"Bang, ayo kasih nafas buatan!" titah Rika tanpa merasa bersalah. Rika, lihatlah bibir mertuamu itu. Senyuman meledek yang berusaha ia sembunyikan itu masih bisa kulihat.Rika mengambil minyak kayu putih yang tidak berwarna putih dan meletakkannya di dekat hidung Emak. Ya elah, pingsan boongan mana mempan pake itu. Rika terus saja mengoleskan minyak itu ke leher dan hidung Emak. Si gadis tua bersikukuh menahan senyum demi sempurna aktingnya."Dek! Kalau Emak pingsan saat abang gak ada di rumah, kamu gelitikin aja pinggangnya ya!" titahku sambil mencontohkan.Baru saja tanganku menyentuh pinggang yang dibungkus baju terusan itu, Emak langsung berteriak kegelian lalu balas menggelitikku. Aku persis seperti Emak, tidak tahan digelitikin. Karena posisiku sebagai anak, akhirnya aku yang kalah, lebih tepatnya mengalah."Ampun, Mak!" teriakku saat ce
Aku mengikuti Rika ke kamar untuk ganti baju, sedangkan Emak masuk ke kamarnya."Dek! Abang terlanjur basah nih. Apa kita mandi aja sekalian," godaku sambil membuka gembok, eh kancing bajuku yang basah karena minumanku disenggol Emak. Rika tersenyum malu dan terlihat berpikir. Halah, jual mahal."Ya udah, Abang mandi saja. Emak gak suka nunggu lama. Aku pergi sama Emak saja," balasnya lalu menghilang di balik pintu.Jangan tinggalin abang, Rika! Kapan sih aku bisa mengerti bahasa tubuh istriku tersayang? Harusnya senyum malu, ya tanda mau. Ini malah ninggalin yayangnya.Aku mulai berganti kostum yang kuyakini dapat membuatku berkali-kali lebih tampan di mata perempuan yang sudah mencuri, mengambil, dan menguasai hatiku. Dia telah mengunci segumpal daging bernama hati itu untuk tidak bisa berpaling pada yang lain.B
"Mak! Ini martabaknya. Keburu dingin, gak enak loh," seruku setelah mengetuk pintu kamar Emak. Tak ada sahutan maupun pergerakan dari dalam. Aku menekan gagang pintu dan masuk untuk mencari keberadaan dua perempuan itu. Astaga! Udah capek beli pesanan, Emak malah tidur sambil berpegangan tangan dengan menantunya. Gak so sweet banget deh. Harusnya, aku yang ada di samping Rika.Duh nasib! Sudah bela-belain melewati gerimis untuk membeli pesanan Emak, tetap aja harus tidur sendirian. Kasihan kalau lagi enak tidur, dibangunin. Kalau dibangunin sebuah rumah, baru perempuan senang, ya kan? Bukan matre sih, tapi realistis."Husht ...."Aku menoleh ke belakang saat merasa sedang dipanggil dengan desisan. Aw, Emak ternyata tidak tidur dan sedang menarik tangannya pelan-pelan. Ia bangkit dan mengajakku ke ruang tamu dengan jari telunjuk menempel di bibirku. Duh, Emak ada-ada saja.
Aku mulai diserang rasa panik dan malu. Kuambil ponsel untuk menanyakan kembali merek susu kehamilan yang Emak maksud."Saya ini laki-laki asli dan murni, Bu. Istri saya yang sedang hamil dan Emak menyuruh membelikan ...." Suaraku mengambang karena mataku membaca pesan Rika. Aku terlambat membacanya karena begitu semangat melaksanakan perintah Emak yang lebih berpengalaman.[Bang, jangan lupa nama susunya pren@gen. Jangan bilang yang aneh-aneh]Astaga! Emak mengerjaiku. Teganya, teganya, teganya dikau, oh Emak. Aku mulai memasang wajah serius dan mendekat pada perempuan yang tadi."Saya ini waras, Bu. Jangan terlalu serius menjalani hidup ini. Saya memang suka bercanda. Maksud saya memang yang itu," ujarku tanpa senyum sambil menunjuk kotak susu yang tadi, agar terlihat tegas. Hey bibir! Tolong jangan ketawa!Aku m
"Kamu sudah sadar, Sayang? Mana yang sakit?" tanya Emak dengan mengulum senyum. Astaga! Emak selalu bisa menebak kepura-puraanku."Sayangku! Emak jahat," aduku pada Rika yang berdiri di sampingku. Sengaja kupeluk perutnya sambil melirik sang jagoan."Hmmm … moduus. Ayo kita pulang. Bawain semua belanjaan kita," titah Emak sembari menggandeng tangan kekasihku. Modus? Gapapa dong modusin istri sendiri, kecuali istri orang, ya kan? Harusnya aku yang menggandeng tangan istriku, Mak.Pemuda yang tadi disuruh Emak memberiku nafas buatan, menepuk-nepuk bahuku. "Sabar ya, Bro. Seorang mertua memang selalu membela putrinya," ucapnya sambil menggeleng-gelengkan kepala."Jangan sok tahu! Gadis tua itu bukan mertua gue, tapi beliau emak gue, Bambaaaang," balasku kesal. Lelaki itu terperangah mata melotot ke arahku. Apa dia kesambet?
Kadang, kebahagiaan itu sesederhana ini. Memiliki Emak yang antik, eh unik dan juga istri yang baik hati. Seharian kerja, hilang semua penat karena melihat keduanya. Mereka tak akan pernah tergantikan.Aku terus saja bersiul dengan senyum terkembang mengingat kelakuan Emak. Dia selalu menjerumuskanku dalam jurang cinta menantunya. Sekarang aku benar-benar tidak bisa keluar dari jeratan cinta menantu kesayangan Emak. Sehari saja bekerja tanpa melihat Rika, rasanya hambar, tanpa rasa.[Abang udah sampe loh, Dek. Kamu tidak perlu khawatir. Abang akan jaga diri dengan baik]Kukirimkan pesan dari aplikasi warna hijau dan mengirim fotoku sedang bergaya di antara pohon sawit. Mana tahu Rika sudah merindukan suaminya ini. Lebih baik diantisipasi sebelum terjadi, ye kan? Aku tentu sudah memastikan keadaan aman dari mata manusia lain sebelum berfoto.Sebuah panggil
"Dek! Emak udah kasih kode tuh. Ayo servis abang, Dek!" ajakku dengan mata berkedip. Duh, anginnya kencang banget sih, sampai abunya masuk ke mataku. Ganggu pemandangan saja. Butiran debu zaman sekarang memang suka iri, tahu aja kalau aku sedang mandangi doi yang tersipu malu."Jangan dikucek, Bang. Nanti mata Abang bisa merah," larang Rika dan menarikku ke kamar. Aw, istriku tanpa aba-aba langsung membawa suaminya ke kamar kami yang sepi. Ya iyalah sepi, emangnya pasar?"Dek! Yang sabar dong! Kalau mata abang kelilipan begini, mana bisa memandangi wajah bidadariku dengan jelas," protesku, pura-pura keberatan. Kasih perhatian dong, Dek!"Kalau mata kena debu, masukkan muka Abang ke gayung ini. Buka matanya sampai tidak terasa perih lagi, Bang!" titahnya. Astaga! Kirain tadi mau langsung action. Tapi, ya sudahlah. Mungkin setelah ini dia akan kasih servis terbaik. Aku menghibur
Hari ini aku pulang sehabis sholat maghrib di mesjid terdekat. Aku termasuk pemasok sawit utama di sebuah pabrik kelapa sawit yang sangat jauh dari kampungku kalau naik angkot yang rusak, eh? Kurang kerjaan banget ya.Sore ini, anggota pabrik terlambat datang untuk menimbang dan mengangkut hasil panenku. Hanya uang secukupnya untuk membayar upah dan pegangan yang kuterima secara tunai, lainnya akan ditransfer ke rekeningku. Rekening bank ya, bukan rekening listrik atau rekening air.Hmmm. Bawa apa ya enaknya, biar mereka senang? Sepertinya gorengan Neng Mawar enak tuh kalau dimakan, tapi ngenes banget kalau cuma dihayalan.[Ayang Beb, abang beli gorengngan dulu, ya]Sebuah pesan untuk melaporkan keterlambatanku pulang sudah terkirim dan dibalas dengan emotikon lope lope. Sebelumnya, aku sudah melaporkan kalau akan pulang selepas maghrib karena ada k