Bab 8
*
Pagi ini aku terbangun agak malas-malasan, karena terdengar rintik hujan di atas atap sana. Aku kembali menarik selimut kumal untuk menutup tubuhku juga untuk menghangatkannya dari serangan dingin hujan di pagi hari.
Aku kembali memejamkan mata seraya tubuh meringkuk membentuk angka empat. Ah, iya, aku ingat dulu ketika kelas satu saat belajar tentang angka. Bu guru selalu menyamakan angka empat dengan bentuk kursi atau bentuk orang meringkuk.
“Kalau tidak bisa bayangin bentuk kursi, bayangin aja bentuk tubuh kalian kalau lagi meringkuk kedinginan pas hujan. Angka empat itu seperti itu bentuknya.” Bu Lastri menjelaskan.
“Udin sering kan meringkuk narik selimut dan malas-malasan ke sekolah?” tanya Bu Lastri pada Udin yang gemar libur sekolah tanpa alasan. Sementara saat itu Udin hanya garuk-garuk kepala sambil nyengir karena semua murid melihat padanya.
Kami semua tertawa dengan penjelasan Bu Lastri. Lucu saja angka empat disamakan dengan gaya tidur.
Mengingat kejadian itu, aku menarik selimut ke bawah. Lalu, dari luar kudengar ibu mengetuk pintu.
“Sekar, udah pagi. Sekolah, Nak!” ucap ibu dari luar.
“Iya, Bu. Sekar udah bangun.”
Aku langsung bangun dan meregangkan otot-otot agar tak terasa kaku dan malas lagi. Di kamar yang berlantai semen itu aku meloncat-loncat beberapa kali, agar kantuk dan rasa malas hilang seketika.
Namun, saat aku membuka baju untuk mandi, kulihat buluku semuanya berdiri karena dingin. Sat rasa malas datang lagi, aku kembali mengingat ucapan Bu Lastri tentang bermalas-malasan. Aku tak ingin menjadi orang malas dalam segala hal. Aku harus sekolah, harus belajar agar menjadi orang sukses. Satu mimpi besarku dan orangtua, aku ingin hidupku nanti jauh lebih baik dari keadaan ibu dan ayah sekarang.
“Ayah nggak mau kamu jadi petani seperti ayah. Minimal punya lahan sendiri dan punya pekerjaan lain. Sawah untuk menghasilkan beras sendiri. Sementara pekerjaan lain untuk mencukupi kebutuhan hidup kamu.” Ayah berkata panjang lebar.
“Untuk mendapatkan pekerjaan, kamu harus punya ilmu. Punya ilmu itu dengan belajar, sekolah, mengaji.” Ayah melanjutkan.
Saat itu aku hanya mengangguk, mengerti apa yang dikatakan oleh ayah. Aku tidak berpikir bagaimana jalannya, bagaimana akan mendapatkan itu semua. Intinya aku hanya harus belajar dengan giat.
“Lihat, Nak. Semua perempuan di desa ini hanya bisa menjadi buruh tani. Sehari nanam di sana, besoknya nanam di sawah lain. Tak terkira lelahnya berjam-jam berada di bawah terik matahari. Ibu mau kamu jangan seperti itu. Kamu harus lebih baik dari ibu-ibu di kampung ini, terutama harus lebih baik dari ibu.”
Malam itu kami sedang mengobrol bersama-sama di dipan yang terbuat dari bambu. Saat siang setelah pulang dari sawah, ayah akan beristirahat di situ. Saat malam, itu menjadi tempat keluarga. Tempat untuk mengobrol dan becanda, kalau istilah zaman sekarang family time.
Dulu rumahku tidak ada televisi. Jangankan untuk membeli televisi, bisa membeli ikan di pasar saja itu sudah terlalu indah. Untung saja kami memiliki beras sendiri, jadi tak pusing memikirkan beras. Hanya mencari lauknya saja, sebab itu jika ayah sedang tak ada uang, maka kami hanya memakan nasi putih, atau satu telur dibagi empat.
Malam itu ayah dan ibu kembali bergantian membelai kepalaku. “Kamu pasti jadi anak yang sukses, Sekar.” Setelah itu ayah memeriksa PR matematika yang kukerjakan. Meskipun seperti itu, ayah dulu tamatan SMA, yang tak banyak orang yang bisa menamatkannya. Dulu masih ada kakek yang mencari nafkah. Kata ayah, hanya beberapa yang bisa tamat SMA saat itu, salah satunya ayah. Sementara yang lainnya lebih memilih bekerja sejak dini atau membantu ayahnya di kebun atau sawah.
Ayah Kalila dan Karina itu tamat beberapa tahun setelah ayahku, dan beruntungnya mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang bagus, dan sekolah lagi setelah diangkat menjadi pegawai negeri sipil, untuk melengkapi syarat menjadi pegawai.
Keluargaku keturunan Jawa, sebab itu, aku memanggil adik-adik ayahku dengan sebutan Paklek, meskipun kami tinggal di salah satu desa di Bandung. Kakek dan Nenek merupakan orang Jawa yang pindah dan menetap di Sunda setelah menikah. Keduanya memutuskan pindah ke Bandung setelah menikah. Berjuang menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak-anaknya. Awalnya hanya membajak sawah milik orang lain, sebelum akhirnya bisa membeli tanah sendiri bahkan dalam jumlah yang banyak.
Sejak kecil, aku diajarkan ayah seperti itu, agar bahasa Jawa dalam keluarga sendiri tak hilang begitu saja. Meskipun kami tinggal dikelilingi orang Sunda. Nenek dari pihak ibu juga orang Jawa. Jadi, secara garis besar aku masih keturunan Jawa yang tinggal di salah satu desa di Bandung. Orang-orang di sekitar kami juga tak mempermasalahkan itu, karena di tempat kami tinggal, lebih banyak orang Jawa yang migrasi, termasuk ibu Farah.
Ayah yang dulu bermimpi ingin mencari pekerjaan yang layak di kota, tapi harus mengurung niatnya karena kakek dipanggil pulang oleh Tuhan. Secara otomatis semua tanggung jawab di rumah nenek, dialihkan untuk ayah sebagai anak pertama. Ayah bekerja di sawah membantu nenek. Sawah nenek lumayan banyak, ia termasuk orang yang memiliki banyak tanah di kampung itu. Tanah peninggalan warisan Kakek yang masih ada hingga saat ini.
Seperti sebagian orang kampung, khususnya di tempatku, mereka memiliki lahan dan sawah, meskipun kecil. Memiliki beras untuk dimakan, tapi jarang memiliki uang.
Aku masih sibuk dengan pesan dalam memori pikiran. Pesan yang disampaikan ayah dan ibu beberapa waktu lalu. Tiba-tiba ibu memanggil lagi dari luar.
“Sekar, udah jam tujuh, Nak. Belum mandi, belum sarapan. Cepet bangun.” Ibuku berteriak dari luar.
“Iya, Bu. Sekar mandi sekarang.” Aku menyahut agar ibu tak terus-menerus memanggil.
Aku keluar sambil membawa handuk. Kulihat ayah sedang menyesap kopi di atas dipan. Sedangkan sang ibu masih menyatukan kayu bakar di bawah tungku. Mungkin sedang memasak sesuatu.
Di luar sana hujan terdengar makin deras. Semakin terasa dingin untuk keluar dari rumah. Kamar mandi di rumahku berada di luar, beberapa meter dari dapur. Aku tak yakin itu layak disebut kamar mandi, karena dindingnya hanya terbuat dari karpet plastik. Layaknya kebanyakan tempat mandi di desa, tanpa atap, tanpa pintu sebagai penutup. Hanya dinding dari plastik itu yang menutup tubuh dari penglihatan orang-orang.
Namun, air di sumurku putih dan dingin. Sebab itu, kini aku hanya berdiri di pintu dapur. Tarik ulur antara melangkah atau tidak untuk mandi. Kadang aku berpikir untuk tidak mandi saja jika cuaca seperti ini, tapi bagaimana rupaku nanti. Bau setelah semalaman tidur di kasur yang apek pasti sangat mengganggu.
Aku melangkah mundur dari pintu. Membuat ibu dan ayah bersamaan menatapku dengan raut wajah bertanya, ada apa?
Aku tersenyum pada keduanya, lalu mengambil satu buah kantong kresek yang dikumpulkan di kantong besar dan digantung di dinding. Aku memakai plastik di kepala agar rambutku tidak basah.
Setelah berdamai dengan rasa dingin, aku melangkah keluar. Air hujan yang turun dari langit membuatku menggigil. Aku menimba air dari sumur, lalu menyiram tubuhku dengan air dingin itu.
“Berrr ... dingin.” Gigiku bergemeletuk.
“Hiyaaap! Akan kukalahkan kau rasa dingin.” Aku berdialog sendiri. Sementara kuyakin bibirku sudah pucat kini.
*
Aku dan Farah berjalan beriringan dalam hujan yang dihalangi oleh payung. Beberapa anak lainnya juga sama seperti kami, berjalan ke sekolah di tengah hujan. Aku bahkan tak memakai sepatu agar tak basah sampai di sekolah. Sebaliknya aku mengamankan sepatuku di dalam keresek yang kumasukkan ke dalam tas.
“Ayah antar saja ya?” tanya ayah saat aku berdiri di pintu depan, mengambil ancang-ancang untuk menembus hujan.
“Terus Farah gimana?” tanyaku.
Ayah sejenak diam. Mungkin berpikir bahwa aku ada benarnya juga. Jika aku diantar oleh ayah naik sepeda, itu berarti Farah harus jalan kaki sendirian. Tidak bisa. Aku tidak ingin meninggalkan Farah sendirian, gadis kecil itu pasti sedih karena ia hanya tinggal bersama ibu, ia sudah lama kehilangan ayahnya. Farah kehilangan ayah sejak dia masih dalam kandungan. Bahkan belum sempat sekali pun ia melihat wajah sosok itu.
Kadang, jika aku ingin mengeluh tentang hidupku, aku akan ingat Farah. Aku tentu lebih beruntung darinya. Itu saja.
Tubuhku dan Farah sebenarnya sama-sama kecil, tapi karena payung yang kubawa ukurannya kecil, jadi itu membuat tubuh kami sedikit berdempetan agar tak keluar dari naungan payung. Masih mending menggunakan payung, itu pun hadiah pemilik toko kelontong tempat ayah bekerja.
Aku dan Farah memegang gagang payung bersamaan. Payung yang bertuliskan Mie Anak Mas di atasnya. Ya, memang mungkin hadiah dari salah satu merek jajanan ternama di Indonesia dulu. Ayah mendapatkan itu dari toko kelontong tempat ia bekerja. Jelas berbeda dengan milik teman lainnya, yang kebiasaan bergambar Hello Kitty.
Sambil berjalan, kami sesekali bercerita entah tentang apa saja. Namun, tiba-tiba kulihat sepada motor milik ayah Kalila lewat. Ia memakai jas hujan, begitu juga Kalila. Keduanya tampak nyaman dengan tubuh ditutupi jas itu tanpa takut kehujanan.
Aku dan Farah sedikit menepi, agar tak terkena cipratan lumpur jalanan. Beberapa detik kemudian, ayah Karina yang muncul dengan motornya. Ia membonceng putrinya di belakang.
Ya, itu dua pamanku. Adik dari ayahku. Namun, mereka sama sekali tak berniat mengajakku ikut naik motor bersama mereka. Aku dan Farah saling pandang. Lalu, karena tak bisa menjelaskan rasa apa di dalam dada, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.
Bab 9*Musim hujan tak kujung berhenti di kampungku. Sudah seminggu berturut-turut kampung kami diguyur hujan. Warga mulai panik dengan tanaman dan padi di sawah. Padi baru saja ditanam bahkan belum kuat akarnya, biasanya jika hujan terus-menerus itu akan membuat siput-siput memakan batangnya. Itu sama saja musibah untuk petani desa.Petani dengan kekhawatiran sendiri. Ibu dan ayah dengan kekhawatiran mereka. Dan, aku dengan kekhawatiranku. Jika gagal panen kali ini, artinya tidak ada yang namanya ganti sepatu baru. Itu artinya aku harus memakai kembali sepatu koyak itu entah berapa lama.Awal Desember, akhirnya air sungai meluap di beberapa daerah. Sebagian kampung sudah ada kabar banjir datang menenggelamkan kampung. Kampungku belum terkena banjir, tapi air di sungai dekat rumah nenek sudah penuh terlihat mengalir ke permukaan sungai. Hujan masih belum reda.Ayah dan ibu sibuk memindahkan beberapa barang. Yang paling penting adalah padi yang masih tersisa dua karung lagi. Seharusny
Bab 10*Air mengalir dengan deras, aku yang melihatnya saja mendadak pusing karena aliran dan putaran yang begitu cepat. Melihat gelagatku, ayah tiba-tiba berhenti dan berjongkok, hingga membuat celananya basah.“Naik, sini!” Ayah memberikan punggungnya untuk kunaiki. Sementara tas yang sedari tadi kupegang, kualihkan pada ibu. Ibu memegang dua tas yang berisi keperluan kami untuk sementara selama mengungsi. Entah akan sampai berapa hari kami akan tinggal di balai desa.Seumur hidupku, ini pertama kali aku mengungsi dan merasakan banjir. Mungkin nanti akan tidur ramai-ramai, makan di dapur massal dan segala sesuatu dibagi bersama-sama.“Halah, Sekar ini! Nggak tau ayahnya capek apa? Bukannya jalan cepat-cepat.” Aku menoleh saat kudengar nenek mengomel. Namun, omelan itu serupa angin lalu, karena di hatiku rasa bahagia lebih dominan saat ini. Mungkin setelah kecil dulu, ini pertama kali aku kembali digendong ayah. Aku tahu tubuhku tak lagi ringan seperti dulu, tapi ini menunjukkan bet
Bab 11*Sudah empat hari aku berada di pengungsian. Kehidupan di sana sungguh tak menyenangkan, tapi tak juga sepenuhnya tak menyenangkan. Karena aku melihat kebersamaan warga dalam banyak hal, salah satunya memasak. Aku melihat warga yang akur dan saling berbagi, saling membantu.Hanya saja aku tak bisa tidur nyenyak saat malam, karena banyak nyamuk. Ya, meskipun sudah membakar obat nyamuk, tetap saja banyak karena di ruang yang terbuka. Suara tangisan bayi juga sering membangunkanku jika sudah terlelap. Kasihan, pasti bayi-bayi itu susah menyesuaikan diri dalam keramaian.Mau bagaimana lagi, hanya itu tempat yang paling tinggi. Ada dua tempat pengungsian di kampungku saat itu. Di balai desa tempatku kini tinggal, juga di balai pengajian tempat aku biasa mengaji. Dua tempat yang memang memiliki bangunan bentuk panggung.Hujan telah reda, air mulai surut. Awalnya air setinggi pinggang ayah, kini sudah sebatas sepahaku.Warga sudah bisa mengunjungi rumahnya masing-masing. Mengecek apa
Bab 12*Banjir telah benar-benar surut, semua warga pulang dan membersihkan rumah masing-masing. Seperti halnya aku dan orangtuaku, kami merasa rindu untuk tidur dan beraktivitas di rumah sendiri.Sepanjang jalan perkampungan, di persawahan masih menggenang air karena tentu saja tempatnya lebih rendah. Batang padi terlihat membusuk sebagian, warna hijau menjadi kuning kecokelatan. Warga sudah pasrah dengan hasil panen kali ini. Aku juga sudah pasrah, entah bisa mengganti sepatu baru atau tidak.Sekolah sudah normal seperti biasa, seminggu setelah banjir, aku dihadapkan dengan ujian kenaikan kelas. Dalam hal ini, aku juga pasrah karena di pengungsian aku sama sekali tak belajar, hanya terkadang terlintas hapalan-hapalan yang masih terjaga di kepala. Seminggu setelahnya tentu bukan waktu yang maksimal untuk belajar di ujian kenaikan kelas.Namun, aku tak menyangka dengan hasil yang kudapatkan di sekolah. Napasku sejenak berhenti saat mendengar wali kelas memanggil namaku sebagai murid
Bab 13*“Aku ganti baju dulu, ya, Farah!” Aku berlari sambil berteriak pada Farah. Ia tersenyum, lalu lekas masuk ke dalam rumah.Hari ini aku, Farah, Kalila dan Karina izin tidak mengaji karena ada acara di rumah nenek. Kami bukannya malas mengaji, tapi hanya sesekali libur kupikir tak mengapa. Pun aku sendiri masih ingat hapalan tajwid dan mad yang diajarkan ustadzah.Nenek mengadakan kenduri tahunan untuk mengingat arwah kakek yang telah lama berpulang. Menurut cerita ayah, sudah dua puluh tahun kakek meninggalkan kami. Bahkan aku sendiri belum pernah melihat wajah kakek secara langsung. Aku hanya melihat foto usang di dinding rumah nenek. Foto pernikahan nenek dengan kakek.“Kakek tuh orangnya nggak bisa diem. Semangat kerjanya tinggi banget,” kata ayah.“Dia disiplin banget.” Ayah tampak menerawang ke langit-langit atap rumah kami. Ia sedang mengingat-ingat sosok ayah yang begitu disayang, mungkin juga begitu dirindukan saat itu.“Terus, dia juga suka banget sama anak-anak. Dulu
Bab 14*Gema takbiran berkumandang dari toa masjid. Setelah sebulan berpuasa di bulan Ramadhan, hari ini kami bisa merayakan lebaran idul Fitri bersama-sama.Tahun ini kebanyakan warga desa mendapatkan hasil panen yang melimpah. Termasuk ibu dan ayahku. Sebab itu aku merasa bahagia sekali karena mereka membelikanku sepasang baju baru dan sandal baru.Aku, ibu dan ayah pergi ke pasar pusat perbelanjaan di tempat kami. Aku naik ojek bersama ibu, sementara ayah sendirian. Membeli baju baru untuk menyambut lebaran adalah salah satu rutinitas yang kurindukan, karena hanya di hari itu aku dibelikan baju. Pun ayah akan berusaha keras untuk memenuhi keinginanku.Mungkin bagi anak yang beruntung, yang terlahir dari keluarga kaya seperti Kalila dan Karina, mereka akan dibelikan baju minimal sebulan satu di pasar pekan. Namun, untuk anak sepertiku, setahun sekali itu sudah jauh lebih mewah daripada tidak ada sama sekali.Aku bersyukur, karena tak hanya bisa membeli baju lebaran, tapi ayah juga
Bab 15*Aku ingat penuturan Kalila saat pengambilan rapor akhir kelas lima.“Lihat aja nanti kelas enam, aku yang akan di posisi itu. Kamu jangan pernah bermimpi.” Dengan wajah merah padam ia berkata padaku hari itu di atas sepedanya.Ternyata itu sama sekali tak terbukti. Aku berturut-turut mendapat rangking satu di kelas. Mereka berdua mendapatkan rangking dua dan tiga. Kulihat Kalila dan Karina makin kesal padaku. Ia menatapku tak pernah bersahabat, makin judes dan makin sering ia membuli. Kadang saat ada kesempatan, ia menolak punggungku dengan sengaja, menahan kaki agar aku tersandung saat masuk kelas. Perilakunya sungguh membuatku tak nyaman.Dalam berbagai kesempatan ia mencoba untuk menang. Mencoba untuk mendapatkan yang terbaik dengan cara menginjakku, dengan cara membuatku sakit hati. Namun, aku tak bisa berbuat banyak, hanya mengabaikan dan menghindar darinya. Aku masih menganggap ia saudara, dan hanya seorang anak kecil yang pikirannya belum dewasa. Tidak mungkin aku bert
Bab 16*Sejak saat itu, aku sudah jarang bermain bersama Kalila dan Karina. Mereka juga tak lagi menggangguku seperti biasa. Hanya saling membuang pandangan saat kami tak sengaja beradu pandang, atau saat di sekolah pun di tempat mengaji kami tak saling sapa jika tak ada keperluan.Satu-satunya teman bermainku adalah Farah. Kami seolah tak bisa dipisahkan oleh apa pun. Dua bocah yang bernasib hampir sama, dengan dua mimpi yang berbeda.Sejak beberapa kali mendapat rangking satu, aku semakin rajin belajar. Selain karena memang menyukai pelajaran, juga untuk bisa mempertahankan nilai-nilaiku. Juga untuk mematahkan penilaian Kalila terhadapku. Dari dulu aku percaya bahwa menjadi lebih baik dari kemarin untuk diri sendiri, adalah balas dendam paling indah.Sayangnya, di tempat mengaji tak diadakan ujian seperti di sekolah. Hanya saja ustadzah sering bertanya pada kami secara mendadak demi menguji ingatan hapalan dan tingkat pemahaman kami. Seperti hari itu, ustadzah cantik yang masih ter