Share

8. Kesedihan

Setelah bahasan soal Inez ditutup, Beni dan yang lainnya kembali menikmati hidangan. Mereka memuji banyaknya makanan lezat yang telah dipesankan oleh Sita. Dengan bangga Sita memamerkan segala kasih sayang suaminya atas dukungan apa pun yang ia lakukan dan memberikan semua keinginkannya.

Rumah tangga Sita dipenuhi cinta kasih. Para temannya ikut bahagia untuk Sita. Mereka kembali larut dalam gurauan tanpa menyadari ada salah satu temannya yang masih tenggelam dalam kesedihan.

Rian masih aja mencuri pandang ke arah Inez yang kini udah sendirian lagi di tempat duduknya. Ia bahkan tidak menyentuh makanan di piringnya sama sekali. Nafsu makannya telah hilang semenjak kedatangan cewek itu.

Tapi kemudian suara musik pop yang awalnya dibawakan oleh grup band di atas panggung, tiba-tiba tergantikan oleh DJ seksi yang mengisi acara, menciptakan suasana lebih meriah.

"Wow, nggak nyangka lo datangkan DJ juga, Ta!" seru Evi. Cewek lainnya juga pada heboh.

"Ya, semua buat kalian. Tapi nggak ada minuman beralkohol, suami gue nggak ngizinin."

"No problem, Sita. Yang penting kita seru-seruan sekarang. Yuhuuu, i'm coming!" Yoyok melesat bersama Beni, Prima, Edi dan yang lain turun ke lantai dansa.

Sebagian besar tamu laki-laki dan perempuan menyerbu dan mulai menggila. Sang pria berdansa dengan semangat, sedangkan para wanita mulai meliukkan tubuhnya mengikuti irama.

"Yan, lo nggak ikut gabung?"

"Nggak deh, kalian aja. Nikmati pestanya."

Sita mencibir. "Tumben. Biasanya lo sama Beni suka ke club, menikmati dunia malam dan menjajah cewek cantik di sana."

Rian menunjukkan tampang tengilnya. "Lo diam-diam cari informasi tentang gue, ya?" Tatapannya sangat nakal. "Udah move on belum?"

"Lo ngejek gue?" Ia menggeram sembari mencubit pinggang Rian tanpa melepas tangannya.

"Aduh, duh. Sakit, Ta." Rian meringis kesakitan. "Oke, ampun, gue nggak gitu lagi."

Sita melepas cubitannya sambil menggerutu. "Kalo gue nggak berusaha move on, bisa jamuran gue nunggu lo dari dulu." Ia mengentakkan kakinya ke lantai.

Rian menyeringai lebar. "Sorry, Ta. Dulu gue brengsek banget, ya?"

"Bukannya sampai sekarang lo masih brengsek?!" Sita melotot kejam.

Rian nggak bisa menahan tawa. Detik selanjutnya Rian tergelak dan disusul oleh Sita.

"Ya, udah, gue gabung sama anak-anak dulu." Baru beberapa langkah, Sita terhenti dan membalikkan tubuhnya ke arah Rian. "Gue liat dari tadi lo diam-diam memperhatikan Inez, kayaknya lo perlu ke sana. Hibur dia, Yan."

Cowok itu terkekeh. Ia nggak nyangka Sita mengawasi gerak-geriknya. Rian mengangguk pelan, lalu beranjak ke tempat Inez.

"Hai, masih inget sama gue nggak?" sapa Rian dengan nada suara yang agak tinggi saat dentuman musik itu menggema keras di telinganya. Ia kini sedang berdiri tepat di depan Inez.

Dahi Inez berkerut. Tatapannya masih terlihat takut akan sesuatu. "Lo s-siapa?"

Ia menyematkan senyum manisnya. "Gimana kabar kelinci di rumahnya Pak Samsudin?" Rian berusaha memberi clue.

Seketika wajah Inez tampak berubah. Wajahnya berseri-seri dan senyumnya mengembang. "Lo masih inget?"

Rian mengangguk seraya tersenyum. Lalu ia duduk di dekat Inez. "Gue tau lo sengaja lupa. Lo cuma berniat memancing ingatan gue kan?" 

Inez menggigit bibirnya. Sepersekian detik tatapan indah itu menghilang dalam sekejap. Ia hanya diam dan memalingkan pandangannya ke lantai dansa.

Lagu-lagu remix hits dari DJ yang terlihat cantik dengan headphone di kepalanya, membuat Beni dan teman-temannya mengangkat tangan dan terus bergoyang. Alunan musik yang menggema dan dentuman bass yang keras mendatangkan semangat mereka menjadi membara sembari bergoyang tiada henti.

Inez tidak merespons Rian. Ia hanya melihat datar lantai dansa yang riuh dipenuhi orang yang memperlihatkan kebolehannya.

Mendadak hatinya terasa perih. Sakit,  sedih. Ia begitu kosong walaupun di tempat keramaian. Andai aja semua masih sama kayak dulu, ia mungkin nggak harus mengalami kondisi seperti ini.

"Lo nggak apa-apa?" tanya Rian begitu melihat tatapan kosong dan menyedihkannya wajah itu.

Tubuh Inez tersentak dan kembali menatap Rian seraya mengerjap-ngerjapkan matanya lucu. 

Rian membeku. Mata cewek itu masih tampak sama, masih tetap sama indahnya seperti dulu. Kerjapan lucu matanya mengingatkannya ketika ia tersenyum geli akan kepolosan Inez. Bulu mata lentik itu juga masih membuatnya terpesona.

"Gu-gue nggak apa-apa," jawab Inez terbata-bata.

Belum juga Rian berkata lagi, Inez udah keburu beranjak dari duduknya dan berjalan cepat ke luar ruangan.

"Nez, tunggu!" panggil Rian.

Akan tetapi Inez memilih mengabaikan teriakan Rian. Ia terus berjalan tanpa melihat ke belakang.

Rian melangkahkan kaki lebar-lebar, mengejar perempuan yang memakai gaun biru berenda itu dan segera menahan tangannya. "Lo mau ke mana?"

"Gue mau pulang," ucap Inez dengan gelisah. 

Rian sangat cemas, sehingga tanpa berpikir panjang ia berkata, "Udah malem. Gue antar lo pulang, ya?"

Inez memandang ketulusan dari wajah Rian. Namun, sejurus kemudian ia menggelengkan kepalanya. "Gu-gue bisa pulang sendiri," ujar Inez gugup tetapi kalah akan rasa paniknya. "Lo bisa lepasin tangan gue."

Tatapan Rian tertuju pada tangannya yang masih menggenggam tangan Inez. Ia menyerah, perlahan Rian melepaskan tangannya dengan hati nurani yang diselimuti keengganan. Sedangkan Inez mengambil kesempatan untuk berlari tanpa melihat ke arahnya lagi.

Rian berdiri dalam diam. Menatap lurus tubuh Inez yang makin mengecil dalam jarak pandangnya. Seolah ada yang mencubit jantungnya, ia merasakan sakit di sana. Ia takut kehilangan kesempatan lagi untuk bertemu Inez setelah tujuh tahun lamanya.

Dering ponsel miliknya mengalihkan pikirannya sesaat. Ia mengangkat ponselnya dan mendengar nada suara yang sopan tapi formal di seberang telepon.

"Tuan Rian, Nona Dara sudah keluar restoran dari beberapa menit yang lalu."

Mendengar itu, ada kecemasan di mata Rian begitu mengingat adiknya. "Gimana keadaannya?"

"Nona Dara sepertinya ... sangat sedih, Tuan."

"Oke, thanks, ya. Sisa uangnya udah gue transfer ke rekening perusahaan kalian."

"Baik, Tuan. Terima kasih sudah menggunakan jasa kami."

Selepas Rian mematikan sambungan telepon, ia bergegas pulang ke rumah dan memutuskan mengirimkan pesan di ponsel Beni untuk cabut terlebih dulu.

***

Setibanya di rumah, Dara nggak masuk ke dalam kamarnya tapi langsung menuju ke kamar Rian. Ia berjalan menunduk sembari menyeret tali panjang dari tas kecilnya yang ia biarkan beradu dengan lantai.

Cewek yang udah memakai pakaiannya seperti semula itu masuk dan terdiam di depan pintu kamar layaknya zombi yang bosan hidup.

"Astagfirullah!" seru Rian yang terjengkang dari kursi kerjanya. "Gue kira lo hantu!!"

"Gueee ... lebih dari sekadar hantu, Kaaaak," jawab Dara super lemas. Seolah tenaganya udah terkuras habis.

Rian yang udah tiba duluan di rumah daripada Dara, kini tertawa pelan. "Ada apa lagi? Bukannya lo abis ketemu Kenn?"

"Iya, lebih tepatnya gue yang nguntit Kenn," sahutnya sambil menyeret kakinya, lalu menghempaskan punggungnya di sandaran sofa. "Gue ... udah tau siapa Kenn sekarang."

"Terus?" tanya Rian sembari berjalan dan duduk di sebelah adiknya.

"Dia cowok perfect, Kak. Malahan udah di atas batas perfect." Dara menarik napas berat. "Karena itu juga gue merasa nggak cocok sama Kenn."

"Nah, baru nyadar lo? Hahaha...."

Dara berdecak sebal. Bukan prihatin malah ketawa. Asem!

"Cowok itu selain keren, ganteng, cool, dia juga bener-bener jenius. Bukan cuma di sekolah, tapi juga di luar," lanjutnya lagi. "Dia punya banyak bawahan, bodyguard yang sekali pukul gue pasti bakalan semaput, Kak."

Rian ketawa ngakak mendengar perkataan terakhir adiknya. Sementara cewek itu hanya melirik sekilas. Tanpa mengomentari apa pun. Biar dipuas-puasin aja lah kakak satu-satunya itu tertawa. Biar seneng, biar bahagia dunia akhirat.

Dara menghela napas sejenak. Terlihat sekali masih ingin mengeluarkan unek-uneknya. "Gue sih seneng-seneng aja punya cowok sesempurna Kenn, tapi yang jadi permasalahan di sini gue yang harus ngejar dulu, sedangkan Kenn nggak punya tanda-tanda rasa suka sedikit pun sama gue. Iya kalo abis gue tembak Kenn bakal jawab juga suka gue, nah kalo dia bilang nggak suka gue terus nyuruh bodyguard-nya turun tangan, bisa mampus gue, Kak. Apalagi sesudah gue tau bokapnyaaaaaa—"

"Bokapnya kenapa?" potong Rian begitu mendapati jeda cukup panjang dari nada terakhir yang Dara ucapkan.

Dara belum melanjutkan ucapannya. Ia masih terlihat ragu dan sedih. Lebih dominan syok.

Sesungguhnya kalau boleh jujur, Rian udah tahu semuanya tentang Kenn. Karena selain jasa mata-mata yang ia sewa memberikan informasi pada Dara, sebelumnya udah ia minta kirim terlebih dulu kepadanya. Rian bukan maksud apa-apa, ia hanya ingin memantau perkembangan dan mengetahui apa yang akan adiknya lakukan selanjutnya begitu semua udah terlihat jelas begini.

Terdengar tarikan napas panjang dari Dara. "Bokapnya ternyataaa ... pemilik SMA Bakti Airlangga. Tempat sekolah gue, Kak."

"Lho, malah enak dong."

"Enak apaan! Kalo gue salah apalagi berani asal nembak cowok yang kelihatan banget nggak suka sama gue, bisa-bisa gue langsung didepak tuh dari sekolah itu nanti." Tiba-tiba Dara meraih kupluknya dan diusap-usapkan ke wajah, lalu ia lemparkan ke atas meja di depannya dengan kasar. "Gue frustrasi banget, nih."

"Coba liat gue," ujar Rian. Ia terkekeh saat melihat Dara yang menghadapnya sambil manyun. "Ada beberapa hal di dunia ini yang bisa kita upayakan, tetapi bukan berarti harus jadi milik kita," imbuhnya, kemudian mengacak puncak kepala Dara pelan. "Lo ngerti maksud kakak, kan?"

Dara mengangguk lesu. "Gue ngerti."

"Bagus."

Dara menunduk, menekuk wajahnya makin dalam. Lalu tak selang berapa lama, ia memutar tubuh ke posisi semula dan berteriak histeris, "Sekarang gue beneran nyerah ngejar lo, Kenn! GUE N.Y.E.R.A.H. NYERAH. Huuuuaaaaaaaa!!!"

............................***...............................

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status