Al berdiri di bawah pohon besar, matanya tetap tertuju pada mobil yang perlahan menjauh. Meski jarak antara mereka semakin jauh, sosok Rania seolah masih tertinggal dalam pandangannya. Tatapannya dalam, penuh perasaan yang sulit ia ungkapkan. Rasa yang tiba-tiba muncul di dadanya itu membuatnya terdiam. Al menggigit bibir bawahnya, mencoba mengusir perasaan aneh yang mulai menggelora. Tiba-tiba, wajah Nadia, tunangannya, melintas dalam benaknya. Dia sudah memiliki Nadia, dan dia tahu apa yang dia rasakan terhadapnya. Tapi kenapa, setelah bertemu Rania, semuanya seolah kabur, bercampur menjadi satu perasaan yang sulit ia jelaskan? "Ini tidak benar," gumamnya pelan. "Aku sudah ada Nadia." Namun, meski ia mengingat tunangannya, ada sesuatu yang tetap mengikat dirinya pada Rania—sesuatu yang tak bisa ia tangkap, tak bisa ia tafsirkan dengan jelas. Al menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, tapi hatinya tetap terasa bergejolak. Langkah kaki Al terasa berat saat ia berb
Langit sore menggantung rendah, memancarkan cahaya keemasan yang lembut, memantul di permukaan motor Al yang baru saja berhenti di halaman kecil rumahnya. Al membuka gerbang besi rumahnya dengan satu tangan, helm masih menempel di kepala, sementara anggrek putih tergenggam di tangan lainnya. Rumahnya sederhana, berdinding batu bata yang dicat putih kusam, lebih kecil dan jauh dari kesan mewah seperti rumah Bima. Tapi rumah ini adalah miliknya, dan biasanya terasa cukup. Begitu ia mendekat, aroma rempah dan manis madu menyeruak dari celah jendela dapur yang sedikit terbuka. Ia tahu aroma itu. Nadia. Lampu ruang tengah sudah menyala, membentuk siluet bayangan di tirai tipis. Tak perlu mengetuk, tak perlu memanggil, Nadia punya kunci cadangan, dan ia tahu pasti bahwa perempuan itu telah lebih dulu masuk dan menghidupkan rumah itu dengan caranya sendiri. Dan entah kenapa, langkah Al terasa sedikit lebih berat dari biasanya. Al membuka pintu rumahnya pelan. Suara engsel yang ber
Langit mulai meredup, jingga perlahan berganti kelabu. Lampu-lampu rumah tetangga satu per satu menyala, membentuk gugusan cahaya kecil di sepanjang jalan. Di dalam rumah, keheningan menggantung setelah kejadian di sofa tadi. Televisi masih menyala, tapi tak satu pun dari mereka memperhatikannya. Al berdiri mematung di dekat jendela, menyandarkan satu tangan di kusen, menatap keluar. Udara sore mulai berganti dingin, tapi yang lebih menusuk adalah kegelisahan di dalam dadanya. Tiba-tiba, langkah pelan terdengar dari belakang. Tanpa suara, Nadia menghampiri dan memeluknya dari belakang—erat, hangat, seolah ingin mengikat Al kembali dalam kebersamaan mereka. Dagu perempuan itu menyentuh punggung Al, sementara tangannya melingkar di pinggang pria itu. “Aku kangen kamu, Al… Bahkan pas kita lagi bareng pun, aku masih suka kangen,” bisiknya pelan. Al menutup mata sejenak. Pelukan itu seharusnya membuatnya merasa damai. Tapi justru dadanya semakin sesak. Dengan lembut, Al mengangka
Rania ragu, tapi akhirnya mengangguk pelan. “Silakan.” Bima melangkah melewati pintu, pandangannya sempat menyapu ruangan, lalu kembali menatap Rania. “Aku cuma mau pastikan kalian baik-baik aja,” ucapnya. “Dan… soal makan malam tadi, aku serius.” Rania mengangkat alis. “Aku belum memberikan jawaban Mas.” Bima menghela napas. “Aku cuma pengin kita ngobrol. Bertiga. Seperti dulu, walau cuma sebentar.” Moana menatap keduanya bergantian, lalu berkata pelan, “Bunda… please?” Rania memejamkan mata sesaat, lalu menatap Bima dalam-dalam. Ada luka yang belum sembuh, tapi ada juga bagian dari dirinya yang tahu bahwa Moana butuh ini. Ia mengangguk pelan. “Oke. Tapi kita nggak lama." Senyum kecil terbit di wajah Bima. “Setuju.” --- Setelah perjalanan singkat, mobil mewah Bima melambat dan berhenti tepat di depan sebuah restoran klasik bergaya Eropa di pusat kota. Lampu temaram dari dalam restoran memantul lembut di kaca mobil, menambah kesan hangat dan eksklusif tempat itu. Seorang pe
Malam itu, setelah mereka selesai makan malam, suasana di restoran sudah mulai meredup bersama dengan percakapan hangat yang perlahan mereda. Rania, Moana, dan Bima pun bersiap-siap meninggalkan meja mereka. Langkah mereka ringan meski ada keheningan yang tersimpan.Di luar restoran, udara malam terasa sejuk. Lampu-lampu kota memantulkan cahaya lembut di bodi mobil Bima yang terparkir di tepi jalan. Rania menggandeng Moana pelan menuju pintu penumpang, sementara Bima membukakan pintu untuk mereka.Dari kejauhan, suara motor terdengar mendekat, pelan dan stabil. Al baru saja mengantar Nadia pulang, dan kini sedang melintasi jalan itu, tanpa niat berhenti. Tapi ketika matanya tanpa sengaja menoleh ke sisi kiri jalan, langkah motornya melambat.Di sana—Rania.Ia berdiri di dekat mobil bersama Moana dan Bima. Senyumnya samar, rambutnya sedikit tertiup angin malam, dan ada ketenangan di wajahnya yang membuat Al kembali terdiam dalam perasaan yang rumit. Satu tangan Rania membetulkan syal t
Malam sudah merambat jauh ketika Rania membuka pintu rumahnya. Lampu-lampu redup menyambut keheningan yang menggema di seluruh sudut ruang tamu. Moana yang sejak dalam mobil sudah mengantuk, kini tertidur di pelukannya. Rania membaringkan anak itu dengan hati-hati di tempat tidur, menyelimuti tubuh kecil itu dengan penuh kelembutan.Setelah mencium kening Moana, ia mematikan lampu kamar dan menutup pintunya perlahan. Langkahnya berbelok menuju kamar sendiri, melepas sepatu pelan-pelan, lalu membuka mantel dan menyampirkannya ke sandaran kursi dekat jendela. Malam begitu diam, hanya suara detak jam dinding dan desah angin dari sela jendela yang menjadi teman.Ia duduk di ujung ranjang, ponselnya masih tergenggam erat. Layar ponsel menyala sejenak—menampilkan percakapan terakhir dengan Al. Ia membaca ulang kata-kata itu, seolah mencari makna tersembunyi di balik setiap huruf."Aku cuma ingin kamu tahu, kamu layak mendapatkan semua hal baik. Dan aku senang bisa jadi bagian kecil dari har
Pagi menjelang dengan bias cahaya yang masuk pelan dari celah tirai kamar. Bima duduk di sisi ranjang, tubuhnya tegang sejak fajar. Matanya merah karena tidak tidur semalaman—pikirannya tertahan pada sosok Maya yang malam tadi pulang dalam keadaan mabuk, sesuatu yang belum pernah ia saksikan sebelumnya.Ia menoleh. Maya masih terlelap, tubuhnya terbungkus selimut hingga leher. Nafasnya lembut, tapi wajahnya pucat, dan ada bekas air mata di sudut matanya. Bima menghela napas panjang, lalu perlahan menyentuh bahu istrinya.“Maya…” panggilnya pelan.Maya menggeliat, sebelum membuka mata. “Mas…”Bima menatapnya lekat. “Kamu nggak pernah seperti ini sebelumnya. Kamu mabuk, Maya. Kenapa?”Maya menarik selimut lebih rapat ke tubuhnya. Tatapannya kosong, seperti menahan sesuatu.“Aku cuma… butuh sesuatu buat menenangkan diri,” jawabnya lirih.“Dengan mabuk?” nada suara Bima meninggi sedikit, lebih karena panik. “Kamu tahu aku nggak suka kamu pulang larut. Apalagi sampai begini.”“Aku nggak se
Tiara sudah kembali ke rumah beberapa hari lalu setelah menghadiri wisuda Dira di kota lain. Rania senang kakaknya kembali, membawa kehangatan yang menenangkan setelah hari-hari yang penuh tekanan. Dira sendiri tidak ikut pulang—seperti biasa. Sejak kecil, Dira memang tinggal bersama ayahnya setelah Tiara dan suaminya berpisah ketika Dira baru berusia satu tahun. Kini Dira sudah tumbuh dewasa, menempuh kuliah dan bekerja di kota yang sama, membangun hidupnya dengan kemandirian yang membuat Rania dan Tiara sama-sama bangga. Kepulangan Tiara pun disambut riang oleh Moana, terlebih karena Tiara membawakan oleh-oleh gelang-gelang warna-warni yang sudah lama diidamkan bocah kecil itu. Tawa Moana yang riang saat mencoba satu per satu di pergelangan tangannya menjadi momen sederhana yang membuat rumah kembali terasa hidup. Pagi itu, di dapur yang hangat oleh aroma teh dan roti panggang, Rania sibuk memeriksa tas Moana untuk memastikan semua keperluan putrinya terbawa. “Sikat gigi, baju gant
Tiara sudah kembali ke rumah beberapa hari lalu setelah menghadiri wisuda Dira di kota lain. Rania senang kakaknya kembali, membawa kehangatan yang menenangkan setelah hari-hari yang penuh tekanan. Dira sendiri tidak ikut pulang—seperti biasa. Sejak kecil, Dira memang tinggal bersama ayahnya setelah Tiara dan suaminya berpisah ketika Dira baru berusia satu tahun. Kini Dira sudah tumbuh dewasa, menempuh kuliah dan bekerja di kota yang sama, membangun hidupnya dengan kemandirian yang membuat Rania dan Tiara sama-sama bangga. Kepulangan Tiara pun disambut riang oleh Moana, terlebih karena Tiara membawakan oleh-oleh gelang-gelang warna-warni yang sudah lama diidamkan bocah kecil itu. Tawa Moana yang riang saat mencoba satu per satu di pergelangan tangannya menjadi momen sederhana yang membuat rumah kembali terasa hidup. Pagi itu, di dapur yang hangat oleh aroma teh dan roti panggang, Rania sibuk memeriksa tas Moana untuk memastikan semua keperluan putrinya terbawa. “Sikat gigi, baju gant
Pagi menjelang dengan bias cahaya yang masuk pelan dari celah tirai kamar. Bima duduk di sisi ranjang, tubuhnya tegang sejak fajar. Matanya merah karena tidak tidur semalaman—pikirannya tertahan pada sosok Maya yang malam tadi pulang dalam keadaan mabuk, sesuatu yang belum pernah ia saksikan sebelumnya.Ia menoleh. Maya masih terlelap, tubuhnya terbungkus selimut hingga leher. Nafasnya lembut, tapi wajahnya pucat, dan ada bekas air mata di sudut matanya. Bima menghela napas panjang, lalu perlahan menyentuh bahu istrinya.“Maya…” panggilnya pelan.Maya menggeliat, sebelum membuka mata. “Mas…”Bima menatapnya lekat. “Kamu nggak pernah seperti ini sebelumnya. Kamu mabuk, Maya. Kenapa?”Maya menarik selimut lebih rapat ke tubuhnya. Tatapannya kosong, seperti menahan sesuatu.“Aku cuma… butuh sesuatu buat menenangkan diri,” jawabnya lirih.“Dengan mabuk?” nada suara Bima meninggi sedikit, lebih karena panik. “Kamu tahu aku nggak suka kamu pulang larut. Apalagi sampai begini.”“Aku nggak se
Malam sudah merambat jauh ketika Rania membuka pintu rumahnya. Lampu-lampu redup menyambut keheningan yang menggema di seluruh sudut ruang tamu. Moana yang sejak dalam mobil sudah mengantuk, kini tertidur di pelukannya. Rania membaringkan anak itu dengan hati-hati di tempat tidur, menyelimuti tubuh kecil itu dengan penuh kelembutan.Setelah mencium kening Moana, ia mematikan lampu kamar dan menutup pintunya perlahan. Langkahnya berbelok menuju kamar sendiri, melepas sepatu pelan-pelan, lalu membuka mantel dan menyampirkannya ke sandaran kursi dekat jendela. Malam begitu diam, hanya suara detak jam dinding dan desah angin dari sela jendela yang menjadi teman.Ia duduk di ujung ranjang, ponselnya masih tergenggam erat. Layar ponsel menyala sejenak—menampilkan percakapan terakhir dengan Al. Ia membaca ulang kata-kata itu, seolah mencari makna tersembunyi di balik setiap huruf."Aku cuma ingin kamu tahu, kamu layak mendapatkan semua hal baik. Dan aku senang bisa jadi bagian kecil dari har
Malam itu, setelah mereka selesai makan malam, suasana di restoran sudah mulai meredup bersama dengan percakapan hangat yang perlahan mereda. Rania, Moana, dan Bima pun bersiap-siap meninggalkan meja mereka. Langkah mereka ringan meski ada keheningan yang tersimpan.Di luar restoran, udara malam terasa sejuk. Lampu-lampu kota memantulkan cahaya lembut di bodi mobil Bima yang terparkir di tepi jalan. Rania menggandeng Moana pelan menuju pintu penumpang, sementara Bima membukakan pintu untuk mereka.Dari kejauhan, suara motor terdengar mendekat, pelan dan stabil. Al baru saja mengantar Nadia pulang, dan kini sedang melintasi jalan itu, tanpa niat berhenti. Tapi ketika matanya tanpa sengaja menoleh ke sisi kiri jalan, langkah motornya melambat.Di sana—Rania.Ia berdiri di dekat mobil bersama Moana dan Bima. Senyumnya samar, rambutnya sedikit tertiup angin malam, dan ada ketenangan di wajahnya yang membuat Al kembali terdiam dalam perasaan yang rumit. Satu tangan Rania membetulkan syal t
Rania ragu, tapi akhirnya mengangguk pelan. “Silakan.” Bima melangkah melewati pintu, pandangannya sempat menyapu ruangan, lalu kembali menatap Rania. “Aku cuma mau pastikan kalian baik-baik aja,” ucapnya. “Dan… soal makan malam tadi, aku serius.” Rania mengangkat alis. “Aku belum memberikan jawaban Mas.” Bima menghela napas. “Aku cuma pengin kita ngobrol. Bertiga. Seperti dulu, walau cuma sebentar.” Moana menatap keduanya bergantian, lalu berkata pelan, “Bunda… please?” Rania memejamkan mata sesaat, lalu menatap Bima dalam-dalam. Ada luka yang belum sembuh, tapi ada juga bagian dari dirinya yang tahu bahwa Moana butuh ini. Ia mengangguk pelan. “Oke. Tapi kita nggak lama." Senyum kecil terbit di wajah Bima. “Setuju.” --- Setelah perjalanan singkat, mobil mewah Bima melambat dan berhenti tepat di depan sebuah restoran klasik bergaya Eropa di pusat kota. Lampu temaram dari dalam restoran memantul lembut di kaca mobil, menambah kesan hangat dan eksklusif tempat itu. Seorang pe
Langit mulai meredup, jingga perlahan berganti kelabu. Lampu-lampu rumah tetangga satu per satu menyala, membentuk gugusan cahaya kecil di sepanjang jalan. Di dalam rumah, keheningan menggantung setelah kejadian di sofa tadi. Televisi masih menyala, tapi tak satu pun dari mereka memperhatikannya. Al berdiri mematung di dekat jendela, menyandarkan satu tangan di kusen, menatap keluar. Udara sore mulai berganti dingin, tapi yang lebih menusuk adalah kegelisahan di dalam dadanya. Tiba-tiba, langkah pelan terdengar dari belakang. Tanpa suara, Nadia menghampiri dan memeluknya dari belakang—erat, hangat, seolah ingin mengikat Al kembali dalam kebersamaan mereka. Dagu perempuan itu menyentuh punggung Al, sementara tangannya melingkar di pinggang pria itu. “Aku kangen kamu, Al… Bahkan pas kita lagi bareng pun, aku masih suka kangen,” bisiknya pelan. Al menutup mata sejenak. Pelukan itu seharusnya membuatnya merasa damai. Tapi justru dadanya semakin sesak. Dengan lembut, Al mengangka
Langit sore menggantung rendah, memancarkan cahaya keemasan yang lembut, memantul di permukaan motor Al yang baru saja berhenti di halaman kecil rumahnya. Al membuka gerbang besi rumahnya dengan satu tangan, helm masih menempel di kepala, sementara anggrek putih tergenggam di tangan lainnya. Rumahnya sederhana, berdinding batu bata yang dicat putih kusam, lebih kecil dan jauh dari kesan mewah seperti rumah Bima. Tapi rumah ini adalah miliknya, dan biasanya terasa cukup. Begitu ia mendekat, aroma rempah dan manis madu menyeruak dari celah jendela dapur yang sedikit terbuka. Ia tahu aroma itu. Nadia. Lampu ruang tengah sudah menyala, membentuk siluet bayangan di tirai tipis. Tak perlu mengetuk, tak perlu memanggil, Nadia punya kunci cadangan, dan ia tahu pasti bahwa perempuan itu telah lebih dulu masuk dan menghidupkan rumah itu dengan caranya sendiri. Dan entah kenapa, langkah Al terasa sedikit lebih berat dari biasanya. Al membuka pintu rumahnya pelan. Suara engsel yang ber
Al berdiri di bawah pohon besar, matanya tetap tertuju pada mobil yang perlahan menjauh. Meski jarak antara mereka semakin jauh, sosok Rania seolah masih tertinggal dalam pandangannya. Tatapannya dalam, penuh perasaan yang sulit ia ungkapkan. Rasa yang tiba-tiba muncul di dadanya itu membuatnya terdiam. Al menggigit bibir bawahnya, mencoba mengusir perasaan aneh yang mulai menggelora. Tiba-tiba, wajah Nadia, tunangannya, melintas dalam benaknya. Dia sudah memiliki Nadia, dan dia tahu apa yang dia rasakan terhadapnya. Tapi kenapa, setelah bertemu Rania, semuanya seolah kabur, bercampur menjadi satu perasaan yang sulit ia jelaskan? "Ini tidak benar," gumamnya pelan. "Aku sudah ada Nadia." Namun, meski ia mengingat tunangannya, ada sesuatu yang tetap mengikat dirinya pada Rania—sesuatu yang tak bisa ia tangkap, tak bisa ia tafsirkan dengan jelas. Al menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, tapi hatinya tetap terasa bergejolak. Langkah kaki Al terasa berat saat ia berb
Rania duduk santai di sudut pantry bengkel yang cukup nyaman. Aroma kopi instan dan suara samar mesin dari area kerja masih terdengar sayup. Di depannya, Moana sudah sibuk menyusun puzzle di meja kecil yang tersedia di ruang tunggu anak, sesekali menengok ke arah bundanya dan tersenyum. Rania mengambil tegukan kecil dari cangkir kopi kertas di tangannya, matanya melirik ke arah lorong menuju area kerja. Dan saat itulah, seseorang muncul dari balik pintu kaca—langkahnya tegap, dengan kemeja kerja abu terang yang rapi dan rambut yang basah. Al. Tidak lagi dengan baju berminyak atau tangan penuh oli seperti kemarin. Hari ini, penampilannya lebih bersih, lebih segar… dan entah kenapa, justru itu yang membuat dada Rania terasa sedikit berdebar. Ia langsung menghampiri. “Pagi, Bu Rania,” sapa Al dengan senyum yang terkesan santai, tapi matanya menatap hangat. Rania menoleh dan tersenyum ramah. “Pagi juga, Al,” ucapnya sopan, lalu menoleh sebentar ke arah Moana yang masih sibuk m