All Chapters of Catatan Utang Seorang Istri: Chapter 1 - Chapter 10
50 Chapters
Dicubit Emak
"Pak Hadi! Bu Rika ada? Saya mau nagih utang. Katanya mau dibayar hari ini. Saya butuh modal untuk dagang, Pak," ujar Bu Marni, pemilik toko kelontong satu-satunya di kampung kami. Belum juga kuraih knop pintu, sudah ada yang menagih utang.    "Berapa utangnya, Bu?" tanyaku masam. Aku seorang juragan kelapa sawit dengan kebun berpuluh hektar merasa terhina karena kelakuan Rika. Apa uang yang kuberikan tak cukup baginya? Perempuan sama saja, suka menghambur-hamburkan uang.    "Tak banyak, Pak. Hanya enam ratus ribu," jawabnya tersenyum sembari menyodorkan catatan utang istriku. Banyak banget. Uang belanja yang kuberikan lebih dari cukup dan dia masih sempat berutang. Pakaiannya itu-itu saja, tak ada yang nambah. Makanan di rumah juga lebih sering dengan lauk tahu tempe.    "Awas kamu Rika! Jangan-jangan uangnya kamu berikan untuk keluargamu," batinku. Ini sudah
Read more
Uangku Yang Dijatah
"Maaaak! Makiin sakiit," teriakku. Aku sudah tak tahan lagi saat sakit di perutku berubah panas.    "Udah, Mak. Kasihan," ucap Rika, tapi tak digubris sang wonderwoman.    "Kata sandi?" cetus Emak. Aku tak mengerti ucapan wanita yang semakin mengeraskan cubitannya demi membela perempuan lain yang baru hadir dalam kehidupanku. Entah akan seperti apa nasibku, bila dia benar-benar menguasai hati Emak.    "Maafkan aku, Rikaaaaaaaa!" seruku, setelah bersusah payah mengingat masa kecilku. Jika aku salah, hukuman akan dihentikan seusai minta maaf. Ini sangat memalukan sekali. Emak sudah mencabik-cabik harga diri yang kujaga di depan istriku. Dia harus segan dan hormat kepadaku sebelum sikapnya ngelunjak.    'Jangan pernah tampakkan rasa cintamu pada seorang wanita, kalau tak ingin diinjak-injaknya.' Itulah prinsipku dalam mencin
Read more
Istriku Makin Mempesona
"Emak bilang undangannya besok. Tak usah beli baju untukku, Mak! Aku sibuk," ujarku, berusaha menyelamatkan diri. Emak mendelik lalu menjewer telingaku.    "Maak! Emakku yang paling cantik. Hadi bukan anak kecil lagi. Jangan main jewer dong, Mak!" rengekku menahan sakit. Percuma melawannya, lebih baik memuji perempuan ini. Emak malah menampar bibirku dengan pelan.    "Hush! Kamu tetap anak kecil bagi emak. Buktinya, masih suka melakukan kesalahan," ucapnya yang membuatku ingin menciut sebesar semut. Rika tersenyum simpul melihat tontonan gratis di depan matanya.    "Apa kamu tak bilang kalau Hadi harus ikut, Ri?" tanya Emak, memandang menantu satu-satunya.    "Sudah, Mak. Tapi, Bang Hadi tak bisa ikut," balas istriku. Kali ini ia berkata jujur. Aku malas ke kampungnya.   "Kamu harus ikut
Read more
Membela Istri dan Mertua
"Ngapain muji Rika dengan berbisik-bisik, Di? Soswit banget," ujar Emak senyam-senyum. Suka sekali ngeledekin anaknya. Aku heran juga sama Emak, dia tahu banyak istilah anak muda. Baju couple, so sweet, darimana dia tahu istilah itu?    "Bang! Ayo, Emak udah duluan tuh," ujar Rika mengulum senyum juga.    "Jangan geer! Ini semua kulakukan hanya untuk memberi pelajaran pada bibimu itu," cetusku, lalu berjalan duluan mengekori Emak.    "Justru itu yang membuatku terharu. Bang Hadi mau ikut saja, Rika udah seneng. Apalagi dibelain, itu sudah perwakilan rasa cinta. Jangan malu, Bang! Cintamu tidak bertepuk sebelah tangan," godanya. Rika mulai banyak bicara. Kuharap, pipiku tidak sampai memerah.   Rika berjalan menyejajari langkah lebarku. Pakaian couple pilihan Emak membuat kami terlihat seperti pasangan bahagia. Dengan terpaksa,
Read more
Emak Oh Emak
Paman dan bibinya Rika melotot melihat nama yang tercantum di surat yang menjadi bukti kalau Emak gak asal ngomong. Emak memang rempong, selalu membawa benda-benda yang menurutku tidak penting.   Hari ini minggu, rasanya tak akan ada razia. Oleh sebab itu, aku tak membawa surat-suratnya. Siapa sangka, kesiagaan Emak sangat berguna. Kami dirazia orang sombong.   "Juned! Cepat keluarkan surat-surat kenderaan roda empat milikmu! Bapak yakin kalau ini palsu," perintah pamannya Rika. Semua orang menonton kegaduhan yang ia ciptakan di pesta putrinya sendiri.    "A-ada di mobil, Pak," jawab Juned gugup. Kipas angin yang dipasang di empat sudut rumah besar ini tak bisa menyejukkannya. Peluh mengucur di wajahnya yang pucat.    "Pak Azka! Sebaiknya, kita lanjutkan akad nikahnya saja. Buat apa mempermasalahkan harta? Mereka bisa mencarinya ka
Read more
Kesal Sekaligus Bahagia
"Pak? Apa Bapak gak keberatan kalau Hadi yang menggendong Ibu?" tanyaku memohon. Ini bukan minta persetujuan, tapi meminta pertolongan mertua yang baik kepada menantunya. Selamatkan Hadi, Pak, seperti Emak yang selalu memuji Rika.  "Ya enggak keberatan lah, Di. Toh, kamu yang gendong, bukan bapak," balasnya. Hadeeh, Bapak malah jaka sembung, alias tak nyambung.  "Maksudnya …." "Andai Bapak juga bisa naik tangga berlari ini, Hadi tak perlu repot menggendong ibu mertuamu. Bapak tak keberatan kalau Nak Hadi yang gendong Ibu, justru kamu yang keberatan. Walau kecil, beratnya lumayan juga," bisik Bapak. Astaga! Dasar mertua tak berperikemenantuan.  "Apa tidak ada tangga selain yang tangga berlari ini? Ibu malu dan segan," ujar Ibu anaknya yang terus mengamit lengan Emak. Di sini sedang ada ibunya, tapi aku yang harus menjaganya. Emak juga sengaja mau
Read more
Memalukan
"Mak! Kita mau kemana ini?" tanyaku setelah berada di antara simpang arah ke rumahku dan rumah mertua. Hari  sudah sore dan seharusnya untuk pulang.  "Pulang ajalah, Emak udah capek.  Mertuamu akan menginap di rumah kita," balas Emak yang mulai ngantuk. Aku mengangguk dengan malas. Niat hati untuk khilaf nanti malam, kayaknya akan gagal. Orang tua rempong yang ingin nimang cucu itu akan mengganggu kami. Perlakuan sama harapan tidak berbanding lurus.  Aku menoleh pada Bapak yang sudah mendengkur  di sampingku, sementara Rika? Aku tak melihatnya duduk di samping Emak.  "Mak! Rika di mana?" tanyaku khawatir. Emak tersenyum lalu memandang ke bawah. Astaga! Itu anak malah tidur. Pantas saja aku tak melihatnya karena kepala Rika di atas paha Emak. Aku juga terlalu panik setelah tadi malu dan tak berani menatap ke belakang.  "Bangunkan aja
Read more
Panaas
"Hadiiii! Cepat bangun, Nak!" Emak menggedor pintu kamar. Aku yang sibuk menyesal serta merutuk kegagalan drama indah semalam, baru bisa tidur menjelang pagi. Suara jarum jam berwana merah yang sedang berlari-lari pun jelas kuhayati. Kupaksa dengan keras agar mata terpejam. Berhasil, tapi pikiranku terus mengingat kelakuan konyol yang akan membuatku tak berani menatap kumis laki-laki itu lagi.  "Anakku tercintaaaa! Cepat keluar, Sayang!" Intonasi suara perempuan dibalik pintu semakin keras,walau bahasanya semakin halus. Aku menggeliat dan cepat membuang selimut untuk menghadap 'hakim segala urusan' di rumah ini.  "Ada apa, Mak? Hadi masih ngantuk," sahutku sembari mengucek mata. Kubukakan pintu dan kembali tidur. "Nanti siang, kamu bisa tidur lagi. Ini udah tengah lima, bentar lagi azan. Cepat siap-siap! Udah tahu mertuanya nginap, malah makin lama bangunnya. Kamu gak boleh kalah sama
Read more
Ngajak Kencan Sang Istri
"Mak, makasih ya telah melahirkan anak sebaik Bang Hadi untuk jadi suami Rika. Hari ini, Rika seneng banget." Emak merentangkan tangan dan saling berpelukan dengan menantunya.  Aku mesem-mesem melihat pemandangan keakuran dua perempuan beda usia itu. Aku mulai berdehem agar segera dapat giliran. Saking seringnya berdehem, aku sampai batuk beneran.  "Kamu memang pantas mendapatkannya, Sayang. Emak dan mendiang bapaknya Hadi memang tim yang kompak, hingga menghasilkan anak yang ganteng dan mudah diatur," balas Emak. Huuhh. Aku menarik nafas dan membuangnya perlahan. Kapan giliranku ya?  "Emak memang TOP, tegar, optimis dan prima," puji perempuan yang lebih muda.  "Tegar, Optimis, Prima? Tegar itu pengamen jalanan yang pernah terkenal itu kan? Ooh dia punya dua teman yang lain?" tanya Emak menggaruk-garuk kepala yang ditutupi jilbab sorong.
Read more
Dikira Sakaratul Maut
"Aaaah! Emak gak asyik," rengekku sambil menyurukkan kepala di ketiak Emak. Emak menoyor kepalaku yang berusaha sembunyi dari tatapan Rika yang ingin menyemburkan tawanya.  "Udah besar, masih saja suka bau ketek," ujar Emak, merapatkan siku ke pinggang. Waktu kecil, aku memang suka melakukan hal konyol itu. Sekarang, aku tak sengaja melakukannya. Duh,  aku semakin tengsin jadinya. Tapi, syukurlah Emak baru mandi, sehingga bau parfum yang tercium indraku.  "Ya, sudah. Emak mau ngaji dulu. Kalian pergilah! Jangan lama-lama pulang!"  Ya, apa salahnya pulang agak malam, sih? Kami ini kan pasangan halal. Kalaupun terjadi hal-hal yang diinginkan, aku sebagai suami akan jawab, Rika yang nangung. Itu sebagai wujud pasangan yang sama-sama bertanggung jawab. "Ingat! Nanti kamu yang Emak hajar kalau Rika sampai kecapean dan masuk angin," pesan  perempua
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status