Lusi yang mendapati suaminya —Leon— berkhianat dan menikah lagi diam-diam, tetap berusaha bersikap tegar. Meskipun, luka dan rasa sakit itu jelas-jelas menyayat hatinya. Lusi bertekad bahwa dirinya lebih baik hidup menjanda daripada diduakan. Dia pun berusaha menunjukkan pada Leon kalau tanpa sang suami, dia akan tetap baik-baik saja. Membuat Leon akhirnya merasa sangat menyesal karena hanya Lusi yang mampu menerima segala kekurangan.
View More"Ini Mira, Dek. Kami baru saja menikah pagi tadi," ucapnya dengan mantap. Tak tersirat sedikit pun dari nada bicaranya dia merasa bersalah.
Aku bergeming.
"Dek?" panggilnya lagi karena melihatku hanya diam sembari tetap sibuk mengotak-atik ponsel. "Aku sedang bicara denganmu, Dek. Kamu enggak dengar?"
"Dengar, kok," sahutku santai. Melirik sekilas, lalu kembali sibuk dengan ponsel.
"Aku sudah menikah lagi, Dek." Dia mengulang kalimatnya dengan suara lebih tegas.
"Hm, terus?" Kini aku menatapnya tenang. Meletakkan ponsel di pangkuan, lalu bersedekap.
Bang Leon dan wanita bernama Mira itu saling menatap bingung. Aku hanya tertawa dalam hati.
Apa dia pikir aku akan menangis-nangis? Bersujud memintanya agar menceraikan wanita itu dan kembali padaku?
Halah, mimpi saja kamu, Bang!
"Kamu enggak marah, Dek?" tanyanya tak percaya.
"Kenapa aku harus marah? Baguslah kalau Abang sudah menikah lagi," ujarku cuek. Mengambil toples camilan di meja, lalu memakan keripik singkong yang ada di dalamnya.
Beban batin yang selama ini kurasakan sendirian dan kukubur dalam-dalam, kini tak lama lagi beban itu akan segera dirasakan oleh wanita lain. Kita lihat saja. Apa dia mampu bersabar dan menerima Bang Leon apa adanya sepertiku?
"Jadi, kamu sudah setuju dengan pernikahan keduaku ini?" tanyanya lagi dengan tatapan yang ... entahlah. Dia seperti terlihat kecewa.
Kenapa pula dia terlihat seperti tidak bahagia? Bukankah ini yang dia inginkan?
Dulu, Bang Leon sering sekali membahas tentang poligami. Aku hanya menanggapi dengan santai karena memang itu diperbolehkan.
Hanya saja, setiap kali dia bertanya apa aku mengizinkan jika dia juga melakukannya? Kujawab dengan tegas dan lantang 'silakan menikah lagi, tapi ceraikan aku dulu'.
Aku memang tak menentang, tapi bukan pula yang sanggup menerimanya. Kadar keikhlasan dan kesabaran yang dimiliki masih jauh di bawah rata-rata. Bisa-bisa aku gila jika membayangkan dia berbagi kehangatan dengan wanita lain.
"Bukannya sudah lama Abang tahu jawabanku? Aku enggak pernah melarang Bang Leon memiliki istri lebih dari dua. Tapi asal bukan aku istri pertamanya. Ceraikan aku dan nikmatilah hidup bersama istri baru." Aku menunjuk wanita berambut ikal cokelat itu dengan dagu. "Setelah itu, Abang bebas menikah lagi dengan wanita mana pun. Tentu Mira enggak akan keberatan, 'kan?"
Raut wajah wanita itu berubah seketika. Dia yang sedari tadi bersikap tenang dengan tangannya yang terus digenggam Bang Leon pun jadi terkejut. Dia spontan menoleh pada calon mantan suamiku itu dengan wajah cemberut.
"Kenapa? Apa kamu keberatan kalau Bang Leon menikah lagi nantinya?" sindirku dengan senyum tipis.
Wanita itu diam dan langsung melepaskan tautan jemarinya.
Cih, munafik! Berani mengganggu kehidupan rumah tangga orang lain, tapi sendirinya tidak sudi diperlakukan sama.
"Kita enggak perlu bahas itu sekarang, Dek. Kita ini sedang membahas aku, kamu dan Mira."
"Ya, terus? Maunya Abang apa?" tanyaku sembari kembali asyik menyantap camilan.
"Aku mau kamu menerima Mira sebagai adik madumu. Kita hidup damai bertiga di rumah ini, Dek."
"Enggak bisa," jawabku cuek. "Keputusanku akan tetap sama. Ceraikan aku atau selamanya wanita itu hanya akan berstatus istri sirimu," tegasku dengan tatapan dingin.
"Kamu tahu Mira, dengan statusmu yang hanya sebagai istri siri, kamu akan sangat merugi. Jika suatu saat kalian berpisah, kamu enggak bisa menuntut harta gono-gini karena status pernikahan kalian enggak diakui negara. Kamu juga bisa saja ditinggalkan seenaknya oleh Bang Leon, dan dia menikah lagi dengan wanita lain saat nafsu kembali menguasainya."
"Itu nggak mungkin terjadi!" bantah Bang Leon cepat. "Kamu jangan sembarangan bicara, Dek. Apa kamu pikir aku semudah itu terpaut hati pada setiap wanita yang ditemui?"
"Oh, jelas," sahutku tak kalah cepat. "Ini ... buktinya aja sudah ada," kataku santai sembari menunjuk Mira yang wajahnya ditekuk.
Bang Leon bungkam.
"Kenapa diam?" sindirku dengan senyuman miring.
"Aku enggak akan begitu, Dek. Ini pernikahan terakhirku. Aku janji akan setia pada kalian berdua," ujarnya dengan lembut.
Memuakkan!
Aku terkekeh pelan. "Apa janjimu masih bisa dipertanggung jawabkan, Bang? Janji suci pernikahan kita saja kamu ingkari," sindirku yang kembali membuat Bang Leon diam seribu bahasa.
"Hey, Mira! Status siri ini bukan hanya merugikanmu sendiri, tapi juga anakmu nanti. Di akta lahir, hanya akan tertulis nama ibu. Bisa, sih, nama ayahnya juga dicantumkan. Tapi prosesnya rumit termasuk harus ada tes DNA dan itu butuh banyak uang!"
Wanita berkulit sawo matang itu semakin menunduk dengan kedua tangannya saling meremas di pangkuan. Bang Leon hendak meraih jemari itu untuk menenangkan, tapi dia menolak.
"Dek, kumohon jangan menakuti Mira seperti itu."
Bagus, Bang. Bagus!
Bang Leon bahkan membela istri barunya dibandingkan aku yang sudah menemaninya sejak nol. Kini, saat ekonomi semakin membaik dengan seenaknya dia datang begitu saja membawa istri baru ke rumah ini.
"Siapa bilang aku menakuti? Itu fakta! Kalau enggak percaya, pakailah ponsel pintar kalian itu untuk mencari informasinya." Aku tersenyum mengejek.
Ponsel saja yang pintar, tapi pemiliknya tidak. Menyedihkan!
"Bujuk Bang Leon supaya menceraikanku jika ingin pernikahanmu legal secara hukum. Jangan harap aku sudi berbagi dan memberikan kalian izin menikah secara resmi. Enggak akan pernah!"
"Bang," rengek Mira dengan wajah memelas. "Apa yang dikatakan Mbak Lusi itu benar. Bang Leon juga udah janji mau nikahi aku secara resmi, 'kan? Pokoknya aku enggak mau kalau hanya menikah siri! Bang Leon harus memilih antara aku atau Mbak Lusi!"
Mamam, tuh, Bang! Pilih saja dia supaya wanita itu bisa merasakan derita yang selama ini kurasakan.
"Enggak!" tukas Bang Leon. "Aku enggak akan pernah menceraikan Lusi. Pun enggak akan melepasmu."
"Tapi, Bang—"
"Ssstt, diamlah," potong Bang Leon dengan menatap tajam Mira. "Biar aku yang bicara dengan Lusi. Kamu diam saja."
Mira mendengkus kesal, lalu bergeser menjauh dengan wajah cemberutnya.
"Aku janji akan berbuat adil, Dek. Terimalah dia sebagai adik madumu, ya. Izinkan aku menikahinya secara hukum negara juga," pintanya dengan tatapan memohon.
Sakit?
Tentu saja. Hati ini seperti diremas-remas mendengar dia berucap dengan begitu mudahnya tanpa memikirkan perasaanku. Nyeri, tapi sekuat mungkin aku bertahan. Kehilangan Bang Leon tidak akan membuat hidupku berakhir saat ini juga.
Aku berdiri, menatap angkuh keduanya sembari melipat kedua tangan di dada.
"Keputusanku enggak akan pernah berubah, Bang. Kita bercerai kalau Abang mau menikahinya secara resmi. Jangan jadi pria serakah!" tegasku tak ingin dibantah dengan sorot mata tajam.
"Dan kamu, Mira. Pikirkan baik-baik semua ucapanku tadi. Jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari! Aku juga wanita. Aku enggak mau kamu merasakan hal yang sama sepertiku. Pikirkan juga masa depan anakmu nanti," kataku dengan seulas senyum sinis, kemudian berlalu pergi tanpa menoleh lagi.
Aku melangkah cepat menuju lantai atas. Hati ini jelas sakit, tapi tak ada setitik pun air mata yang menetes. Semua itu sudah kering. Sudah habis ketika satu minggu yang lalu, aku menangis perih saat mengetahui fakta bahwa Bang Leon memiliki wanita idaman lain.
Ini bukan poligami yang benar. Ini perselingkuhan! Bahkan, mereka sudah menjalin hubungan diam-diam selama dua bulan sebelum akhirnya menikah siri.
Aku tak sengaja membaca chat mesra di ponsel Bang Leon dari kontak bernama Ari. Merasa ada yang tak beres, kuputuskan untuk menyadap, dan akhirnya mendapatkan bukti bahwa ternyata Ari itu wanita. Dialah Mira—teman sekantor Bang Leon.
Benar. Insting wanita itu memang kuat. Sudah lama aku curiga, tapi berusaha menepis itu dan tetap berpikir positif. Nyatanya, kepercayaan yang kuberikan itu sia-sia belaka.
Bukti chat bahwa mereka sering jalan bersama dengan alasan lembur membuat hati ini seketika membeku. Cinta yang ada di hati langsung lenyap begitu saja tak tersisa. Kekecewaan ini begitu besar hingga rasanya mati rasa.
Lihat saja, Bang! Kamu pikir aku akan hancur karena kehilanganmu? Tidak sama sekali!
🌸🌸🌸
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Niat awal memang ingin melahirkan secara normal lagi, tapi ternyata tidak memungkinkan. Kali ini, dokter menyarankan agar menjalani operasi caesar demi keselamatanku dan bayinya. Akhir-akhir ini, tekanan darahku sering tidak stabil dan cenderung tinggi. Sampai Mas William dan orangtuanya panik sendiri takut terjadi apa-apa padaku.Aku pun tak bisa keras kepala. Jika memang melahirkan secara caesar adalah jalan terbaik, maka akan kulakukan.Tanggal sudah ditentukan dan kini semua persiapan sudah selesai. Jujur, aku sangat gugup karena ini pertama kalinya akan menjalani operasi. Bahkan kedua tanganku sampai gemetar, tapi Mas William dan orangtuanya selalu ada untuk menguatkan dan menenangkan."Dengar." Mas William menangkup lembut kedua pipiku. "Ada mas di sini. Enggak akan terjadi apa pun padamu atau bayi kita. Ok? Kamu harus rileks. Jangan sampai tensi kamu naik terus. Hm?"Aku mengangguk dan mencoba mengatur pernapasan."Berdoa, ya, Nak." Mama mengusap
Semua file bukti kebohongan Claudia sudah kusiapkan dengan baik. Ini juga berkat bantuan Mas Firman —asisten pribadi Mas William— yang diam-diam bantu menyelidiki. Memang aku sengaja tak memberitahu Mas William soal rencana ini. Saat itu, dia sedang banyak pikiran dan sibuk mengurus bisnis. Sampai-sampai dengan mudahnya memberikan uang tanpa berpikir dulu.Maka dari itu, biarlah kuman kecil seperti Claudia kutangani sendiri. Suami istri memang harus saling bahu membahu termasuk dalam membasmi bibit-bibit penyakit dalam pernikahan."Permisi, Bu."Aku menoleh pada Bi Yatmi yang berdiri di depan pintu yang memang terbuka lebar. Kuletakkan lipstik, lalu berdiri dan berjalan menghampirinya."Ya, Bi.""Tamunya sudah datang, Bu."Aku tersenyum. "Persilakan masuk dan sajikan minum.""Baik, Bu." Bi Yatmi mengangguk paham, lalu kembali ke lantai bawah.Aku berjalan ke kamar Hafsha untuk memanggil Mas William yang sedang bermain bersamanya. Hafsha sempat merengek minta ikut, tapi berhasil kubuju
Selama makan di restoran, hanya aku dan Mas Williamlah yang berbincang. Claudia bak makhluk tak kasat mata yang tidak diakui kehadirannya. Dia menyantap makan siang dengan wajah masam sambil sesekali melirik pada kami yang duduk di hadapannya."Enak?"Aku mengangguk dan tersenyum. "Coba, deh, Mas."Mas William membuka mulut menerima suapan dariku, lalu tersenyum."Enak, kan?" Aku terkekeh kecil."Iya. Kamu mau coba punya mas enggak?""Mau, dong."Kini giliran aku yang tersenyum menerima suapan darinya beberapa kali. Setelah menghabiskan menu utama, kini aku tengah menikmati es krim strawberry. Sementara, Mas William sedang menikmati minuman sodanya sambil memandangiku."Ada es krim nempel." Mas William mengusap sudut bibirku dengan ibu jari. "Manis," imbuhnya setelah menjilat ibu jari sendiri.Aku tertawa kecil. "Manis, dong, Mas. Namanya juga es krim.""Iya. Semanis yang lagi makan esnya." Mas William mencubit gemas hidungku."Eh? Mau ke mana, Claudia?" tanyaku saat melihatnya beranj
"Kamu meragukanku?" Mas William menatapku dengan dahi berkerut. Aku tersenyum, lalu mendekat padanya yang berdiri di dekat meja rias. "Aku percaya padamu, Mas. Sangat percaya," kataku sembari membantu membukakan kancing kemeja. "Terus, kenapa malah menyetujui permintaan Claudia? Kamu sungguh ingin mas menikahinya?" Tersirat ada kekecewaan dari sorot matanya yang membidikku. Kutangkup kedua pipinya lembut seraya menatap lekat. "Apa aku terlihat tipe wanita yang rela berbagi, hm? Mas William menyentak napas kasar, lalu menyentuh satu tanganku di pipinya. "Mas takut kamu terhasut ucapan Claudia, Sayang. Mas enggak mau kehilangan kamu untuk yang kedua kalinya." Aku tersenyum. "Itu enggak akan terjadi. Enggak akan kubiarkan batu kerikil menghancurkan pernikahan kita." "Terus untuk apa kamu minta dia datang lusa nanti?" "Mas percaya padaku?" Dia mengangguk. "Kalau begitu, ikuti saja semua arahan dan perintahku tadi. Cukup ikuti sandiwara yang sudah kubuat ini. Ok, Suamiku?" Mas
"Temani Hafsha dulu, ya. Mama mau temui tamunya," pintaku pada Alex yang dijawabnya dengan anggukan.Aku berjalan keluar kamar Hafsha bersama Bi Yatmi untuk menemui tamu yang datang. Seorang wanita yang memakai kemeja putih dipadukan blazer abu tengah duduk di ruang keluarga. Dia menoleh dan terlihat mengubah posisi duduk saat menyadari kehadiranku."Tolong buatkan minum, ya, Bi.""Baik, Bu." Bi Yatmi mengangguk dan pergi ke dapur.Wanita ini tersenyum canggung dan hendak berdiri, tapi aku kembali mempersilakannya duduk. Namanya Claudia —sekretaris Mas William yang sudah dipecat."Silakan diminum," ucapku padanya ketika Bi Yatmi menyajikan minuman di meja."Terima kasih." Dia meneguk minumannya sedikit.Dari gelagat yang terlihat gelisah saja, aku sudah tahu maksud kedatangan dia apa. Bahkan, aku sudah bersiap dengan apa yang akan dikatakannya sekarang."Pak Williamnya ada?" Dia mulai membuka percakapan."Enggak usah basa-basi. Kamu pasti sudah tahu suamiku itu sibuk. Kamu datang ke s
"Hati-hati!" ucapku setelah Alex mencium punggung tanganku dan Mas William.Alex mengangguk, lalu naik ke mobil. Sesekali dia memang diantar sopir, tapi tak jarang juga diantar Mas William."Jangan lupa kabarin mama atau Papa kalau ada sesuatu, ya," pesanku sebelum mobilnya melaju keluar halaman.Alex mengangkat satu jempol dan melambaikan tangan pada Hafsha yang tersenyum ceria pada kakaknya."Mas enggak ke kantor?" tanyaku saat kami tengah berjalan masuk lagi."Enggak. Kan, hari ini ada peresmian usaha baru, Sayang. Restoran. Lupa, ya?""Oh, iya. Maaf, Mas. Lupa.""Dasar." Dia tersenyum seraya mencubit gemas pipiku yang lebih berisi ini."Jam berapa Mas berangkat?""Jam sepuluh. Nanti kamu dan Hafsha ikut, ya?" ujarnya setelah kami duduk di sofa ruang keluarga."Boleh?""Ya jelas boleh, dong, Sayang. Malah kamu wajib hadir." Mas William merangkul dan mengusap-usap lenganku."Aku boleh ikut juga, Pah?" tanya Hafsha yang duduk di pangkuannya."Uhm– boleh ikut enggak, ya?" Mas William
Setelah hampir enam bulan mengalami gejala stroke ringan, sekarang aku sudah sembuh total dan bisa beraktivitas dengan normal lagi. Hanya saja, dokter menyarankan untuk tetap menjaga pola hidup agar gejala stroke tak kembali menyerang. Termasuk mencegah terjadinya tensi yang tinggi baik itu oleh pola makan maupun pikiran.Selama aku sakit, Mas William benar-benar seperti malaikat tak bersayap. Dia selalu ada di sisiku. Menjadi kaki dan tangan yang belum bisa berfungsi normal. Dia selalu membantuku dengan menyuguhkan senyum manisnya. Bahkan, dia tidak pernah pergi ke kantor. Semua urusan pekerjaan diserahkan pada asisten pribadi kecuali memang harus menghadiri meeting penting.Tak terasa, sekarang kami sudah menjalani pernikahan lagi selama setahun setengah lebih lamanya. Tak ada masalah yang berarti. Saling terbuka dan jujur membuat kami tak pernah salah paham lagi.Hubunganku dengan Indira pun lebih baik. Dia juga bisa lebih menghargaiku dan menjaga sikap. Dia hanya akan datang sesek
Mataku terbuka perlahan ketika merasakan usapan lembut di pipi. Mas William tersenyum dengan Hafsha yang tertidur di pangkuannya."Sudah sampai, Mas?"Mas William mengangguk. "Ayo turun."Mama dan Papa mendekat ke mobil kami. Mengambil alih menggendong Hafsha karena Mas William harus membantuku turun."Enggak mau, Mas. Enggak usah digendong," tolakku saat hendak dibopongnya."Kenapa?""Aku mau jalan saja. Kan, dokter juga menyarankan kalau aku harus sering latihan.""Iya memang. Tapi ini sudah larut malam. Kamu capek.""Aku masih kuat, Mas."Mas William menghela napas pelan, lalu merangkulku."Ya sudah ayo. Tapi pelan-pelan." Mas William mulai memapahku menyusul Mama Papa yang sudah masuk lebih dulu."Permisi, Pak." Pak Agung–salah satu sopir pribadi keluarganya menghampiri kami yang sudah sampai di pintu. "Barang-barangnya mau disimpan di mana?""Oh, letakkan di ruang keluarga dulu saja. Biar besok saya yang rapikan.""Baik, Pak." Pak Agung mengangguk, lalu kembali ke mobil."Mamaa!"
Selama bukan melakukan kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan atau tidak menafkahi dengan sengaja, cobalah untuk bertahan. Masalah kecil masih bisa dibicarakan dan dicari solusinya sama-sama.Hubungan yang rusak tak melulu harus diganti baru. Diperbaiki bukan diakhiri, dibicarakan bukan ditinggalkan. Itulah dewasa.Pernikahan merupakan ibadah terpanjang dalam hidup. Butuh kesabaran dan kerjasama pasangan. Mempertahankan pernikahan itu tak bisa dilakukan seorang diri. Pria dan wanita disatukan dalam ikatan janji suci bukan untuk saling menuntut kesempurnaan, melainkan untuk saling melengkapi dan menutupi kekurangan.Janganlah menuntut pasangan untuk sempurna tanpa celah, tapi sempurnakanlah diri kita untuk menutupi kekurangannya. Aku pun menyesal sudah berpisah dari Mas William.Namun, saat itu aku tidak berdaya karena Mas Williamlah yang memegang kendali sebagai suami. Kami berdua sadar telah sama-sama salah dan berdosa. Ego dan kemarahan sesaat telah membuat pernikahan kami han
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments