Serena menyahut dengan suara dipenuhi kebencian yang membuat Vivian bergidik. “Kalian kan tau sendiri alasanku nikah sama Barry. Aku dipaksa almarhum Papa. Menurut Papa, Barry adalah laki-laki terbaik yang cocok untukku. Kalau aku nolak, Papa akan mastiin karierku ikut mati. Papa juga mengancam nggak akan mengakuiku sebagai anak setelah … yah … kalian tau sendiri. Waktu itu, aku ngerasa buntu dan nggak punya pilihan.”
Vivian mulai merasa keringat dingin membuat kausnya mulai lembap. Dia tidak pernah tahu jika pernikahan orangtuanya berdasarkan paksaan kakeknya. Namun dia tak terlalu kaget dengan fakta itu mengingat sikap dingin Serena kepada Barry.
“Kamu terlalu ceroboh, sih! Punya karier cemerlang, dikenal se-Indonesia, tapi bisanya nggak hati-hati. Udah tau selalu ada wartawan yang menguntitmu, tapi malah bikin kesalahan fatal. Sampai akhirnya ketauan punya hubungan terlarang,” respons perempuan dengan rambut dicepol. “Kala
Robin masuk ke kamarnya menjelang pukul sepuluh malam waktu setempat. Rudi yang menjadi teman sekamarnya sudah terlelap dan mendengkur lumayan keras. Di luar, masih banyak bule yang duduk-duduk di halaman sambil mengobrol. Tampaknya, udara dingin tidak membuat mereka bergegas masuk ke kamar. Sebagian hendak menuju Annapurna Base Camp, sisanya sudah hampir menyelesaikan pendakian.Perjalanan hari pertama itu –bisa dibilang- belum menyuguhkan pemandangan menakjubkan. Sesekali mereka memang melihat puncak Machapuchare atau dikenal juga dengan nama Fish Tail Montain. Bahkan dari jauh pun gunung itu terlihat begitu angkuh sekaligus agung. Sayang, Machapuchare terlarang bagi para pendaki karena menjadi tempat suci dalam agama Hindu. Para pemeluk agama tersebut meyakini bahwa puncak gunung itu adalah tempat tinggal Dewa Siwa.Setelah membaringkan tubuh di atas ranjang single yang cukup nyaman, barulah Robin benar-benar menyadari rasa pegal yang mendera kakinya.
Esok paginya, mereka melanjutkan perjalanan tepat pukul setengah delapan. Satu hal yang baru disadari Robin, orang-orang Nepal sangat tepat waktu dan memiliki disiplin yang tinggi. Juga sikap ramah yang ditunjukkan tanpa henti, membuat para turis merasa diterima dengan tangan terbuka. Sapaan “Namaste” yang kadang diikuti dengan kedua telapak tangan ditangkupkan di depan dada, cukup sering diterima Robin dan teman-temannya.Tampaknya, tidak ada yang merasa heran melihat sikap manja Nania yang tak jua berkurang. Serta keluhan-keluhan yang mulai terdengar saat mereka hendak sarapan. Ben dan Pravin sepertinya sudah berdiskusi panjang untuk menghadapi Nania yang terlalu sering meminta waktu beristirahat. Itu dugaan Robin. Karena tepat sebelum mereka mulai melakukan trekking, Ben membuat pengumuman.“Kemarin kita terlalu lambat karena sering berhenti. Alhasil nyampe Jhinu Danda aja udah gelap. Hari ini, target kita bisa nginep di desa yang namanya
“Makasih, Vi,” kata Robin dengan suara kaku. Dia berdeham pelan untuk mengatasi kecanggungan yang mendadak membuat dirinya merasa tak nyaman.“Barusan kamu kayak hantu, tau! Sunblock nemplok di sana-sini,” canda Vivian. “Kamu nggak bawa topi, Bin? Kalau ada, pakai topinya. Sunblock aja nggak cukup untuk ngelindungi kulit. Tuh, Allan pun kulitnya terbakar padahal udah pakai topi juga. Dia malah bolak-balik pakai sunblock. Tapi tetap aja.”Robin belum sempat memberi respons karena Ben mengumumkan bahwa mereka sudah bisa melanjutkan perjalanan. Kini, rombongan itu harus menyusuri jalan menurun yang cukup jauh. Hingga mereka melewati jembatan gantung dengan air berwarna toska.Robin menyusul Vivian, Carlo, dan Rudi yang tadinya berjarak beberapa meter di depan cowok itu karena mereka harus berhenti selama beberapa menit di ujung jembatan. Pasalnya, dari arah seberang ada beberapa ekor keledai yang bersia
Dua setengah tahun lalu.Robin menjadi salah satu orang paling panik saat Fida tak muncul di kampus selama berhari-hari. Cowok itu tak bisa melupakan hari terakhir dia bertemu dengan Fida. Hari itu tanggal 17 Mei, Robin dan semua mahasiswa yang mempelajari tentang sidik jari, berada di salah satu fasilitas pelatihan Sydney Forensic Sciences University.Universitas menyediakan sebuah bangunan berukuran cukup besar dengan berbagai ruangan. Rumah itu digunakan untuk mempelajari aneka pengetahuan demi mendukung ilmu forensik. Kali ini, Robin dan teman-temannya akan mencari tahu lebih detail tentang sidik jari.Cowok itu masih bisa mengingat dengan jernih pakaian yang dikenakan Fida. Kaus merah berleher tinggi serta celana jins berwarna krem. Saat itu, Robin curiga bahwa temannya sedang menyembunyikan “sesuatu” di lehernya lagi. Namun dia tidak punya kesempatan untuk menginterogasi Fida karena harus berkonsentrasi pada penjelasan dosennya.“I
Hari kedua pendakian, mereka menginap di Bamboo yang berada di ketinggian 2300 mdpl. Vivian dan teman-temannya tiba di desa itu sekitar pukul setengah lima sore. Medan yang berat antara Chomrong-Bamboo membuat mereka menghabiskan waktu di jalan lebih lama dibanding hari sebelumnya.Sepanjang perjalanan, Vivian banyak mengobrol dengan teman-temannya. Terutama Robin. Cowok itu mungkin tidak sesupel Allan atau seiseng si kembar. Robin terkesan agak serius, malah. Namun Vivian merasa nyaman berinteraksi dengan cowok itu. Bisa jadi karena mereka punya sejarah pertemuan yang cukup menarik.“Aku beneran masih penasaran soal kerjaanmu, Vi. Jadi ‘pengganti’ untuk Cynthia Pasha,” kata Robin tadi. “Sesulit apa kerjaanmu?”“Ssst, jangan dibahas lagi. Aku nggak bisa jelasin detailnya,” jawab Vivian, meminta pemakluman. “Maaf ya, Bin.”Cowok itu tersenyum rikuh. “Aku yang minta maaf karena malah banyak n
“Ya iyalah, Vivian lebih pas sama Robin ketimbang Rafli,” Allan menambahkan tanpa perasaan. “Ada komen, Bin? Mau bantah atau udah punya cewek? Baik yang masih diincar atau udah jadian?”Vivian menahan napas. Allan sengaja memancing perang. Sejak kemarin, cowok itu memang mengeluhkan sikap Nania yang menurutnya berlebihan dan mengganggu kenyamanan yang lain. Denny pun tampaknya berpendapat sama. Sementara yang lain memilih untuk tidak terlalu frontal mengungkapkan opininya.“Kalian serius mau nyomblangi kami?” Robin malah menoleh ke arah Vivian sambil menyenggol bahu gadis itu. “Gimana menurutmu, Vi? Aku memenuhi kriteria cowok idamanmu nggak, sih?”Vivian mengaduh dalam hati. Dia sengaja menggeleng samar, mengirim pesan kepada Robin bahwa kalimat cowok itu hanya membuat semuanya kian parah. Beruntung Ben memberi aba-aba agar mereka melanjutkan perjalanan, sehingga Vivian tak perlu merespons pertanyaan yang menyusah
Seperti tea house pada umumnya, tempat mereka menginap tergolong sederhana. Namun kondisinya bersih, mulai dari kamar-kamar hingga toilet. Air panas selalu tersedia meski para pengguna harus membayar dengan harga tertentu. Semakin dekat dengan Annapurna Base Camp, semakin mahal pula tarif air panas dan penginapan. Namun tampaknya tidak ada yang merasa keberatan karena tetap saja tergolong murah. Belum lagi keramahan para warga lokal yang mengesankan.“Waktu aku ke Tibet tahun lalu, kondisi tea house-nya beda banget sama di Nepal,” simpul Allan yang memang sudah cukup sering bepergian ke tempat-tempat eksotis. Cowok itu sepertinya terobsesi dengan area sekitar pegunungan Himalaya. “Toiletnya di Tibet yang paling parah. Sama kayak di China, meski nggak di semua tempat, sih. Nyari air susahnya minta ampun. Udah kayak keajaiban dunia ke sebelas.”Rafli buru-buru menambahkan. “Iya, kakakku juga ngomong gitu. Dia pernah ke Indi
“Perasaan itu nggak bisa dipaksa, Nania. Mati-matian pun kamu usaha, kalau pihak sono nggak punya rasa apa pun, ya bakalan gagal. Dan kalau udah kayak gitu, tolong jangan nyari kambing hitam. Mungkin aja Robin enek karena kamu terlalu over atau agresif. Introspeksi diri itu penting.” Dia menarik napas. “Sementara soal apakah aku suka atau nggak sama Robin, nggak ada kaitannya sama kamu. Jadi, aku nggak perlu ngasih jawaban apa pun.”Ketika meninggalkan kamarnya, Vivian merasa kata-katanya sangat jahat. Namun dia menahan diri agar tidak berbalik dan meminta maaf pada Nania. Sesekali, gadis itu harus belajar untuk menerima kenyataan. Sayang, perasaan bersalah Vivian menyiksanya tatkala esoknya Nania dipastikan tidak bisa melanjutkan trekking karena terkena AMS.“Jadi, Nania bakalan nunggu kita di Deurali?” tanya Rudi pada Ben.“Nggak, Nania bakalan turun. Mungkin nanti kita akan ketemu dia lagi di Pokhara. Pravin