Share

7. Sepeda Baru, Aku yang Pilu

Bab 7

*

Setelah berbagai perbedaan yang kualami, aku masih saja menyukai nenek. Masih saja bermain bersama Kalila dan Karina. Karena bagiku saudara tetap saudara, keluarga tetap keluarga. Aku marah, aku kecewa, tapi hanya pada hari itu saja. Layaknya anak kecil yang terlalu polos untuk membenci, untuk menghakimi. Aku hanya bersikap seperti biasa.

Meskipun jika dipikir, Kalila dan Karina masih saja suka membuliku. Masih saja suka mencari gara-gara dan menyalahkanku. Seperti saat istirahat di sekolah tadi pagi, anak-anak bermain melempar kertas ke sembarang arah. Kalila dan Karina ikut bersama mereka, melempar kertas dan bersorak dengan gembira. Entah ke mana semua guru, mungkin mereka tak bisa mendengar suara riuh kami, karena kelas lumayan jauh dari kantor guru.

Tiba-tiba seorang anak lelaki datang padaku, menghampiri tempat dudukku.

“Aku nggak suka ya, kamu nulis nama aku.” Anak lelaki itu berkata. Sementara aku menatapnya bingung.

“Apa maksudnya?” tanyaku.

Bocah lelaki bernama Adit itu membuka kertas dalam genggamannya. Ia meletakkan ya di depanku. Aku bisa membaca tulisan di dalamnya.

Sekar cinta Adit.

Aku mendengkus kesal membaca tulisan itu. Menyebalkan sekali siapa pun yang menuliskan itu. Lalu, kudengar Kalila cekikikan bersama Karina di mejanya. Siapa lagi, itu pasti ulah mereka agar aku terlihat bersalah.

“Itu bukan tulisanku,” belaku untuk diri sendiri.

Tiba-tiba Farah masuk ke dalam kelas, dan melihat suasana tak enak antara aku dan Adit. Ia mendekat dan melihat kertas itu di atas meja.

“Ini bukan tulisan Sekar, Adit!”

“Ngapain belain dia?” tanya Adit bersungut.

“Karena dia sahabatku,” ucap Farah lantang.

Aku terharu mendengar jawaban Farah, ia membela sampai seperti itu. Sahabat sejati memang.

“Lagian cuma nama doang, marahnya gitu amat. Emang nama kamu bakalan ngaruh?” Farah masih menyemprot.

Adit diam. Merasa malu karena masalah kecil yang dibesar-besarkan. Pun itu bukan salahku. Aku tahu, ia sebenarnya malu karena namanya disandingkan denganku. Adit itu anak kepala desa di kampungku. Penampilannya sama seperti Kalila, bersih dan rapi dengan segala atribut sekolah yang masih baru. Sedangkan aku jauh daripadanya. Ia hanya malu jika anak-anak lain mengira yang bukan-bukan tentang kami.

Perlakuan Kalila dan Karina sudah bisa ditebak, ia menuliskan banyak nama otangtua murid, lalu mengambinghitamkan aku. Menulis tulisan-tulisan ejekan untuk teman-teman sekelas, lalu melempar ke kepalanya. Bisa ditebak, nanti ia akan menunjuk ke arahku, sebagai orang yang menuliskan ejekan itu.

Satu hal yang tak kusukai dari diriku, aku tak terbuka dengan ibu dan ayah tentang itu. Dalam pikiranku, sebagai anak-anak itu hanya permainan. Anak-anak hanya bermain.

*

Hari Jumat adalah hari libur mengaji. Minggu libur sekolah. Jadi, di hari itu kami biasa menghabiskan waktu untuk bermain.

Hari ini Kalila dan Karina membawa sepeda ke rumah nenek. Sepertinya sepeda baru. Terlihat dari buble wrap yang masih dibungkus di beberapa bagian. Keduanya telah memiliki sepeda Phoenix mini yang saat itu sedang tren. Maksudku, tren bagi orang kaya atau berduit. Bukan tren untuk orang-orang sepertiku dan Farah.

Sepeda Kalila berwarna pink, sementara milik Karina berwarna biru muda. Sesuai dengan warna favorit mereka.

Aku hanya bisa menatap dua sepupuku dengan mata yang berbinar, juga keinginan yang besar dalam hati ini. Ingin memiliki sepeda yang sama dengan keduanya. Tampilannya bagus, warnanya bagus, ada tempat bonceng di belakang dan keranjang di depan. Jika dipakai untuk ke sekolah, aku bisa memasukkan tas ke dalam keranjang, dan membonceng Farah di belakang.

Ah, indahnya berandai-andai.

Farah pun sama takjubnya denganku. Saat itu aku sedang berada di rumahnya, sedang bermain bola kerang di halaman rumah Farah. Dari tempat kami duduk, tentu saja terlihat betapa bahagianya Kalila dan Karina mengayuh sepeda baru dengan ban rodanya.

“Sepeda mereka cantik ya,” ucap Farah padaku.

Benar saja dugaanmu, Farah juga menginginkan sepeda itu.

“Iya. Kapan ya bisa punya kayak gitu?” tanyaku nelangsa.

“Entahlah, Sekar.”

Aku dan Farah melanjutkan permainan kami. Farah melempar bola ke atas dan memungut kerang yang ia letakkan di atas tanah di halamannya. Meskipun kami menyukai sepeda Kalila dan Karina, tapi kami tak berani untuk mendekat dan melihat. Takut terusir, takut tertolak.

“Sekar, sini!” panggil Karina di sela bermain sepeda dengan Kalila.

Aku menatap Farah yang juga menatapku. Ada rasa bahagia dalam hatiku mendengar bagaimana Karina begitu hangat memanggilku.

Aku dan Farah pun melewati pagar, dan melangkah ke halaman rumah nenek. Kulihat Kalila dan Karina membasuh peluh di dahinya, sepertinya mereka sudah terlalu lelah bermain dengan sepeda barunya.

Aku menatap sepeda mereka dari dekat. Cantik sekali, sangat cocok untuk perempuan. Untuk pertama kali aku melihat sepeda baru langsung di depan mata. Biasanya yang teman lain bawa ke sekolah banyakan sepeda bekas meskipun masih bagus.

“Sepedanya bagus sekali.” Aku memuji di depan Kalila dan Karina. Dengan memberanikan diri, aku mengelus permukaan besi sepeda itu. Berharap bisa ketularan beruntungnya seperti mereka.

“Iya, ini hadiah dari ayah.” Kalila menjelaskan.

Aku jadi membayangkan betapa indahnya hidup mereka, bisa mendapat hadiah semewah itu dari ayah. Namun, aku tetap bangga memiliki ayah seperti ayahku, karena ayah hanya kekurangan uang, setidaknya bukan kasih sayang.

Farah terlihat hanya diam. Aku tahu, sebenarnya ia tak terlalu suka bermain dengan Kalila atau Karina. Namun, sepertinya rasa sukanya terhadap sepeda itu yang mendorongnya kemari.

“Sini, Sekar!” Kalila menarik tanganku mendekat padanya.

Sejenak aku ragu, tapi juga penasaran Kalila mau ngapain.

“Kamu juga boleh, kok, naik sepedaku.” Kalila menatap Karina.

“Tapi, nanti kalau kita udah bosan main ya. Sekarang kalian dorong kami dulu. Sekar dorong aku, Farah dorong Kalila. Biar cepat bisa lepas ban rodanya.”

Ada binar bahagia dari mataku dan Farah. Bisa melihat dan dekat dengan sepeda itu saja senangnya luar biasa. Apalagi diberikan kesempatan untuk mendayungnya. Tak mengapa meskipun harus mendorong Kalila dan Karina terlebih dahulu. Saat itu, Aku dan Farah sangat ingin naik sepeda, sebab itu kami mengangguk dengan senyuman. Menyetujui kesepakatan dengan kedua sepupuku itu.

“Baiklah.”

Aku mulai mendorong sepeda Kalila dari belakang. Ia bersuara dengan riangnya saat sepeda mulai melaju kencang dan ia mendayung. Kadang, tanpa dilihat olehnya, aku mengelus tempat boncengan sepeda Kalila. Dalam hati berharap suatu saat bisa punya sepeda itu.

Begitupun dengan Farah. Karina tertawa riang saat ban sepedanya berguling mengikuti ban depan. Rumput-rumput kecil di rumah nenek menjadi saksi betapa keduanya bahagia.

Kalila dan Karina. Tidak dengan aku dan Farah. Karena hingga hampir satu jam, terhitung sepuluh kali putaran dari halaman depan ke halaman belakang rumah nenek, aku dan Farah masih menjadi pendorong. Sama sekali tak mendapat kesempatan untuk mendayung.

Aku lelah, doronganku tak lagi sekuat tadi, hingga Kalila protes.

“Yang kencang dong, Sekar.”

Aku mengumpulkan tenaga, mendorong kembali sepeda Kalila sambil menyeka keringat di dahi. Tiba-tiba kudengar Kalila menjerit, lalu ia terjatuh karena ban sepeda tersandung batu. Kalila jatuh ke tanah dengan sepeda yang menimpa di atasnya.

Kalila menangis, ia memegangi lututnya yang sedikit lecet dan berdarah.

Aku terdiam, tak tahu harus melakukan apa. Karina pun mendekat, dan Farah terlihat ketakutan.

Mendengar suara jeritan, nenek pun keluar dari rumah. Sementara jantung tak lagi berdetak dengan normal saat melihat mata nenek menatapku dengan tajam.

“Kamu pasti sengaja, kan?” bentak nenek.

Aku memilin ujung kaus kusam yang kukenakan. Tak bisa menjawab, karena lidahku seperti kelu saat berhadapan dengan nenek.

Kalila semakin menangis keras. Ia mengeluh lututnya sakit.

“Dasar anak nakal. Susah sekali dibilangin. Taunya nyakitin orang aja. Sengaja bikin Kalila jatuh biar bisa dayung sepedanya, kan?” Nenek tanpa henti mengomeliku.

Yang paling mengejutkan, hingga membuat mataku berair seketika, saat nenek mendekat dan memutar tangannya di kulit pinggangku. Sakit.

Kalila lututnya sakit. Sementara aku sakit di bagian pinggang. Itu bisa sembuh.

Sakit di dasar hati yang kian besar, itu susah sembuh.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status