Bab 34*Aku bertahan dalam kesulitan yang kuhadapi. Ibu juga bertahan semampunya, ia bahkan jarang sekali mengeluh kesakitan. Padahal tubuhnya semakin hari semakin kurus, sangat terasa saat aku memijitnya, hanya tinggal tulang yang terbungkus kulit. Dagingnya terus menyusut tak lagi berisi seperti dulu.Kehidupan saat itu benar-benar, bahkan aku kehabisan cara untuk bersedih dan meratapi nasib.Kadang ada tetangga yang datang menjenguk dan memberikan sedikit bantuan berupa uang untuk ibu, hanya tetangga-tetangga dekat yang merasa kasihan melihat aku dan ibu. Hanya orang-orang yang merasa iba pada kami. Sedangkan Nenek tak datang sama sekali. Hal itu tak lagi kupikirkan, meski tetap akan menjadi beban pikiran dan sumber kesedihan.Ketika sebuah hubungan renggang, seperti aku dan nenek, kebanyakan orang-orang akan bertanya padaku tentang sebabnya. Kenapa, ada apa, seharusnya begini, begitu.“Nggak baik marahan sama orang yang udah tua, apalagi nenek sendiri.” Nasehat berbalut penghakim
Bab 35*Aku terpuruk. Jiwaku kosong setelah kepergian ibu. Aku kehilangan dua orang yang paling berharga dalam hidupku dalam waktu yang berbeda. Luka kehilangan ayah belum sembuh sepenuhnya, ditambah ibu yang pergi untuk selamanya.Pandanganku masih sering kosong pada tempat-tempat di mana orangtuaku sering duduk. Di mana mereka sering melakukan aktivitasnya di rumah ini. Pernah suatu siang, aku terbangun dengan tergesa karena merasa sedang pagi dan telah bangun kesiangan. Aku terus keluar kamar dan bertanya seperti kebiasaanku.“Bu, Sekar tolong apa? Apa yang bisa dibantu. Maaf, Sekar kesiangan.” Aku bertanya pada Ibu yang sedang memasak di pagi hari seperti biasanya. Aku seolah mendengar suara seseorang sedang mengaduk sesuatu di dapur. Lalu, saat nyawaku terkumpul sepenuhnya, aku baru menyadari bahwa aku hanya berbicara dengan diri sendiri. Kosong. Sepi.Pernah juga aku terjaga di tengah malam, dan spontan bertanya.“Bu, mau minum? Ibu nggak bisa tidur, mana yang sakit?”Kembali s
Bab 36*Pagi itu aku bangun dengan bersemangat untuk mengantarkan keripik pesanan pelanggan. Sejak bangun subuh, aku begitu bahagia hingga Bude yang melihatnya pun ikut senang. Paling tidak, aku merasa terhibur dengan pesanan pertamanya.Semalam, Bude dan Farah juga ikut membantu untuk mengemas keripik dan siap untuk diantar.Aku pamit pada Bude dengan menenteng dua plastik besar yang di dalamnya berisi keripik. Dari rumah, aku naik ojek dan naik kendaraan umum untuk sampai di alamat tujuan.Sebuah hotel di Jl. Angkasa no. 15 Bandung menjadi tujuanku. Aku belum pernah ke sana sebelumnya, belum pernah ke hotel dan tentu tidak tahu dunia perhotelan. Namun, aku merasa tidak perlu tahu banyak hal saat ini, karena aku hanya mengantar keripik dan pelanggan sudah menunggu di sana sesuai dengan yang dijanjikan.Aku menaiki angkutan umum yang menuju ke tempat tujuan. Hanya beberapa orang di dalam angkot, sebab itu mobilnya belum jalan. Mereka menatapku penasaran. Penasaran dengan apa yang ku
Bab 37*Setelah hari itu, aku seolah terhipnotis dengan pesona lelaki itu. Bayangnya mengikuti ke mana-mana. Saat aku akan tidur, bayangan itu masih tak ingin hilang. Bahkan kadang saat membantu Bude memasak, aku tersenyum sendiri hingga membuat Bude bertanya.“Tumben sekali senyum-senyum sendiri, dapet rejeki nomplok ya?” Bude menggoda.“Iya, kan, kemarin Sekar dapet rezeki banyak,” ucapku setengah nyengir.Bude menggeleng sambil tertawa pelan, “bukan itu!”“Terus?”“Kamu lagi jatuh cinta, kan?” tembak Bude tepat sasaran.Wajahku terasa menghangat, aku menunduk agar tak begitu kentara ditebak perasaan ini. Untuk seseorang yang belum pernah jatuh cinta, lucu sekali rasanya, lucu sekali saat dilihat oleh orang lain.“Siapa?” tanya Bude lagi.Aku bingung harus menjawab apa, karena tak mungkin juga aku mengatakan jatuh cinta dengan bayangan. Orang-orang akan menganggapku gila jika seperti itu. Gila bayang.Aku sejenak merenung tentang perasaan aneh yang saat ini bersemayam dalam diri. M
Bab 38*Aku dan Salman tiba di sebuah restoran, jam makan siang membuat para pengunjung begitu ramai. Rasa percaya diriku menciut saat melihat lalu lalang orang keluar masuk. Kembali aku bertanya pada diri sendiri, sebenarnya apa yang saat ini sedang kukakukan? Aku merasa begitu mudahnya mengikuti ajakan lelaki itu untuk makan siang. Satu sisi aku ingin mendapatkan uang jualan, tapi di sisi lain aku merasa nyaman di dekatnya.Aku masih duduk di kursi mobil saat lelaki bertubuh tinggi itu membuka pintu.“Kenapa?” tanyanya yang melihat aku sedikit pun tak bergerak untuk turun.“Pak, tolong bayar uang saya sekarang, dan saya akan pulang.” Aku meminta.“Cuma sebentar, Sekar. Apa yang kamu khawatirkan?”Aku kembali diam, memikirkan jawaban untuk pertanyaannya. Aku tak menemukan jawaban, karena ia berpegang pada janjinya, selama di mobil ia tidak macam-macam denganku. Ia bahkan tak pernah berbicara melewati batas, tapi aku harus tetap jaga diri. Lalu, aku memutuskan turun dan mengikutinya
Bab 39*Setelah beberapa kali pertemuan itu, aku dan Salman semakin dekat. Seringkali ia melakukan panggilan telepon saat tak sibuk. Kami membicarakan tentang banyak hal. Kadang hanya berupa candaan, hingga obrolan yang lebih serius. Aku tak lagi menyapa dengan sebutan saya, juga tak lagi memanggilnya dengan embel-embel bapak. Katanya, dia masih muda untuk disematkan panggilan itu. Kepedean memang, padahal umurnya sudah tiga puluh dua saat itu.“Aku akan ketemu nenek, ya!” tegasnya.Aku menceritakan takdirku padanya. Tentang semua hal berat yang sudah kualami dalam hidup ini. Terutama tentang perbedaan yang dilakukan Nenek untukku. Tentang Kalila dan Karina, juga semua lukaku. Entah ia hanya akan bersimpati atau apa, yang penting aku bisa meluapkan sesak yang terpendam begitu lama.Aku juga menceritakan tentang penyebab Nenek tak menyukaiku, karena aku terlahir dari rahim ibu yang disebut sebagai anak di luar nikah. Aku berusaha jujur padanya, tak ada yang kututupi agar penerimaan i
Bab 40*Sejenak aku terpaku menatap wanita yang berjalan dengan kursi roda itu. Wajahnya putih dengan beberapa bekas-bekas jahitan di bagian pipinya, terlihat lebih muncul di permukaan kulit. Aku mengamati dalam diam, dari jauh ia berjalan, rahang satunya berbeda dengan sebelah lainnya. Sebelah wajahnya terlihat cantik dan baik-baik saja, tapi sebelah lagi terlihat agak miring rahangnya. Berbeda. Padahal usianya belum terlalu tua, mungkin sekitar lima puluhan. Aku hanya mengamati sambil dalam hati merasa iba. Aku meratapi nasibku yang malang, tanpa melihat bahwa di sini juga ada wanita yang bahkan tak bisa berjalan. Ia mendorong kursi rodanya hingga mendekat padaku, lalu tersenyum. Terlihat manis, meski bibirnya tertarik tak seimbang karena kondisi rahangnya yang seperti itu. Aku membalas senyumannya dan berjalan lebih dekat padanya. Aku menggapai tangan sebelah kanan wanita itu, lalu kulihat ia hanya diam tak bergerak. Tangan kanannya tetap disandarkan di sandaran kursi roda. Aku b
Bab 41*“Hei, kenapa?” ulang Salman menatap kami satu persatu.Serentak kami menoleh padanya, lalu saling menatap antara aku, Fika dan Tante Rita. Detik selanjutnya kami saling tertawa, menertawakan diri sendiri dan kebingungan Salman.“Biasalah. Perempuan kalau saling cerita suka baper,” jawab Fika.Salman mengangguk-ngangguk seraya melangkah mendekat pada kami.“Udah lama sampai?” tanya Salman padaku setelah duduk di samping Tante Rita.“Lumayan lama,” jawabku tersenyum padanya.“Elah, tadi kan udah aku wa, kalau aku dan Sekar udah sampai,” seru Fika.Salman mengerutkan kening, “beneran?”Fika mengangguk.“Nggak ada notif tuh,”Salman merogoh ponsel dari saku jas yang ia pakai. Ia mengecek ponselnya dan mencebik seketika.“Mati,” cengirnya.“Kamu tuh emang udah kebiasaan, baterai habis malah nggak dicharge,” omel Fika.Salman hanya mengangguk seraya meluruskan bibirnya karena kena omel oleh saudara sepupunya.Aku mengamati keluarga ini, sepertinya hangat sekali.Kami mengobrol bebe