Pernikahan itu seharusnya hanya rahasia. Tidak ada saksi. Tidak ada pesta. Tidak ada cinta. Alaire Davina menikahi pria yang tak pernah tersenyum Nayel Arvanden, CEO muda dan pewaris tunggal kerajaan bisnis terbesar di negeri itu. Baginya, pernikahan itu hanyalah formalitas dingin untuk memenuhi janji lama antara keluarga. Tapi bagi Nayel… itu adalah bagian dari rencana panjang. Rencana untuk menghancurkan keluarga yang pernah menghancurkan hidupnya. Di balik cincin yang berkilau, ada kebohongan, pengawasan, dan rahasia yang nyaris membunuh mereka berdua. Karena satu hal yang tidak pernah Nayel duga Wanita yang ia jadikan alat balas dendam itu ternyata adalah kunci masa lalunya sendiri. Dan saat kebenaran terbuka… cinta mereka menjadi dosa terbesar. “Kau tidak pernah kucintai, Alaire.” “Lalu kenapa setiap kali aku berusaha pergi, kau malah menahanku?”
View MoreLangit di atas Zurich berwarna abu-abu kelam. Sebuah helikopter tanpa tanda terbang rendah di atas atap gedung tua yang ditinggalkan, hembusan anginnya memecah kabut pagi. Di dalam ruangan di bawahnya, Alaire duduk bersandar di tembok, napas berat, luka di bahu kirinya masih basah oleh darah. Hening. Hanya suara detak jam tua yang masih berjalan di pojok ruangan. Vira masuk membawa perban dan segelas air. Wajahnya letih, tapi matanya tetap tajam. “Kau seharusnya tidak bergerak dulu,” katanya pelan. Alaire menatap keluar jendela retak, ke arah menara komunikasi di kejauhan yang memancarkan cahaya aneh. “Dunia berubah, Vira. Aku bisa merasakannya.” Vira menatapnya ragu. “Kau bicara tentang sinyal itu lagi?” Alaire mengangguk pelan. “Semenjak Helix Dawn hancur, frekuensi aneh muncul di seluruh dunia. Tidak bisa dideteksi oleh radar biasa. Tapi aku tahu pola itu. Itu bukan sekadar noise.” Ia menatap layar kecil di depannya gelombang sinyal berirama, tapi membentuk pola detak jan
Basel, Swiss. Udara dingin musim gugur menggigit kulit, menyelusup di sela mantel hitam yang membungkus tubuh Alaire. Kota tua itu tampak damai di permukaan — jalan-jalan berbatu, kafe dengan lampu kuning hangat, dan sungai Rhine yang memantulkan cahaya bintang tapi di bawah tanahnya, sesuatu yang jauh dari damai sedang berdenyut. “Aku masih tidak percaya kita ada di sini,” gumam Vira pelan sambil menatap layar tablet kecil di tangannya. “Koordinat dari file Nayel menunjuk ke area penelitian Elysion Biotech, tapi tidak ada catatan publik tentang fasilitas bawah tanah di sana.” Alaire menatap bangunan besar di ujung jalan: menara kaca dengan logo heliks perak di atasnya. “Karena itu bukan fasilitas publik,” jawabnya datar. “Itu laboratorium rahasia yang bahkan pemerintah tidak tahu.” Vira menelan ludah. “Jadi apa rencanamu?” Alaire menatap jam tangannya. “Kita masuk malam ini.” Pukul 01.13 dini hari. Langit Basel gelap total ketika dua bayangan bergerak cepat di antara lorong
Tiga hari setelah ledakan Arvanden, kota masih berbalut kabut dan abu. Media internasional menayangkan gambar reruntuhan gedung megah yang kini hanya tinggal rangka besi hangus. Nama Nayel Davina memenuhi setiap headline sebagian menyebutnya pahlawan, sebagian lagi mengutuknya sebagai dalang kehancuran. Di antara semua itu, hanya satu orang yang tahu kebenaran. Alaire. Ia duduk di kursi rumah sakit, menatap layar kecil di tangan rekaman terakhir dari kamera keamanan bawah tanah yang berhasil ia selamatkan. Dalam video itu, Nayel menatap kamera sambil berkata pelan, “Kalau kau menonton ini… berarti aku gagal kembali. Tapi aku tahu kau akan melanjutkan.” Suaranya tenang, tapi di matanya masih tersisa rasa takut bukan takut mati, tapi takut ia tak sempat menuntaskan apa yang telah dimulainya. Alaire menutup layar, air mata jatuh tanpa suara. Di meja di sebelahnya tergeletak flashdisk hitam dengan label tipis bertuliskan “A.DawnProtocol” — warisan terakhir Nayel. Ia memutar flas
Suara tembakan menggema di lorong bawah tanah, memantul di dinding baja dan menelan seluruh udara di sekitar. Nayel terhuyung mundur, tubuhnya membentur panel logam, sementara darah hangat mulai merembes dari sisi bahunya. Namun tangannya tetap menekan keyboard, menyelesaikan proses terakhir. “Sudah terlambat, Vin,” desisnya. “Semuanya sudah terkirim.” Vin Arvanden berdiri beberapa meter di depannya, pistol masih berasap. Wajahnya tampak menegang, tapi mata itu dingin, nyaris kosong tidak menunjukkan penyesalan sedikit pun. “Kau pikir aku tidak siap untuk ini?” katanya pelan. “Aku yang menciptakan sistem itu, Nayel. Kau hanya memainkan permainan yang sudah kusiapkan.” Nayel tertawa kecil, getir. “Permainanmu baru saja berakhir.” Di layar di belakang mereka, data yang bocor terus mengalir laporan keuangan, rekaman percakapan, bahkan file rekayasa genetik rahasia yang menjadi inti proyek “Pulse”. Nama Vin Arvanden kini terpampang di setiap media dunia. Vin melangkah maju, pisto
Hujan baru saja reda, meninggalkan aroma tanah basah dan langit kelabu. Rumah tua itu kembali sunyi, seolah tahu malam ini bukan sekadar malam biasa, tapi malam terakhir sebelum segalanya berubah. Alaire duduk di tepi tempat tidur, mantel gelapnya masih basah di ujung. Sementara Nayel berdiri di dekat jendela, menatap kota jauh di bawah bukit. Lampu-lampu gedung Arvanden tampak seperti bara yang siap meledak kapan saja. “Besok jam delapan konferensi dimulai,” ucapnya pelan. “Begitu data dari flashdisk Vira terkirim, semua media akan menerima salinannya secara otomatis. Vin tak akan sempat menutupi apa pun.” Alaire menatap punggungnya yang tegap tapi tampak tegang. “Dan kalau sistem mereka mendeteksi kirimanmu?” “Dia akan tahu aku masih hidup.” “Dan dia akan memburumu.” Nayel menoleh. Ada senyum samar di wajahnya bukan bahagia, tapi lelah. “Bukankah itu yang kita tunggu?” Alaire menggeleng pelan, matanya berkilat. “Aku tidak menunggumu mati, Nayel.” Kata-kata itu memecah udar
Hujan turun deras sejak subuh. Air menetes dari atap rumah tua itu, memantul di jendela dan menciptakan bayangan buram di lantai. Alaire berdiri di dekat perapian yang dingin, membungkus tubuhnya dengan jaket tipis. Matanya menatap api kecil yang baru menyala cahayanya menari di wajah pucatnya, memantulkan kelelahan yang tak sempat ia sembunyikan. Sudah dua hari sejak mereka bersembunyi di rumah peninggalan Clara Davina. Dua hari tanpa kabar dari dunia luar. Ponsel mereka dibungkam. Kamera pengintai di sekitar properti dicabut satu per satu oleh Nayel. Rumah itu menjadi tempat terakhir yang tidak tersentuh oleh Arvanden Corp atau setidaknya, belum. Di meja kayu tua, bertebaran dokumen, foto, dan potongan berita lama. Nayel duduk di kursi, membolak-balik berkas dengan mata yang menatap tajam, seperti seseorang yang berusaha menafsirkan masa lalunya sendiri. Ia terlihat letih, tapi di balik kelelahan itu ada sesuatu yang lain: amarah yang dingin. Alaire mendekat perlahan. “Ka
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments