“Pernah, berkali-kali malah. Tapi sampai sejauh ini aku bisa bertahan. Pokoknya, aku selalu berusaha menyibukkan diri. Supaya nggak punya waktu mikirin soal minuman lagi.” Cowok itu mengangkat gelas kopinya. “Lima tahun terakhir ini aku cuma minum macam-macam kopi.”
“Wah, kalau gitu nanti kamu harus datang ke toko roti papaku. Kami juga nyiapin kopi aneka rasa. Kebanyakan idenya dari aku,” ungkap Vivian dengan bangga. Gadis itu tertawa geli karena kata-katanya sendiri. “Toko roti papaku namanya Super Bakery. Aku jamin, kami akan nyiapin kopi-kopi enak yang rasanya unik.”
Robin memandang Vivian dengan penuh ketertarikan. Alisnya terangkat. “Serius?”
“Apanya?” balas Vivian bingung.
“Itu, kopi enak dan rasanya unik?”
“Yup!” tegas Vivian, diikuti dengan anggukan mantap sebagai penegasan.
Seperti kata-kata Ben, perjalanan pulang ke tea house d
“Nggak usah ngerasa bersalah, Bin. Tante Diana itu memang jahat, kok! Tega banget bikin anak umur sebelas tahun sampai kecanduan alkohol.” Gadis itu menghela napas. “Aku simpati sama kamu, bukan kasian lho ya. Jangan salah paham. Aku tau gimana rasanya ditolak sama orang-orang yang seharusnya jadi yang terdekat sama kita,” gumam Vivian.Gadis itu mungkin tidak akan tahu seperti apa penderitaan yang harus dilewatkan oleh Robin. Namun dia memiliki pengalaman yang bisa dibilang cukup mirip dengan apa yang dilalui oleh Robin di masa remajanya.Robin tertawa tapi terdengar pahit. “Oh ya? Memangnya kamu punya pengalaman buruk apa? Aku kok nggak percaya.”Vivian berhenti. Robin pun ikut-ikutan. Rudi dan Carlo melewati mereka, sibuk mengobrol tentang rencana untuk mendaki Rinjani akhir tahun ini. Gadis itu menatap Robin dengan serius. “Aku saranin, kamu harus percaya.”“Oh ya? Harus ada alasannya dong, Vi.&rdq
Tubuh gadis itu tergelincir dan akan terjerembap ke jalanan berbatu di depannya jika tidak bisa menemukan pegangan. Refleks, tangannya menggapai ke arah Robin. Begitu jari-jari Vivian menyentuh bagian depan jaket Robin, dicengkeramnya sekuat tenaga.Vivian memang tidak terpeleset karena Robin menyelamatkannya. Namun, posisi tubuh mereka menjadi sumber kehebohan baru. Saking takutnya terjatuh, gadis itu memeluk Robin dengan erat. Dia tidak tahu bagaimana cengkeraman di jaket bagian dada bisa berakhir dengan memeluk cowok itu. Sementara tangan kiri Robin melingkari bahu Vivian.“Ciee … ada yang bikin adegan klise sinetron berdua. Ceweknya mau jatuh, trus ditolongin, berakhir dengan posisi intim yang bikin deg-degan. Cuma Robin dan Vivian yang bisa kayak begitu. Setelah Nania nggak ada, kayaknya semesta makin mendukung.”Siapa lagi yang bisa seusil itu jika bukan Allan? Kalimat cowok itu masih dilengkapi dengan suitan nakal yang mengundang gelak.
Cowok itu memberi isyarat agar mereka kembali berjalan. Udara terasa makin dingin oleh tiupan angin yang cukup kencang. Sementara jarak dengan teman-teman mereka sudah kian jauh. Robin mendadak mengulurkan tangan kanannya.“Aku pegangi kamu ya, Vi. Jangan sampai kamu terpeleset lagi,” ucap Robin sembari melambankan langkah. Tawaran itu membuat Vivian menatap Robin sesaat.“Nggak usah dipegangin, kayak orang cacat aja. Aku bakalan lebih hati-hati,” janji Vivian. Namun Robin tampaknya tak sepakat.“Waspada itu penting. Karena aku nggak mau teman curhatku kenapa-napa. Kayaknya kita punya banyak hal yang bisa dibagi. Dan aku yakin, sesi berbagi cerita ala kita masih jauh dari selesai. Aku masih punya banyak kisah-kisah mengejutkan,” argumen Robin.Tanpa menunggu jawaban Vivian, Robin memegang tangan kanan gadis itu. Robin tetap tidak melepaskan tangannya hingga mereka tiba di tea house.*
Tatapan tajamnya dialihkan ke arah Vivian. Gadis itu merasakan kebencian yang berkobar-kobar di mata ibunya. Selama ini, tak pernah Vivian melihat sikap permusuhan sebesar itu yang ditujukan untuk dirinya.“Serena! Kamu nggak pantas ngomong kayak gitu. Jangan nyalahin Vivian untuk masalah kita. Kalau menurutmu aku yang salah dan punya segudang dosa, oke! Aku nggak keberatan. Tapi jangan tuduh Vivian jadi penyebab hal-hal buruk dalam hidupmu,” tukas Barry dengan nada tegas yang tak pernah didengar putrinya. “Dia sama sekali nggak bersalah. Justru dia yang menjadi korban karena punya orangtua egois seperti kamu dan aku.”“Jadi, kamu mau aku nyalahin siapa? Nyatanya, kamu dan Vivian memang jadi biang kerok untuk kesusahanku, kok!” Serena mengangkat dagunya dengan sikap menantang. “Kalau kamu nggak pernah bujukin Papa supaya nikahin kita, hidupku nggak akan kayak begini. Aku pasti bahagia bareng orang yang kucintai.”H
Bagi Robin, diabaikan saudara tirinya memang sesuatu yang menyakitkan. Namun dia tak pernah mengira jika Vivian mengalami hal yang jauh lebih buruk lagi. Seorang ibu adalah sosok terdekat bagi anak. Jika gadis itu tak pernah merasakan kasih sayang ibunya, Robin tak berani membayangkan kesedihan yang dialami Vivian.Dia memang cuma memiliki waktu sebelas tahun bersama ibunya. Namun selama itu pula Robin bisa sangat yakin bahwa dia melewati setiap detiknya dengan kebahagiaan melimpah. Ayah kandung yang sebelumnya dikira Robin sudah mati pun, sejak mereka bertemu, tak pernah memperlakukannya dengan dingin. Intinya, Robin merasa dicintai. Walau tentu saja hubungan dengan Ariel tak langsung akrab dan cair.“Aku memang beruntung. Walau mamaku cuma selingkuhan, tapi aku nggak merasakan penolakan dari papaku sama sekali,” kata Robin pada salah satu relawan saat terakhir kali menjalani proses rehabilitasi. “Itu yang sekarang ini bikin aku pengin beneran bersih
Robin terbahak-bahak mendengar ucapan Allan. Sementara Vivian malah sengaja menyenggol bahunya. “Itu beneran, ya? Papa kamu punya toko perhiasan?”“Iya,” balas Robin pendek di sela-sela tawanya.Gadis itu berlagak serius saat bicara lagi. “Allan bener juga. Masa depanmu cerah, Bin. Kalau kamu memang naksir aku, jangan sungkan untuk pedekate. Karena aku memang mempertimbangkan cowok-cowok bermasa depan bagus.”Seiring tawa teman-temannya, Allan yang duduk tak jauh dari Vivian langsung bangkit dari kursinya. Dia menjewer kedua telinga sepupunya dengan gemas. “Dasar drakula! Susah banget bikin anak ini tersipu-sipu. Padahal tadinya aku udah semangat karena dapat bahan untuk nge-bully kamu. Eh, anaknya malah adem aja.”Vivian mengusap telinganya sambil mencibir ke arah Allan. “Kenapa kamu nggak nyari keisengan yang lain, sih? Senengnya kok nge-bully orang. Aku bilangin Tante Debby ntar. B
“Aku sudah pernah ke Everest Base Camp. Tapi, situasinya berbeda dengan perjalanan ke Annapurna Base Camp ini. Kondisi tea house-nya memang kalah bagus. Tapi, keramahan penduduk setempat dan sesama pendaki, berbeda. Riap kali ke sini, aku merasa jauh lebih nyaman dan diterima. Itulah sebabnya aku berkali-kali ke sini dan rasanya nggak akan bosan.”Lalu ada pasangan muda asal Australia yang sehari-harinya aktif di organisasi lingkungan hidup. Mereka baru menikah dan memilih berbulan madu dengan mengunjungi Annapurna Base Camp. Juga ada pasangan paruh baya asal Jepang yang mengajari semua orang membuat origami. Sang istri ternyata ahli origami yang cukup punya nama di negaranya.Hawa dingin yang memerangkap di halaman tea house itu tidak membuat orang-orang menyerah. Pemandangan yang terlalu spektakuler dan teman-teman baru dengan pengalaman menakjubkan menjadi kombinasi yang terlalu sayang untuk dilewatkan. Seolah semua orang ingin menikmati hari it
Esoknya, tampaknya semua orang membuka mata dengan energi yang langsung mengalir ke pembuluh darah. Minimal, itu ditunjukkan oleh reaksi teman sekamar Robin .“Selamat pagi, Bin,” sapa Rudi penuh semangat begitu membuka mata. Robin yang juga baru bangun, tertawa kecil.“Semangat betul kamu hari ini,” ucapnya.“Karena hari ini kita akan pulang, ninggalin tempat ini. Periode mendaki udah nyaris kelar. Tinggal perjalanan menurun. Walau kalau ingat kondisi di Chomrong, lututku langsung berteriak minta diselamatkan,” oceh Rudi. “Kamu mau mandi atau nggak? Dinginnya kayak begini. Kalau aku, cukup cuci muka dan sikat gigi aja.”“Aku tetap mandi. Kan ada air hangat,” balas Robin. “Kalau kamu, aku sih nggak heran. Di Jakarta pasti jarang mandi juga. Apalagi di sini, memang dingin banget. Jadi ada alasan untuk absen mandi,” ledeknya.Ketika hendak sarapan, Vivian sudah berada di ruang ma