Share

5. PILIHAN JANU MAHIJA

“Kamu harus yakin, Nak. Pergilah, kamu kuliah yang bener. Nggak usah mikirin Ibu. Di sini kan banyak tetangga. Ibu akan baik-baik saja.” Tangan keriput Maria mengusap lembut kepala Janu yang kini berada di pangkuannya. Anak lelakinya ini tetap saja manja meski kini sudah lulus SMA.

“Tapi Bu, Bandung itu jauh. Janu kayaknya nggak bisa ninggalin Ibu sendirian di sini.” Setumpuk ragu kini tiba-tiba saja menyelimuti hati Janu.

“Kamu laki-laki Nak. Kamu harus merantau. Kejar impian kamu. Ibu tahu, dari kecil kamu sudah seneng gambar. Kalau ada yang tanya kamu mau jadi apa, kamu pasti jawab mau jadi tukang gambar gedung-gedung tinggi kayak di Jakarta. Padahal kamu cuma liat dari TV. Gusti Allah dengar doa kamu. Makanya sekarang kamu diterima di ITB. Ini namanya takdir, Nak. Kamu harus kuat jalaninnya.” Bujuk Maria panjang lebar.

Maria tahu, Janu sangat mengkhawatirkan dirinya. Sejak hamil Janu, Maria memilih berpisah dengan suaminya yang ketahuan selingkuh dengan teman sekantornya. Banyak yang merutuki kebodohannya, tapi Maria bergeming. Dia berprinsip, kalau dirinya tidak bahagia, bagaimana kelak dia akan memberikan kebahagiaan kepada anaknya.

Bengkulu menjadi tujuan utama Maria melarikan diri. Jauh dari keluarga dan terutama dari mantan suaminya. Saat itu usia kandungannya baru dua bulan. Bahkan saat dia bercerai, Maria tidak mengetahui kalau dirinya hamil. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Maria tidak mau kembali kepada suami yang sudah memilih perempuan lain dan mengorbankan rumah tangga yang baru mereka bangun selama dua tahun.

Dengan tabungan yang dimilikinya, Maria berusaha membuka toko kue kecil-kecilan. Beruntung, sejak dulu Maria sangat suka membuat kue. Maria kecil tak segan membawa kue-kue buatan ibunya untuk dijual di sekolahnya.

Bayi yang dikandung Maria seolah mengerti dengan kondisi ibunya. Selama kehamilan sampai melahirkan, Maria tidak pernah mengalami kesulitan. Dia bisa bekerja membuat kue seperti biasa sambil mengajari beberapa karyawan yang direkrutnya. Hingga saat Maria harus istirahat pasca melahirkan, toko kuenya tetap bisa beroperasi seperti biasa.

Semesta begitu menolong Maria. Proses kelahiran pun berjalan dengan sangat lancar. Maria melahirkan di seorang bidan tanpa hambatan yang berarti. Lalu bayi itu diberi nama Janu Mahija.

Kehidupan sulit berhasil dilewati Maria dan anaknya. Sampai kini tiba saatnya Janu menentukan masa depan hidupnya. Janu bersikeras ingin tetap kuliah di Bengkulu agar bisa dekat dengan Maria. Namun, Maria bergeming dengan keputusannya bahwa Janu harus mengambil kesempatan bisa kuliah di ITB.

Setelah perdebatan panjang, berbekal restu dan doa dari ibunya, Janu pun berangkat ke Bandung mendekati impiannya.

Begitulah, Janu akhirnya memilih jurusan arsitektur di ITB. Dalam rentang satu semester di awal perkuliahannya, Janu sudah mencuri perhatian salah seorang dosen di sana. Adalah Fauzi, profesor senior yang sangat dihormati. Kecerdasan Janu mampu membuat Fauzi terpikat dengan anak muda itu.

Tentu saja Janu tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia memanfaatkan kedekatannya dengan Fauzi untuk belajar dan menimba ilmu sebanyak mungkin dari sang profesor. Bagi Janu, sosok Fauzi seolah menggantikan kehadiran sang ayah yang tidakpernah dia temui sejak lahir.

Perlahan hubungan Fauzi dan Janu tidak lagi seperti dosen dan mahasiswanya. Namun lebih ke ayah dan anak. Janu yang awalnya sangat tertutup, pelan-pelan bisa membuka diri dan menceritakan kondisi dirinya. Janu juga tak segan main ke rumah Fauzi untuk membaca berbagai jenis buku. Sebagai pasangan dengan gelar profesor, Fauzi dan Anita memang memiliki lebih dari seribu buku yang menjadi koleksi mereka. Fauzi pernah berkata bahwa buku adalah hartanya yang paling berharga.

Ditahun kedua kuliahnya, Fauzi mengajak Janu untuk tinggal di rumahnya. Tawaran yang sangat menggiurkan bagi Janu. Meski begitu, Janu sempat menolak karena alasan tidak enak. Dia tidak ingin hutang budi kepada Fauzi walaupun Janu tahu kebaikan Fauzi itu tidak dibuat-buat.

“Kamu tinggal di rumah saya tidak gratis.” Fauzi berkata seolah bisa memahami keresahan Janu.

“Maksudnya bagaimana, Prof?” Tanya Janu tidak mengerti. Seperti mahasiswa lainnya, Janu lebih senang memanggil Fauzi dengan sebutan Prof. Rasanya lebih nyaman di telinga.

“Iya, kamu harus membayar untuk bisa tinggal di rumah saya. Tapi tenang, saya tidak meminta kamu untuk membayar pakai uang. Saya mau kamu menjadi asisten saya. Kamu bisa membantu beberapa pekerjaan saya baik yang berurusan dengan kampus ini maupun pekerjaan saya di luar kampus.” Fauzi menjelaskan.

“Tapi Prof, jarak rumah Prof sama kampus ini lumayan jauh. Saya tidak sanggup kalau harus pakai angkutan umum.” Janu berkata lirih. Suaranya nyaris tidak terdengar.

“Hahahaha.” Fauzi tergelak. “Kamu bisa pakai motor yang ada di rumah saya. Anggap saja itu sebagai kendaraan operasional kamu. Ingat, kamu harus merawat dan menjaganya karena saya tidak memberikannya cuma-cuma.” Tegas Fauzi.

Mengenal Janu hampir setahun ini, membuat Fauzi sedikit banyaknya tahu bagaimana sifat Janu. Anak muda itu punya harga diri yang sangat tinggi. Dia tidak mau dikasihani. Fauzi juga tahu kalau Janu itu seorang pekerja keras. Tipikal anak muda yang punya prinsip kuat di dalam dirinya.

Begitulah. Sejak masuk semester tiga Janu tinggal di rumah Fauzi. Sebagai orang yang ‘menumpang’, Janu cukup tahu diri. Setiap pagi dia akan membantu merapikan rumah, menyiram tanaman di depan, atau sekedar beres-beres di pekarangan. Apa saja akan dikerjakan oleh Janu. Kebiasaan Janu ini disambuh suka cita oleh Bi Asih. Pembantu di rumah Fauzi. Bi Asih bisa dengan mudah menyayangi Janu. Menurut Bi Asih, anak muda yang rajin dan mau mengerjakan pekerjaan rumah itu ibarat barang langka yang harus dilestarikan.

Selain Bi Asih, yang menyambut kehadiran Janu penuh sukacita adalah Kaiva. Anak bungsu Fauzi. Kaiva seolah menemukan sosok kakak yang baru. Kebetulan kedua kakak lelakinya memang sudah tidak tinggal bersama mereka. Langit sudah membeli rumah sendiri dari hasil jerih payahnya sebagai dosen. Banyu sedang menempuh S2 di Jepang. Dhira kuliah di Yogya. Otomatis di rumah ini hanya ada Fauzi, Anita, Kaiva, dan Bi Asih. Kedatangan Janu membuat Kaiva yang masih duduk di bangku akhir SMA itu punya sekutu baru.

Apalagi Janu tidak punya adik. Klop sudah kalau dia dan Kaiva sudah bergabung. Mereka bisa membahas masalah apapun.

Hari ketiga di rumah Fauzi, kebetulan hari minggu dan Janu tidak memiliki agenda apapun. Fauzi dan Anita sedang ke Solo untuk menghadiri sebuah seminar dimana Fauzi akan menjadi salah seorang pembicaranya. Memang seperti itu, Anita akan berusaha ikut mendampingi sang suami jika sedang tidak ada jadwal mengajar.

Pagi itu seperti pagi-pagi sebelumnya, Janu sudah bangun sejak adzan subuh berkumandang. Karena terbiasa tidak pernah bermalas-malasan, Janu sigap mencari sapu dan alat pel. Dia mulai menyapu dari ruang depan yang baru kali ini dimasukinya. Selama ini, jika ke rumah Fauzi, Janu selalu masuk lewat pintu samping. Tidak pernah sekalipun dia memasuki ruang tamu rumah dosennya.

Sesaat mata Janu terpaku pada satu titik. Foto keluarga Fauzi yang Janu taksir diambil belum lama ini. Sepasang mata indah seperti sedang menarik Janu untuk menyelam di dasarnya. Janu terpana.

Seumur hidupnya, Janu merasa baru kali ini melihat mata yang seakan bisa bicara. Benar, mata itu begitu hidup. Dada Janu tiba-tiba saja bergemuruh. Ada debaran aneh yang membuatnya seketika merasa tidak baik-baik saja. Setengah limbung, Janu terduduk disofa yang ada di belakangnya.

Janu kembali memandang mata indah dalam bingkai foto di depannya. Jika orang mengatakan mata adalah jendela jiwa, kini Janu mengamini kata-kata tersebut.

Dialah orangnya. Hati Janu berbisik.  

Ya, dalam beberapa detik memandang matanya saja Janu sudah yakin bahwa perempuan itulah masa depannya. Janu tidak peduli bagaimana caranya, saat ini dia hanya berharap semesta akan mendukung semua doanya.

“Itu Teh Dhira.” Suara Kaiva membuat Janu terlonjak.

“Ampun, Kai, Aa pikir kamu hantu.” Janu mengusap dadanya.

“Habis ngeliatin foto serius banget. Naksir ya sama Teh Dhira?” Todong Kaiva tanpa ragu.

“Nggak. Cuma lagi liat muka anak-anak Prof aja.” Janu berusaha menghindar.

“Naksir juga gak apa-apa kali. Kan gratis.” Kaiva makin menggoda.

Janu tak menggubris ucapan Kaiva lagi. Dia langsung beralih ke sapu lalu meneruskan kegiatan menyapu yang tadi tertunda. Namun, kini Janu tahu bahwa hatinya telah memilih.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status