Cinta Dalam Tiga Luka

Cinta Dalam Tiga Luka

last updateTerakhir Diperbarui : 2025-05-07
Oleh:  I. VinceraBaru saja diperbarui
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Belum ada penilaian
19Bab
25Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Rania Adiningrum, dosen sastra berusia 35 tahun, adalah seorang single parent yang berusaha menjalani hidup mandiri setelah perceraian yang pahit. Namun, ketika tiga pria datang mengguncang hidupnya, ia harus memilih di antara perasaan lama dan rasa baru yang membingungkan. Bima Alvaro, mantan suami yang kembali dengan penyesalan dan cinta yang belum hilang; Leo Saranggi, sahabat masa kecil yang mencintainya sejak lama, namun terhalang oleh perbedaan keyakinan; dan Adrian Alfatih, pria muda yang membangkitkan gairah namun terikat dengan wanita lain. Ketiganya menghadirkan pilihan yang sulit bagi Rania: mengikuti kata hati atau mempertaruhkan moralitas dan masa depan. Di tengah perasaan yang bercampur aduk, Rania harus menemukan jalan yang benar-benar akan membawa kebahagiaan sejati bagi dirinya dan putrinya.

Lihat lebih banyak

Bab 1

Bab 1 Senja Di Dalam Diri

Denting jam di sudut ruangan berdetak perlahan, mengiringi langkah seorang wanita yang memasuki ruang kelas dengan anggun.

Rania Adiningrum, dosen sastra yang dikenal dengan pesona dan wibawanya, berjalan menuju meja di depan kelas. Senyum tipis tersungging di bibirnya, cukup untuk menunjukkan keramahan, tanpa menghilangkan kesan tegas yang membuat banyak orang segan sekaligus terpikat.

Ia berusia 35 tahun, namun parasnya masih memancarkan kecantikan yang tak pudar oleh waktu. Kulit putihnya berpadu sempurna dengan mata cokelat keemasan, mata yang menyimpan banyak cerita, lebih dari yang bisa diceritakan oleh kata-kata. Rambut panjang bergelombang berwarna cokelat kehitaman tergerai rapi, membingkai wajah dengan pesona misterius yang sulit diabaikan.

Hari itu, Rania mengenakan blouse sutra berwarna krem yang membalut tubuhnya dengan anggun, dipadukan dengan rok sabrina hitam yang jatuh tepat di bawah lutut. Sepatu hak tinggi berwarna senada menambah kesan elegan, sementara gelang emas tipis melingkar manis di pergelangan tangan kirinya, satu-satunya perhiasan yang ia biarkan tetap menempel.

Setiap kali ia lewat, semerbak lembut aroma parfum melati dan kayu manis menyusup pelan ke udara, bukan aroma yang mencolok, tapi cukup untuk meninggalkan jejak. Wangi yang tenang, hangat, dan samar-samar menyimpan nostalgia. Seperti perempuan itu sendiri. Tak pernah benar-benar pergi dari ingatan siapa pun yang pernah mengenalnya.

Enam tahun telah berlalu sejak perceraian yang membuat hatinya retak. Bima Alvaro, pria yang dulu ia percaya sepenuh jiwa, meninggalkannya dengan luka yang tak sepenuhnya sembuh. Sejak itu, Rania membesarkan putrinya, Moana, seorang diri, menjadi ibu dan ayah sekaligus, membuktikan bahwa seorang wanita bisa tetap berdiri, meski cinta pernah membuatnya tersungkur.

"Selamat pagi, semuanya," sapanya lembut, mengalihkan perhatian mahasiswa yang mulai terhanyut dalam pesonanya. "Hari ini, kita akan membahas bagaimana sastra menggambarkan perjalanan jiwa manusia."

Sejenak, ruang kelas menjadi hening. Beberapa mahasiswa menyesuaikan posisi duduk mereka, bersiap untuk menyimak, sementara yang lain masih terpaku pada sosok di depan mereka. Rania membuka bukunya, menelusuri lembar demi lembar dengan jemarinya yang lentik.

Beberapa tangan mulai terangkat ketika Rania melemparkan pertanyaan pembuka, tentang bagaimana puisi bisa menjadi cermin dari kegelisahan manusia. Ia menatap setiap mahasiswa dengan lembut, memberikan ruang untuk mereka berpikir, merespons, dan menelusuri makna yang lebih dalam dari sekadar barisan kata.

"Menurut saya," ujar seorang mahasiswi di barisan tengah, "puisi itu seperti lemari tua, ada banyak rahasia yang disembunyikan dalam tiap lacinya. Kita hanya bisa membuka satu-satu kalau kita cukup sabar."

Rania mengangguk pelan, matanya menyipit sedikit, tanda bahwa ia terkesan. "Itu analogi yang menarik, Nina. Sastra memang adalah rumah dari banyak lapisan emosi. Dan kadang, lapisan terdalamnya justru yang paling menyakitkan."

Beberapa mahasiswa mengangguk, ada yang sibuk mencatat, tapi ada pula yang hanya memandangi Rania seolah tengah menyaksikan pertunjukan yang tak ingin mereka lewatkan.

Di pojok kelas, seorang mahasiswa laki-laki berbisik pada temannya, "Miss Rania selalu terlihat seperti baru saja keluar dari sebuah novel."

Temannya menyikut pelan, tertawa pelan. Tapi mereka langsung diam saat Rania melirik ke arah mereka, bukan dengan marah, melainkan dengan senyum tipis yang entah kenapa membuat pipi mereka memerah.

"Baiklah," lanjut Rania sambil berdiri dan berjalan perlahan ke sisi kanan papan tulis, "kalau begitu, mari kita bicara tentang Chairil Anwar. Apa yang membuat puisinya begitu menggigit? Kenapa ia bisa terasa begitu dekat dengan kita, bahkan puluhan tahun setelah ia tiada?"

Salah satu mahasiswa cowok menjawab cepat, "Karena dia tidak sok suci, Bu. Puisinya jujur banget. Ganas, kalau perlu. Tapi tetap terasa manusiawi."

Rania tertawa kecil, suaranya rendah namun menyenangkan. "Saya suka jawaban itu. Kadang, justru keberanian untuk tidak menjadi sempurna, yang membuat puisi itu terasa lebih hidup."

Diskusi pun mengalir seperti sungai kecil yang tenang tapi dalam. Kata-kata beterbangan di udara, membentuk makna yang bersilangan antara intelektualitas dan perasaan. Dan di tengah semua itu, Rania tampak bersinar, bukan karena pakaiannya, bukan karena kecantikannya semata, tapi karena semangat dalam matanya. Ia benar-benar mencintai apa yang ia lakukan. Dan itu menular.

Namun, di balik antusiasme itu, ada sesuatu yang tak tampak di permukaan. Tatapannya sesekali kosong, seperti menyelinap pergi ke dunia lain. Dunia yang hanya ia tahu, dan hanya ia kenang.

Bel tanda akhir kelas berdentang lembut. Mahasiswa mulai merapikan buku, beberapa masih sempat menghampiri Rania untuk bertanya atau sekadar mengucapkan terima kasih. Ia melayani semuanya dengan senyum ramah, walau gerak tubuhnya perlahan mulai mengendur, terlihat letih, meski tak ditunjukkan terang-terangan.

Setelah ruangan kosong, Rania membereskan catatannya dan mematikan proyektor. Ruang kelas itu kembali sunyi, hanya menyisakan denting jam di sudut ruangan, denting yang sama seperti saat ia masuk tadi, namun kini terdengar lebih berat.

Di lorong fakultas, langkahnya terdengar pelan dan berirama. Beberapa mahasiswa menyapanya sopan, beberapa hanya mengangguk dengan wajah segan. Rania membalas semuanya dengan senyum tipis, meski pikirannya sudah melayang ke rumah, ke Moana, ke sepi yang menunggu di balik pintu rumahnya nanti.

Begitu sampai di parkiran, ia membuka kunci mobil dengan remote. Sedan silver tua itu menyala singkat dengan bunyi "beep" pelan, seperti mengiyakan panggilan tuannya. Rania masuk, meletakkan tas di kursi sebelah, dan menyalakan mesin.

Klik.

Tak ada suara.

Ia mencoba lagi.

Klik. Klik. Mesin hanya menggeram lemah sebelum akhirnya mati total.

Rania memejamkan mata, menarik napas dalam. Ia bersandar ke kursi dan menatap langit-langit mobil, seakan berharap langit bisa menjawab lelahnya.

“Ya Allah, bukan hari ini,” gumamnya lirih, nyaris seperti desah napas.

Ia mencoba sekali lagi, kali ini sambil menepuk-nepuk setir mobil. “Ayo dong, kita sudah cukup melewati hari ini tanpa drama…”

Tapi mobil tetap membisu. Tak ada keajaiban. Tak ada kompromi.

Rania menunduk, menyandarkan dahi ke setir. Sejenak, hanya suara angin sore yang mengisi ruang parkir itu. Matanya terpejam, bukan karena ingin tidur, tapi karena terlalu lelah untuk marah.

Beberapa menit kemudian, ia membuka tas, mencari kontak bengkel langganannya. Sambil memencet layar ponselnya, ia bicara pada diri sendiri, pelan tapi tegas, “Kalem, Rania. Kamu sudah menghadapi yang lebih buruk dari ini. Satu mobil mogok bukan akhir dunia.”

Panggilan tersambung. Ia berbicara sebentar dengan suara tenang, sedikit formal, dan mendapat jawaban bahwa mobil derek akan segera dikirim ke lokasi.

Satu masalah selesai. Setidaknya untuk sekarang.

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
19 Bab
Bab 1 Senja Di Dalam Diri
Denting jam di sudut ruangan berdetak perlahan, mengiringi langkah seorang wanita yang memasuki ruang kelas dengan anggun. Rania Adiningrum, dosen sastra yang dikenal dengan pesona dan wibawanya, berjalan menuju meja di depan kelas. Senyum tipis tersungging di bibirnya, cukup untuk menunjukkan keramahan, tanpa menghilangkan kesan tegas yang membuat banyak orang segan sekaligus terpikat. Ia berusia 35 tahun, namun parasnya masih memancarkan kecantikan yang tak pudar oleh waktu. Kulit putihnya berpadu sempurna dengan mata cokelat keemasan, mata yang menyimpan banyak cerita, lebih dari yang bisa diceritakan oleh kata-kata. Rambut panjang bergelombang berwarna cokelat kehitaman tergerai rapi, membingkai wajah dengan pesona misterius yang sulit diabaikan. Hari itu, Rania mengenakan blouse sutra berwarna krem yang membalut tubuhnya dengan anggun, dipadukan dengan rok sabrina hitam yang jatuh tepat di bawah lutut. Sepatu hak tinggi berwarna senada menambah kesan elegan, sementara gelan
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-04-11
Baca selengkapnya
Bab 2 Seseorang Dalam Gerimis
Hujan turun mendadak. Langit yang sejak siang menggantung kelabu akhirnya menyerah pada beratnya sendiri. Rania masih berdiri di parkiran, memandangi titik-titik air yang mengalir pelan di kaca mobilnya. Hari ini, mesin mobilnya mati. Ia sempat menghubungi bengkel langganannya, melaporkan bahwa mobilnya tak mau menyala. Sekarang ia hanya menunggu, dikelilingi senyap yang makin lama makin pekat oleh irama hujan. Ia membuka bagasi, mencari sesuatu, mungkin payung. Tapi tak ada. Akhirnya ia hanya berdiri di samping pintu mobil, rambutnya mulai basah, pandangannya kosong ke arah lorong yang perlahan diliputi kabut hujan. Dari kejauhan, siluet seorang pria muncul di antara tirai hujan. Ia membawa helm dan mengenakan jaket hitam, langkahnya tenang, seperti hujan yang turun tanpa tergesa. Ketika akhirnya sampai di dekat Rania, ia melepas jaketnya, gerakannya sederhana, tak dramatis. "Kalau tidak dipakai, nanti kedinginan," ucapnya. Suaranya nyaris tenggelam oleh gemuruh hujan, tapi a
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-04-12
Baca selengkapnya
Bab 3 Rasanya... Mengingatkan
Al menunduk dalam-dalam, jarinya menyentuh kabel-kabel mesin yang basah oleh udara lembap. Rania berdiri tak jauh darinya, menatap dengan pandangan kosong, tapi telinganya menangkap setiap suara kecil yang datang dari alat-alat di tangan Al. “Kayaknya butuh ditarik ke bengkel, Bu,” ujar Al setelah beberapa menit, suaranya tenang. “Bisa nyala, tapi nggak akan tahan lama.” Rania hanya mengangguk. Ia tahu. Kadang, sesuatu memang perlu diseret ke tempat yang lebih tenang untuk dipulihkan. “Kalau Ibu nggak keberatan, kita tunggu sebentar di sini, ya. Teman saya lagi siapin alat buat angkat mobilnya.” “Boleh,” jawab Rania, suaranya pelan. Hujan sudah tinggal gerimis. Al menutup kap mesin sambil tetap memegang payung besar di tangannya. Ia lalu melangkah ke sisi Rania dan memayunginya tanpa banyak bicara. “Mari, Bu,” ucapnya pelan, memberi isyarat dengan mengangkat sedikit tangannya dan menunjuk ke arah mobil derek yang terparkir di seberang mobilnya. Rania sempat ragu sejenak,
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-04-13
Baca selengkapnya
Bab 4 Diam yang Membuat Penasaran
Langit masih mendung ketika mereka sampai di bengkel. Bangunannya besar, berdinding abu terang, dengan pintu garasi yang menganga lebar. Cahaya lampu-lampu neon menggantung dari langit-langit tinggi, menerangi permukaan lantai beton yang bersih dan licin, hanya berjejak tipis oli dan debu ban. Deretan alat tergantung rapi di dinding, seolah setiap kunci pas dan obeng punya tempatnya sendiri. Tak ada suara musik keras atau teriakan montir seperti bengkel kebanyakan. Di sini, semuanya terasa teratur. Terlalu teratur, mungkin, untuk tempat yang seharusnya kacau. Mobil Rania didorong masuk perlahan, dan segera Al serta temannya mulai bekerja. Si teman, lebih tua, mengenakan jumpsuit biru pudar dan sarung tangan mekanik, memeriksa bagian bawah mobil dengan senter kecil di tangan. Al membuka kap mesin dan mulai membongkar pelan-pelan. Gerakannya cepat dan terarah, seolah tubuhnya hafal letak setiap baut dan kabel. Rania duduk di salah satu bangku panjang di pinggir ruangan, tidak jauh t
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-04-14
Baca selengkapnya
Bab 5 Menunggu Taksi
Rania menarik napas pendek, mencoba menahan berbagai perasaan yang masih mengambang di antara mereka. Setelah beberapa saat dalam keheningan, ia menunduk lagi ke ponselnya. “Taksinya lima belas menit lagi.” “Lama juga,” gumam Al. Ia berdiri perlahan, lalu berjalan mendekat, berdiri di sisi bangku tempat Rania duduk. “Kalau saya duduk di sini, Ibu keberatan?” “Kalau saya jawab iya, kamu tetap bakal duduk?” Al tersenyum. “Mungkin duduknya agak jauh sedikit.” Rania menggeser tubuhnya sedikit ke kanan. “Yaudah. Duduk aja.” Ia duduk di sampingnya, jarak satu lengan. Cukup dekat untuk terasa, tapi cukup jauh untuk tidak disebut mendekat. Hening lagi, tapi bukan hening yang kosong, hening yang memeram sesuatu. “Kamu sering nganter mobil orang?” tanya Rania pelan. “Nggak terlalu sering. Tapi kadang yang diantar bukan mobilnya aja.” Rania menoleh. “Maksudnya?” Al hanya mengangkat bahu. “Kadang, orang di balik kemudi itu lebih rusak daripada mesinnya.” Ia tidak menatap Rania
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-04-15
Baca selengkapnya
Bab 6 Tadi Ayah Ya
Setelah perjalanan taksi yang terasa lebih panjang, Rania akhirnya tiba di depan rumah. Begitu mobil berhenti, Moana langsung berlari keluar, wajah cerahnya menyambut kedatangan ibunya. “Bunda!” seru Moana, langsung memeluknya. “Kenapa Bunda terlambat? Ada apa?” Rania tersenyum sambil mengangkat tasnya. “Maaf, sayang. Tadi ada sedikit hal yang membuat Bunda baru pulang sekarang. Mobil Bunda rusak, jadi harus nungguin di bengkel.” Moana mengangguk, meski ada sedikit kebingungannya. “Ini Jaket siapa, Bunda?” tanyanya, menatap jaket hitam yang dikenakan Rania. Rania menoleh ke arah jaket itu. Ia meraba ujung jaketnya, dan tiba-tiba ingatan tentang sosok yang memberikannya kembali datang. Aroma kayu dan teh hitam itu masih terasa samar di ingatannya. Ia menarik napas pelan, berusaha menyembunyikan perasaan yang mulai menggelora. “Ah, ini jaket dari teman Bunda,” jawabnya ringan, meski hatinya sedikit ragu. “Bunda nggak kedinginan kok.” Moana hanya menatap jaket itu sebentar, l
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-04-16
Baca selengkapnya
Bab 7 Jaket Itu
Pintu terbuka perlahan. Dan di baliknya, berdiri pria yang dulu pernah menjadi segalanya—dan entah bagaimana, tetap punya kuasa atas detak jantungnya. Bima Alvaro. Setelan kasualnya tetap terlihat berkelas—kemeja lengan panjang berwarna arang yang digulung rapi, celana bahan gelap, dan jam tangan logam yang memantulkan cahaya lampu teras. Rambut hitamnya tersisir sempurna, seperti biasa. Tidak ada yang berubah. Bahkan caranya berdiri, tegak dengan dagu sedikit terangkat, masih memancarkan wibawa yang sulit dilawan. Dan matanya... mata hitam itu menatap Rania dengan intensitas yang membuatnya ingin mundur, tapi tak bisa. “Rania,” sapanya, tenang dan dalam. Senyumnya masih datar, nyaris tak tampak, tapi justru di situlah letak daya rusaknya. Senyum yang tak menjanjikan apa-apa, tapi selalu meninggalkan sesuatu. Rania menelan ludah pelan. Selama enam tahun terakhir, ia pikir ia sudah kebal. Tapi kenyataannya, berdiri di hadapan pria ini masih membuatnya merasa rapuh. Bima
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-04-17
Baca selengkapnya
Bab 8 Bukan Orang Asing
Rania menarik napas panjang, berusaha menenangkan detak jantungnya yang terasa semakin cepat. Bima masih memandangnya dengan tatapan tajam, tak ada tanda-tanda ia akan mengalihkan perhatian. Suasana di ruang tamu terasa lebih berat, seolah semua kata yang belum terucapkan mengendap begitu dalam. Akhirnya, Rania menundukkan kepala dan berdiri perlahan, melangkah menuju jaket yang tergantung di kursi. Ia meraba permukaan jaket itu dengan jari-jarinya, seolah mencari keberanian di balik bahan kain yang lembut. Dengan suara pelan, ia mulai bicara, mengusir keheningan yang menekan. “Itu jaket dari seseorang yang... aku gak tau siapa,” katanya, tanpa menatap Bima. “Mobilku mogok hari ini, dan... dia membantu. Memberikan jaketnya supaya aku nggak kedinginan. Cuma itu.” Rania menunggu sejenak, merasakan udara di sekelilingnya semakin tegang. Tapi Bima tak segera berbicara, hanya memandangnya dengan tatapan yang sulit diartikan. “Apa kamu merasa perlu jelasin itu padaku?” Bima akhirnya
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-04-18
Baca selengkapnya
Bab 9 Nada Dering Kedua
Melihat nomor yang tak dikenal itu, Rania mengernyit. Ia menggesek layar dan menjawab dengan suara yang terdengar agak tajam, entah karena jengkel atau memang refleks dari sisa emosinya. “Halo?” suaranya terdengar sedikit tinggi. Hening sebentar dari seberang, lalu suara berat pria menjawab, pelan namun terdengar jelas. “Maaf… Bu Rania, Saya… Al, mekanik yang tadi bantuin mobil ibu mogok.” Rania terdiam. Matanya menatap lurus ke depan, tapi jantungnya seperti baru saja kehilangan ritme. Bima melirik ke arahnya, matanya sempit, mencoba membaca ekspresi wajah mantan istrinya yang berubah seketika. “Saya cuma mau pastikan mobil Ibu udah aman, besok sudah bisa diambil.” Suara itu. Lembut tapi tenang. Bukan suara sembarang orang. Rania menelan ludah, perlahan menjawab. “Iya…, terima kasih Al.” Sekilas, pandangan Bima menajam. Rania sadar betul ia sedang diperhatikan. Rania menggeser posisi duduknya, mencoba terlihat biasa saja meski hatinya tak tenang. Ia menunduk, memb
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-04-19
Baca selengkapnya
Bab 10 Suara yang Menelanjangi
Setir mobil digenggam erat, meski kendaraan itu melaju mulus meninggalkan rumah Rania. Malam terasa lengang, udara kering dan dingin merayap pelan menembus kaca mobil yang tertutup rapat. Bima menatap jalan lurus di depannya, tapi pikirannya tak sejalan. Masih tertinggal di ruang tamu kecil itu, di sorot mata Rania yang berubah ketika menerima telepon, di nada suaranya yang nyaris lembut saat menyebut nama pria lain: Al. Ia menarik napas dalam-dalam, melepaskan satu kancing atas di bagian dadanya, lalu mengusap wajah dengan kasar. Mobil berhenti sejenak di perempatan, lampu merah menyala. Bima menyandarkan kepala ke sandaran kursi, membiarkan kelopak matanya menutup. Tapi bayangan Rania malah muncul lebih jelas. Ia kembali ke masa lalu, sebuah sore yang lembut, bertahun-tahun lalu. Sebuah ruangan kecil di lantai dua kafe buku yang hangat, dengan jendela besar menghadap langit senja. Peluncuran buku puisi. Rania berdiri di depan mikrofon, membacakan puisinya dengan suara tenan
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-04-20
Baca selengkapnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status