LOGINDemi cinta, Amara menerima perjodohan dengan Tobias William Larsen. Dengan sepenuh hati, ia berusaha memenangkan cinta suaminya. Namun, ketika mantan kekasih Tobias kembali hadir, Amara tersadar—semua pengorbanannya sia-sia belaka. Tepat di malam ulang tahun pernikahan mereka, Tobias menuntut cerai. Bahkan, ia tak segan mengancam Amara. Dengan hati remuk, Amara akhirnya melepaskan semua harapannya pada Tobias dan memilih pulang ke rumah untuk menjalani takdirnya sebagai pewaris keluarga Crawford. Saat mereka bertemu lagi, Amara dan Tobias bukan lagi suami-istri—melainkan dua rival yang saling berhadapan. "Tuan Larsen, haruskah saya mengingatkan Anda sekali lagi? Kita sudah bercerai." "Amara... itu adalah kesalahan terbesar dalam hidupku. Kumohon... kembalilah padaku."
View MoreTidak ada yang lebih menyakitkan daripada duduk sendirian di meja makan marmer yang luas, menatap kosong piring-piring berisi makanan yang sudah mendingin, sementara suamimu tengah bersenang-senang bersama wanita lain di hari ulang tahun pernikahan kalian yang keenam.
Dada Amara sesak. Setiap suapan terasa hambar di lidahnya. Ia dulu berpikir, setidaknya Tobias akan mengingat kewajibannya sebagai suami di hari yang seharusnya istimewa ini. Namun harapan rapuh itu hancur berkeping-keping ketika sang detektif swasta mengiriminya serangkaian foto. Di layar ponselnya, terlihat jelas suaminya sedang makan malam romantis dengan lilin-lilin yang memantulkan cahaya lembut di kaca jendela setinggi langit-langit. Tobias memeluk wanita itu dengan hangat, senyumnya begitu lembut—senyum yang tak pernah sekalipun ia tunjukkan pada Amara. Selama enam tahun pernikahan, wajah Tobias selalu dingin dan datar saat berhadapan dengannya. Ekspresi serius tanpa kehangatan sedikitpun. Aku tahu pernikahan kami bukan dibangun atas dasar cinta, batin Amara pahit. Ini hanya kontrak bisnis belaka. Namun, sejak pertama kali bertemu pria itu saat masih remaja, Tobias telah mencuri hatinya tanpa pernah bisa ia ambil kembali. Tobias William Larsen. Nama yang tersohor di negeri ini. Bukan hanya karena wajahnya yang sempurna, tetapi juga kecerdasan otaknya yang memukau. Pewaris tunggal keluarga Larsen yang melegenda. Berapa banyak wanita yang bermimpi tentang kisah cinta dengan pria sempurna itu? Namun Tobias menikah muda, dan yang lebih membuat para wanita terpesona—ia dikenal sebagai suami yang sangat setia. Sejak pernikahannya dengan seorang wanita misterius yang tak pernah terekspos media, namanya tak pernah tercoreng skandal apapun. Wanita mana yang tidak menginginkan pria seperti itu? Namun hanya Amara yang tahu kebenarannya. Pernikahan mereka tak lebih dari topeng untuk menjaga reputasi Tobias. Ia membutuhkan pernikahan yang stabil untuk membangun citra sempurna di mata publik. Tetapi di balik pintu tertutup, ketika hanya berdua, Tobias bahkan enggan meliriknya sekalipun. Perhatian? Jangan harap. Cinta? Mimpi di siang bolong. Semua cinta Tobias hanya untuk wanita itu. Wanita di dalam foto. Cinta pertama dan satu-satunya. Celestine. Dan itulah yang menghancurkan Amara pelan-pelan. Tak peduli seberapa banyak ia telah mengorbankan dirinya, ia tak akan pernah mendapatkan cinta itu. Sementara Celestine hanya perlu tersenyum atau menangis, maka Tobias akan berlari kembali padanya—tak peduli betapa dalam wanita itu telah menyakitinya enam tahun lalu. Amara memperbesar foto di layar ponselnya, mencoba mencari secuil rasa bersalah di wajah tampan Tobias. Sia-sia. Tak ada. Sejak Gustavo—kakek Tobias—meninggal, Amara tahu pernikahan mereka akan menghadapi ujian terberat. Namun ia tak menyangka akan secepat ini. Tobias begitu tak sabar untuk mendapatkan cinta pertamanya kembali, bahkan jika itu akan menghancurkan reputasi yang telah susah payah ia bangun. Ting! Sebuah pesan masuk ke ponselnya. Dari nomor tak dikenal, tetapi dari nada congkak dan sinis dalam kalimat-kalimatnya, Amara tak perlu berpikir dua kali untuk tahu siapa pengirimnya. [Bagaimana rasanya ditinggalkan sendirian di hari ulang tahun pernikahanmu?] Celestine. [Kau pikir sudah menang setelah trik kotormu memaksa Tobias meninggalkanku? Sekarang pria tua itu sudah mati dan tak ada lagi yang akan membela sampah sepertimu! Tunggu saja, Amara. Hari-harimu yang indah sudah berakhir!] [Nikmati momen terakhirmu sebagai Nyonya Larsen, karena posisi itu akan segera menjadi milikku!] Amara mengatupkan rahangnya kuat-kuat. Ia bisa membayangkan betapa sombongnya wajah Celestine saat mengetik pesan-pesan itu. Bagaimana bisa wanita itu memutar balik fakta dengan begitu tidak tahu malu? Amara tak pernah memaksa Tobias untuk putus dengan Celestine! Justru Celestine-lah yang meninggalkan Tobias demi sejumlah besar uang yang ditawarkan Gustavo. Wanita itu gagal dalam ujian yang diberikan Gustavo, namun kini menyalahkan semua kegagalannya pada Amara! Beraninya! Amara masih mengingat dengan jelas apa yang dikatakan Gustavo di ranjang kematiannya. Pria tua yang bijaksana itu memintanya untuk menjaga cucunya, untuk mempertahankan pernikahan ini. Amara tidak tahu apa yang dilihat Gustavo pada dirinya, tetapi sampai napas terakhirnya, Gustavo masih percaya bahwa Amara adalah satu-satunya yang bisa membawa kebahagiaan untuk Tobias. Sulit bagi Amara untuk mengatakan tidak pada pria tua yang telah begitu baik padanya. Gustavo adalah satu-satunya orang di keluarga Larsen yang memperlakukannya dengan hangat. Jika bukan karena Gustavo yang memberikannya tempat tinggal dulu, Amara mungkin tak akan pernah bertahan sampai hari ia bertemu kembali dengan keluarganya. Menarik napas dalam, Amara mengetik sebuah pesan untuk suaminya. Pesannya singkat, tetapi ia tahu Tobias pasti akan segera pulang. Tidak sampai setengah jam, pintu kamar tidurnya dibanting terbuka dengan keras. Tobias berdiri di ambang pintu dengan wajah penuh amarah. Tanpa berkata apa-apa, ia melangkah cepat menghampiri Amara dan mendorongnya hingga terjatuh ke atas kasur. Tangannya bergerak kasar, merobek gaun tidur sutra yang melekat di tubuh Amara. "Tobias!" Amara berteriak, mencoba menghentikannya dengan kedua tangan. Bukan ini yang ia inginkan. Ia memanggil Tobias pulang karena ingin bicara, menyelesaikan semua ini dengan kepala dingin. Jika memang mereka ditakdirkan untuk mengecewakan Gustavo, setidaknya biarlah pernikahan mereka berakhir dengan terhormat. Namun pria di atasnya tak mempedulikan protesnya. Ia mulai mengigit daun telinga Amara, mengisap dan menggigit kulit sensitif di sana hingga Amara menggeliat tak berdaya. "A-ah, Tobias," panggilnya dengan suara terengah, tangannya masih berusaha mendorong dada bidang Tobias. Tobias menggeram rendah—jelas tak senang dengan perlawanannya. Tanpa ampun, ia menyematkan kedua lengan Amara di atas kepalanya, menahan pergelangan tangan ramping itu dengan satu tangan besar. Tangan satunya menelusuri lekuk tubuh Amara, berhenti sejenak untuk mencubit dan memainkan puting yang mengeras, sebelum turun lebih rendah dan menggesek kain tipis celana dalamnya. "Ah..." Desahan lolos dari bibir Amara tanpa bisa ia tahan. Jari-jari Tobias menemukan klitoris sensitifnya, membelainya dengan gerakan memutar yang membuat seluruh tubuh Amara menegang. Tobias tak berhenti. Ia terus menggodanya, memainkan titik paling sensitif itu hingga celana dalam Amara basah dan pahanya bergetar hebat. "T-Tobias," Amara merengek, suaranya dipenuhi gairah yang cepat membangun di dalam tubuhnya. Tak lama kemudian, di bawah sentuhan terampil Tobias, gelombang klimaks menerpa Amara dengan dahsyat. Terengah-engah, Amara hampir tak punya waktu untuk memproses apa yang baru saja terjadi ketika ia merasakan kejantanan keras Tobias memasuki tubuhnya, meregangkannya untuk mengakomodasi ukuran besarnya. "Ah..." Amara mengerang, matanya terpejam erat. Tobias mengeluarkan desahan rendah yang membuat dinding dalam Amara mencengkeram kuat dan intinya berdenyut-denyut. Ia membenamkan wajahnya di ceruk leher Amara, mengigit dan mengisap kulit halus di sana sambil menarik pinggulnya hampir sepenuhnya keluar, sebelum membantingnya kembali dengan keras. Amara mengerang panjang dan menggeliat, tangannya—yang entah kapan terlepas—bergerak meraih rambut coklat Tobias. Jari-jarinya menggenggam dan melepas helai-helai itu dengan gelisah. Ruangan dipenuhi suara persenggamaan—kulit bertemu kulit, erangan Amara yang tertahan, dan derit ranjang di bawah berat tubuh mereka. Di tengah semua itu, perasaan Amara berkecamuk hebat. Tadi ia terluka, kesal, marah pada semua perbuatan Tobias. Namun sekarang, dengan tubuh hangat pria itu menutupi tubuhnya, ukuran besarnya yang mengisi dan meregangkannya, memberinya segala macam kenikmatan yang membuat pikirannya melayang—ia tak bisa menemukan kemauan untuk tetap marah atau merasa sakit hati. Sebaliknya, ia merasa... dicintai. Memang bodoh. Sangat bodoh. Tetapi ia ingin percaya bahwa mungkin, hanya mungkin, Tobias tak pulang karena pesan yang ia kirim tadi, melainkan karena ini adalah hari ulang tahun mereka dan ia ingin membuat Amara merasa dicintai dan diinginkan. Dengan pikiran rapuh itu dalam benaknya, Amara melingkarkan kedua kakinya di pinggang Tobias, menariknya lebih dekat dan lebih dalam. Tobias mengerang, pinggulnya bergerak lebih cepat dan brutal. Amara berteriak, dinding vaginanya mengencang di sekeliling kejantanan Tobias, menariknya lebih dalam lagi. "To-Tobias, aku—" Amara tergagap, napasnya tercekat di tenggorokan saat merasakan orgasme kedua mendekat. "Keluarkan," Tobias menggeram rendah, suaranya serak penuh gairah. Kemudian ia melakukan sesuatu yang sangat jarang—bahkan hampir tidak pernah—ia lakukan. Tobias membungkuk dan menangkap bibir Amara dalam sebuah ciuman, mengembungkan harapan-harapan rapuh yang tersisa untuk pernikahan mereka. Tak butuh waktu lama. Seluruh tubuh Amara menegang, matanya terpejam erat, kukunya menancap ke kulit punggung Tobias, dan ia mencapai puncak untuk kedua kalinya. Tobias tak berhenti. Ia terus menumbuk, gerakannya semakin liar dan kehilangan ritme hingga akhirnya pelepasannya sendiri menyusul tak lama kemudian. Kelelahan, Tobias menarik tubuhnya dan berguling ke samping, berbaring di ruang kosong di sebelah Amara. Untuk beberapa saat, satu-satunya yang bisa didengar Amara adalah napas mereka yang terengah-engah dan detak jantung yang masih berpacu kencang. Keringat membasahi tubuh mereka. Amara menatap langit-langit kamar dengan pikiran kosong, masih mencoba mengumpulkan kesadarannya yang buyar. Namun kemudian, kata-kata yang keluar dari bibir Tobias terasa seperti pisau tajam yang ditikamkan langsung ke jantungnya. "Kita tidak perlu melanjutkan sandiwara pernikahan ini lagi, Amara." Suara Tobias datar, dingin, tanpa emosi. "Ayo bercerai."Lorenzo menyebut nama Tobias dengan nada yang membuat darahnya mendidih. Entah karena cara pria itu mengucapkannya, atau bagaimana ia terdengar begitu percaya diri saat membicarakan Amara, seolah-olah dia tahu segalanya tentang wanita itu. Tobias menatapnya tajam, menahan diri agar tidak langsung meledak. “Amara menginginkan kebebasan, Tobias,” kata Lorenzo santai, menyilangkan tangan di dada. “Dia ingin hidup tanpa bayangan masa lalumu.” Nada suaranya terdengar terlalu ringan, terlalu menantang. Tobias mengepalkan tangan di sisi tubuhnya. “Dan kau pikir kau tahu apa yang dia mau?” tanyanya dingin. Lorenzo tersenyum tipis. “Aku tahu cukup banyak. Cukup untuk menyadari bahwa dia sudah berhenti menunggumu.” Kata-kata itu menusuk seperti pisau. Tobias diam selama beberapa detik, berusaha memahami apa yang baru saja didengarnya. Ia menatap pria di hadapannya dengan rahang mengeras. “Kau berbicara seolah-olah kau tahu segalanya tentang Amara,” ucapnya pelan tapi tajam. “Aku tahu apa
Menatap nama yang tertera di layar ponselnya, Tobias sempat mengira akan muncul sesuatu di dadanya—amarah, mungkin, terhadap Celestine, wanita yang kini menjadi pusat skandal akibat foto-foto yang tersebar. Namun yang ia rasakan justru kekosongan. Bukan kemarahan, bukan kepedihan, hanya hampa yang dingin. Seolah seluruh emosinya telah terkuras, meninggalkan ruang kosong yang tak berisi apa pun. Ada penolakan yang samar di dalam dirinya. Penolakan terhadap Celestine, terhadap masa lalu, bahkan terhadap dirinya sendiri. Segalanya masih terlihat utuh di permukaan—hubungan yang masih bertahan, kehadiran Celestine yang belum pergi—namun jauh di dalam hatinya, Tobias tahu semua itu hanya bayangan yang tersisa. Yang ada kini hanyalah jarak. Dan di balik jarak itu, kelegaan aneh menyelinap, seolah kehilangan sesuatu yang seharusnya memang tidak pernah ia genggam. Dengan tatapan kosong, Tobias membiarkan ponselnya berdering lebih lama dari seharusnya sebelum akhirnya ia mengangkat. “Halo?”
Properti pertama yang Tobias beli dengan hasil kerja kerasnya sendiri adalah rumah tempat ia tinggal saat ini. Sebuah kediaman megah berwarna krem lembut, berdiri anggun di kawasan paling eksklusif di kota—tersembunyi, tenang, namun penuh kemewahan yang tidak mencolok. Ada sepuluh kamar tidur, kolam renang indoor dan outdoor, taman luas yang selalu terawat, tiga dapur, dan sebuah kantor pribadi. Bagi kebanyakan orang, rumah itu sudah seperti istana. Tapi bagi keluarga Larsen, yang terbiasa hidup dalam kemewahan berlebihan, tempat ini justru dianggap sederhana. Berkali-kali keluarganya menyuruhnya pindah ke mansion keluarga di pusat kota, tapi Tobias menolak. Entah kenapa, rumah “sederhana” ini terasa jauh lebih nyaman baginya dibanding semua tempat mewah lain yang pernah ia tinggali. Kini, ketika langkah kakinya menyusuri lorong panjang yang sunyi, Tobias baru benar-benar mengerti alasannya. Ia berhenti di ruang tamu, memandang ke sekeliling, membiarkan pandangannya menelusuri s
Tamparan yang melayang dari tangan Amara bukanlah sesuatu yang direncanakan. Gerakannya spontan, secepat kilat, lahir dari luapan emosi yang tak sempat ia kendalikan. Suara keras tamparan itu menggema di ruangan sempit, memantul di antara dinding dan jantungnya yang berdebar tak karuan. Udara tiba-tiba terasa menegang, seperti berhenti bergerak sesaat. Amara menatap tangannya yang masih terangkat, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia lakukan. Pipinya sendiri terasa panas dan memerah, bukan karena disentuh, melainkan karena rasa kaget yang menghantam dirinya sendiri. Tubuhnya bergetar halus, jantungnya berdegup kencang hingga terasa menyakitkan di dada. Di hadapannya, Tobias berdiri kaku. Tatapan pria itu menusuk tajam, begitu dingin hingga membuat bulu kuduk Amara berdiri. Mata gelap Tobias menyala, menahan amarah yang jelas bergolak di dalam dirinya. Tidak ada kata yang keluar, hanya udara tegang yang menggantung di antara mereka. “Kenapa kau ada di sini?” suara Tobias
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.