Jalan di kota Bandung pada sabtu sore sangat padat. Sudah hampir satu jam aku keluar dari gerbang tol tapi belum juga sampai tujuan. Hari sudah berganti malam, sepertinya aku akan melewati dua kali adzan jika memaksa menginap di Geger Kalong. Akhirnya aku putuskan singgah di penginapan terdekat.
Aku telah memberi tahu Kang Asep akan datang menjemput Mila esok pagi. Rencananya selesai kajian shubuh aku berangkat ke rumahnya. Tapi setelah tidak jadi menginap di Geger Kalong, sepertinya aku harus mengubah rencanaku. Aku katakan bahwa aku akan datang lebih awal, saat matahari belum terbit.
Keesokan harinya aku berangkat dari penginapan setelah shalat shubuh dan tiba di rumah Kang Asep 15 menit kemudian. Hari masih gelap, tapi Kang Asep dan Mila sudah menunggu di teras rumah. Dia sudah membawa tas ransel kecil dan sebuah koper. Aku menyapa Kang Asep, mengobrol seb
Peresmian pesantren di Gunung Merapi semakin dekat. Sudah ada tiga orang sebagai wakil perusahaan untuk pergi ke sana. Tapi hanya aku yang bisa menyetir. Karena jarak dari bandara ke pesantren cukup jauh, aku memerlukan teman yang bisa mengemudi. Jadi aku putuskan untuk mengajak Mila ke sana. Aku memintanya untuk memesan tiket ke Jogja."Untuk siapa saja Pak tiketnya?" dia bertanya."Untuk empat orang. Aku, tunanganku, Santi dari bagian PR dan kamu."Dia agak terkejut mendengarnya, dengan agak ragu Mila bertanya."Saya ikut juga Pak?""Iya," jawabku. "Dari bandara membutuhkan waktu 3 jam untuk sampai ke pesantren. Kita akan menyewa mobil, dan kamu akan menjadi sopirnya."Mila tida
Udara malam terasa menusuk sampai kulit. Di luar, kabut tebal masih menyelimuti. Namun aktivitas di pesantren Gunung Merapi sudah dimulai. Sayup-sayup terdengar suara santri mengaji. Seingatku, dulu waktu masih belajar di sini, kegiatan pesantren tidak dimulai secepat ini. Mungkin karena dulu santrinya sedikit, pikirku.Aku menarik selimut kembali. Baru saat adzan terdengar aku bangkit dari tempat tidur. Kini ada acara di masjid sampai matahari terbit. Aku mengikutinya, toh memang tidak ada kegiatan apapun. Barang-barang sudah siap, dan pesawatku dijadwalkan pukul 11. Jadi kuputuskan untuk berangkat setelah sarapan.Saat sarapan, kulihat rombonganku sudah siap. Ternyata Sisca bisa bangun pagi, batinku dalam hati. Saat kami makan, pengurus pesantren memasukkan barang yang kami bawa ke mobil. Setelah semua selesai, kami lalu berpamitan. Kusalami Mas Rangga, dia m
Dua hari kemudian akhirnya facebook mengabulkan permintaan kami. Grup itu ditutup, dan dampaknya orang makin penasaran. Saatnya beraksi. Aku memerintahkan untuk membuka kembali komentar di situs perusahaan. Kubuat grup facebook baru, dan kutulis komentar secara anonymous untuk mengajak bergabung di grup baru tersebut. Setelah cukup banyak yang bergabung, komentar pun dihapus.Aku mengikuti skema mereka yaitu menampilkan foto setiap setengah jam. Foto pertama yang kutampilkan mendapat ratusan view hanya dalam waktu beberapa menit. Demikian foto kedua dan ketiga. Setelah foto keempat jumlah view sudah turun. Demikian seterusnya sampai akhirnya foto-foto tersebut tidak lagi menarik.Setelah dua hari, gosip di kantor pun mereda. Setiap kali ada perbincangan tentang foto-fotoku, komentar yang muncul adalah itu foto biasa. Apalagi obrolan dari karyawati yang fotonya
Jalan tol menuju Bandung di siang hari cukup sepi. Setelah melaju hampir setengah jam, kami sudah masuk tol cipularang. Aku menyetir mobil, sedangkan Mila menceritakan siapa diriku sebenarnya kepada Kang Asep."Ooo ternyata kamu beneran Si Boy toh. Dulu cuma pura-pura." Kata Kang Asep meledekku. Aku hanya tersenyum mendengarnya."Tidak sepenuhnya tepat kang," jawabku. "Waktu itu aku memang tidak memiliki apa-apa. Sekarang pun semua masih pemberian papa, termasuk jabatanku ini.""Tapi 'Aa pintar kok memimpin perusahaan. Semua karyawan sayang sama 'Aa." Mila ikut menimpali. Sepertinya dia keceplosan. Selain tidak menggunakan panggilan bapak, dia juga menggunakan kata sayang. Tak heran wajahnya jadi memerah."Mila juga sayang sama saya?" aku bertanya untuk meledeknya. Wajah
"Halo Mila." hanya itu yang bisa kuucapkan. Aku tak tahu mau berkata apa lagi. Rasanya tidak ada kata yang bisa mengobati kesedihannya. Dia tidak menengok ke arahku, tapi ada butiran air mata yang menetes di pipinya. Akhirnya aku menggenggam tangannya dan perlahan mengecupnya. Dia tidak menolak. "Saya sangat menyesal Mila harus mengalami semua ini. Tapi jangan khawatir, mulai saat ini saya berjanji akan terus menjagamu." "Saya tidak bisa jalan 'A, saya tidak punya siapa-siapa. Saya harus gimana?" Mila berkata sambil terus memandang langit. Air matanya makin deras menetes di pipi. "Saya pernah tinggal di Geger Kalong. Banyak yang kondisinya seperti Mila, bahkan lebih parah. Saya yakin Mila bisa mengatasi kondisi ini. Untuk sementara Mila bisa tinggal di rumah Abah, na
Kantor imigrasi di hari minggu sangat berbeda dengan hari biasanya. Wajar saja karena hari minggu memang bukan hari kerja. Tapi aku dibawa oleh biro umroh untuk mengurus pasporku. Semua sudah diatur, katanya.Setelah urusan paspor selesai, aku masih harus mengurus visa umroh dan kartu vaksin. Ajaib sekali, semua sudah siap saat aku datang. Ini lebih cepat dibanding persiapanku untuk pergi ke Australia. Biro haji ini memang dapat diandalkan, pasti koneksinya ada di mana-mana.Yang terakhir adalah tiket. Ini adalah urusan yang paling mudah, bahkan aku boleh memilih maskapai yang kuinginkan. Aku tidak terlalu memikirkan merk, jadi kupilih saja yang jadwalnya paling dekat. Dan begitulah, senin pagi aku sudah berada di Jeddah. Di sana sudah ada yang menjemput untuk mengantarku ke tanah suci.Hotel tempat aku menginap dek
Esoknya sekitar jam 9 pagi Detektif Parkin mengabariku bahwa dia sudah menunggu di salah satu cafe dekat gedung kuliahku. Kebetulan sebentar lagi kuliah selesai. Atau jangan-jangan itu bukan kebetulan. Aku makin penasaran untuk melihatnya secara langsung. Saat kuliah selesai, aku segera pergi ke cafe itu. Detektif Parkin sudah menjelaskan posisi duduknya dan baju yang dikenakannya. Alangkah terkejutnya aku saat pertama melihatnya. Dia tidak seperti gambaran reserse yang kubayangkan. Tubuhnya kurus dan tidak tegap. Dia berdiri untuk menyambutku, dan ternyata dia lebih pendek dariku. Saat aku menyalaminya dia berkata. "Anda kelihatan terkejut. Maaf mengecewakan Anda jika saya tidak seperti hercules." Dia seperti bisa membaca pikiranku. Ternyata ini kelebihannya, wajar jika dia menjadi reserse yang handal.
Hari sudah menjelang sore. Biasanya di waktu ini, kampus sudah sepi. Wajar saja karena perkuliahan hanya sampai siang. Tapi kali ini ada yang berbeda. Masih banyak mahasiswa yang berkumpul di sini. Semuanya adalah mahasiswa tingkat akhir. Mereka berkumpul bukan karena ada kegiatan, tapi sedang menunggu pengumuman kelulusan. Aku adalah salah satu dari mereka.Tepat pukul empat sore, seorang petugas keluar dari dalam gedung administrasi. Dia membawa beberapa lembar kertas. Setelah kertas-kertas itu dipajang, papan pengumuman itu langsung diserbu. Karena malas berdesakan, aku hanya diam menunggu. Setelah agak sepi baru aku beranjak ke sana.Nama-nama mahasiswa yang lulus diurut berdasarkan abjad. Aku mencari namaku di deretan huruf A, karena yang kucari adalah nama Ahmad Mustofa bukan Galang. Setelah beberapa menit, akhirnya aku menemukannya. Nama Ahmad Must