Gendhis melenguh kecil, ia remas kuat-kuat rambut suaminya demi menahan erangan yang lebih keras lolos dari mulut mungilnya. Sementara Rai sudah sibuk melakukan tugasnya, memompa tubuh sang istri penuh gairah, dalam ritme pelan yang sangat menghanyutkan. Harus Rai akui, kualitas Gendhis yang adalah mantan pelacur itu benar-benar istrimewa. Tubuh Gendhis masih sangat sintal, seksi, tak berubah kendur meski sudah keguguran untuk kedua kali. Bahkan, service-nya di ranjang pun sungguh memuaskan Rai, istimewa dan selalu menjadi candu yang tak bisa Rai atasi sendiri. "Say my name," bisik Rai sengaja berubah posisi, berbisik di telinga sang istri. "Rai," desah Gendhis menurut. "Ketua, please," erangnya sedikit kencang. "Please apa, Ane-san?" tanya Rai menyeringai, sengaja memancing jawaban nakal dari Gendhis. "Please jangan berhenti," lirih Gendhis malu-malu, ia berpaling ke sebelah kanan, matanya separuh terpejam. "Aku cuma pindah posisi, Sayang," balas Rai, ia bicara tapi tubuhnya ta
"Pokoknya, jangan pikirin masalah yang di rumah. Kita di sini buat liburan, nenangin pikiran," kata Rai memeluk tubuh istrinya dari belakang. Banda Neira, sebuah tempat tenang di timur Indonesia yang penuh pesona. Memesan satu tempat menginap yang langsung berbatasan dengan pantai, Rai memanjakan rasa penasaran istrinya. Keindahan alam Banda Neira tidak ada tandingannya dengan tempat wisata luar negeri yang pernah Gendhis kunjungi. "Aku dulu pas masih di rumah bordil selalu bermimpi bisa ke sini barang seminggu aja buat menepikan diri. Tapi semua itu nggak pernah terwujud. Tiap udah ada rencana buat liburan, selalu aja ada panggilan VVIP. Jadi, semua impianku itu tertunda sampai bisa kamu wujudin hari ini, Ketua," ucap Gendhis mengenang perjuangannya dulu saat harus hidup tanpa Rai. "Pergi ke manapun yang kamu mau, ke tempat indah yang pengin kamu kunjungi, bakalan kuturutin Ane-san. Asal jangan pernah ninggalin suamimu ini," bisik Rai sengaja mengecup lembut pipi dan daun telinga
"Jadi bener, Mami terlibat?" sambut Rai saat Bastian datang keesokan harinya. Bastian tak langsung memberikan tanggapan, ia sesap wine di gelasnya sambil memejamkan mata nikmat. Eriska memang selalu mampu menciptakan ketegangan di keluarga Takahashi, bahkan di saat Ben dan Ann sudah memutuskan untuk memberinya akses menemui Rai kapanpun. "Eriska kenal Wildan udah lama banget, dia yang bantu Wildan ngehancurin keluarganya Gendhis," kata Bastian datar."Kenapa? Waktu itu gue nggak kenal sama Gendhis kan?" tanya Rai bingung. "Lo bisa tanyain itu langsung ke Eriska dan liat gimana dia bakalan ngejelasin semuanya. Gue nggak bisa menggali lebih dalam informasi soal itu," ucap Bastian. "Nanti kalau gue abis pulang dari Banda Neira, gue bakalan urus lagi. Ben sama Ann jangan sampai tau masalah ini dulu, ya?" pinta Rai. "Gampang," sahut Bastian. "Di mana Ane-san?" tanyanya mengitarkan pandangan. "Dia di kandang belakang, katanya kalau lagi suntuk, lebih enak ngobrol sama macan.""Ketimba
"Demi Tuhan, kamu boleh membenciku, Ane-san," ucap Rai masih enggan bangun dari posisi berlututnya. Air matanya menetes, kali ini sedikit membanjir. Gendhis yang masih berusaha mengumpulkan nyawa karena kantuknya, seketika bangun. Ia tangkup kedua sisi rahang sang suami, ditariknya Rai agar duduk di ranjang. "Hei, aku udah maafin," ulang Gendhis penuh pengertian. Perang terbuka yang tadinya cukup seru karena mereka beradu argumen, kini terasa sedikit pilu karena tangis Rai. Karena ucapannya tak jua memunculkan raut tenang di wajah Rai, Gendhis otomatis memeluk suaminya itu. Didekapnya erat, memberi rasa hangat dan nyaman untuk menenangkan sang ketua klan. "Ada hal besar yang harus kukasih tau ke kamu," ungkap Rai, perlahan ia dongakkan kepala hingga Gendhis melepas dekapan. "Awal mula kesakitan yang harus kamu tanggung karena mengenalku," katanya. "Apa sih? Iya aku tau, aku emang emosi banget pas kamu nggak terkesan ngebelain aku. Tapi ya udah lah, masakan kamu enak, Rai. Permint
"Akomodasi buat ke Banda Neira udah siap, berangkat dua hari lagi," ucap Ardi datang melapor pada Rai malam harinya. "Belum tentu berangkat, Nyonya ngambek, susah ngebujuknya," kata Rai. "Ada perkembangan lain?" "Rumah bordil resmi dilepas. Untung udah kita kosongin jauh-jauh hari, jadi pas ada penyelidikan, meskipun masih atas nama Ane-san, mereka bisa diajak ngobrol," ungkap Ardi. "Ada kabar soal si Mario? Masih nggak ada jejak?""Gue udah minta orang kita yang di sana ikut ngelacak. Dia pindah-pindah lokasi, jadi pas kita kejar, dia udah pindah lagi. Terakhir jejaknya adalah di bandara. Gue minta orang kita buat waspada, dia bisa aja pindah ke negara lain lagi. Tujuan yang paling mungkin kalau nggak Singapura ya malah ke Hongkong," sebut Ardi. "Kalau bisa, temuin sebelum orang-orang KPK nemuin dia dulu. Gue denger udah ngelibatin interpol karena masalah pelecehan seksualnya. Korbannya banyak yang nambah, mereka mulai berani bikin laporan," ucap Rai. "Ane-san gimana? Mau nambah
"Terus mau makan apa? Beneran nggak laper?" tanya Rai sebelum istrinya masuk ke dalam kamar. "Udah kenyang baper!" sengal Gendhis, ia banting pintu kamar di belakangnya, kesal sekali. Untuk pertama kalinya, setelah menikah, Gendhis merasa Rai tak bisa memahami perasaannya. Gendhis sudah berusaha untuk memahami posisinya, berdamai dengan kelakuan Kiara dan orang-orang di sekitar suaminya yang cenderung meremehkannya. Namun, rasa lelah itu benar-benar terasa menghimpitnya di saat Rai tidak memberikan dukungan penuh padanya. "Kenapa juga kamu pengin banget dingertiin gini sih, Ndhis," keluh Gendhis bermonolog. "Padahal biasanya juga kamu cuek aja," dengusnya. Sambil merebahkan diri di ranjang, mata Gendhis menerawang, menatap langit-langit kamar. Rai sebenarnya tidak bersalah 100 persen. Namun, karena Gendhis sudah terlanjur kesal sejak pulang dari rumah sakit, kekecewaannya pada sang suami seakan menumpuk jadi satu. Pening menjalari kepalanya, perutnya lapar tapi mulutnya gengsi unt