Bab 55*Pagi. Aku terbangun begitu adzan subuh berkumandang. Di dalam rumah masih gelap remang-remang karena lampu tidak dihidupkan, aku takut tidur Nenek menjadi terganggu jika aku menghidupkan lampu. Aku lantas naik ke kamar untuk membangunkan suamiku. Saat aku masuk, ternyata Salman sudah bangun juga.“Kirain belum bangun,”“Udah dong. Nggak ada kamu aku nggak nyenyak tidurnya.”“Gombal subuh-subuh,” ucapku menyipitkan mata padanya.Salman hanya tertawa kecil.Kami keluar dari kamar untuk mengambil wudu dan menunaikan salat subuh.Setelah subuh, aku ke dapur ingin memasak. Moodku sedang lebih baik hari ini, jadi aku yang biasanya beli makan dan masak di rumah Farah, hari ini masak di rumah Nenek. Terserah mereka akan makan atau tidak, aku tetap akan menyisakan untuk mereka di bawah tudung saji.Usai memasak, matahari sudah terlihat naik di ufuk timur, hingga membuat suasana dalam rumah jadi lebih terang. Aku membuka jendela kayu yang ada di dinding rumah Nenek. Juga membuka pintu
Bab 56*Pulang dari pemakaman, aku langsung pulang ke rumah Nenek. Pasti banyak sekali yang harus dibereskan. Tikar-tikar yang belum digulung, sampah yang berserakan dan segala sesuatu yang berantakan di dalam rumah.Sampai di rumah, aku terkejut melihat Kalila dan Karina yang berdiri di sisi mobil. Ia bolak balik dari dalam rumah ke mobil untuk memasukkan barang-barang ke dalam bagasi. Aku berlari ke arah mereka dengan mata yang masih sembab karena begitu lama menangis.Salman ikut bersamaku, ia juga penasaran kenapa mereka memasukkan barang-barang ke mobil.“Kalian mau ke mana?” tanyaku menatap satu persatu gerakan tangan mereka yang sedang memasukkan barang.“Pulang,” jawab Kalila ketus.Aku syok mendengarnya. Baru saja Nenek meninggal, mereka akan pulang begitu saja. Mereka anggap Nenek apa sebenarnya? Mereka menganggap Nenek siapa?Wanita tua yang sama sekali tak ada hubungannya dengan mereka?Pertanyaan-pertanyaan menyesakkan itu kusimpan dalam hati. Aku tak ingin memperkeruh s
Bab 57*Aku duduk agak berjarak dengan Udin, meskipun ia hanya seorang teman, tapi aku tetap harus menghargai Salman sebagai seorang suami. Aku menghargai perasaannya yang bisa jadi cemburu melihat aku dekat dengan teman lelaki. Apalagi tadi kulihat tatapannya begitu dingin menatap Udin. Aku juga tak mengerti kenapa Udin ingin berbicara denganku saat ini.Aku diam-diam mengamati perubahan Udin yang begitu kentara. Kulitnya yang dulu gelap, kini berubah menjadi lebih putih dan bersih. Aku menatapnya, dan saat itu juga ia sedang mengamatiku. Lalu, kami saling tertawa karena diam-diam saling mengamati satu sama lain yang sudah lebih banyak berubah.“Wah, udah banyak berubah ya, kamu!” ucapku pada Udin.“Kamu juga!” balasnya. Lalu, kami mengangguk bersamaan. Sama-sama tahu bahwa kami jauh berbeda dari yang kami saling kenal dulu.Selain Farah, Udin lah yang dulu suka menolongku. Aku masih ingat sampai sekarang, bahkan seumur hidupku.“Nggak nyangka ya, putaran hidup kita seperti ini. Aku
Bab 58*Aku mengangguk, lalu mengambil benda itu dari tangannya. Ia tersenyum begitu medalinya berpindah tangan padaku. Aku tak merasa berjasa hanya dengan menyarankannya berenang dulu. Namun, aku hanya ingin menghargai usahanya menemuiku untuk memberikan medali itu.“Tadi di ujung lorong, aku melihat Kalila sama Karina, kaca mobilnya terbuka. Aku masih hapal wajah mereka. Mereka mau ke mana?” tanya Udin.Aku menatapnya sejenak, lalu menghela napas lelah. Pertanyaannya kembali mengingatkanku pada dua sepupuku itu. Tentang sikap mereka yang sama sekali tak melihat keadaanku. Mereka tak pernah bisa menepikan rasa egois yang mereka miliki.“Mereka mau pulang.” Aku menjawab dengan suara lirih.“Bukannya Nenek baru saja meninggal?”Aku mengangguk lemah. Kesedihan kembali hadir di hati.“Apa mereka masih seperti dulu?” tanya Udin hati-hati. Mungkin takut jika hatiku terluka, karena mereka saudaraku.Aku mengangguk lemah. “Mereka tidak berubah.”Udin mengangguk mengerti.“Entah kenapa juga
Bab 59*Tubuhku terasa begitu lelah, acara tahlilan baru saja selesai. Setelah mencuci muka, aku masuk ke dalam kamar dan mendapati Salman juga tengah bersiap untuk tidur.Rumah ini terasa sangat sepi setelah kepergian Nenek. Seperti tak ada lagi nyawa di dalamnya. Kosong. Seperti kekosongan rasa dekat antara kami sekeluarga. Paklek masih di sini, tapi tak sekalipun mengurus acara tahlilan tadi. Hanya Bude dan para tetangga yang sibuk membantu. Paklek sedari siang pergi entah ke mana, dan pulang saat magrib. Aku tak bertanya, hanya merasa kecewa berkali lipat dalam dada.Aku merebahkan diri di samping Salman. Tubuhku yang lelah seolah ingin segera hanyut dalam lelapnya malam. Namun, aku merasa ada keresahan dalam diri setelah kembali bertemu dengan Udin. Seperti sesuatu yang membuatku tak nyaman.“Capek ya?” tanya Salman yang belum memejamkan mata.Aku mengangguk. Ia tersenyum padaku, tapi aku seolah bisa melihat ada sesuatu yang ingin ditanyakan.“Aku boleh nanya, nggak?” tanyanya k
Bab 60*Tujuh hari acara tahlilan untuk almarhum Nenek berjalan dengan lancar, meskipun tanpa Paklek yang ikut andil membantu. Mereka terkesan tak mau tahu tentang apa saja yang dibutuhkan saat acara tahlilan. Saat siang, kedua Paklekku tak pernah ada di rumah, mungkin takut jika aku meminta uang untuk acara tahlilan. Padahal sepeser pun aku tak pernah menyinggung apalagi meminta.Hanya saja terkadang aku bingung menjawab pertanyaan warga kampung yang datang ke rumah. Mereka menanyakan tentang Paklek, juga Kalila dan Karina yang tak terlihat selama tujuh hari itu.“Paklekmu ke mana, Sekar?” tanya salah satu wanita paruh baya yang membantu memasak siang itu.Aku menatap Bude yang juga spontan menatapku. Sangat bingung. Pun, aku tak tahu mereka pergi ke mana, dan apa alasannya menghindar dari orang-orang yang menghadiri kenduri untuk almarhum.“Udah keluar sebentar, Bu. Mungkin nyari rokok atau apa gitu.” Aku tersenyum pada mereka. Lalu, melanjutkan aktivitasku.“Si Kalila waktu itu ad
Bab 61*“Ke mana surat-surat tanahnya, Paklek?” ulangku lagi menatap tajam keduanya yang baru saja masuk ke dalam rumah.Dua lelaki paruh baya itu saling pandang sejenak, karena melihat ekspresiku yang sedang menahan marah. Aku yakin kini wajahku merah padam, akibat luapan amarah yang sedang meledak-ledak dalam dada. Lalu, kulihat ia segera menyembunyikan tangannya di belakang. Aku melihat sebuah map berwarna cokelat ia dipegang erat oleh Paklek Harun. Aku telah mewanti map itu sejak kulihat mereka masuk ke dalam.Paklek hanya diam. Hal itu membuatku semakin naik darah. Aku lupa pada saran Salman untuk bertanya baik-baik pada mereka. Aku sudah cukup baik selama ini dengan mereka, lebih tepatnya cukup banyak diam demi tidak memperkeruh suasana.Aku diam saat kulihat Paklek mengambil uang dari dompet kecil yang ada di bawah kasur Nenek saat ia tertidur. Aku tak memasak untuk mereka, dan mereka menggunakan uang Nenek untuk membeli makanan. Padahal aku tahu, uangnya begitu banyak, tapi p
Bab 62*Hari itu setelah ribut dengan Paklek, aku pulang ke Jakarta. Aku kembali pada rutinitas yang telah lama kutinggalkan.Aku keluar dari rumah Nenek hari itu. Saat aku keluar, kulihat ada beberapa tetangga yang masih berdiri di depan pagar mereka dan menatap prihatin padaku. Aku terus melangkah, karena mereka melihatku menangis. Mereka terlihat kasihan, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Tak bisa mencampuri urusan keluarga kami. Tak perlu kuceritakan apa yang terjadi dalam keluargaku, mereka lebih tahu bagaimana kelakuan Paklekku. Mereka tahu Paklek menelantarkan Nenek sekian lamanya, karena terkadang tetangga-tetangga itu juga yang memberikan makanan untuk Nenek.Esoknya, Pak Lurah datang menemuiku di rumah Bude, lelaki paruh baya itu meminta maaf karena sudah menandatangani surat-surat untuk mengurus semuanya.Pak Lurah mengatakan bahwa mereka datang tanpa tingkah mencurigakan sama sekali. Ia sempat bertanya siapa saja yang mendapat warisan, apa aku mendapatkan warisan atau tidak.