Sudut pandang Peter.Aditya lagi senang banget. Kemarin sore, aku sama Robin akhirnya berhasil meyakinkan dia buat singkirin Naomi dulu sebelum ngomong sama Citra. Soalnya Naomi tuh nelponin dia terus, dan kami merasa itu bakal jadi masalah. Robin bilang mendingan diberesin dulu daripada bikin Citra makin tersakiti. Akhirnya dia setuju juga.Kata adik-adiknya Robin, mereka bakal dapat jawabannya hari ini, saat ibunya Naomi datang ke salon. Jadi kami cuma bisa nunggu. Hari ini kerjaanku numpuk banget, jadi kupikir waktu bakal cepat lewat.Saat aku lihat Citra udah duduk di mejanya, rasanya lega banget. Dia kelihatan jauh lebih baik. Aku sempat ngobrol sebentar sama dia, terus langsung masuk ke ruanganku. Nggak lama, ponselku berdering. Sekar bilang itu Dokter Hadi Ferdian, nanya boleh nggak disambungin."Halo, Hadi, gimana kabarmu?""Halo, Peter. Jujur aja, aku agak malu. Tugas yang kamu minta ternyata makan waktu lebih lama dari yang aku kira. Orangnya tertutup banget.""Wah, aku malah
Sudut pandang Citra.Aku ambil cuti kemarin, dan hari ini aku sudah siap berperang. Aku sudah istirahat, mikir banyak, dan beresin pikiran. Aku harus ke kantor dan ngomong sama Aditya. Aku merasa aneh karena dia belum hubungi aku sampai sekarang.Aku agak nggak tenang, mikir dia mungkin lupa sama aku. Wanita yang cium dia di lobi itu, jangan-jangan itu adalah wanita yang lagi dia cari? Kalau iya, berarti Vivi dan Peter salah, dan Aditya sudah lupain aku. Pikiran itu bikin aku sedih. Aku harus tahu jawabannya.Saat Robin datang, aku ajak dia minum kopi di ruang istirahat. Dia pasti tahu jawabannya."Cantik, gimana kabarmu?" tanya Robin sambil lihat-lihat wajahku."Aku baik, Robin, makasih sudah antar aku pulang. Aku bahkan pingsan sebelum sampai rumah, maaf ya.""Nggak usah sungkan, Cit. Itu tugas teman. Senang bisa menemanimu tidur," katanya sambil bikin aku ketawa karena kata-katanya yang bisa diartikan ganda."Makasih ya. Tapi ada yang mau aku tanya," kataku memulai percakapan."Tent
Sudut Pandang Aditya.Begitu kami kembali ke kantorku, aku benar-benar dibakar amarah. Kami langsung cerita ke Robin tentang semua yang Rita kasih tahu waktu di kafe."Robin, aku mau kamu kasih pemberitahuan resmi ke semua rekan bisnis, klien, pemasok, pokoknya semua tempat yang pernah atau sering kita datangi, bahwa Carisa sudah bukan bagian dari perusahaan ini. Dan bilang juga kalau dia sudah menyebarkan informasi internal perusahaan dan punya kontak di semua tempat itu. Kalau mereka mau terus kerja sama dengan kita, aku minta mereka selidiki." Aku kasih instruksi, dan Robin langsung mulai kerja."Ya ampun, ini kayak kanker yang nyebar ke mana-mana." Peter sama kagetnya kayak aku."Oh ya, hubungi juga Societa dan bilang aku mau Lela dikeluarkan hari ini juga." Aku nambahin."Aditya, waktu kamu pacaran sama si Naomi itu, dia kan akrab banget sama Carisa, ya?" Robin tanya."Iya. Tapi belakangan Carisa bilang dia kecewa sama Naomi, katanya dia nggak nyangka sifatnya ternyata gitu dan ng
Sudut Pandang Aditya.Aku telepon sekretaris dokter dan janjian ketemu saat jam makan siang di kafe dekat klinik. Saat aku dan Peter sampai, dia sudah duduk di meja paling belakang."Siang, Pak Aditya. Pak Peter. Apa kabar?" sapa dia dengan formal banget."Tunggu, kamu kenal aku?" tanya Peter dengan heran."Aku juga kerja saat akhir pekan di Societa," jawabnya agak canggung. "Dan kalian berdua sering kasih tip gede. Namaku Rita Febrianto.""Ya ampun, benar juga! Aku pernah godain kamu deh waktu itu..." Peter mengenalinya dan langsung tertawa terbahak-bahak.. "Tapi tanpa riasan wajah, rambut dikuncir, dan pakai kacamata, kamu kelihatan beda banget.""Iya." Rita mengangguk, kelihatan nggak nyaman. "Makasih sudah nelpon, Pak Aditya.""Dengar ya, Rita, aku akui saat kamu kasih nomormu, aku kira kamu lagi godain aku. Tapi sekarang aku malah penasaran," kataku sambil duduk."Pak Aditya, aku kerja di klinik karena butuh gaji, tapi sejujurnya, Dokter Vino itu orangnya nggak punya moral. Apa ya
Sudut Pandang Aditya.Aku datang lebih awal ke kantor. Rasanya nggak sabar banget buat ngobrol sama Citra, jelasin semuanya, dan minta maaf untuk ke sekian kalinya dalam beberapa hari terakhir. Tapi waktu Peter datang dan lihat aku duduk di ruang resepsionis, dia langsung menghancurkan rencana aku."Masuk ke ruang kerjamu. Citra nggak masuk hari ini. Aku kasih dia libur, dia butuh istirahat dan memang pantas dapat itu. Lagipula, aku sudah janji ke sahabat-sahabatnya buat awasi kamu supaya nggak ganggu dia hari ini," kata Peter dengan nada serius."Ya ampun, Pet!" Aku mengeluh kayak remaja labil. "Ayo deh, kita ngopi dulu."Saat sampai di ruang istirahat, Mila, Robin, dan Sekar lagi bisik-bisik dan langsung diam waktu kami masuk. Kami ngobrol sebentar, lalu aku, Peter, dan Robin pindah ke ruanganku."Jadi, Robin, sebenarnya apa yang kamu tahu dan aku nggak tahu?" tanyaku mulai menekannya."Aku nggak ngerti maksudmu," jawab Robin."Ayolah! Kamu tahu sesuatu, pasti tahu!" kataku dan makin
Sudut pandang Citra.Waktu Robin nganterin aku pulang, aku sudah ketiduran karena teh herbal buatan Bu Mila. Aku baru bangun saat siang, dan lihat Vivi duduk di samping tempat tidurku."Hai, putri tidur!" sapa Vivi sambil senyum."Hai, Vi," jawabku pelan."Kamu gimana rasanya sekarang?""Parah. Dia mau nikah sama satu perempuan, dan sudah punya simpanan juga. Dan yang lebih nyebelin, kayaknya cewek itu justru yang dari masa lalunya yang dulu dia cari-cari.""Cit, aku sudah ngobrol sama Peter. Aku bakal kasih tahu sesuatu, demi kebaikan kamu juga... dan kakakku," kata Vivi, kelihatan agak nggak nyaman. "Aditya nggak jadi nikah. Yang aku tahu, dia baru tahu kalau Lastri ternyata nggak hamil.""Maksud kamu gimana, Vi?""Itu ada hubungannya sama hasil tes gitu. Tapi intinya dia nggak hamil, dan Aditya sudah batalin pertunangannya. Nah, soal cewek yang kamu lihat cium dia tadi siang, itu lebih rumit. Tapi yang aku tahu, dia cuma mantan pacar. Aditya nggak punya rasa lagi ke dia." Vivi cerit