Rania Adiningrum, dosen sastra berusia 35 tahun, adalah seorang single parent yang berusaha menjalani hidup mandiri setelah perceraian yang pahit. Namun, ketika tiga pria datang mengguncang hidupnya, ia harus memilih di antara perasaan lama dan rasa baru yang membingungkan. Bima Alvaro, mantan suami yang kembali dengan penyesalan dan cinta yang belum hilang; Leo Saranggi, sahabat masa kecil yang mencintainya sejak lama, namun terhalang oleh perbedaan keyakinan; dan Adrian Alfatih, pria muda yang membangkitkan gairah namun terikat dengan wanita lain. Ketiganya menghadirkan pilihan yang sulit bagi Rania: mengikuti kata hati atau mempertaruhkan moralitas dan masa depan. Di tengah perasaan yang bercampur aduk, Rania harus menemukan jalan yang benar-benar akan membawa kebahagiaan sejati bagi dirinya dan putrinya.
Lihat lebih banyakDenting jam di sudut ruangan berdetak perlahan, mengiringi langkah seorang wanita yang memasuki ruang kelas dengan anggun.
Rania Adiningrum, dosen sastra yang dikenal dengan pesona dan wibawanya, berjalan menuju meja di depan kelas. Senyum tipis tersungging di bibirnya, cukup untuk menunjukkan keramahan, tanpa menghilangkan kesan tegas yang membuat banyak orang segan sekaligus terpikat. Ia berusia 35 tahun, namun parasnya masih memancarkan kecantikan yang tak pudar oleh waktu. Kulit putihnya berpadu sempurna dengan mata cokelat keemasan, mata yang menyimpan banyak cerita, lebih dari yang bisa diceritakan oleh kata-kata. Rambut panjang bergelombang berwarna cokelat kehitaman tergerai rapi, membingkai wajah dengan pesona misterius yang sulit diabaikan. Hari itu, Rania mengenakan blouse sutra berwarna krem yang membalut tubuhnya dengan anggun, dipadukan dengan rok sabrina hitam yang jatuh tepat di bawah lutut. Sepatu hak tinggi berwarna senada menambah kesan elegan, sementara gelang emas tipis melingkar manis di pergelangan tangan kirinya, satu-satunya perhiasan yang ia biarkan tetap menempel. Setiap kali ia lewat, semerbak lembut aroma parfum melati dan kayu manis menyusup pelan ke udara, bukan aroma yang mencolok, tapi cukup untuk meninggalkan jejak. Wangi yang tenang, hangat, dan samar-samar menyimpan nostalgia. Seperti perempuan itu sendiri. Tak pernah benar-benar pergi dari ingatan siapa pun yang pernah mengenalnya. Enam tahun telah berlalu sejak perceraian yang membuat hatinya retak. Bima Alvaro, pria yang dulu ia percaya sepenuh jiwa, meninggalkannya dengan luka yang tak sepenuhnya sembuh. Sejak itu, Rania membesarkan putrinya, Moana, seorang diri, menjadi ibu dan ayah sekaligus, membuktikan bahwa seorang wanita bisa tetap berdiri, meski cinta pernah membuatnya tersungkur. "Selamat pagi, semuanya," sapanya lembut, mengalihkan perhatian mahasiswa yang mulai terhanyut dalam pesonanya. "Hari ini, kita akan membahas bagaimana sastra menggambarkan perjalanan jiwa manusia." Sejenak, ruang kelas menjadi hening. Beberapa mahasiswa menyesuaikan posisi duduk mereka, bersiap untuk menyimak, sementara yang lain masih terpaku pada sosok di depan mereka. Rania membuka bukunya, menelusuri lembar demi lembar dengan jemarinya yang lentik. Beberapa tangan mulai terangkat ketika Rania melemparkan pertanyaan pembuka, tentang bagaimana puisi bisa menjadi cermin dari kegelisahan manusia. Ia menatap setiap mahasiswa dengan lembut, memberikan ruang untuk mereka berpikir, merespons, dan menelusuri makna yang lebih dalam dari sekadar barisan kata. "Menurut saya," ujar seorang mahasiswi di barisan tengah, "puisi itu seperti lemari tua, ada banyak rahasia yang disembunyikan dalam tiap lacinya. Kita hanya bisa membuka satu-satu kalau kita cukup sabar." Rania mengangguk pelan, matanya menyipit sedikit, tanda bahwa ia terkesan. "Itu analogi yang menarik, Nina. Sastra memang adalah rumah dari banyak lapisan emosi. Dan kadang, lapisan terdalamnya justru yang paling menyakitkan." Beberapa mahasiswa mengangguk, ada yang sibuk mencatat, tapi ada pula yang hanya memandangi Rania seolah tengah menyaksikan pertunjukan yang tak ingin mereka lewatkan. Di pojok kelas, seorang mahasiswa laki-laki berbisik pada temannya, "Miss Rania selalu terlihat seperti baru saja keluar dari sebuah novel." Temannya menyikut pelan, tertawa pelan. Tapi mereka langsung diam saat Rania melirik ke arah mereka, bukan dengan marah, melainkan dengan senyum tipis yang entah kenapa membuat pipi mereka memerah. "Baiklah," lanjut Rania sambil berdiri dan berjalan perlahan ke sisi kanan papan tulis, "kalau begitu, mari kita bicara tentang Chairil Anwar. Apa yang membuat puisinya begitu menggigit? Kenapa ia bisa terasa begitu dekat dengan kita, bahkan puluhan tahun setelah ia tiada?" Salah satu mahasiswa cowok menjawab cepat, "Karena dia tidak sok suci, Bu. Puisinya jujur banget. Ganas, kalau perlu. Tapi tetap terasa manusiawi." Rania tertawa kecil, suaranya rendah namun menyenangkan. "Saya suka jawaban itu. Kadang, justru keberanian untuk tidak menjadi sempurna, yang membuat puisi itu terasa lebih hidup." Diskusi pun mengalir seperti sungai kecil yang tenang tapi dalam. Kata-kata beterbangan di udara, membentuk makna yang bersilangan antara intelektualitas dan perasaan. Dan di tengah semua itu, Rania tampak bersinar, bukan karena pakaiannya, bukan karena kecantikannya semata, tapi karena semangat dalam matanya. Ia benar-benar mencintai apa yang ia lakukan. Dan itu menular. Namun, di balik antusiasme itu, ada sesuatu yang tak tampak di permukaan. Tatapannya sesekali kosong, seperti menyelinap pergi ke dunia lain. Dunia yang hanya ia tahu, dan hanya ia kenang. Bel tanda akhir kelas berdentang lembut. Mahasiswa mulai merapikan buku, beberapa masih sempat menghampiri Rania untuk bertanya atau sekadar mengucapkan terima kasih. Ia melayani semuanya dengan senyum ramah, walau gerak tubuhnya perlahan mulai mengendur, terlihat letih, meski tak ditunjukkan terang-terangan. Setelah ruangan kosong, Rania membereskan catatannya dan mematikan proyektor. Ruang kelas itu kembali sunyi, hanya menyisakan denting jam di sudut ruangan, denting yang sama seperti saat ia masuk tadi, namun kini terdengar lebih berat. Di lorong fakultas, langkahnya terdengar pelan dan berirama. Beberapa mahasiswa menyapanya sopan, beberapa hanya mengangguk dengan wajah segan. Rania membalas semuanya dengan senyum tipis, meski pikirannya sudah melayang ke rumah, ke Moana, ke sepi yang menunggu di balik pintu rumahnya nanti. Begitu sampai di parkiran, ia membuka kunci mobil dengan remote. Sedan silver tua itu menyala singkat dengan bunyi "beep" pelan, seperti mengiyakan panggilan tuannya. Rania masuk, meletakkan tas di kursi sebelah, dan menyalakan mesin. Klik. Tak ada suara. Ia mencoba lagi. Klik. Klik. Mesin hanya menggeram lemah sebelum akhirnya mati total. Rania memejamkan mata, menarik napas dalam. Ia bersandar ke kursi dan menatap langit-langit mobil, seakan berharap langit bisa menjawab lelahnya. “Ya Allah, bukan hari ini,” gumamnya lirih, nyaris seperti desah napas. Ia mencoba sekali lagi, kali ini sambil menepuk-nepuk setir mobil. “Ayo dong, kita sudah cukup melewati hari ini tanpa drama…” Tapi mobil tetap membisu. Tak ada keajaiban. Tak ada kompromi. Rania menunduk, menyandarkan dahi ke setir. Sejenak, hanya suara angin sore yang mengisi ruang parkir itu. Matanya terpejam, bukan karena ingin tidur, tapi karena terlalu lelah untuk marah. Beberapa menit kemudian, ia membuka tas, mencari kontak bengkel langganannya. Sambil memencet layar ponselnya, ia bicara pada diri sendiri, pelan tapi tegas, “Kalem, Rania. Kamu sudah menghadapi yang lebih buruk dari ini. Satu mobil mogok bukan akhir dunia.” Panggilan tersambung. Ia berbicara sebentar dengan suara tenang, sedikit formal, dan mendapat jawaban bahwa mobil derek akan segera dikirim ke lokasi. Satu masalah selesai. Setidaknya untuk sekarang.Malam sudah merambat jauh ketika Rania membuka pintu rumahnya. Lampu-lampu redup menyambut keheningan yang menggema di seluruh sudut ruang tamu. Moana yang sejak dalam mobil sudah mengantuk, kini tertidur di pelukannya. Rania membaringkan anak itu dengan hati-hati di tempat tidur, menyelimuti tubuh kecil itu dengan penuh kelembutan.Setelah mencium kening Moana, ia mematikan lampu kamar dan menutup pintunya perlahan. Langkahnya berbelok menuju kamar sendiri, melepas sepatu pelan-pelan, lalu membuka mantel dan menyampirkannya ke sandaran kursi dekat jendela. Malam begitu diam, hanya suara detak jam dinding dan desah angin dari sela jendela yang menjadi teman.Ia duduk di ujung ranjang, ponselnya masih tergenggam erat. Layar ponsel menyala sejenak—menampilkan percakapan terakhir dengan Al. Ia membaca ulang kata-kata itu, seolah mencari makna tersembunyi di balik setiap huruf."Aku cuma ingin kamu tahu, kamu layak mendapatkan semua hal baik. Dan aku senang bisa jadi bagian kecil dari har
Malam itu, setelah mereka selesai makan malam, suasana di restoran sudah mulai meredup bersama dengan percakapan hangat yang perlahan mereda. Rania, Moana, dan Bima pun bersiap-siap meninggalkan meja mereka. Langkah mereka ringan meski ada keheningan yang tersimpan.Di luar restoran, udara malam terasa sejuk. Lampu-lampu kota memantulkan cahaya lembut di bodi mobil Bima yang terparkir di tepi jalan. Rania menggandeng Moana pelan menuju pintu penumpang, sementara Bima membukakan pintu untuk mereka.Dari kejauhan, suara motor terdengar mendekat, pelan dan stabil. Al baru saja mengantar Nadia pulang, dan kini sedang melintasi jalan itu, tanpa niat berhenti. Tapi ketika matanya tanpa sengaja menoleh ke sisi kiri jalan, langkah motornya melambat.Di sana—Rania.Ia berdiri di dekat mobil bersama Moana dan Bima. Senyumnya samar, rambutnya sedikit tertiup angin malam, dan ada ketenangan di wajahnya yang membuat Al kembali terdiam dalam perasaan yang rumit. Satu tangan Rania membetulkan syal t
Rania ragu, tapi akhirnya mengangguk pelan. “Silakan.” Bima melangkah melewati pintu, pandangannya sempat menyapu ruangan, lalu kembali menatap Rania. “Aku cuma mau pastikan kalian baik-baik aja,” ucapnya. “Dan… soal makan malam tadi, aku serius.” Rania mengangkat alis. “Aku belum memberikan jawaban Mas.” Bima menghela napas. “Aku cuma pengin kita ngobrol. Bertiga. Seperti dulu, walau cuma sebentar.” Moana menatap keduanya bergantian, lalu berkata pelan, “Bunda… please?” Rania memejamkan mata sesaat, lalu menatap Bima dalam-dalam. Ada luka yang belum sembuh, tapi ada juga bagian dari dirinya yang tahu bahwa Moana butuh ini. Ia mengangguk pelan. “Oke. Tapi kita nggak lama." Senyum kecil terbit di wajah Bima. “Setuju.” --- Setelah perjalanan singkat, mobil mewah Bima melambat dan berhenti tepat di depan sebuah restoran klasik bergaya Eropa di pusat kota. Lampu temaram dari dalam restoran memantul lembut di kaca mobil, menambah kesan hangat dan eksklusif tempat itu. Seorang pe
Langit mulai meredup, jingga perlahan berganti kelabu. Lampu-lampu rumah tetangga satu per satu menyala, membentuk gugusan cahaya kecil di sepanjang jalan. Di dalam rumah, keheningan menggantung setelah kejadian di sofa tadi. Televisi masih menyala, tapi tak satu pun dari mereka memperhatikannya. Al berdiri mematung di dekat jendela, menyandarkan satu tangan di kusen, menatap keluar. Udara sore mulai berganti dingin, tapi yang lebih menusuk adalah kegelisahan di dalam dadanya. Tiba-tiba, langkah pelan terdengar dari belakang. Tanpa suara, Nadia menghampiri dan memeluknya dari belakang—erat, hangat, seolah ingin mengikat Al kembali dalam kebersamaan mereka. Dagu perempuan itu menyentuh punggung Al, sementara tangannya melingkar di pinggang pria itu. “Aku kangen kamu, Al… Bahkan pas kita lagi bareng pun, aku masih suka kangen,” bisiknya pelan. Al menutup mata sejenak. Pelukan itu seharusnya membuatnya merasa damai. Tapi justru dadanya semakin sesak. Dengan lembut, Al mengangka
Langit sore menggantung rendah, memancarkan cahaya keemasan yang lembut, memantul di permukaan motor Al yang baru saja berhenti di halaman kecil rumahnya. Al membuka gerbang besi rumahnya dengan satu tangan, helm masih menempel di kepala, sementara anggrek putih tergenggam di tangan lainnya. Rumahnya sederhana, berdinding batu bata yang dicat putih kusam, lebih kecil dan jauh dari kesan mewah seperti rumah Bima. Tapi rumah ini adalah miliknya, dan biasanya terasa cukup. Begitu ia mendekat, aroma rempah dan manis madu menyeruak dari celah jendela dapur yang sedikit terbuka. Ia tahu aroma itu. Nadia. Lampu ruang tengah sudah menyala, membentuk siluet bayangan di tirai tipis. Tak perlu mengetuk, tak perlu memanggil, Nadia punya kunci cadangan, dan ia tahu pasti bahwa perempuan itu telah lebih dulu masuk dan menghidupkan rumah itu dengan caranya sendiri. Dan entah kenapa, langkah Al terasa sedikit lebih berat dari biasanya. Al membuka pintu rumahnya pelan. Suara engsel yang ber
Al berdiri di bawah pohon besar, matanya tetap tertuju pada mobil yang perlahan menjauh. Meski jarak antara mereka semakin jauh, sosok Rania seolah masih tertinggal dalam pandangannya. Tatapannya dalam, penuh perasaan yang sulit ia ungkapkan. Rasa yang tiba-tiba muncul di dadanya itu membuatnya terdiam. Al menggigit bibir bawahnya, mencoba mengusir perasaan aneh yang mulai menggelora. Tiba-tiba, wajah Nadia, tunangannya, melintas dalam benaknya. Dia sudah memiliki Nadia, dan dia tahu apa yang dia rasakan terhadapnya. Tapi kenapa, setelah bertemu Rania, semuanya seolah kabur, bercampur menjadi satu perasaan yang sulit ia jelaskan? "Ini tidak benar," gumamnya pelan. "Aku sudah ada Nadia." Namun, meski ia mengingat tunangannya, ada sesuatu yang tetap mengikat dirinya pada Rania—sesuatu yang tak bisa ia tangkap, tak bisa ia tafsirkan dengan jelas. Al menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, tapi hatinya tetap terasa bergejolak. Langkah kaki Al terasa berat saat ia berb
Rania duduk santai di sudut pantry bengkel yang cukup nyaman. Aroma kopi instan dan suara samar mesin dari area kerja masih terdengar sayup. Di depannya, Moana sudah sibuk menyusun puzzle di meja kecil yang tersedia di ruang tunggu anak, sesekali menengok ke arah bundanya dan tersenyum. Rania mengambil tegukan kecil dari cangkir kopi kertas di tangannya, matanya melirik ke arah lorong menuju area kerja. Dan saat itulah, seseorang muncul dari balik pintu kaca—langkahnya tegap, dengan kemeja kerja abu terang yang rapi dan rambut yang basah. Al. Tidak lagi dengan baju berminyak atau tangan penuh oli seperti kemarin. Hari ini, penampilannya lebih bersih, lebih segar… dan entah kenapa, justru itu yang membuat dada Rania terasa sedikit berdebar. Ia langsung menghampiri. “Pagi, Bu Rania,” sapa Al dengan senyum yang terkesan santai, tapi matanya menatap hangat. Rania menoleh dan tersenyum ramah. “Pagi juga, Al,” ucapnya sopan, lalu menoleh sebentar ke arah Moana yang masih sibuk m
Sinar matahari pagi menari pelan di dinding ruang makan, menerobos celah tirai yang dibiarkan terbuka. Di ruang makan yang hangat, terdengar suara riang khas anak-anak.“Bundaaa, roti bakarnya jangan gosong kayak kemarin ya!” seru Moana dari meja makan, kakinya menggantung sambil menggoyang-goyang sandal bergambar kelinci.Rania tertawa sambil membalik roti di atas pan datar. “Itu bukan gosong, itu… seni membakar roti dengan gaya,” jawabnya pura-pura serius.“Iya deh, gaya... gaya angus!” Moana memutar bola matanya.Rania meletakkan dua potong roti ke piring kecil dan membawanya ke meja. “Nih, buat nona kecil yang pintar ngasih komentar.”“Makasiiih!” Moana langsung menggigit roti hangat itu sambil mengunyah cepat.Rania duduk di samping putrinya sambil menuangkan susu ke gelas. “Kamu bangunnya cepat banget hari ini. Biasanya kalau Sabtu susah dibangunin.”Moana tersenyum penuh remah roti. “Soalnya hari ini kita libur bareng. Aku suka banget kalau Bunda nggak kerja. Kita bisa main seh
Setelah tiba di rumah, Bima duduk sejenak di dalam mobil, membiarkan sunyi malam menemaninya. Tangannya masih menggenggam setir, padahal mesin sudah lama ia matikan. Rumah megah di hadapannya berdiri tenang—terlalu tenang. Ia menatapnya seperti menatap dunia yang tak lagi ia kenali. Perlahan, ia keluar dari mobil. Maya berdiri di ambang pintu, menyambutnya dengan senyum tipis dan suara pelan. “Selamat malam, sayang.” “Selamat malam,” jawab Bima pendek, suaranya nyaris tanpa nada. Mereka melangkah masuk berdampingan, tapi hati terasa seperti dua benua yang berjauhan. Aroma lavender menyambut dari dalam rumah, menguar lembut seperti kehangatan yang tak lagi bisa mengisi ruang dalam dirinya. Maya mencoba mencairkan suasana, “Kamu belum makan malam? Aku masak makanan favoritmu.” Bima melepas jas dan menggantungkannya. “Nanti saja. Aku belum lapar.” Ia menjatuhkan diri ke sofa ruang keluarga. Televisi menyala tanpa suara, menampilkan potongan iklan dua orang berdiri dalam hujan.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen