Tidak MenemukannyaSemalaman mereka bergadang, sesekali Zemi menggantikan Ajer menyetir karena pria itu terlihat mengantuk.Sesampainya di sana, hari sudah menjelang pagi, mentari sudah menampakkan cahayanya. Dua mobil kontainer yang tiba lebih dulu, menunggu perintah dari majikan mereka untuk menurunkan barang. Setelah mobil mewah yang dikendarai Zemi, Renata dan Ajer tiba, barulah semua barang mereka turunkan semuanya.“Kau datang lagi?” tanya Khazanu menyapa Zemi.“Ya, Tuan Khazan, apa ada masalah dengan kedatanganku?” tanya Zemi penuh percaya diri.“Tidak,” sahut Khazanu.Dia mengabaikan Renata dan Ajer, karena hanya Zemi yang dia kenal. Saat melihat dua truk besar tiba, dia segera melihatnya dan begitu melihat Zemi, dia pun heran karena pria itu begitu gigih berjuang demi mendapatkan Wuri, seperti keinginannya. Kedatangannya kali ini menunjukkan jika ujiannya berhasil setelah sekian lama.Wuri tidak ada di tempat itu, karena sejak kejadian terungkapnya penyebab kematian aya
Ya Tentu Saja (TAMAT)Wanita itu sedikit lebih berisi dan ketika wanita itu turun di tempat yang agak tinggi, di mana dia biasa turun dan naik ke leher gajah, terlihat dengan jelas perutnya sedikit membencit.Zemi menghampiri Wuri dengan langkah yang perlahan dan sedikit ragu, dia mengingat kejadian terakhir saat mereka bertemu dan waktu itu mereka sempat melakukan sesuatu yang bisa membuat wanita itu, mengandung benihnya saat ini.Begitu dua insan itu saling menatap dan berdekatan, seketika keduanya pun sama-sama mengeluarkan air mata yang, entah disebabkan oleh apa. Namun, yang jelas kerinduan itu terukir pada tatapan mereka.Zemi tiba-tiba berlutut sambil menyebut nama Wuri, beberapa kali. Air matanya mengalir lebih deras, dia yakin bahwa gadis itu menanggung beban yang cukup berat selama ini. Tentu saja benar apa yang di pikirkan oleh Zemi, jika Wuri memang sudah menanggung beban yang demikian berat, dia berusaha setengah mati menahan rindu dan cintanya sementara dia tengah m
Gadis berambut sebahu itu tercengang, melihat kecelakaan mobil yang terjadi di depannya. Mobil itu tiba-tiba saja oleng dan menabrak rambu-rambu lalulintas di sebelah kirinya. Suara decitan dan benturan keras terdengar memekakkan telinga. Ia, dengan setengah berlari mendekati mobil itu dan melihat ke dalamnya. "Bertahanlah, Tuan!" Katanya, sambil berusaha membuka pintu mobil dengan susah payah. Pintu mobil terkunci, sedang orang yang ada di dalamnya membutuhkan pertolongan. Mobil itu ringsek dan laki-laki yang mengemudikannya terjebak di dalam. Asap mengepul dari bagian mesin. Gadis itu khawatir mobil akan meledak, hingga ia berusaha menyelamatkan pengemudinya. "Kumohon, bertahanlah!" Katanya lagi, sambil terus berusaha membuka pintu mobil. Ia berfikir tidak mungkin pintu mobil terbuka dengan cara seperti itu, hingga ia melihat kakinya. Ia pun memecahkan kaca jendela mobil menggunakan hak sepatunya, dengan sekuat tenaga, hingga hancur berkeping-kep
"Apa tidak apa kalau aku ikut?" Kata Wuri, ketika pasien sudah dimasukkan dalam ambulans. Evan mengangguk. Ambulans mulai melaju saat semua orang sudah ada di dalam. Suara sirine yang kuat menemani perjalanan menuju rumah sakit. Wuri dan Evan duduk saling berhadapan, sementara pasien ada di antara mereka berdua. "Denyut nadi pasien rendah, aku menghitung hanya enam puluh perenan enam puluh Luka di dahi dan kepala cukup parah, tulang kaki dan paha mungkin retak karena terjepit, tangan dan bahu hanya luka ringan," kata Wuri memberi sedikit penjelasan. "Baik, tekan bagian luka di kepalanya agar tidak terjadi pendarahan akut." Evan berkata sambil memasangkan selang oksigen di hidung pasien. "Oke." Wuri dan Evan melakukan beberapa tindakan lanjutan. Tidak banyak yang bisa mereka lakukan, selain usaha agar tidak terjadi hal, yang lebih buruk. "Tidak apa. Oh ya, kau mau kemana?" Tanya Evan. Setelah selesai. "Aku mau pulang." "Kau sang
Wuri melirik sekumpulan wartawan yang melewati mereka. Bagi para wartawan itu, mereka bukan siapa-siapa. Wuri dan dua perawat, bukanlah orang yang tengah dicari oleh pera pemburu berita, melainkan mencari seorang selebritas yang tengah berkunjung dan memiliki keperluan lain di rumah sakit. Kabarnya, selebriti ini sedang terlibat sebuah skandal. Biasanya hanya para selebritis atau selebritas, yang memiliki skandallah, yang selalu diincar keberadaannya oleh mereka. Wuri sudah biasa dengan kerumunan wartawan, tapi bukan di tempat seperti ini. Ia akan bertemu mereka di lokasi-lokasi bencana, di pusat layanan darurat, atau di antara siswa siswi, yang berprestasi dalam ekstrakulikuler sekolah, di mana Wuri menjadi pembimbingnya."Tunggu." Terdengar suara seorang wanita, yang tiba-tiba menghentikan kereta pasien. Wanita itu menahan ujungnya, saat akan didorong masuk ke kamar perawatan. Wuri dan dua orang perawat pun menghentikan dorongannya. Wajah wanita itu cantik
Laki-laki itu Zamidean, ia biasa dipanggil Zemi. Ia berada di Cafe karena sedang bersembunyi, dari neneknya yang ingin kembali mengurungnya di rumah. Namun ia tidak menyangka akan bertabrakan dengan Wuri, saat ia hendak memastikan sesuatu yang baru saja ia lihat dari balik jendela."Maaf." Wuri berkata sambil menyimpan gelas kopi di meja. "Maaf, maaf, apa kamu buta?" Sahut Zemi. Melihat laki-laki itu marah, Wuri menganggapnya wajar. Pakaian pria itu kotor karena kecerobohannya. "Maaf, saya tidak sengaja." Wuri berkata sambil menundukkan kepalanya, tanda penyesalannya tidak dibuat-buat. "Percuma kamu minta maaf, bajuku kotor, tahu?" Kata Zemi penuh Emosi sambil menunjuk kemejanya yang terkena tumpahan kopi. "Saya sudah minta maaf. Apa Anda mau baju anda dicuci? Kalau mau, lepaskan baju Anda, sekarang." "Apa kamu gila, menyuruhku melepaskan baju di tempat ini?" "Kalau tidak mau, ya sudah." Wuri melangkah, menjauhi laki-laki yang masih t
Zemi berdiri dalam posisi siaga, dengan gadis yang ada dalam dekapannya. Ia mengernyitkan dahi saat Wuri memukul tangan besar yang membekap mulutnya. Mengisyaratkan agar Zemi percaya padanya. Wuri menarik nafas dalam, mereleks-kan tubuhnya, agar Zemi tenang, tidak merasa terancam dan khawatir akan keamannya. Zemi menundukkan kepalanya dan melihat Wuri yang juga menatapnya, hingga kedua mata mereka saling beradu. Tiba-tiba saja hati Zemi berdebar halus. Zemi melepaskan dekapan dan tangan yang berada di mulut Wuri pun jatuh ke samping. Wuri mendekat dan berbisik, "Tenanglah aku akan membantumu." Setelah itu Wuri keluar toilet. Di dekat pintu, ia melihat ada seorang lelaki bertubuh tinggi besar berdiri sambil mengedarkan pandangan. "Apa kau lihat ada laki-laki di dalam?" Tanya pria itu ketika melihat Wuri yang baru keluar dari toilet wanita. "Tidak. Apa laki-laki itu buta sampai salah masuk toilet?" Mendengar pertanyaan Wuri, pria itu menc
Wuri dan Natia mendongak, pada laki-laki yang berdiri di hadapan mereka, sambil mengulurkan tangannya. Ia masih mengenakan kemeja yang kotor karena tumpahan kopi sebelumnya.Wuri mengangguk, lalu menoleh pada Natia di sampingnya.Ia berkata, “Apa kau mau berkenalan dengannya, Nat?”Natia mengangguk dan berdiri sambil menyambut uluran tangan Zemi. Wanita bertubuh gemuk itu berkata dengan lembut, “Kenalkan, aku Natia Ralusi. Panggil saja aku Natia, siapa namamu?”Zemi mengerutkan alisnya, ia sebenarnya ingin mengenal Wuri karena mengingat sesuatu. Laki-laki itu secara tidak sengaja mendengarnya berteriak girang. Suara itu mirip dengan sebuah suara yang ia simpan dalam ingatannya.Zemi menjabat erat tangan Natia lalu berkata, “Aku Zamidean. Panggil saja aku Zemi.”“Hai, Zemi. Senang berkenalan denganmu,” kata Natia.“Aku juga,” kata Zemi lalu menoleh pada Wuri yang tampak cuek d