"Tuan Putri!" Teriakan itu membuatku menoleh ke belakang, tapi derap langkah kakiku tidak kian melambat. Aku terus berlari menyusuri rimbunnya hutan belukar. "Berhenti!"
"Jangan menoleh!" teriak seorang lain yang berada di depanku, pria yang berlari sembari menggenggam tanganku dengan erat.
"Teruslah berlari!" perintahnya dengan wajah serius dan penuh tekad. Sesuai dengan apa yang dia inginkan, aku terus berlari tanpa henti melalui hutan yang pohon-pohonnya menjulang tinggi.
Entah berapa lama telah berlalu sejak aku berlari bersama pria ini, ksatria asing yang tak kuingat namanya. Aku mungkin tidak mampu mengingat namanya, tapi aku ingat bahwa dia rela melakukan pengkhianatan besar terhadap sang raja hanya karena dirinya jatuh hati padaku.
Terdengar klise dan konyol?
Tentu saja. Namun, aku mengerti akan perasaannya yang bahkan rela memberikan seluruh hidupnya demi cintanya kepadaku.
"Kau akan membawaku ke mana?" tanyaku di sela-sela napas yang terengah-engah. Kakiku mulai terasa sakit, meneriaki kenyataan bahwa kita telah berlari cukup jauh dan untuk waktu yang lama.
Pria berambut pirang itu bahkan tidak menyempatkan diri untuk menoleh ke arahku, tapi bibirnya terbuka untuk membalas, "Ikuti saja aku!"
Sambil terengah menahan sakit, dia menghunus pedangnya, bercak darah bisa kulihat dari wajah dan tubuhnya, hasil dari kerja kerasnya untuk membebaskanku beberapa waktu yang lalu.
"Kita akan sampai ke tempat tujuan!"
Mendengar balasannya, aku mengerutkan kening untuk menunjukkan amarahku. "Jawabanmu selalu sama! Katakan saja ke mana kau akan membawaku!" bentakku.
Hening. Selain suara tanah basah yang kami injak dan gesekan daun akibat angin malam yang berembus, tak ada balasan dari lawan bicaraku.
"Katakan atau kau akan ku–!"
CRAT!
Anak panah tertancap tepat di belakang punggungnya. Pelarian kami spontan terhenti karena tembakan kali ini berhasil menembus jantungnya. Aku tertegun dan merasakan cengkraman yang erat dari tangannya kian melemah.
"Hei?"
Kucoba untuk memanggilnya, tapi suaranya tak kunjung menjawab. Lalu, aku melihat tubuhnya gontai dan terjatuh cukup keras di atas tanah basah. Aku terperanjat kaget melihatnya.
"Jangan bercanda," ucapku, mulai panik. "Kau tidak akan mati di tempat seperti ini, bukan?"
Tidak ada gunanya bertanya pada kenyataan yang ada di hadapanku. Aku berjongkok dan tanganku mendorong tubuhnya, tapi satu hal yang benar-benar membuatku tertegun ialah darahnya berwarna hitam.
"Ini racun," simpulku.
Setelah melihat darah yang terkontaminasi oleh racun, tanganku gemetar. Detak jantung semakin tidak seirama dan kepanikanku semakin memuncak. Aku berkata dengan nada lirih, "Mereka semua sudah gila telah menembakkan anak panah yang dilumuri racun."
Sungguh, mereka tak memiliki hati.
'Apa Yang Mulia yang memerintahkan mereka?' pikirku. Pandanganku mengedar dan hutan belukar menyambutku. Lalu, pandanganku jatuh pada pakaian yang saat ini kukenakan. Telah banyak yang robek, bahkan betis yang semula putih mulus kini penuh dengan sayatan. Ini menyakitkan, tapi rasa takutku lebih mendominasi.
"Aku tidak ingin mati ...," rintihku masih sempat menggertakkan gigi karena mengingat akan mengerikannya kematian itu.
Namun, mungkin Tuhan tidak ingin membiarkan hidup menyedihkan ini terus menerus berlanjut. Derap langkah kaki yang cukup kencang semakin terdengar jelas.
Kucoba menguatkan hati untuk meninggalkan jasad pria yang mencintaiku, lalu aku berdiri–hendak melanjutkan pelarian seorang diri, tetapi sialnya terjatuh karena tersandung akar pohon yang keluar dari tanah.
"Tuan Putri."
Mereka berhasil menangkapku dan aku tertegun melihat seseorang telah berdiri tepat di depanku. Tubuhku seperti tersengat listrik, lalu menjadi kaku seperti patung. Tidak lama kemudian, kepalaku cukup sakit dan berdenging karena rasa takut benar-benar menguasaiku.
Kutatap sang pemberontak yang telah menjadi mayat, bersimbah darah berwarna hitam karena racun. Ah, malang sekali nasib pria itu. Tidak. Malang sekali nasibku.
"Tuan Putri, kau ditangkap karena melanggar peraturan istana yang paling fatal."
Seorang ksatria berbaju besi dengan raut wajah penuh amarah segera menghunuskan pedang dan mengarahkannya tepat di leherku.
-oOo-
Eksekusi matiku akan berjalan hari ini setelah melalui malam panjang penuh penyiksaan di ruang bawah tanah. Aku dipaksa untuk menaiki jenjang panggung dengan tubuh dipenuhi luka bekas cambuk.
"Cepat!" Sesekali tersandung dengan ujung rok, aku mendesis menahan rasa sakit.
Seluruh pasang mata tertuju padaku dengan tatapan kebencian, serta mulut penuh sumpah serapah. Padahal, mereka tidak tahu kejadian sebenarnya dan seenaknya menuduhku sebagai pembunuh.
Kucoba untuk mengabaikan seluruh tatapan orang-orang yang kulalui, lalu memilih untuk melihat reaksi ayahku–Yang Mulia Raja Lotus IV. Berharap untuk dikasihani, tapi apa yang aku lihat? Ia sedang menatapku dengan ekspresi puas. Ia bahagia karena aku akan segera mati.
Tak ada gunanya melihat dia!
"CEPAT JALAN, SIALAN!"
Ketika pikiranku mulai dihanyutkan untuk mengutuk sang raja, aku ditarik paksa dengan rantai yang masih terikat kuat di pergelangan tanganku. Aku meringis menahan sakit, kedua tanganku kini telah mengeluarkan darah segar, kemudian tubuhku jatuh–tersungkur di depan jenjang panggung eksekusi mati.
Di saat aku akan menghadapi kematian, seseorang membantuku untuk berdiri. Kutatap wajahnya, lalu ksatria itu berkata, "Bukankah lebih baik mati daripada terus menerus menderita?" Aku tertegun mendengarnya. "Saya lebih baik memilih mati daripada hidup seperti ini, putri."
Aku tersenyum kecut mendengarnya. Lebih baik mati katanya. Aku menjawab dengan susah payah karena lidah telah disayat, diberi garam, lalu diracuni.
"Bahkan ... kalian semua ... memintaku untuk ... mati ...."
Ksatria itu tertegun. "Jujur saja, saya tidak tega melihat putri menderita seperti ini."
Lidah yang telah mengalami hukuman berat ini kesulitan untuk membalas ucapannya. Pria tersebut tetap melanjutkan perkataannya.
"Jika putri mendapati kehidupan lagi, saya harap hidup Anda tidak seperti ini," ucapnya sambil menggenggam kedua tanganku dengan erat. Seakan dia benar-benar mengatakannya secara tulus kepadaku. "Semoga Anda menemukan kehidupan yang lebih layak."
SRAK.
Mendengar suara pedang yang diasah, sudah mampu membuat bulu kudukku merinding. Melihat papan eksekusi, sungguh amat mengerikan. Suasana terasa tegang, bahkan ksatria yang mendoakan kehidupan baru untukku dalam sekejap membungkam mulutnya.
Seseorang berjalan ke atas panggung, ia membuka gulungan kertas, lalu menarik napas untuk membacakan isi dari kertas tersebut kepada seluruh orang yang sedang menyaksikan eksekusi ini.
"Eksekusi mati kepada Putri Ophelia Aelios de Lotus dilakukan karena telah melanggar salah satu peraturan istana, yakni melarikan diri dari ruangannya serta meresahkan rakyat Kerajaan Lotus, akan berlangsung hari ini atas perintah Raja Lotus IV!"
Ophelia Aelios de Lotus, itu adalah namaku yang merupakan putri dari selir kedua Raja Lotus IV Kerajaan Lotus dan sebentar lagi akan menjalani eksekusi mati. Menghadapi kematian yang tidak seharusnya aku terima.
"Kesalahan fatal yang telah dilanggar oleh Putri Ophelia yakni membunuh mantan ksatria yang telah melakukan pemberontakan!"
Setelah dianggap sebagai manusia terkutuk, mengapa sekarang aku dituduh sebagai pembunuh!?
Semua orang yang mendengar ucapan dari ksatria itu menutup mulut mereka yang tercengang. Mata mereka membelalak kaget.
"Bukan aku ... pe–"
"Sebaiknya, Anda diam saja, putri."
Tidak bisa begitu!
Difitnah sebelum mati merupakan tindakan yang sangat kejam. Aku tidak bisa menerima perlakuan seperti ini!
"Cepat jalan!" seru ksatria, seraya mendorong tubuhku.
Kakiku melangkah gontai menuju ke atas panggung. Aku meletakkan rahangku ke atas papan eksekusi. Jantungku berdetak sangat cepat, karena kematian sebentar lagi menjemputku.
"Sebentar."
Dalam sekejap, suasana menjadi hening sampai suara burung gagak berkicau pun terdengar jelas. Aku mengangkat wajahku untuk melihat sosok yang baru saja bersuara.
"A–ayah …," ucapku terbata.
Sang raja yang angkuh menatapku dengan penuh kebencian, kemudian bertanya, "Apa kau memiliki pesan terakhir?"
Pertanyaan Yang Mulia benar-benar menghancurkan harapan anaknya untuk mendapat kasih sayang di akhir hayat.
"Kau dengar itu? Apa kau memiliki pesan terakhir?" tanya sang algojo.
Marah, sedih, kecewa, dan putus asa melebur menjadi satu menimbulkan dendam.
"Hei? Kau dengar itu!?" Nada algojo semakin keras karena aku tidak sengaja mengabaikannya.
"Y–ya ...." Aku menjawab, "Meskipun ... terlahir secara ti–tidak ... bersalah ...."
Apa terlahir ke dunia ini pada saat bulan purnama merah merupakan dosa besar?
Lidah terasa berat dan mati rasa, napas terasa sesak, tubuh gemetar hebat menahan rasa sakit di sekujur tubuh yang masih bisa diobati, tetapi tidak dengan rasa sakitnya hati.
"Manusia yang penuh ... de–dengan dosa ...." ucapku dengan napas tersengal-sengal. "Seakan-akan mereka ... suci. A–api ...."
Tidak tahu lagi apa yang aku katakan, akan kuluapkan seluruh emosi yang selama ini tertahan di dalam hati.
"Api di sekitar tidak akan ... mati jika dosa ... tidak diakui oleh mereka sendiri ...."
Emosi yang bercampur aduk membuat tanganku mengepal erat, memikirkan kejadian-kejadian yang tidak pernah membuatku merasa bahagia.
"Dunia yang sungguh kejam," gumamku dengan fasih. "Aku membenci kalian semua ...."
DAR!!!
Tak ada angin, tak ada hujan, bahkan awan mendung saja tidak ada, tiba-tiba petir menyambar di langit cerah. Orang-orang yang ada di sekitar menjadi panik setelah mendengar ucapan seorang putri yang akan dieksekusi mati.
Aku tetap melanjutkan ucapan, "Biarpun aku hidup dengan tubuh lain .... Biarpun aku harus kehilangan emosiku ...."
Satu per satu ucapan keluar dari mulutku, petir sekali lagi menyambar bersamaan dengan angin yang berembus sangat kencang. Emosi yang telah dihanyutkan oleh rasa dendam menginginkanku untuk menghancurkan kerajaan penuh dosa ini.
"Jiwa ini tidak akan mengampuni siapa pun yang merasa tidak bersalah!"
DAR!
Tidak peduli kilat muncul di belakangku, ucapanku akan menghancurkan kalian semua!
Seluruh ksatria kerajaan sudah bersiap siaga jikalau pergerakanku terasa mencurigakan. "Apa yang kau lakukan?!" tanya sang algojo.
Persetan dengan Yang Mulia Kerajaan Lotus, Raja Lotus IV!
"Kalian semua akan mati bersamaan dengan tubuh ini yang akan terpisah dari kepalanya ..." Aku mengabaikan ucapan algojo. " ... Dan Kerajaan Lotus akan mengalami kehancuran setelah kematianku, karena–!"
Trak.
Sekilas sebelum kesadaranku menghilang, aku melihat Yang Mulia mengangkat sebelah tangannya. Kehidupanku sampai di sini saja, karena ....
'Aku mati dibunuh ayahku sendiri.'
“Siapa gadis itu, Yang Mulia?”Aku menutup mulutku dengan rapat. Kedua alis terangkat dan tubuhku seperti menjadi patung.Bisikan-bisikan semakin terdengar jelas dari belakang. Para pelayan itu semakin menunjukkan rasa penasarannya satu sama lain.Tak bisa berkata-kata, aku pun terus menatap punggung kekar Ilkay yang dibalut jubah kumuh.“Vander,” panggil Ilkay.Pria bernama Vander itu menatap Ilkay penuh penasaran. Tatapan seolah tidak ada tujuan untuk hidup, hanya mengikuti perintah dari seseorang.“Akan kujelaskan nanti setelah kita makan malam. Kau pastinya belum makan malam, bukan?” tanya Ilkay.Terlihat bahwa Vander tertegun. Dia membungkuk, tangan kirinya di letakkan di dada. Tanpa melihat Ilkay, pandangannya tertuju pada tanah.“Ya, Yang Mulia. Akan saya pinta pada kepala koki untuk memasakkannya,” balas Vander.Ilkay mengangguk. Dia berbalik secara tiba-tiba, membuatku terperanjat kaget.Wajah berseri tak pernah pudar di wajahnya setelah memasuki mansion ini. Matanya menatap
“Aku akan jelaskan nanti– jadi, kalian akan membiarkanku berdiri di sini?”Lantas, dua wanita yang tampaknya sangat mengenal Ilkay itu segera berdiri. Mereka beranjak, sambil membungkuk, dan salah satu mereka berjalan mendekati pintu.Pintu tersebut digedor, sampai seorang pria berzirah membuka pintu dengan raut wajah masamnya.Mulutnya hendak terbuka menanyakan apa yang terjadi, tapi kembali tertutup bersamaan dengan mata membelalak kaget.“Oh– Astaga– HORMAT SAYA PADA YANG MULIA.”Aku tercengang. Melihat ksatria tersebut juga menunjukkan sikap yang sama dengan dua pelayan wanita itu.‘Sebenarnya, apa yang terjadi?’Tidak mungkin jika pria di hadapanku saat ini merupakan orang yang disegani atau bisa dibilang dari keluarga kerajaan.Namun, jika dilihat-dilihat, perawakan yang berwibawa dengan senyum profesional, terlihat seperti bangsawan ataupun keluarga kerajaan yang telah diajarkan cara menyimpan masalah melalui senyum manis mereka.Pelajaran etika yang tidak pernah diajarkan pada
Aku hanya mengikutinya dari belakang. Lagi dan lagi, entah mengapa aku terlalu menurut pada pria itu.Langkah demi langkah, kudengar terus suara tebasan semak belukar yang ada di depanku. Hanya menggunakan pedang panjang, dia memotongnya dalam sekali tebasan. Begitu hebat dan kuat.Aku pun menengadah. Secara perlahan, langit mulai menggelap. Kini, langit berwarna jingga telah berubah menjadi biru gelap yang dihiasi oleh bintang-bintang.Suara hewan yang ada di hutan ini cukup mengerikan, sunyi senyap yang ditemani dengan suara lolongan.Ilkay tadi mengatakan akan membawanya ke tempat istirahat, tapi maksud dari istirahat tersebut apa?Tak berani mulutku bergerak untuk menanykanannya. Aku diam membisu seperti anak ayam yang baru saja dikenai berang sama induknya. Lalu, mengekor ke sana kemari dalam diam.“Kita sampai,” ucap Ilkay.Aku mengalihkan pandangan. Menatap kakinya yang tidak lagi melangkah. Aku pun ikut berhenti.Kutatap punggungnya yang lebar, lalu bergerak menyamping untuk m
“Kekuatan?” tanya Ilkay. Aku mengangguk. “Purnama bulan merah.” Dapat kurasakan keheningan yang mencekam. Melihat Ilkay dengan mata yang sedikit melebar, menunjukkan manik mata biru permata yang indah, lalu mulut tertutup rapat seakan dia terkejut mendengar ucapanku tadi. “Kau tahu cara mengendalikannya?” tanya Ilkay. Barusan, kekuatanku muncul bisa kemungkinan karena untuk melindungiku … tapi, dibilang melindungi, kenapa saat itu aku tidak dilindunginya? Tubuh yang mudah hancur ini tidak tahu cara mengeluarkan kekuatan, apalagi mengendalikannya. Aku pun menggeleng hebat. Menatap Ilkay dengan rasa penuh bersalah dengan kening mengernyit dan mulut cemberut. “Tidak. Aku tidak tahu. Kekuatan itu muncul begitu saja,” jawabku. Entah mengapa … aku merasa diriku yang dulu, bahkan yang sekarang sama-sama merepotkan. “Jadi, dia muncul saat-saat yang genting, huh?” Ilkay bergumam, tapi aku dapat mendengar ucapannya dengan jelas. Kepalaku terangkat untuk melihat wajahnya lagi. Sambil b
‘Bajunya–’ Mata Ophelia melebar. Mulutnya sedikit ternganga. ‘Ledakan tadi pasti membuat Ilkay kehilangan fokus.’ Hingga, dia kembali pada keadaan Ilkay yang saat ini bertarung melawan Hydra.[]Ophelia POV‘Bajunya–’ Aku melebarkan mata dan bahkan mulutnya menganga melihat ujung bajunya sedikit robek dan penampilannya yang kusut.Kucoba untuk tenang, sambil menatap Ilkay.‘Ledakan tadi pasti membuat Ilkay kehilangan fokus.’Aku pun mengalihkan pandangan. Menjatuhkan pandanganku pada monster yang ternyata sudah menyadari keberadaan kami. Akan tetapi, Ilkay tampak tidak mengetahui ada monster yang sedang menatap kami dengan intens.Tanganku bergerak mengarah ke monster tersebut dan monster itu pun bergerak bersamaan aku memegang tangan kananku.Kedua bahuku terangkat, spontan mataku memejam melihat monster besar tersebut bergerak cepat.‘Bagaimana cara mengeluarkan kekuatan tadi!?’ pikirku.Pikiranku terus tertuju pada kejadian yang sebelumnya. Dimana secara tiba-tiba ledakan terjadi
“Apa tidak ada yang bisa aku bantu?" tanyaku, meskipun tak ada orang yang mendengar pertanyaanku. Lagi-lagi aku mendengus. Tapi, kali ini perasaanku berbeda dari sebelumnya. Tubuhku secara tiba-tiba menggigil dan sesuatu yang ada di belakangku membuat tubuhku membeku. Bayangan yang besar ada di bawah, dan aku dapat menduga siapa yang ada di belakang hanya dengan hangatnya nafas yang mengepul mengenai puncak kepalaku. Mataku melebar, mulutku terkunci, dan suaraku tercekat hanya untuk berteriak. Aku dapat menduga bahwa sesuatu yang besar mengancam nyawaku dan ketika aku berbalik– Ledakan pun terjadi. [] Ilkay berusaha menghindari serangan semburan api yang keluar dari mulut Hybrid. Dia terperanjat kaget ketika mendapati suara ledakan yang begitu nyaring dan besar berada di dekatnya. “Suara apa itu!?” tanyanya. Sempat untuk membalikkan tubuh, mengalihkan pandangan tepatnya pada tempat Ophelia bersembunyi. Ilkay melebarkan mata. Dia tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, tapi
“Setidaknya, biarkan aku membantumu,” pintaku, seakan memelas kepada Ilkay.Namun, alih-alih mendapat izin, Ilkay justru tertawa sinis. Ya, aku yakin dia sedang merendahkanku.“Apa yang bisa kau lakukan?” tanya Ilkay.Pada saat itu, suara lolongan dari serigala terdengar dari dekat. Itu berasal dari monster yang baru saja datang ke tempat ini. Badannya sangat besar, tapi bisa dikatakan sebagai badak. Pada pundaknya, terdapat duri-duri seperti landak dengan ujungnya yang berwarna merah. Seolah merah merupakan darah para penjelajah atau pemburu yang gagal melawannya. Sedangkan wajahnya … seperti serigala dengan mulut yang panjang dan telinga seperti singa. Semua giginya merupakan gigi taring dan itu pun dipenuhi dengan lendir.‘Mo
Aku pun menggeleng hebat yang membuat Ilkay mengernyit.“Kenapa?” tanya Ilkay meminta penjelasan akan sikapku.“Kau ingin melawannya?” tanyaku.Mendengar pertanyaan yang dilontarkan padanya, Ilkay pun menjawab,“Jika aku tidak melakukan itu, mereka akan tetap berada di sini.”Pandangannya berganti pada Hydra yang tak kunjung beranjak dari tempatnya. Sorot mata Ilkay menajam dan tangan yang disembunyikan dari jubah yang sedang dikenakan itu ia keluarkan. Terlihat jelas pedang yang pernah sekali ia gunakan.“Hydra dapat mencium bau manusia dan selama kita tidak muncul, mereka akan tetap berada di tempat ini.”
"Kau ...."Ilkay mengeluarkan suaranya, tapi suara tersebut terhenti begitu saja, sampai tangannya bergerak menuju tangan dan menutup wajahnya. Ia mendengus sambil mengusap wajah dengan kasar.Sebenarnya, aku tidak peduli dengan reaksinya. Tapi, melihat pria pengembara itu terlihat frustasi, aku pun mengalihkan pandangan.Aku mencoba untuk berdiri dan membersihkan kedua tangan dengan baju, tapi– ah, sayang sekali jika baju ini kotor. Hanya ada satu baju yang tidak dapat diganti sebelum pria pengembara dengan rambut pirang itu mau membelikanku baju lagi; meskipun itu tidak mungkin.Ilkay yang ada di sampingku menjangkau tanganku, memegangnya dan membersihkannya dengan sapu tangan yang tiba-tiba ada dari dalam jubahnya.&