Bagaimana rasanya harus memilih di antara tiga cinta? Hati Qiya tertambat kepada Fatur, sahabat sang kakak. Tapi ia justru didekati oleh Bara, sahabat Fatur. Saat Qiya berada di antara dilema dan tidak ingin melukai siapapun, tak disangka seorang Irham, yang di masa lalu pernah mewarnai hari-harinya; tiba-tiba muncul kembali di hadapan Qiya dan ingin memulai cerita baru bersamanya. Mampukah Bara dan Irham membuat hati Qiya berpaling dari Fatur? Dapatkah Qiya bertahan jujur pada pilihan hatinya?
View MoreSeorang gadis menjatuhkan bokongnya di sofa empuk di ruang keluarga rumahnya. Ia menarik nafas panjang lalu menghembuskannya dengan kasar. Rasa pegal dan lelah mulai terasa setelah pulang dari acara Graduation SMP. Jari kelingking kakinya agak memerah karena sepatu heels yang ia pakai, sebab ia tidak biasa menggunakan sepatu berhak seperti itu. Ia memejamkan matanya sebentar sebelum pergi ke kamarnya untuk bersih-bersih.
Badannya lengket penuh dengan keringat. Ia beranjak pergi ke kamar, menenteng heelsnya.
Beberapa menit kemudian, ia keluar dari kamarnya dengan keadaan segar setelah mandi dan berganti pakaian. Perutnya lapar, ia langsung pergi ke dapur untuk mencari makanan. Sepertinya mie instan cocok untuk sore ini.
Ia berjalan menuju dapur melewati ruang keluarga, ia melihat ada kedua orangtuanya sedang bersantai di sana. Ayahnya fokus memperhatikan tayangan berita di televisi, sedangkan Mamahnya fokus memainkan ponsel.
"Qiya... kesini sebentar," panggil Ayahnya.
Gadis yang diketahui bernama Qiya itu berbelok menuju ruang keluarga dimana Ayahnya berada. Kemudian ia duduk di sofa. Ternyata disana juga ada Yasir, kakaknya.
"Ada apa, Yah?" Tanya Qiya dengan santai.
Henri -Ayah Qiya dan Yasir- mengubah posisi duduknya agar bisa kenghadap ke arah putrinya. "Kamu mau lanjut sekolah kemana?"
Qiya tersenyum mendengar pertanyaan Henri, ia yakin Ayahnya akan mempersiapkan pendaftaran untuknya. Qiya sudah sedikit telat untuk mendaftar SMA, hampir semua teman-temannya sudah tinggal menunggu waktu tes masuk ke SMA pilihan mereka, bahkan tidak sedikit yang sudah melakukan tes.
Sedangkan Qiya? Ia masih dilema, ia tau orangtuanya menginginkan Qiya masuk SMA Swasta sama seperti kakaknya.
"Kan Qiya udah bilang Yah, Qiya mau ke SMA Negeri, Ayah mau daftarin Qiya kan?" Kata Qiya dengan antusias.
Laras -Mamah Qiya dan Yasir- yang sedari tadi diam, mulai berbicara, berharap Qiya akan mengerti. "Mamah sama Ayah berharap kamu mau sekolah di SMA Swasta seperti kakakmu."
Qiya menghempaskan punggungnya ke senderan sofa dengan sedikit kasar, hembusan nafas berat terdengar keluar dari lubang hidungnya, ternyata keinginan orangtuanya masih belum berubah.
"Mamah percaya kalo kamu sekolah sama Yasir, kamu bakal aman, Qiya. Lagi pula, sekolah Swasta bisa bikin kamu lebih enjoy karena peraturannya tidak seketat di Negeri. Tanya kakakmu, gimana sekolah dan lingkungannya," jelas Laras dengan perlahan.
Qiya cemberut, "Qiya gak mau Mamah.." lirihnya.
"Ayah udah daftarin kamu. Kamu tidak perlu tes apapun, langsung masuk nanti. Seragam sekolahnya nanti Mamah ambilkan, kamu tinggal sekolah," kata Henri tegas.
Tanpa mengatakan apapun, Qiya beranjak pergi meninggalkan ruang keluarga. Ia merasa sangat kesal, Ayahnya begitu egois, tidak memperdulikan keinginan anaknya. Mamahnya pun tidak mengerti dengan perasaan Qiya. Kakaknya juga, tidak membantu sama sekali, malah sibuk memainkan game di ponselnya.
Qiya pasrah, keputusan Ayahnya sudah tidak bisa dibantah lagi, terlebih Qiya sudah didaftarkan, yasudahlah.
Qiya melanjutkan niatnya untuk memasak mie, perutnya tetap lapar. Ia tidak akan melakukan hal bodoh seperti kebanyakan orang, mengurung diri di dalam kamar dan melakukan aksi mogok makan. Qiya cukup cerdas untuk tidak melakukan hal bodoh itu.
Qiya memakan mie dengan perasaan tenang, tidak seperti ketika memasak, hampir saja jarinya terluka terkena gunting ketika membuka bungkus bumbu mie.
Belum lama putus, Qiya sudah terlihat bersemangat lagi. Sudah kembali menjadi Qiya yang biasanya. Hal itu memang terdengar positif untuk Qiya. Tapi tidak dengan penglihatan orang sekitarnya. Terutama Arumi, entah sejak kapan kabar Qiya putus dengan Irham sudah menyebar ke seantero sekolah. Oh hampir saja lupa, ini semua karena ulah Rendi tempo hari. Qiya mendengus kesal saat berjalan melewati Arumi ketika akan pergi ke kantin. Qiya cukup menyesal menolak tawaran Rena yang ingin menemaninya ke toilet sebelum menyusul teman-temannya yang lain."Emang dasar jalang sih ya... baru aja putus udah bisa ketawa ketiwi lagi. Parahnya sih udah ada cowo baru? Kesian deh cowo barunya."Sindiran itu membuat langkah Qiya terhenti. Dia bilang apa? Jalang? Ya ampun kasar sekali. Sebelumnya Qiya tidak mau meladeni, tapi kata Jalang yang keluar dari mulut Arumi sangat mengganggu harga dirinya."Jalangan siapa ya? Sama cewek yang mepet-mepetin pacar orang?
Terlentang di atas kasur empuk favoritenya. Qiya menatap langit-langit kamar dengan tatapan yang sulit diartikan. Entah keputusannya baik atau tidak, yang pasti sekarang Qiya kembali merasakan ragu.Ia merutuki kelabilannya lagi kali ini. Rasanya baru kemarin Qiya bertekad tidak akan bersama Irham ataupun Bara walaupun hatinya ada diantara dua cowok itu.Qiya tidak ingin menyakiti atau memberi harapan kepada salah satu dari mereka.Ya.. itulah yang Qiya pikirkan sebelum berbincang dengan Bara di kantin berdua.Entah apa yang Qiya pikirkan saat itu hingga bisa-bisanya mulut manisnya berkata "oke, kita jalanin dulu."Qiya mendengus kala otaknya mengingat jawabannya itu. Ia menarik salah satu bantalnya kemudian menutup kepalanya dengan bantal itu. "Aaaaarrrggghhh Zelqiya lo labil banget!!!"Qiya berguling-guling gelisah di atas kasur. Pusing memikirkan apa yang akan terjadi dengan hubungannya.Eh tapi, kalau Qiya
"Qiyaa.. lo sama Irham gak balikan?" Tanya Bara hati-hati.Qiya menoleh sebentar lalu tersenyum. Kakinya terus melangkah ke arah kantin berdampingan dengan langkah Bara."Balikan ya??" Tanya Bara lagi karena tidak mendapat jawaban."Nggaa.. kenapa? Mau pepet gue lagi?" Qiya tersenyum jail ke arah Bara."Iyalahh... target udah jomblo masa gak di gas."Qiya tertawa. "Jangan kak.. kita gini aja, gue gak mau kelabilan hati gue buat lo ngerasain apa yang di rasain Irham. Sekarang gue, lo bahkan Irham temenan aja. Oke?""Gue sebenernya gak bisa. Tapi mau gak kalo kita jalanin dulu? Gue gak maksa. Gimana nyamannya lo aja. Walaupun gue maunya kita ada status, kalo lo gak mau gue gak papa."Qiya berpikir sampai mereka tiba di kantin. Memesan es cekek untuk mereka berdua dan teman-teman Bara di lapang. Mereka duduk tak jauh dari penjual es. Duduk berhadapan dengan mata yang saling menatap."Oke, kita jalanin dulu."Mata Bara
Pukul 12 malam, Yasir baru pulang kerumah setelah puas bermain di rumah Fatur. Sebelum masuk ke kamarnya, Yasir menoleh ke arah meja makan karena tak sengaja melihat seseorang yang terduduk sambil memainkan ponselnya.Yasir mendekat dan melihat Qiya sedang memakan mie instan sembari menonton drama korea kecintaannya. Yasir meraih gelas lalu menuangkan air untuk ia minum.Yasir duduk di hadapan Qiya, menyimpan gelasnya di meja dan mengambil toples biskuit disana."Halal gak yaa kalo jual adek kaya lo?"Qiya mendongak kaget dengan pertanyaan Yasir. Ia menatap sinis ke arah sang kakak. "Menurut lo?!""Menurut gue mah halal.. daripada bikin pusing. Mending jual.""Apaan sih?"Yasir mendengus. Lalu memakan lagi biskuitnya. "Lo balikan sama si Irham?""Mana ada."Yasir mengerutkan
Istirahat kedua, Bara berjalan ke arah kelas Qiya dengan senyum lebarnya. Hatinya berbunga-bunga walaupun otaknya hampir depresi karena mikirin cara buat pepet Qiya sedikit lagi. Tapi depresi terlalu hiperbola buat penggambaran keadaan otak Bara.Tangannya menggenggam satu kotak susu kesukaan Qiya. Biarlah ia dikatakan mengambil kesempatan disaat Qiya baru saja putus, bahkan putusnya pun karena Bara.Sampai di depan pintu kelas Qiya, Bara menarik nafas dulu sebelum masuk. Entah karena rasa bahagianya sedang membuncah karena Qiya atau memang Bara saja yang sedang lebay. Pokoknya saat ini Bara degdeggan berat.Setelah dirasa siap, Bara membuka pintu kelas itu lalu mengedarkan pandangannya mencari kekasih hatinya. Bara hanya melihat beberapa cewek teman kelas Qiya sedang merebahkan kepalanya juga ada Rendi yang sibuk dengan ponsel serta telinga memakai earphone.Bara menghampiri cewek yang
Irham menghentikan motornya di parkiran kedai dekat SMP mereka dulu. Tempat yang pernah mereka datangi saat masih berpacaran. Rasanya Qiya ingin menangis melihat tempat ini. Satu memori indah bersama Irham berputar lagi.Irham mengajak Qiya masuk ke dalam. Sepi. Pengunjung kedai memang anak sekolah. Berhubung sekarang masih jam masuk jadi kedai pasti sepi.Mereka duduk di pojok kedai, tempat yang dulu mereka tempati juga. Tempat ini sangat cocok untuk mengobrol."Ada apa?" Tanya Qiya langsung.Jujur saja, Qiya canggung sekarang. Entah harus bersikap bagaimana. Qiya tidak bisa bersikap sebagai teman seperti sebelum mereka balikan. Rasanya masih aneh."Tegang amat.." ucap Irham santai.Tapi Qiya tau, Irham juga sama canggungnya. Sorot mata Irham membuktikan kecanggungan. Namun, sepertinya Qiya juga harus santai untuk menghargai usaha Irham menyembu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments