“Kamu harus yakin, Nak. Pergilah, kamu kuliah yang bener. Nggak usah mikirin Ibu. Di sini kan banyak tetangga. Ibu akan baik-baik saja.” Tangan keriput Maria mengusap lembut kepala Janu yang kini berada di pangkuannya. Anak lelakinya ini tetap saja manja meski kini sudah lulus SMA.
“Tapi Bu, Bandung itu jauh. Janu kayaknya nggak bisa ninggalin Ibu sendirian di sini.” Setumpuk ragu kini tiba-tiba saja menyelimuti hati Janu.
“Kamu laki-laki Nak. Kamu harus merantau. Kejar impian kamu. Ibu tahu, dari kecil kamu sudah seneng gambar. Kalau ada yang tanya kamu mau jadi apa, kamu pasti jawab mau jadi tukang gambar gedung-gedung tinggi kayak di Jakarta. Padahal kamu cuma liat dari TV. Gusti Allah dengar doa kamu. Makanya sekarang kamu diterima di ITB. Ini namanya takdir, Nak. Kamu harus kuat jalaninnya.” Bujuk Maria panjang lebar.
Maria tahu, Janu sangat mengkhawatirkan dirinya. Sejak hamil Janu, Maria memilih berpisah dengan suaminya yang ketahuan selingkuh dengan teman sekantornya. Banyak yang merutuki kebodohannya, tapi Maria bergeming. Dia berprinsip, kalau dirinya tidak bahagia, bagaimana kelak dia akan memberikan kebahagiaan kepada anaknya.
Bengkulu menjadi tujuan utama Maria melarikan diri. Jauh dari keluarga dan terutama dari mantan suaminya. Saat itu usia kandungannya baru dua bulan. Bahkan saat dia bercerai, Maria tidak mengetahui kalau dirinya hamil. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Maria tidak mau kembali kepada suami yang sudah memilih perempuan lain dan mengorbankan rumah tangga yang baru mereka bangun selama dua tahun.
Dengan tabungan yang dimilikinya, Maria berusaha membuka toko kue kecil-kecilan. Beruntung, sejak dulu Maria sangat suka membuat kue. Maria kecil tak segan membawa kue-kue buatan ibunya untuk dijual di sekolahnya.
Bayi yang dikandung Maria seolah mengerti dengan kondisi ibunya. Selama kehamilan sampai melahirkan, Maria tidak pernah mengalami kesulitan. Dia bisa bekerja membuat kue seperti biasa sambil mengajari beberapa karyawan yang direkrutnya. Hingga saat Maria harus istirahat pasca melahirkan, toko kuenya tetap bisa beroperasi seperti biasa.
Semesta begitu menolong Maria. Proses kelahiran pun berjalan dengan sangat lancar. Maria melahirkan di seorang bidan tanpa hambatan yang berarti. Lalu bayi itu diberi nama Janu Mahija.
Kehidupan sulit berhasil dilewati Maria dan anaknya. Sampai kini tiba saatnya Janu menentukan masa depan hidupnya. Janu bersikeras ingin tetap kuliah di Bengkulu agar bisa dekat dengan Maria. Namun, Maria bergeming dengan keputusannya bahwa Janu harus mengambil kesempatan bisa kuliah di ITB.
Setelah perdebatan panjang, berbekal restu dan doa dari ibunya, Janu pun berangkat ke Bandung mendekati impiannya.
Begitulah, Janu akhirnya memilih jurusan arsitektur di ITB. Dalam rentang satu semester di awal perkuliahannya, Janu sudah mencuri perhatian salah seorang dosen di sana. Adalah Fauzi, profesor senior yang sangat dihormati. Kecerdasan Janu mampu membuat Fauzi terpikat dengan anak muda itu.
Tentu saja Janu tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia memanfaatkan kedekatannya dengan Fauzi untuk belajar dan menimba ilmu sebanyak mungkin dari sang profesor. Bagi Janu, sosok Fauzi seolah menggantikan kehadiran sang ayah yang tidakpernah dia temui sejak lahir.
Perlahan hubungan Fauzi dan Janu tidak lagi seperti dosen dan mahasiswanya. Namun lebih ke ayah dan anak. Janu yang awalnya sangat tertutup, pelan-pelan bisa membuka diri dan menceritakan kondisi dirinya. Janu juga tak segan main ke rumah Fauzi untuk membaca berbagai jenis buku. Sebagai pasangan dengan gelar profesor, Fauzi dan Anita memang memiliki lebih dari seribu buku yang menjadi koleksi mereka. Fauzi pernah berkata bahwa buku adalah hartanya yang paling berharga.
Ditahun kedua kuliahnya, Fauzi mengajak Janu untuk tinggal di rumahnya. Tawaran yang sangat menggiurkan bagi Janu. Meski begitu, Janu sempat menolak karena alasan tidak enak. Dia tidak ingin hutang budi kepada Fauzi walaupun Janu tahu kebaikan Fauzi itu tidak dibuat-buat.
“Kamu tinggal di rumah saya tidak gratis.” Fauzi berkata seolah bisa memahami keresahan Janu.
“Maksudnya bagaimana, Prof?” Tanya Janu tidak mengerti. Seperti mahasiswa lainnya, Janu lebih senang memanggil Fauzi dengan sebutan Prof. Rasanya lebih nyaman di telinga.
“Iya, kamu harus membayar untuk bisa tinggal di rumah saya. Tapi tenang, saya tidak meminta kamu untuk membayar pakai uang. Saya mau kamu menjadi asisten saya. Kamu bisa membantu beberapa pekerjaan saya baik yang berurusan dengan kampus ini maupun pekerjaan saya di luar kampus.” Fauzi menjelaskan.
“Tapi Prof, jarak rumah Prof sama kampus ini lumayan jauh. Saya tidak sanggup kalau harus pakai angkutan umum.” Janu berkata lirih. Suaranya nyaris tidak terdengar.
“Hahahaha.” Fauzi tergelak. “Kamu bisa pakai motor yang ada di rumah saya. Anggap saja itu sebagai kendaraan operasional kamu. Ingat, kamu harus merawat dan menjaganya karena saya tidak memberikannya cuma-cuma.” Tegas Fauzi.
Mengenal Janu hampir setahun ini, membuat Fauzi sedikit banyaknya tahu bagaimana sifat Janu. Anak muda itu punya harga diri yang sangat tinggi. Dia tidak mau dikasihani. Fauzi juga tahu kalau Janu itu seorang pekerja keras. Tipikal anak muda yang punya prinsip kuat di dalam dirinya.
Begitulah. Sejak masuk semester tiga Janu tinggal di rumah Fauzi. Sebagai orang yang ‘menumpang’, Janu cukup tahu diri. Setiap pagi dia akan membantu merapikan rumah, menyiram tanaman di depan, atau sekedar beres-beres di pekarangan. Apa saja akan dikerjakan oleh Janu. Kebiasaan Janu ini disambuh suka cita oleh Bi Asih. Pembantu di rumah Fauzi. Bi Asih bisa dengan mudah menyayangi Janu. Menurut Bi Asih, anak muda yang rajin dan mau mengerjakan pekerjaan rumah itu ibarat barang langka yang harus dilestarikan.
Selain Bi Asih, yang menyambut kehadiran Janu penuh sukacita adalah Kaiva. Anak bungsu Fauzi. Kaiva seolah menemukan sosok kakak yang baru. Kebetulan kedua kakak lelakinya memang sudah tidak tinggal bersama mereka. Langit sudah membeli rumah sendiri dari hasil jerih payahnya sebagai dosen. Banyu sedang menempuh S2 di Jepang. Dhira kuliah di Yogya. Otomatis di rumah ini hanya ada Fauzi, Anita, Kaiva, dan Bi Asih. Kedatangan Janu membuat Kaiva yang masih duduk di bangku akhir SMA itu punya sekutu baru.
Apalagi Janu tidak punya adik. Klop sudah kalau dia dan Kaiva sudah bergabung. Mereka bisa membahas masalah apapun.
Hari ketiga di rumah Fauzi, kebetulan hari minggu dan Janu tidak memiliki agenda apapun. Fauzi dan Anita sedang ke Solo untuk menghadiri sebuah seminar dimana Fauzi akan menjadi salah seorang pembicaranya. Memang seperti itu, Anita akan berusaha ikut mendampingi sang suami jika sedang tidak ada jadwal mengajar.
Pagi itu seperti pagi-pagi sebelumnya, Janu sudah bangun sejak adzan subuh berkumandang. Karena terbiasa tidak pernah bermalas-malasan, Janu sigap mencari sapu dan alat pel. Dia mulai menyapu dari ruang depan yang baru kali ini dimasukinya. Selama ini, jika ke rumah Fauzi, Janu selalu masuk lewat pintu samping. Tidak pernah sekalipun dia memasuki ruang tamu rumah dosennya.
Sesaat mata Janu terpaku pada satu titik. Foto keluarga Fauzi yang Janu taksir diambil belum lama ini. Sepasang mata indah seperti sedang menarik Janu untuk menyelam di dasarnya. Janu terpana.
Seumur hidupnya, Janu merasa baru kali ini melihat mata yang seakan bisa bicara. Benar, mata itu begitu hidup. Dada Janu tiba-tiba saja bergemuruh. Ada debaran aneh yang membuatnya seketika merasa tidak baik-baik saja. Setengah limbung, Janu terduduk disofa yang ada di belakangnya.
Janu kembali memandang mata indah dalam bingkai foto di depannya. Jika orang mengatakan mata adalah jendela jiwa, kini Janu mengamini kata-kata tersebut.
Dialah orangnya. Hati Janu berbisik.
Ya, dalam beberapa detik memandang matanya saja Janu sudah yakin bahwa perempuan itulah masa depannya. Janu tidak peduli bagaimana caranya, saat ini dia hanya berharap semesta akan mendukung semua doanya.
“Itu Teh Dhira.” Suara Kaiva membuat Janu terlonjak.
“Ampun, Kai, Aa pikir kamu hantu.” Janu mengusap dadanya.
“Habis ngeliatin foto serius banget. Naksir ya sama Teh Dhira?” Todong Kaiva tanpa ragu.
“Nggak. Cuma lagi liat muka anak-anak Prof aja.” Janu berusaha menghindar.
“Naksir juga gak apa-apa kali. Kan gratis.” Kaiva makin menggoda.
Janu tak menggubris ucapan Kaiva lagi. Dia langsung beralih ke sapu lalu meneruskan kegiatan menyapu yang tadi tertunda. Namun, kini Janu tahu bahwa hatinya telah memilih.
***
“Dhir, kamu dicariin tuh.” Niken duduk di samping Dhira yang sedang menikmati gudeg dengan santainya.“Siapa?” Dhira sedikit mendongak.“Siapa lagi kalau bukan sang pangeran bervespa putih. Tuh orangnya.” Niken menunjuk ke arah seseorang yang sedang mendekat ke arah mereka dengan dagunya.Dhira mengikuti arah yang ditunjuk Niken. Dilihatnya Dimas melambaikan tangan. Dhira membalasnya sambil menyuruh Dimas ke situ.“Katanya bukan pacar, tapi kok ya mesra gitu.” Niken mencibir.Dhira hanya tersenyum tak menanggapi ucapan Niken. Hampir seluruh teman satu angkatannya bahkan mungkin satu jurusan hukum tahu kedekatan Dhira dengan Dimas. Masalah ini juga yang menjadi alasan beberapa teman Dhira mundur teratur tidak jadi mendekati gadis manis itu.Memang, hampir tiap hari Dimas datang ke jurusan hukum mencari Dhira. Padahal Dimas mengambil jurusan ekonomi yang lokasi gedungnya lumayan jauh dari tempat kuliah Dhira. Tapi apa mau dikata. Cinta bisa mengalahkan segalanya.Benarkah mereka saling
“Betul kan yang ini gerbongnya?” Tanya Dhira sambil bolak balik melihat antara tiket di tangannya dengan gerbong kereta di depan matanya.“Betul kok. Udah cepetan masuk. Sebentar lagi kereta berangkat.” Dimas setengah mendorong punggung Dhira agar segera masuk.Keduanya kini sudah duduk di kursi sesuai nomor yang tertera pada tiket. Jam di pergelangan tangan Dhira menunjukan sudah hampir tengah malam. Entah mengapa kantuk masih belum juga datang menghampirinya. Dhira melirik ke samping kirinya, terlihat Dhimas sedang menikmati lagu yang didengarnya melalui earphone.Perjalanan ini di luar dugaan Dhira. Awalnya dia hanya cerita kepada Alma dan Niken tentang rencana kepulangannya ini. Ayahnya sedang tidak enak badan, kebetulan juga hari Kamis dan Jumat ini kuliahnya libur. Jadi Dhira memilih untuk pulang ke Bandung malam Kamis. Siapa nyana kabar itu begitu cepat sampai ke telinga Dimas. Tak sampai enam jam, Dimas sudah ada di kost-an Dhira dengan membawa dua buah tiket ke Bandung.“Kamu
Pagi yang riuh menjadi pemandangan biasa di Stasiun Bandung. Penumpang berhamburan turun dari kereta, pedagang asongan sibuk menawarkan dagangan yang dibawanya, pegawai gerai-gerai di dalam dan di luar stasiun bebenah merapikan lapak mereka, para penjemput memicingkan mata mendekati sanak saudara maupun pacar yang akan mereka jemput, tak lupa suara merdu pengamen sudah mulai terdengar seolah mengucapkan selamat datang.“Kita sarapan dulu.” Dimas mencekal pergelangan tangan Dhira. Menuntunnya turun dari gerbong bisnis yang mereka tumpangi.Kali ini Dhira hanya diam menurut kemana kaki Dimas melangkah. Semalaman Dimas berhasil membuat Dhira tidak bisa tidur karena memikirkan ucapan lelaki itu. Wajar jika pagi ini Dhira merasakan kepalanya pusing.Cafe yang ada di sebarang stasiun menjadi pilihan Dimas. Dia butuh secangkir kopi pahit lebih dari apapun. Bukan hanya gadis di sampingnya saja yang tidak bisa tidur, tanpa Dhira tahu, pikiran Dimas juga semalam berkelana menanti pagi. Dimas ya
Dhira membuka pintu gerbang rumahnya dengan hati-hati. Sudah jam sepuluh lebih. Pasti kedua orangtua, kakak, dan adiknya tidak ada di rumah. Dengan langkah yang mengendap-endap Dhira berputar ke arah dapur. Tujuannya ya jelas, ingin mengagetkan Bi Asih. Selama Dhira tidak ada Bi Asih pasti hidupnya lebih tenang karena hanya ada Kaivan yang selalu mengganggunya. Jika Dhira dan Kaivan sudah bersama, bisa dipastikan Bi Asih jadi bulan-bulanan mereka.“Biiiiiiiiii...”“Gustiiiiii aya kunti, aya maling, aya garong, aya nu gelo, aya jurig, aya... aduh neng Dhiraaaa...” Bi Asih terduduk di lantai sambil mengelus dadanya.Bi Asih sedang merapikan isi kulkas ketika Dhira masuk dan memanggilnya dengan suara yang setengah menjerit. Posisi Bi Asih yang sudah setengah duduk membuat tubuhnya langsung terjengkang dan duduk dengan sukses.“Ish si bibi masih aja kagetan gitu. Hahahaha.” Dhira memeluk pundak Bi Asih.Perempuan yang sudah memasuki usia enam puluh tahun itu sudah dianggap menjadi bagian
“Neng... Neng Dhira... Bangun Neng, ini dzuhurnya udah mau habis. Neng... Neng... Neng Dhira...” Bi Asih terus saja mengetuk pintu kamar Dhira. Sudah lewat dari jam dua siang dan Dhira belum terlihat bangun. Sudah menjadi kebiasaan Bi Asih sejak anak-anak masih kecil selalu mengingatkan kalau sudah waktunya sholat.“Iya, Bi iyaaaaa Dhira bangun.” Dhira menjawab sambil bangun dari tidurnya. Dengan nyawa yang masih belum sepenuhnya terkumpul Dhira membuka pintu kamar dan berlalu begitu saja melewati Bi Asih. Dhira menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu sedangkan Bi Asih melanjutkan pekerjaannya kembali di dapur. Sejenak Bi Asih sempat memperhatikan Dhira dengan mata berkaca-kaca. Bi Asih tidak pernah menyangka bayi mungil yang dulu selalu digendongnya kini sudah menjelma menjadi gadis manis yang sungguh luar biasa.Selesai sholat di musholla kecil yang terletak di salah satu sudut rumah itu, Dhira beranjak ke dapur. Perutnya kini benar-benar sudah sangat lapar. Andai tadi Bi Asih
Jika Dhira sedang asyik berbincang dengan Janu, hal serupa tidak terjadi kepada Dimas. Di saat yang bersamaan pintu kamar hotel tempat Dimas menginap diketuk seseorang. Dimas masih setengah sadar karena baru saja tertidur. Otaknya tidak bisa mencerna siapa yang datang mengetuk pintu kamar dan ingin menemuinya. Bahkan Dimas masih merasa bahwa saat ini dia ada di kamar kostnya di Yogya.Dimas menyeret tubuhnya untuk membuka pintu dengan kesadaran yang masih belum ada setengahnya. “Si...a...pa...” Ucapan Dimas terhenti saat dia melihat kalau yang ada dibalik pintu itu adalah Roni. Anak buah sekaligus orang kepercayaan papanya yang memang ditempatkan di Bandung. Seketika mata Dimas membelalak karena tak percaya jika saat ini dia berhadapan dengan Roni.“Selamat siang, Mas Dimas. Maaf saya mengganggu. Ini perintah dari Tuan Cipta.” Roni sedikit membungkukan tubuhnya tanda menghormati Dimas. Untunglah Roni tidak menyebut Dimas sebagai Tuan Muda seperti anak buahnya yang lain.“Masuk.” Dim
“Bapak sama Ibu nggak pulang?” Tanya Dhira kepada Kaiva. Dhira melirik jam dinding yang sudah tergantung di ruang tengah itu sejak dia masih SD.“Salah sendiri mau pulang nggak bilang-bilang.” Kaiva meleletkan lidah mengejek kakak perempuannya.Kaiva masih merasa dongkol karena Dhira pulang tanpa memberitahu dirinya. Padahal Kaiva sangat ingin sekali Dhira bisa membawakan bakpia asli Yogya yang sudah menjadi makanan kesukaan Kaiva sejak gigitan pertama. Saat itu Banyu yang sengaja membawakan bakpia itu untuk Kaiva. Sedangkan Dhira sama sekali tidak punya keinginan untuk membawakan oleh-oleh.Pertemuan mereka tadi sore sudah pasti membuat riuh rumah yang biasanya selalu sepi. Bi Asih memilih diam menjadi penonton yang baik. Sejak dulu Kaiva dan Dhira memang yang paling sering ribut dibandingkan yang lainnya. Bisa jadi hal ini dikarenakan jarak usia keduanya yang tidak terlalu jauh. Sedangkan dengan Langit dan Banyu, jarak mereka cukup lumayan jauh.“Kan emang Teteh tadinya nggak niat m
“Gimana rasanya jadi orang Bandung?” Tanya Dhira sambil menatap ke arah Janu.“Luar biasa. Bandung sangat menyenangkan. Semuanya jelas berbeda dengan tempat tinggal saya di Bengkulu.” Janu menjawab tanpa melihat ke mata Dhira. Bagaimana tidak, saat ini hatinya sedang jauh dari kata baik-baik saja. Biasanya Janu mencuri-curi kesempatan agar bisa melihat foto Dhira di ruang tamu Fauzi, kini sosok yang selalu memenuhi kerinduannya itu ada di depan mata Janu. Mata indah yang yang membuat Janu jatuh cinta pada pandangan pertama, malah sedang menatapnya lekat.Setelah hampir satu jam mengelilingi Kota Bandung, kini mereka memilih duduk di salah satu kursi yang ada di sudut Jalan Braga. Di langit, bintang begitu terang bersinar. Sementara di Jalan Braga lampu-lampu terlihat benderang berpijar. Dhira dan Janu duduk bersisian sambil memandang lalu lalang kendaraan yang tidak pernah berhenti sejak tadi.“Kamu asli dari Bengkulu ya?” Suara Dhira memecah kebisuan.“Nggak juga. Mama aslinya dari B