Aku setengah berlari menuju lapang sekolah setelah melihat teman-teman yang lain sudah berbaris dengan rapih dari gerbang sekolah.
Hari ini sepertinya aku terlambat. Ini semua gara-gara aku begadang semalam memikirkan kekesalanku pada tante diah, sampai-sampai aku mencari cara untuk melarikan diri dari rumah itu. "Cepat...cepat!! Segera masuk ke barisan kelas kalian masing-masing ya" Pak Muh menginstruksi siswa-siswa yang terlambat untuk masuk ke barisan. Dengan tergesa-gesa aku menaruh tasku disembarang tempat. Lalu, aku berdiri disamping barisan paduan suara, menunggu aba-aba dari protokol upacara. Ya... seperti yang sudah-sudah, aku selalu dapat posisi sebagai dirigen di setiap acara upacara bendera sejak aku SMP dan hal itu membuatku jadi terbiasa tampil aktif menjadi bagian dari petugas upacara. "Pengibaran bendera merah putih diiringi lagu indonesia raya, penghormatan dipimpin oleh pemimpin upacara" nina yang saat itu terpilih sebagai pembawa acara, membaca dengan lantang poin-poin yang terdapat pada susunan acara. Aku bersiap maju ke depan barisan, tapi dilangkah pertamaku, tiba-tiba aku merasakan sakit yang tak tertahankan dibagian perutku. "Aww!" Keluhku pelan, seraya memegangi bagian perut sisi kanan. "Kenapa nda?" Tanya aini yang menyadari keluhanku. "Aduh!!" Aku mengaduh lagi, tak tertahankan. Tubuhku sampai terbungkuk karna menahan sakit. "Eh tolongin-tolongin" Aini bergerak cepat mendekatiku, juga beberapa teman lain ikut merespon. Pandanganku berkunang-kunang dengan rasa sakit yang luar biasa. Aku hampir ambruk, namun seseorang dengan cepat menangkap tubuhku. Entah siapa. "Bawa ke uks dulu, wito!" Samar-samar ku dengar suara bu Eni memerintah kak wito. Lalu, kak wito menggendongku dengan kedua tangannya menuju ruang uks. Aku masih berusaha tetap sadar meski rasa nyeriku semakin menjadi-jadi hanya untuk melihat lelaki itu mencemaskanku. Kak Wito, ketua osis disekolah kami. Seingatku tadi, ia masih berdiri tegap ditengah lapang sebagai pemimpin upacara, tapi kok bisa-bisanya ia sigap menangkap tubuhku yang hampir ambruk itu, bahkan sekarang ia menggendongku membuat jantungku berdegup kencang seiring dengan rasa sakit diperutku. Terkadang disetiap upacara ada beberapa siswi lain yang pingsan, tapi kak wito cuma melirik dan tetap fokus memimpin upacara. Aku sering memperhatikannya, sedangkan ia memberi perlakuan berbeda saat hal ini terjadi padaku. Boleh gak sih aku kegeeran cuma gara-gara ia sekarang sedang menopang tubuhku, sendirian? "Kamu rebahin badanmu dulu ya disini" kak wito menempatkan tubuhku diatas ranjang uks secara perlahan. "Dimana yang terasa sakit dinda?" Tanyanya setelah merebahkanku, sesekali ia menyeka keringat yang mengalir diwajahnya. Meski rambutnya sedikit berantakan, wajahnya tetap terlihat manis dan enak dipandang. Aku memang sudah lama mengagumi wajah manisnya, selain itu kak wito juga memiliki tubuh tinggi proposional dengan kulit sawo matang dan seragam rapih yang selalu dikenakannya, sungguh sangat sesuai dengan selera yang aku idam-idamkan. "Dinda?!" Aku terpaku memperhatikannya dalam beberapa saat, hingga aku terkejut mendengar panggilannya. "Aduhhh!" Aku mengerang sambil meringkukkan tubuhku, sakitnya kembali lagi. "Tunggu sebentar!" Ia menepuk pelan lengan bahuku, lalu beranjak keluar ruang uks seperti mencari sesuatu. Tak lama, datang Kak Febri. Ia berdiri tepat di depan ranjangku, lengkap dengan ranselnya dan plastik menggantung ditangannya. Lelaki itu, dengan gagahnya menyeringai kepadaku "ck...ck...ck...belum sarapan ya?" Tanyanya sembari menyodorkan kantong plastik yang dibawanya. "nih dimakan dulu!" Lanjutnya. Aku menatap kesal padanya. Kak febri ini sering iseng padaku. Dan meskipun dia ketua PMR, harus banget emang dia hadir di uks saat aku lagi kesakitan? Apa dia cuma alasan aja supaya bisa kabur dari upacara? Tapi, gak mungkin juga sih, soalnya dia juga aktif di organisasi paskibra. Pokoknya kak febri ini aktif banget deh disegala kegiatan. "Gak mau ah" tolakku, mendorong plastiknya menjauh dari wajahku. Iya... bayangin aja, dia menyodorkan pastik itu benar-benar tepat di atas wajahku. Kurang iseng gimana lagi coba dia? "Kenapa? Mau disuapin?" Tanyanya seloroh menggoda, lalu duduk di kursi disamping ranjang, membuka plastik yang dibawanya. Sebungkus nasi rames dengan sebotol air mineral rupanya. Kak febri memang selalu blak-blakan padaku. Kami terbilang cukup akrab dengan sifat dingin kak febri terhadap siswi-siswi lain disekolah. Aku menggeleng "Orang lagi sakit disuruh makan, mana enak" "Loe sakit karena gak sarapan itu! Makanya kalau mau upacara biasain sarapan dulu biar gak ngerepotin orang" katanya malah ceramah. "Bukan karna gak sarapan kak, ini sakitnya beda!" Bantahku, padahal aku juga gak tau sakit perut sebelum sarapan itu gimana rasanya. Kak febri menyodorkan sendok yang sudah dipenuhi nasi dan lauknya. "Nih mangap, biar enak liatin muka gue aja!" Katanya sambil tersenyum dan menaik turunkan alisnya, sok kegantengan. "Dih, apaan sih! Pokonya gue gak mau makan! Titik!" Kataku kesal, lalu membalikkan tubuh ke dinding supaya gak melihat kak febri lagi. "Dasar keras kepala!" Umpatnya padaku. "Bodo amat!" Aku menarik selimut sampai menutupi wajahku. Aku mendengar suara langkah kaki, seperti menjauh. Mungkin kak febri pergi setelah aku cuekin. Ah! Aku gak peduli, gumamku sambil meringis kesakitan dibalik selimut. "Dinda, sepatu loe, gue lepasin ya!" Itu suara kak febri, aku kira dia sudah pergi. Aku membuka selimutku, mengintip sedikit "Mau ngapain?" Tanyaku melirik kak febri yang sudah berdiri didekat kakiku. "Ngapain kek, terserah gue!" Katanya, tangannya dengan terampil melepas ikat tali sepatuku. "Ijin ya, gue pinjem jempol kaki loe!" "Mau ngapain? Ngerjain gue ya?" Tanyaku curiga padanya. Kak febri tertawa geli melihat tatapan curigaku. Sebelum aku memberi ijin, ia langsung meraih telapak kakiku, lalu memijit perlahan di bagian sela-sela jari jemari kakiku. Terus ngapain dia harus ijin dulu kalau ujung-ujungnya main pegang begitu? "Tahan!" Perintahnya, dengan mimik serius, kemudian ia memencet jempol kakiku, kuat-kuat. "Aww sakit!" Teriakku sekencang-kencangnya. "Febri loe apain anak orang!" Kak wito yang muncul dari balik pintu langsung berlari panik menepis tangan kak febri dari kakiku. Kak febri tertawa "pengobatan alternatif!" Jawabnya. Aku mendengus, benarkan dia isengin aku lagi. Lihat tuh, sekarang dia malah tertawa setelah mendengar teriakkan kesakitanku. "Parah loe, dia malah kesakitan tuh!" Kata ka wito, ia menatapku dengan khawatir. Ah senangnya! melihat kak wito panik begitu. "Ah loe ngerjain gue kan kak!" Ocehku pada kak febri. "Tapi sembuhkan sakitnya?" Tanyanya santai, sambil bertolak pinggang. Eh, Tunggu! Aku meraba-raba perutku, tapi benar juga, aku sudah gak merasakan sakit lagi, sakitnya tiba-tiba hilang begitu saja. Beneran ini? Cuma gara-gara kak febri mencet jempol kakiku doang? "Gimana nda?" Tanya kak wito memperhatikan tingkahku. "He..he..." aku tertawa "itu sih kebetulan aja kali!" Elakku penuh gengsi. Kak wito bernafas lega, lalu menoleh pada febri "jangan begitu lagi, feb!" Tegurnya. "Iyaa!" Jawabnya cuek "buang-buang energi sih sebenernya" lanjutnya lagi. "Ini di minum dulu, nda!" Kak wito memberiku sebotol air mineral dengan merk yang sama seperti yang sebelumnya kak febri sodorkan padaku. "Kalau yang ini air hangat, jangan diminum ya cukup kamu letak di perut, buat ngurangi rasa sakit dan mencegah kembung!" Lanjutnya sambil memberiku lagi sebotol air. Kak febri menyunggingkan bibirnya "giliran dikasih wito aja mau nerima" cercanya melihatku meneguk air tersebut dengan hausnya. Uhukk!! Aku tersedak mendengar ucapan kak febri, "Hati-hati minumnya, dinda!" Kata kak wito, ia langsung menarik tisu dimeja dan memberikannya padaku. Aku menatap kak febri, curiga. Apa mungkin kak febri tahu kalau aku ng-Crussh-in kak wito selama ini? Aku gak pernah cerita sama siapapun lho, Apa jangan-jangan kak febri itu dukun? "Gak usah malu, bukan cuma loe doang kok yang ngfans sama ketua osis kita!" Katanya, "Iya kan, wit?" Kak febri menoleh dan menggoda kak wito. Kak wito hanya membalas senyum atas godaan kak febri padanya. Huffh! Ternyata... "Dinda!" Panggil nia, ia bersiap menerjangku. "Loe kenapa sih kok sampe pingsan begitu?" Tanyanya khawatir sambil memelukku dengan tubuh besarnya. "Gue gak pingsan kok!" Jawabku "Gak pingsan, cuma hampir sekarat aja!" Sahut kak febri yang langsung di keplak kak wito. "Aduh!" Pekiknya kesakitan. Nia menoleh menyadari dua cowok penting itu berkumpul di uks menjagaku. Ia meremas tanganku, speechless. "Dinda, loe sakit ya?" Tanya Amanda yang datang bersamaan dengan Eka, mereka teman sekelasku. "Sepertinya udah banyak yang datang, jadi kita mending balik kek kelas aja, feb!" Ucap kak wito mengajak kak febri pergi. Tanpa ku sadari, selain nia, amanda, dan eka, ternyata ada banyak mata lainnya yang melihatku dari luar ruang uks tersebut, bahkan gak sedikit yang mengintip dari jendela-jendela uks yang tirainya terbuka. Gak tau sejak kapan, aku gak memperhatikan.Perpisahan itu nyata adanya. Kehilangan orang - orang dalam hidup adalah kebiasaan yang tidak pernah membuatku terbiasa.Aku hanya orang biasa yang tidak mampu menahan beban kerinduan dari sebuah kata yaitu PERPISAHAN.Aku menulis buku ini sebagai sebuah penghormatan juga pengenang untuk orang - orang yang pernah hadir dengan baik dihidupku.Memberiku suka dan duka, tawa dan tangis yang sampai 16 tahun ini masih aku ingat dengan baik.Alur ceritanya memang tidak semuanya sama. Karena aku hanya mencoba mengulang yang ada dalam ingatanku yang sudah tidak terlalu baik ini.Mungkin bagi yang lain, di sepanjang hidup mereka, Tuhan masih menyisakan beberapa sahabat terbaik untuk bersama mendampingi hingga akhir usia. Berbeda denganku yang benar - benar harus kehilangan semuanya tanpa tersisa.Aku harap dengan buku ini, aku dapat mengingat semua orang - orang terbaik dalam hidupku terutama saat aku berada di masa peralihan dari anak - anak menuju dewasa.Sejujurnya dari masa SMK lah semua ke
Malam itu setelah aku kembali dari tahlilan 40 harian mendiang kak wito, aku baru ingat kalau malam ini ada janji bertemu dengan Gugun. Begitu sampai rumah aku kembali berpamitan kepada mama untuk pergi menemui Gugun yang mungkin sudah menungguku di halte.Aku sedikit berlari agar dapat cepat sampai di halte. Aku melirik pada jam tanganku dan waktu sudah menunjukkan pukul 21.00. Sedikit gak yakin jika Gugun masih menungguku di halte bis yang aku janjikan.Nafasku terengah - engah karena sudah berlari cukup jauh, tetapi usahaku gak sia - sia karena ternyata Gugun memang masih menungguku di sana."Maaf gue baru datang, udah lama nunggunya?" Tanyaku begitu sampai di halte."Saya nunggu kakak dari jam 7 malam di sini. Saya kira kakak gak akan datang""Loe gila nungguin gue sampai 2 jam? Kenapa loe gak pulang aja sih?""Saya takut saat saya pulang kakak malah datang dan ngira saya bohong karna gak menemukan saya di sini. Jadi saya tunggu, saya fikir saya akan tetap menunggu sampai jam 12 m
"Loe bener - bener ya, masa minta mantan gue buat traktir kita" aku mendumel kesal begitu kami berjalan kembali masuk ke sekolah."Ya biarin aja sih lagian Esha juga ikhlas kok traktir kita. Kali aja loe jadi bisa mempertimbangkan buat dia jadi pacar loe lagi" jawab Eka santai."Gak ya klo harus balikan lagi sama mantan. Kecuali....""Zendra? Ah bosen gue dengernya""Perasaan gue masih banyak banget buat dia, Ka""Udahlah lupain soal dia. Mending loe pacarin tuh adik - adik kelas biar loe makin populer" Eka menjeda ucapannya sebentar, membuatku penasaran "Populer dengan total mantan terbanyak haha" Eka terbahak meledekku."Sialan loe" Aku mengeplak lengan Eka.Memang dia pikir semudah itu aku bisa berganti hati, meskipun aku memang bisa melakukannya apa bisa menjamin dengan memacari sembarang orang sebagai pelampiasan bisa membuatku cepat move on."Oh iya loe nanti ikut kegiatan pramuka enggak?" Tanyaku teringat bahwa hari ini sudah hari jumat dan sekolah kami rutin mengadakan kegiata
Matahari siang cukup terik membakar tubuhku. Perjalanan dari sekolah menuju rumahku gak melulu dipayungi oleh pepohonan. Terkadang aku juga melewati lapang gersang dan trotoar yang banyak kios tanpa ada satu pun pohon yang tumbuh di sana.Hari itu aku pulang bersama Eka dan beberapa teman lain. Dan otakku hampir mendidih karena mereka yang terus membahas masalah Gugun yang dihukum berkeliling kelas untuk meminta maaf."Menurut gue parah sih si hendrik. Dia udah kelas XII pikirannya masih aja lemot" Ucap Nina yang saat itu berjalan bersama kami. Dia adalah siswi dari kelas akutansi."Iya jahat banget si Hendrik apalagi ya ampun gue gak tega liat cowok ganteng dihukum begitu" Sahut Eka dengan nada manja."Tapi menurut gue ada benernya juga kok Hendri hukum adik kelas begitu biar gak ngelunjak" Mira malah mengompori."Gak bisa gue gak terima kalau hukumannya dengan cara begitu. Dulu aja waktu angkatan kita gak ada tuh kakak kelas yang menghukum adik kelasnya begitu" Balas Nina.Aku yang
Aku menuju kantin dan memesan sesuatu di sana. Sejak kelulusan Kak Febri, aku gak kesulitan memesan makanan di kantin meskipun kondisi kantin dalam keadaan penuh sesak. Pelayan kantin selalu mendahulukan pesananku untuk tiba lebih dulu. Kemudahan yang aku dapat itu, aku yakin gak lepas dari campur tangan kak Febri, karena hanya dia yang selalu didahulukan oleh penjaga kantin saat memesan sesuatu. Sambil menunggu aku duduk di kursi tempat biasa kak Febri duduk di sana. Ajaibnya sejak dia gak ada di sekolah ini pun kursi itu selalu kosong gak ada yang berani menempati."Hai kak... akhirnya kita dipertemukan lagi" Gugun berdiri di depanku."Eh... iya...kita udah beberapa kali ketemu yaa hari ini""Tiga kali kak, mungkin sampai kita pulang nanti akan bertambah" Katanya tersenyum padaku."Mm mungkin. Gue sering mondar - mandir di sekolah ini jadi wajar kalau loe bakal sering ketemu gue. Siap - siap aja buat bosen ngeliat muka gue""Saya gak mungkin bosen lihat wajah kakak, justru sebalikn
Angin di awal bulan juli berhembus dengan sejuk. Desirannya menggoyahkan dedaunan dan pepohonan yang tumbuh di sekitar gerbang sekolahku. Sinar mentari hadir ke permukaan bumi dengan leluasa tanpa penghalang, membentuk bayang - bayang di atas jalan berbatu tempat yang aku pijak kini.Aku berdiri di sini, di atas jalan berbatu beberapa meter di depan gerbang sekolah. Melihat beberapa motor melintas memasuki gerbang sekolah. Beberapa hari yang lalu, tempat ini menjadi tempat untuk saling berucap sampai jumpa dan salam perpisahan dengan orang - orang yang pernah dekat denganku. Di sini tempat pertama kali aku bertemu dengan Kak Wito dan di tempat ini pula lah kami mengakhiri pertemuan kami untuk selama - lamanya.Hari perpisahan memang hari paling menyakitkan sedunia. Satu hari yang amat berharga dari 365 yang ada dalam setahun. Beberapa jam yang mewakili keakraban yang terjalin selama ini dan sekarang mereka sudah benar - benar pergi.Aku berdiri di sini, berusaha mengingat segala hal y