“Tuduhan Anda tidak berdasar, siapa yang mau mengambil kekasih Anda?”
Wuri merasa keberadaannya mengundang perdebatan, hingga dia berniat pergi karena tidak ada gunanya berada di tempat yang membuat emosinya tidak bagus. Namun, sebelum dia melangkah, Zemi datang bersama dengan Renata—neneknya. Mereka membawa selembar Foto dan gelang yang sama persis dengan miliknya.“Jadi, ini wanita itu?” kata Renata ketus sambil menatap Wuri dari ujung rambut sampai ujung kaki.Menurut Renata, Wuri wanita yang biasa saja, penampilannya sangat jauh berbeda dengan Syakela. Dia berkulit eksotis, tidak seperti Syakela yang berkulit putih halus. Rambutnya juga pendek sebahu tidak seperti Syakela yang panjang indah bergelombang. Apalagi wajahnya, tidak secantik Syakela yang memiliki wajah sempurna bak bidadari surga.Zemi mengangguk, melihat Wuri yang berdiri dan berkata dengan lembut, “Kamu mau kemana? Duduklah ....” Kemudian pria itu menghennyakkan tubuhnya di sofa bersebelahan deWuri menatap wanita tua yang bertanya padanya, dengan serius. Ia tidak tahu pertolongan yang mana yang di maksud oleh Renata. Apalagi wanita tua itu hanya ingin memastikan kebenaran pengakuan Zemi. Pria itu mengaku pada neneknya jika Wuri yang sudah menyelamatkan nyawanya.Apabila semua pengakuan gadis itu tidak sesuai dengan keinginannya maka kemungkinan Renata akan mengabaikannya.Sementara Wuri merasa tidak perlu berbohong atau mengelabuinya. Dia tidak suka terlibat dengan sebuah hubungan yang rumit dan apalagi jika hubungan itu justru tidak bisa membuatnya melakukan tugas dengan baik, maka dia pun akan mengabaikannya.“Maaf, Nyonya, saya sering menolong banyak orang dalam keadaan darurat, bisa jadi, Tuan Zemi adalah salah satunya, ” jawab Wuri dengan datar, dia sudah terbiasa melakukan interview atau laporan data baik lisan maupun tulisan, maka, pertanyaan Renata adalah hal biasa baginya.“Sombong sekali kamu! Apa kamu tidak tahu siapa, aku?”“Oh, iya. Saya juga ingin bertanya, apa
Zemi memegang pergelangan tangan Wuri, mencegah agar wanita itu tidak pergi, sambil berkata, “Nenek, aku mencintainya! Tolong testui hubungan kami!”“Apa?” tanya Syakela, Felia dan Renata secara bersamaan.Wuri menoleh ke arah Zemi sambil mengerutkan alis, dia tidak suka pria yang memaksakan kehendak kepadanya. Sebeb, selama ini jika dia ditugaskan ke berbagai tempat pun, sang atasan selalu memberi penjelasan dan persetujuan setelah itu baru ditanyakan kesanggupannya. Akan tetapi pria ini tidak melakukan hal itu, padahal di antara mereka tidak memiliki hubungan apa pun.Namun, Wuri masih menahan gejolak perasaan di hatinya, dia menunggu sikap apa lagi yang akan dilakukan oleh Zemi selanjutnya. Biar bagaimanapun juga, dia wanita beretika yang tidak akan menjatuhkan harga diri orang lain di depan orang banyak. Dia tahu bagaimana rasanya dipermalukan di depan umum seperti yang perna dilakukan Syakela padanya, dan dia tidak akan melakukan hal yang sama.Wuri merasakan adanya cinta bertepuk
Gempa BumiSesampainya di depan apartemen Biru Laut, di mana Wuri dan Natiya selama ini tinggal, mobil berhenti secara mendadak, seolah Zemi sengaja melakukannya untuk memancing reaksi gadis itu padanya. Dia hanya mencari gara-gara asalkan bisa lebih lama tinggal bersamanya.Wuri menoleh kesal, sambil berkata, “Apa Anda tidak bisa menyetir, Tuan Zemi?”“Jangan panggil aku Tuan, kalau kamu tidak mau aku cium lagi.”Wuri terlihat cuek, dia keluar sambil mengucapkan terima kasih. Zemi menyusulnya turun dengan cepat.“Tunggu!” katanya.“Apa lagi? Dean?” tanya Wuri membuat Zemi tertegun sebab, tidak ada orang yang memanggil dengan nama itu.Kini mereka berdiri saling berhadapan dan melanjutkan percakapan.“Kenapa?” tanya Wuri lagi, aku boleh, kan memanggilmu dengan nama itu.”“Kenapa?”“Namamu membuatku ingat dengan sepupuku yang sudah meninggal, namanya juga Zemi, dan aku memanggilnya dengan Zemzem.”“Kamu boleh memanggilku begitu juga.”“Tidak. Kamu bukan dia! Apa yang ingin kamu tanyaka
Aku di belakangmu!”“Oke, ikuti aku!”“Baik! Mungkin kamu harus lebih cepat!”“Apa yang kamu naiki?“Mobil yang pernah kita bicarakan seandainya jadi mobil ini jadi ambulans!”“Pagani? Apa kamu gila?”“Tidak!”“Punya siapa?”“Dia seorang teman!”Setelah berkata demikian, Wuri menekan gas lebih dalam, melewati ambulans itu dan sampai di halaman parkir rumah sakit lebih dahulu.Dia turun, menyerahkan kunci mobil pada Zemi sambil berkata, “Terima kasih Dean. Aku sangat berhutang Budi padamu!”Tanpa menunggu jawaban, Wuri berlari sekuat tenaga menuju lobi rumah sakit yang terlihat ramai dan panik, lalu naik tangga menuju lantai dua, karena biasanya dalam kondisi seperti ini, lift selalu penuh. Kini, di sanalah dia berada, di antara anak-anak yang panik dan beberapa juga yang harus dipindahkan dari kamarnya. Karena beberapa anak lain tidak mau tidur sendirian.Beberapa jam berlalu, anak-anak mulai tenang dan mereka tidur di kamar masing-masing ada juga yang tidur bertiga. Wuri dengan tela
Kamu MenculikkuSetelah berkata demikian, Zemi meninggalkan Evan dan memasuki mobil, mematikan lampunya dan mengunci pintu, dari dalam. Tentu saja hal itu membuat Evan tak bisa berbuat apa-apa. Kalau saja tidak ada Wuri di dalamnya maka, dia akan memukuli kaca dan meminta Zemi keluar secara paksa.Pria itu tetap berjaga sepanjang malam dekat dengan mobil Zemi, untuk mengantisipasi jika terjadi sesuatu pada Wuri, maka, dia akan siap memukul kaca mobil untuk menyelamatkannya. Tentu saja semua yang dilakukan Zemi akan terlihat dari gerakan yang bisa dilihat dengan kasat mata.Sudah semalaman Zemi tidak tidur, tapi dia menghabiskan malam dengan memandangi gadis di sampingnya yang sedang tertidur pulas. Walaupun hanya bisa memandang, tapi, itu cukup menyenangkan. Ada dorongan kuat untuk melakukan hal yang lebih, tapi dia menahannya sekuat hati.Zemi berjaga sepanjang malam karena khawatir apabila terjadi gempa bumi susulan. Dia tidak hanya mengkhawatirkan dirinya sendiri, tetapi, dia juga k
Rasa Sakit Yang SamaWuri menoleh dengan alis berkerut karena tidak suka dengan apa yang dilakukan Zemi padanya.“Minumlah.” Zemi berkata sambil membuka tutup botol air mineral.“Aku tidak haus,” sahut Wuri datar.“Ini baik untuk kesehatanmu, dan ini, makan roti juga.”“Aku juga tidak lapar.”Zemi termenung, gadis itu membuat jarak yang jelas antara mereka, dengan sikap waspada dan menolak hampir semua kebaikannya.“Baiklah, kalau begitu, bawa saja makanannya, aku tidak akan mengganggumu melakukan tugas lagi, pergilah.” Zemi berkata sambil memberikan sebuah bungkusan berisi roti, dan handuk basah.Wuri menyadari kebaikan Zemi, tapi dia tidak bisa menerima karena tidak ingin perasannya jatuh semakin dalam. Dia tidak ingin melukai dirinya sendiri. Dahulu dia pernah merasakan hal rumit yang muncul secara terus menerus seperti bahagia dan kesenangan. Apalagi saat menatap wajah dan bibir Zemi sempat membuat bintang-bintang kecil di hatinya bermunculan. Dia tidak ingin merasakan lagi kali
Jangan Buru-buru“Nenek, jangan terburu-buru. Aku tidak terlalu bernapsu, apalagi aku masih sibuk.” Syakela berkata sambil memegang tangan Renata lembut.“Nenek dengar sendiri, kan?” sahut Zemi.“Apa maksudmu, Sya? Aku mau kamu cepat menikah dengan cucuku, biar aku bisa tenang walaupun aku nanti tiada!” kata Renata.Semua terdiam, mereka menyadari betapa sayangnya Renata dengan Zemi. Wanita tua itu bertahan dengan segala tradisi dan kepercayaannya demi cucunya yang dia anggap paling mirip dengan Rodi Hugen, suaminya. Baik postur tubuh, suara, rambut dan wajahnya. Renata ingin segera menikahkan Zemi dengan Syakela, demi keamanan hidup juga ketenangan hatinya, setahu dis gadis itu satu-satunya wanita yang memiliki tanda yang sama dengan Zemi di tubuhnya. Dan jika dia harus pergi ke alam baka, maka ruhnya akan tenang bersama Tuhan di atas sana.“Jadi, Nek. Tidak ada yang mau menikah dalam waktu dekat. Aku sudah berkata jujur kalau aku tidak mencintai Syakela!”“Zemi! Jaga bicaramu, bera
Ramalan BaikPeramal itu kenal dengan Zemi. Seorang yang memiliki tanda seperti itu jika menikah, maka pasangan yang dinikahinya akan tiada, tidak lama setelah hari pernikahan mereka digelar. Orang seperti ini biasanya tidak akan menikah lagi setelah mengalami hal yang sama sebanyak tiga kali, lagipula tidak akan ada lagi yang mau menikah dengan mereka karena takut mati.“Ya, aku,” kata Zemi datar.Kedua pria itu duduk berhadapan, tak lama Syakela muncul dari balik pintu dengan raut wajahnya yang menunjukkan kegelisahan.“Lalu, siapa dia?” tanya peramal itu.“Oh, dia calon istriku!” kata Zemi seraya melirik pada Syakela yang duduk dengan anggun di sebelahnya.Si peramal tercengang sekaligus heran, dengan sikap Zemi, seandainya memang dia calon istri, bukankah Zemi seharusnya menunjukkan sikap yang baik dan penuh kasih sayang, mengingat tidak sembarang wanita bisa hidup berdampingan dengannya? Akan tetapi yang dilihatnya sungguh berbeda, Zemi terlihat acuh dan cuek.“Calon istri?