Share

Bab 3

Penulis: Masatha
last update Terakhir Diperbarui: 2024-08-19 15:35:11

Pagi ini Zero berniat untuk memuaskan diri tidur sebelum latihan sepak bolanya dimulai. Dia ingin menghemat tenaganya sebab dia tahu pelatih timnas memiliki metode pelatihan yang keras.

Sampai tiba-tiba dari luar kamar dia mendengar tangisan anak kecil sembari pintunya digedor-gedor.

“Kak Zero! Buka pintunya!”

Mau tak mau Zero memaksakan diri membuka matanya, dia berjalan malas-malasan dan membukakan pintu lalu menundukkan kepalanya untuk menatap siapa yang sudah mengusiknya pagi-pagi ini.

“Evelyn Emma … ada apa?” tanya Zero pada gadis cilik berusia 4,5 tahun itu.

“Kak Vicenzo  menghabiskan  donat aku yang rasa strawberry!” adu Evelyn sambil nangis.

“Jangan nangis, tinggal suruh Kak Vicenzo membelikan yang baru,” bujuk Zero.

“Nggak mau, pengennya sama Kak Zero saja,” rengek Evelyn.

Dulu ada Aurora—adik pertamanya yang begitu manja dan suka merecokinya. Setelah Aurora menikah dan ikut suaminya muncul satu lagi versi kemasan sachet yang tak kalah manjanya.

Tak lama kemudian Vicenzo muncul, tertawa lirih seolah tidak berdosa.

“Lo yang bikin ulah, kenapa jadinya gue yang harus tanggung jawab?” sengit Zero menatap tajam pada adik lelakinya.

“Gue udah nawarin, tapi dianya nggak mau. Pengennya sama Kak Zero katanya,” jawab Vicenzo dengan santainya.

“Yasudah, Kak Zero mandi dan siap-siap dulu. Evelyn tunggu di luar ya?” bujuk Zero mengalah.

“Hore!” teriak gadis cilik itu sangat bahagia. Lalu saat bertatapan dengan Vicenzo langsung menjulurkan lidahnya. “Kak Vicenzo jelek!”

“Nyenyenyenyenye,” balas Vicenzo tak mau kalah.

Zero hanya menarik napas melihat tingkah kedua adiknya. Apalagi Vicenzo yang saat ini sudah kelas 3 SMA tapi setiap dekat dengan Evelyn tidak ada sikap dewasa sama sekali.

Zero pun bergegas untuk mandi, setelah siap diapun segera keluar dari kamar dan menemui keluarganya yang sudah menunggu di ruang makan.

“Pagi semua,” sapa Zero.

“Pagi."

“Kok sudah rapi, mau kemana?” sela Syadeva.

“Nganterin Evelyn beli donat, Dad,” jawab Zero datar.

Sontak Syadeva langsung melirik ke putra ketiganya, memberikan lirikan yang tajam.” Kamu pasti isengin adik kamu lagi ya? Udah besar beli sendiri kalau pengen, kaya nggak punya duit aja!” tegur Syadeva, pasalnya hal seperti ini terjadi hampir tiap hari.

“Hehe … maaf,” cicit Vicenzo terkekeh gemas menatap adik perempuannya.

“Nggak mau maafin, Kak Vicenzo jahat!” sergah Evelyn memalingkan wajahnya.

“Cih, yakin ngatain Kak Vicenzo jahat? Padahal siang ini rencananya mau ngajakin ke Timezone. Tapi kayaknya nggak jadi deh,” goda Vicenzo.

“Ah mau—sama Kak Aurora juga kan?” pekik Evelyn langsung berubah drastis sikapnya.

“Hm.”

“Kok Hem? Iya tidak?”sela Evelyn manja.

“Iya, Cantik,” balas Vicenzo gemas sekali.

“Kak Zero ikut, ya?” bujuk Evelyn pada Zero.

“Tidak, Kak Zero nggak suka ke tempat begituan. Nanti beli donatnya sekalian sama Kak Aurora dan Kak Vicenzo saja ya?” sela Zero.

Evelyn nampak berpikir sejenak, lalu menganggukkan kepalanya. Dan Zero tersenyum lega, saat ini lelaki itu memang tengah malas untuk kemana-mana dan lebih ingin memilih istirahat total.

“Zero, bagaimana tidurmu, apakah nyenyak?” sapa Zeta.

“Lumayan, Mom,” jawab Zero.

“Oh iya, kamu ingat dengan teman masa kecil kamu? Pamela—katanya mamanya sakit. Mama belum jenguk dia, apa kamu mau ikut?” tanya Zeta.

Deg!

Pamela …

Setelah 5 tahun berlalu, akhirnya dia mendengar satu nama keramat itu disebut. Yang mendengar adalah telinga, tapi yang bereaksi adalah dadanya—bergemuruh hebat.

“Zero, ditanya kok malah bengong?” sela Zeta.

“Iya, Mom. Emh, tapi kenapa tidak berangkat bareng Aurora saja?” tanya Zero balik.

“Kemarin dia sudah bersama suaminya.”

“Oh oke”

Bagaimanapun juga dia memiliki hutang budi pada  Hasna. Tetangga baik yang pernah memberinya makan kala kelaparan. Jika mengingat semua itu, ada perasaan sesal juga, akan kesalahannya di masa lalu.

Usai sarapan pagi, nampak Evelyn Emma yang sudah menarik-narik Vicenzo untuk segera berangkat ke Timezone. Sementara Syadeva yang terburu-buru mau ada rapat pagi. Sekalipun Zero selama ini kuliah di Belanda, tapi setiap hari orang rumah selalu video call dan enam bulan sekali liburan ke sana. Itulah kenapa, Zero tidak merasa asing dan tetap dekat dengan adik-adiknya.

***

Zero merasa sedikit enggan untuk bertemu dengan Pamela, tapi dia juga merasa rindu dan penasaran kira-kira bagaimana kabar sahabat kecilnya itu.

Tetapi sesampainya di sana, Zero malah syok dengan adanya Tirta yang nampak begitu dekat Hasna.

“Selamat pagi, bagaimana kabarnya, apakah sudah baikan?” sapa Zeta ramah sambil meletakkan bingkisan oleh-oleh ke meja.

“Selamat pagi, wah mommy nya Aurora ya? Sudah mulai baikan, sore ini sudah diizinkan untuk pulang,” balas Hasna, tapi beberapa saat kemudian mata Hasna melirik ke arah Zero.

“Pagi, Tante. Semoga lekas sembuh,” timpal Zero canggung.

“Iya, terima kasih. Kamu—Nak Zero?”

“Iya, Tante,” jawab Zero yang masih ngelag, apalagi dengan adanya Tirta di sini. Karena setahu dia Pamela tidak punya saudara lain.

“Zero, gue nggak nyangka Lo bisa kenal dengan Tante Hasna,” sapa Tirta ramah.

“I—iya, gue dulu saat kecil tetangga sebelah rumah dengan Tante Hasna,” jawab Zero.

“Wah, jadi Lo kenal dengan calon istri gue dong? Dunia ini sempit sekali!” pekik Tirta yang seperti petir yang menyambar ke telinga Zero.

Tiba-tiba Pamela yang baru membelikan makanan sangat syok dengan kehadiran Zero, saking kagetnya sampai bungkusan yang dipegangnya jatuh.

“Sayang, kamu tidak apa-apa?” ucap Tirta langsung melesat menunduk, mengecek kaki Pamela lalu mengambil bungkusan makanan tersebut.

“Ti—tidak apa-apa,” jawab Pamela gemetar ketakutan.

Zero hanya menatap pemandangan itu, gadis mungil yang dulu lugu dan polos kini nampak semakin dewasa dan tambah cantik.

“Pamela, mari sini sapa Mommy nya Aurora dan Zero—teman kecil kamu,” timpal Hasna.

“Hallo, Tante Zeta. Terima kasih sudah repot-repot kemari menjenguk Mama,” sapa Pamela.

“Tidak repot, sebenarnya kemarin mau ke sini bareng Aurora tapi ada urusan mendadak jadi tertunda,” jawab Zeta yang memang sudah mengenal baik Pamela.

“Kak Zero—apa kabar?” sapa Pamela tak berani menatap mata elang lelaki itu.

“Baik,” jawab Zero yang jauh lebih bisa mengontrol ekspresinya, bersikap tenang.

Pamela … rupanya calon istri Tirta ya.

Seharusnya Zero bahagia dengan kabar ini, bukankah itu yang dulu dia inginkan? Melihat Pamela bahagia dengan lelaki lain? Tetapi—melihat fakta itu justru membuat perasannya memburuk.

Zero mengira dirinya sudah sembuh dari penyakit mentalnya, karena selama di Belanda dia sudah tidak bersikap impulsif. Tapi saat ini, begitu melihat tangan Tirta yang merangkul pinggang Pamela pikiran untuk mengukung dan membuat Pamela menangis di bawah kendalinya muncul kembali.

“Sayang, kamu kok nggak pernah bilang kalau kenal dengan Zero? Dia ini teman aku saat SMA loh,” sela Tirta memecah keheningan.

“Aku tidak tahu kalau kalian berteman, apalagi Kak Zero lulus SMA langsung ke Belanda dan kami tidak pernah berkomunikasi lagi,” jawab Pamela memaksakan diri untuk tersenyum.

“Oalah, tadinya niat aku mau ngenalin kamu ke teman aku saat acara reunian di SMA aku. Eh, ternyata kamu sudah kenal duluan malahan,” balas Tirta terkekeh.

Pamela menundukkan kepalanya, sementara Zero memasang wajah datarnya.

Situasi macam apa ini?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cinta Gila Putra Konglomerat   Bab 43

    Senja menghiasi langit, menarik ingatan ke masa lalu. Zero sedang duduk berduaan dengan Daddy nya—Syadeva. Lelaki yang tidak pernah menjadi panutannya tetapi juga tidak bisa untuk dibenci.Meskipun hidup kadang terasa melelahkan, seorang anak tempat untuk pulang tetapkan orang tuanya. Begitu juga sebaliknya, sebagai orang tua tempat untuk kembali adalah istri dan anak-anaknya. Keluarga adalah sebuah kesatuan, yang tidak akan pernah bisa untuk dipisahkan. Darah mengalir deras, menjadi ikatan yang kokoh menyalurkan kasih sayang tanpa diucapkan.“Dad, apakah kamu pernah menyesal memiliki anak aku? Maksudnya—karena aku lahir dari rahim wanita yang tidak kamu cintai?” tanya Zero penasaran.Itu adalah ungkapan hati terdalam dari seorang Zero, yang selama ini dia tutup rapat-rapat.Syadeva nampak terkejut, tetapi sesaat kemudian menarik napas dalam-dalam.“Saat kamu pertama kali datang padaku, usiamu baru tujuh tahun. Tanpa perlu tes DNA, aku sudah yakin jika kamu adalah putraku. Saat itu a

  • Cinta Gila Putra Konglomerat   Bab 33

    Saat pertandingan Indonesia melawan Korea, keluarga Syadeva pun pergi ke sana semua. Mereka memberikan semangat pada Zero yang memang sejak kecil bercita-cita sebagai pemain sepak bola.Zero berhasil memasukkan dua gol, yang membuat namanya semakin harum karena bisa mengantarkan Indonesia ke semi final.Dari tribun, Pamela menangis haru. Bagaimana tidak?Dulu dirinya melihat Zero memainkan bola di taman komplek, sedangkan kini bermain di lapangan internasional.Usai pertandingan selesai. Zero langsung menghampiri keluarganya yang duduk di tribun.“Yohh hebat!” puji Vicenzo.“Kak Zero keren!” teriak Aurora.“Kak Zero top pokoknya!” timpal Emma.Pamela hanya tersenyum, senyuman bangga.Syadeva dan Zeta pun sampai berkaca-kaca, betapa banyak hal yang telah mereka semua lalui dan kini tinggal memetik manisnya.“Selamat, Nak. Kamu memang selalu membanggakan,” ucap Zeta menangis haru.“Setelah ini kita pesta makan!” ujar Syadeva sembari menepuk putra sulungnya.*Esok harinya, setelah semua

  • Cinta Gila Putra Konglomerat   Bab 32

    Setiap selesai latihan, Zero langsung ke rumah sakit. Untung saja pelatihnya sangat baik, memberi dirinya toleransi ketika istrinya mengalami kecelakaan dan dirawat di rumah sakit.Pamela sedang tidak baik-baik saja, karena sudah dua hari ini mamanya belum sadar dari komanya. Sampai di kamar inap, Zero langsung menghampiri sang istri dan mengecup keningnya.“Sudah makan?” tanya Zero.“Sudah, tadi Aurora sadang kemari menyuapiku,” jawab Pamela. “ Kamu sendiri sudah makan?” “Belum, selesai latihan aku langsung mandi dan bergegas kemari.”“Ada banyak makanan, Daddy dan Mommy yang membelinya.”“Oke, aku makan dulu!” jawab Zero.Dia memang lapar, karena aktifitas pelatihan yang berat sangat menguras tenaganya.Sambil mengunyah makannya, Zero sesekali melirik ke istrinya. Wajahnya pucat, pancaran kesedihan terlihat nyata di kedua netranya. Sungguh, Zero tidak tahan melihat semua ini.“Zero.”“Iya?”“Kenapa kamu terus menatap aku?” tanya Pamela.“Kamu cantik,” balas Zero memberikan senyum

  • Cinta Gila Putra Konglomerat   Bab 31

    “Hancurkan saja karirnya, buat dia merasa malu untuk keluar rumah!”Meskipun masih tertidur, aku samar-samar Pamela bersama dengarkan suaminya sedang berbicara di telepon dengan seseorang. Ucapan yang berkesan mengancam dan mengerikan itu, sempat membuat Pamela segera terbangun.“Zero, kamu sedang telponan dengan siapa?” tanya Pamela.Zero nampak kaget, lalu mengecup keningnya dengan lembut.“Bukan siapa-siapa, kalau kamu ngantuk sebaiknya tidur aja lagi,” bujuk Zero kalem.“Ini jam berapa sih?”“Jam lima sore, tidurlah. Aku tahu kamu lelah.”“Emangnya kamu tidak lelah? Kenapa kamu juga tidak tidur?” sela Pamela.Zero mendekatkan wajahnya, lalu mengecup bibir sang istri dengan gemas. “Karena aku kuat,” bisik Zero menyeringai. Pamela langsung mendorong dada suaminya, lalu beranjak dari ranjang menuju ke kamar mandi.“Aku ikut!” pekik Zero.“No!” tolak Pamela langsung menutup pintu kamar mandi. Jangan sampai suaminya itu dibiarkan masuk, kisah 3 jam kemudian baru bisa keluar.Usai man

  • Cinta Gila Putra Konglomerat   Bab 30

    Zero baru saja selesai melaksanakan shooting untuk iklan langsung bergegas menuju ke lokasi yang lain.Sebagai pemain sepak bola yang populer, dia memang diburu sebagai model iklan. Zero yang introvert pun mencoba untuk bersosialisasi, demi masa depannya membangun bisnis karena dia tahu tidak akan selamanya menjadi pemain sepak bola. Sebab semua ada masanya.Saat sedang istirahat, dia iseng membuka ponselnya. Dia penasaran apakah ada pesan dari sang istri? Dia kecewa, tak ada satupun pesan dari Pamela. Yang ada justru notif dari akun sosmednya.“Ini iklan dua Minggu yang lalu, sialan kenapa mereka semua menghujat istriku?” geram Zero murka.Dia yakin saat ini pasti istrinya sedang sedih dan juga insecure. Zero pun segera menelpon adiknya.[Hallo]“Hallo, Lo lagi apa?”[Masih di sekolah, kenapa?]“Tolong kondisikan yang lagi rame itu, kasihan Pamela.”[Memangnya apa yang lagi rame? Gue lagi jarang buka sosmed, sibuk mau lomba basket]“Pamela dihujat gara-gara gue main iklan sama Zaski

  • Cinta Gila Putra Konglomerat   Bab 29

    Zero mengalah, tidak ingin terjadi hal-hal yang akan semakin membuat istrinya marah. Zero pun memutuskan untuk tidur duluan, meskipun dia sendiri tidak benar-benar bisa terlelap. Sampai beberapa saat kemudian dia mendengar suara langkah kaki mendekat, Zero segera memejamkan mata pura-pura tidur. Akan tetapi dia bisa merasakan, tubuh istrinya yang rebahan di sisinya. Bahkan dia juga bisa menghirup aroma parfum Pamela yang manis.“Zero, aku tahu kamu belum tidur!” gumam Pamela.Zero langsung membuka mata, kemudian memeluk istrinya dan mengecup pipinya.“Bagaimana mungkin aku bisa tidur, Aku selalu ingin didekatmu seperti ini,” jawab Zero dengan nada lembut.“Boleh aku minta sesuatu padamu?” tanya Pamela serius.“Boleh, silakan mau minta apa. Asal jangan tentang perpisahan di antara kita,” balas Zero.“Aku mohon, minta maaflah dengan Tirta. Bisakah kita hidup dengan rukun? Apalagi sekarang Tirta sudah memiliki istri, akupun juga sudah bersuami. Aku berjanji tidak akan pernah melakukan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status