Asih, yang menyambut kehadiran Janu penuh sukacita adalah Kaiva. Anak bungsu Fauzi. Kaiva seolah menemukan sosok kakak yang baru. Kebetulan kedua kakak lelakinya memang sudah tidak tinggal bersama mereka. Langit sudah membeli rumah sendiri dari hasil jerih payahnya sebagai dosen. Banyu sedang menempuh S2 di Jepang. Dhira kuliah di Yogya. Otomatis di rumah ini hanya ada Fauzi, Anita, Kaiva, dan Bi Asih. Kedatangan Janu membuat Kaiva yang masih duduk di bangku akhir SMA itu punya sekutu baru.

Apalagi Janu tidak punya adik. Klop sudah kalau dia dan Kaiva sudah bergabung. Mereka bisa membahas masalah apapun.

Hari ketiga di rumah Fauzi, kebetulan hari minggu dan Janu tidak memiliki agenda apapun. Fauzi dan Anita sedang ke Solo untuk menghadiri sebuah seminar dimana Fauzi akan menjadi salah seorang pembicaranya. Memang seperti itu, Anita akan berusaha ikut mendampingi sang suami jika sedang tidak ada jadwal mengajar.

Pagi itu seperti pagi-pagi sebelumnya, Janu sudah bangun sejak adzan subuh berkumandang. Karena terbiasa tidak pernah bermalas-malasan, Janu sigap mencari sapu dan alat pel. Dia mulai menyapu dari ruang depan yang baru kali ini dimasukinya. Selama ini, jika ke rumah Fauzi, Janu selalu masuk lewat pintu samping. Tidak pernah sekalipun dia memasuki ruang tamu rumah dosennya.

Sesaat mata Janu terpaku pada satu titik. Foto keluarga Fauzi yang Janu taksir diambil belum lama ini. Sepasang mata indah seperti sedang menarik Janu untuk menyelam di dasarnya. Janu terpana.

Seumur hidupnya, Janu merasa baru kali ini melihat mata yang seakan bisa bicara. Benar, mata itu begitu hidup. Dada Janu tiba-tiba saja bergemuruh. Ada debaran aneh yang membuatnya seketika merasa tidak baik-baik saja. Setengah limbung, Janu terduduk disofa yang ada di belakangnya.

Janu kembali memandang mata indah dalam bingkai foto di depannya. Jika orang mengatakan mata adalah jendela jiwa, kini Janu mengamini kata-kata tersebut.

Dialah orangnya. Hati Janu berbisik.  

Ya, dalam beberapa detik memandang matanya saja Janu sudah yakin bahwa perempuan itulah masa depannya. Janu tidak peduli bagaimana caranya, saat ini dia hanya berharap semesta akan mendukung semua doanya.

“Itu Teh Dhira.” Suara Kaiva membuat Janu terlonjak.

“Ampun, Kai, Aa pikir kamu hantu.” Janu mengusap dadanya.

“Habis ngeliatin foto serius banget. Naksir ya sama Teh Dhira?” Todong Kaiva tanpa ragu.

“Nggak. Cuma lagi liat muka anak-anak Prof aja.” Janu berusaha menghindar.

“Naksir juga gak apa-apa kali. Kan gratis.” Kaiva makin menggoda.

Janu tak menggubris ucapan Kaiva lagi. Dia langsung beralih ke sapu lalu meneruskan kegiatan menyapu yang tadi tertunda. Namun, kini Janu tahu bahwa hatinya telah memilih.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • CINTA YANG TAK TERMILIKI   19. TETAPLAH DISISIKU

    Dhira benar-benar menjalankan rencananya untuk berpisah dari Dimas. Tanpa minta persetujuan dari Dimas lagi, Dhira mendaftarkan gugatan cerainya di Pengadilan Agama. Alasan yang dituliskan oleh Dhira adalah kekerasan dalam rumah tangga. Hanya itu satu-satunya alasan yang masuk akal dan bisa diterima dengan cepat. Kekerasan bukan sekedar fisik, tapi bisa juga psikis. Dhira menekankan bahwa kondisinya yang belum juga hamil menjadi pemicu utama kekerasan psikis yang dia terima dari pihak keluarga Dimas.Dimas juga sudah memeriksakan kondisi kesuburannya. Sesuai prediksi dokter, ternyata memang sperma Dimas yang kurang baik. Meski harapan untuk memiliki anak itu ada, tapi akan sangat sulit.Untuk meredam pemberitaan media yang selama ini selalu saja mengincar keluarga Mahendra, Dhira meminta bantuan temannya yang jadi pengacara supaya bisa membungkam mulut para pegawai di Pengadilan Agama. Sejak dulu, Dhira sangat tidak suka dengan publikasi dan berbagai pemberitaan. Meski dia tahu, sebag

  • CINTA YANG TAK TERMILIKI   18. LEBIH BAIK KITA AKHIRI

    Espresso yang tadi dipesannya sudah tandas. Dhira melirik ponselnya. Panggilan dari Dhimas sudah bertambah. Beberapa pesan juga terlihat memenuhi aplikasi yang sering Dhira gunakan. Tangan Dhira bergetar ketika memberanikan diri untuk menghubungi Dimas. Sudah terlalu lama dia menghabiskan waktu untuk melamun di sini. Sekarang atau nanti, dia dan Dimas harus tetap menghadapi kenyataan itu.“Halo, Dim...”Kamu di mana? “Di kafe seberang rumah sakit.”Oke. Tunggu di sana. Jangan kemana-mana.Benar saja, tak sampai setengah jam Dimas sudah datang. Langkah panjangnya segera menuju ke tempat istrinya itu duduk. Segera dipeluknya Dhira dengan hangat. Seolah mereka sudah tidak bertemu berhari-hari.“Ini apa-apaan sih. Malu diliatin orang.” Omel Dhira.“Emang kenapa? Kamu istriku. Kita nikah udah lima tahun, masa kamu masih aja malu kalau aku peluk di tempat umum.” Goda Dimas.“Ya tetep aja aku malu. Kamu lagi nggak sibuk? Kok bisa langsung ke sini?”“Urusan istriku jauh lebih penting dari ap

  • CINTA YANG TAK TERMILIKI   17. KITA JALANI DULU

    Menjelang dinihari saat kereta memasuki Stasiun Tugu. Sejak berangkat, ponsel Dhira nyaris tidak berhenti mendapatkan pesan dari Dimas. Entahlah, sejak obrolannya tempo hari Dhira merasa Dimas sedikit lebih protektif. Meski tidak Dhira pungkiri kalau sebelumnya juga perhatian Dimas selalu berlebihan untuk ukuran seorang sahabat. Apalagi saat ini, ketika lelaki itu sudah berterus terang tentang perasannya.Dimas sudah mewanti-wanti kalau dia yang akan menjemput Dhira. Tentu saja ucapan itu bukan izin melainkan hanya pemberitahuan. Jika setahun lalu Dimas yang bukan siapa-siapa saja sudah begitu antusias menjemput Dhira, bisa dibayangkan kondisinya sekarang ketika Dimas sudah setengah mengakui bahwa Dhira itu calon istrinya.Ups. Seketika Dhira merasa wajahnya sedikit menghangat. Ingatannya melayang ketika Dimas mengatakan calon istri. Benarkah Dimas sudah begitu yakin dengan perasaannya?“Hai.” Sapa Dimas sedikit kikuk ketika menghampiri Dhira yang sudah ada di pintu kedatangan.“Hei,

  • CINTA YANG TAK TERMILIKI   16. BUKAN PEREMPUAN BIASA

    “Tumben banget udah mau ke Yogya lagi.” Komentar Kaiva melirik Dhira. Saat ini Dhira dan keluarganya plus Janu sedang menikmati sarapan yang sudah disiapkan Bi Asih. Sejak dulu, Anita sudah menetapkan kalau Sabtu Minggu itu wajib sarapan di rumah.Saat anak-anak masih sekolah, Anita bisa mengatur mereka untuk sarapan setiap hari. Namun ketika si sulung dan anak keduanya sudah kuliah, sarapan setiap hari menjadi sesuatu yang sulit direalisasikan. Langit dan Banyu kuliah di luar kota. Kaiva yang sejak kecil susah sekali bangun pagi, lebih sering melewatkan sarapan karena sudah terlambat untuk sekolah. Bagaimana tidak terlambat, setelah shalat Subuh, Kaiva lebih memilih untuk tidur lagi daripada bersiap sekolah.Ketika Langit kembali ke Bandung, Anita dengan tegas menyuruh sulungnya itu datang sarapan di Sabtu Minggu. Alhasil setiap Jumat sore Langit memilih pulang ke rumah orangtuanya daripada harus repot di hari Sabtu berangkat pagi-pagi.“Males aja kalo mepet-mepet. Emangnya kamu. Ap

  • CINTA YANG TAK TERMILIKI   15. APAKAH INI CINTA?

    Setelah menutup paksa obrolannya dengan Dimas, Dhira merebahkan tubuhnya di kasur lalu menatap langit-langit kamar. Perlahan dia menelusuri hatinya. Perasaan apa yang kini ada untuk Dimas.“Dhir... kamu di dalam kan? Bunda masuk ya?”Anita bertanya sambil mendorong pelan pintu kamar Dhira. Tidak dikunci.“Kebiasaan deh ini anak, pintu kamar nggak pernah dikunci. Jangan-jangan kamu di Yogya juga suka lupa mengunci pintu kamar kamu ya? Bahaya loh Dhir. Gimana kalau ada orang iseng yang masuk kamar kamu. Duh ngebayanginnya aja Bunda mah udah ngeri. Kamu jangan bikin khawatir Bunda kamu ini dong.” Ucap Anita panjang lebar sambil melangkahkan kaki mendekati Dhira yang masih terbaring di atas kasurnya.“Heh, kamu denger omongan Bunda nggak?” Lanjut Anita.“Iya, Bundaku sayang. Dhira denger. Lagian di sini ngapain Dhira kunci kamar segala. Kalau Bunda mau masuk kan repot, Dhir kudu bangun bukain kunci.” Dhira memeluk erat Anita. Sebagai anak perempuan satu-satunya, Dhira memang mendapat keun

  • CINTA YANG TAK TERMILIKI   14. RESAH DI SINI GELISAH DI SANA

    “Kamu mau ke mana Dim?” Tanya Yashinta saat melihat anak sulungnya itu sudah berpakaian rapi.“Pulang ke Yogya, Ma.” Dimas menjawab singkat.“Kok buru-buru? Kamu nggak kangen Mama? Sudah hampir dua tahun loh Dim kamu nggak pulang. Sekarang baru semalem di sini kamu udah mau ke Yogya lagi. Mama masih kangen sama kamu.” Gerutu Yashinta.“Bukan gitu, Ma. Dimas lupa kalau banyak tugas yang harus dikumpul hari Senin besok.” Dimas mencoba merayu Yashinta dengan memeluknya.“Alaahhh itu sih alasan kamu aja. Buktinya, kamu kemaren malah ke Bandung. Kalau Papa kamu nggak nyuruh anak buahnya bawa kamu ke sini, pasti kamu juga nggak inget pulang ke rumah kan?”“Nggak gitu Mamaku sayang. Beneran Dimas nggak sengaja ke Bandung. Kebetulan ada temen yang mau pulang ke Bandung, kebetulan juga Dimas kan udah lama banget nggak ke Bandung, sekali-sekali pengen juga lah maen ke sana sendiri.”“Temen apa temen? Katanya cewek. Mana ada kamu temenan sama cewek.” Rajuk Yashinta.“Beneran temen, Ma. Kemajuan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status