"Gue masuk ya, biar bisa jelasin sama keluarga loe!" Kak febri turun dari motornya.
"Gak usah, loe balik aja kak, makasih ya udah anter-anter gue!" Kataku mendorongnya agar naik kembali ke motor. Seolah menyadari kedatanganku tiba-tiba nenek membuka pintu rumahnya, "Ada siapa dinda?" Nenek mendekatiku. "Perkenalkan nek, nama saya febri, kakak kelasnya dinda!" Kak febri memperkenalkan diri lalu mencium tangan nenek. "Oh kakak kelasnya dinda. Masuk dulu kalau begitu, nanti dibuatkan teh!" Sambut nenek hangat. "terima kasih nek" "Mari nak, sini!" Nenek mengajak kak febri masuk, "maaf ya nak febri, dinda merepotkan nak febri!" Lanjutnya. "Gak apa-apa nek, saya sama sekali gak merasa direpotkan" "Nak febri silahkan duduk dulu, nenek mau buatkan teh dulu!" "Baik nek!" Nenek pergi untuk membuatkan teh, sementara aku diminta nenek untuk menemani kak febri. Disaat seperti ini, bersama kak febri yang konyol pun aku merasa kikuk, seperti sedang mengenalkan calon suami pada keluarga. "Ada tamu ya?" Tanya kakek yang baru keluar dari kamar, mendekati kami yang saling diam di sofa ruang tamu. "Ini kakak kelas dinda kek" Kataku memberi tahu. Kak febri berdiri, memberi salam "Saya febri kek" "Terima kasih ya nak febri sudah antar dinda pulang, maaf merepotkan!" Kata kakek seraya duduk di sofa dekat kak febri. "Sudah tugas saya sebagai panitia kegiatan kek untuk bertanggung jawab kalau ada apa-apa dengan adik kelas" jawab kak febri dengan lancar, dia kan emang sudah terbiasa pidato didepan publik jadi menghadapi dan berbicara dengan orang dewasa sudah jadi hal mudah baginya. "Nak febri kelas berapa?" "Kelas 3 kek!" "Sebentar lagi kelulusan ya, mau lanjut kuliah dimana?" "Belum ada rencana kek kalau untuk kuliah, mungkin untuk sementara setelah saya lulus mau bantuin kakak dulu di bandung" Kakek mengangguk, memahami. Tak lama, nenek membawa nampan berisi 2 gelas teh hangat untuk kakek dan kak febri "silahkan diminum teh nya" kata nenek sambil menyajikan di meja. "Tadi nia kemari membawakan barang-barangmu dinda, memang betul kamu sakit?" Tanya kakek padaku. "Iya kek, tadi dinda sedikit sakit perut" "Kalau cuma sakit sedikit jangan sampai merepotkan orang lain dinda! Kasihan teman-temanmu direpotkan. Lihat itu nia sampai bawa-bawa barang kamu, belum lagi nak febri sampai harus mengantar pulang begini!" Ujar nenek menghakimiku dengan suara tenangnya. "Saya benar-benar gak merasa di repotkan kok nek, lagipula dinda memang punya sakit yang cukup serius dan perlu penanganan yang rutin supaya cepat sembuh, tadi kami sudah ke dokter untuk memastikan kondisi sakit dinda!" Aku menggamit lengan kak febri, untuk berhenti membelaku. "Oh begitu ya nak febri, memang dinda sakit apa kata dokter?" "Ada gejala ginjal nek, jadi dinda harus banyak-banyak minum air putih agar cepat pulih" Kak febri menjelaskan. "Dinda memang susah kalau di suruh minum air putih, akhirnya nyusahin orang banyak kan!" Nenek masih belum berhenti mendiskriminasiku. "Untuk sekarang sebaiknya dinda banyak-banyak istirahat dulu kek, nek" Kakek hanya diam mendengarkan penjelasan kak febri. "Iya betul itu!" Jawab nenek "Kalau begitu saya pamit dulu kek, nek!" "Loh kok sudah mau pulang saja nak febri, dihabiskan dulu teh nya!" Jawab kakek "Saya masih harus kembali ke sekolah kek, masih ada beberapa acara yang belum selesai. Kalau begitu, say permisi dulu!" Kak febri berpamitan pada kakek dan nenek. "Lain kali jangan bawa laki-laki ke rumah dinda, malu sama tetangga" Nenek melirikku sinis, setelah suara motor kak febri terdengar menjauh. Lahhhh????? Yang bawa siapa? Sudah jelas berkali-kali kak febri bilang dia mengantarku, lagipula nenek sendiri yang ngajak kak febri masuk. Kenapa jadi aku yang salah lagi? *** "Eh dinda, kalau badan ngerasa gak enak tuh digerakin bawa olahraga, jangan dibawa tidur terus jadinya badan kamu manja!" Aku kaget dan langsung terbangun begitu tante diah membuka kasar pintu kamarku. Aku demam, suhu tubuhku hampir 39°c setelah menahan sakit di perutku yang luar biasa tadi. Sejak siang aku memang belum keluar kamar dan mengerjakan pekerjaan rumah, mungkin itu sebabnya tante diah marah padaku. "Cepet bangun tuh bantuin nenek di dapur! Cucian piring juga numpuk itu!" Kata tante diah ketus. "Iya tante!" Mau gak mau aku harus tetap melakukan tugasku di rumah ini. Aku duduk di tepi ranjang, masih berusaha mengumpulkan energi untuk berdiri dengan dengan seluruh tubuhku yang mengigil. Ah! Rasanya ingin bunuh diri saja kalau terus-terus di diskriminasi seperti ini. "Lagi sakit ya?" Gin menyeringai seolah meledekku. "Makanya mau sama aku, jadi aku bisa belain kamu kalau lagi sakit begini!" "Gak perlu!" Jawabku kasar. "Aku gak kalah ganteng kok dari pacarmu itu, siapa tadi namanya?" Gin mengeryit mengingat-ingat "Febri ya kalo gak salah!" "Keluar kamu!" Aku mengusir gin untuk pergi dari kamarku, tapi dia malah mencengkram lenganku kuat-kuat. "Kenapa kamu malah milih dia dibanding aku yang lebih jelas mengenal kamu dari kecil? Dia belum tentu baik buat kamu, dinda! Kamu memang gak bisa di ajak baik-baik ya! Lihat aja nanti kamu pasti akan menyesal pada akhirnya. Dia pasti akan nyakitin kamu!" Aku memberontak, "Dasar psyco!" Umpatku kesal sambil meninggalkannya dengan emosi yang menggebu-gebu. Gin masih saja berkeras dengan perasaannya sampai-sampai menuduh kak febri sebagai pacarku. Sebaiknya, aku biarkan saja dulu dia dengan pikirannya itu, agar dia sedikit sadar kalau aku gak berhak dia miliki. *** "Dinda gimana badan loe udah enakan?" Tanya nia seraya menaruh parsel buah di meja kamarku. Ia sedang menjengukku. "Mendingan na..." Nia mengedarkan pandangannya, mengamati sekitar "kemana orang rumah?" Aku menggendikan bahu "Ke rumah tante dewi kali!" "Tumben loe gak ikut!" Nia melirikku "Daripada gue ngerepotin disana!" Nia terkekeh, "Bagus dong!" Ia menjatuhkan tubuhnya di ranjang kosong sebelah ranjangku. Di kamarku memang terdapat dua ranjang, biasanya ranjang itu tempat tidur sepupuku jika sedang bermalam di rumah nenek. Tapi, sudah beberapa waktu sepupuku itu gak pernah lagi menginap disini dan ranjang itu selalu kosong hingga hampir berdebu. "Baguslah kita jadi bisa ngobrol sepuasnya di sini" Nia mengamati langit-langit kamarku "tapi ngomong-ngomong, soal sepupu loe itu, apa loe gak mau cerita?" "Sepupu gue yang mana? Caca?" "Bukan!" "Terus siapa?" "Gin!" Nia memiringkan tubuhnya menghadapku, menyangga kepala dengan tangannya. "Ini agak aneh, tapi gin kenapa bisa suka sama loe, sepupunya sendiri? Sejak kapan nda? Kenapa loe gak pernah cerita?" "Gue ngeri kalau ingat dia, apalagi harus cerita soal dia!" "Yang gue liat dari tingkahnya kemarin, waktu gue bilang loe pulang diantar febri, dia kayak yang gak ikhlas gitu, sampe dia banyak tanya soal febri sama gue! Dinda loe kepikiran gak sih kalau gin bukan cuma suka sama loe tapi lebih kek terobsesi. Lama-lama tuh anak jadi sikopet, loe harus hati-hati nda!" Bahkan sebelum nia memberi tahu, aku sudah menganggap gin sebagai psycho. Apalagi dia sudah melecehkanku dan hampir memperkosaku. Kelakukannya di luar batas, hingga gak pantas lagi di anggap sebagai sepupu. "Gue gak mau ngomongin dia ah! Ganti topik aja!" Nia mengerutkan wajahnya, nampak bingung dengan sifatku yang menolak menceritakan lebih tentang gin padanya. Sejujurnya ini masalah berat, tapi aku gak bisa berbagi pada siapapun. "Soal zendra bagaimana?" Tanyanya mengalihkan masalah gin. "Dia kemarin nyatain perasaan sama gue" "Terus?" Nia nampak antusias, Aku mendesah, "gue belum jawab, menurut loe gimana?" "Loe tau gak?" Nia memotong pembicaraannya, seperti ingin mengatakan hal yang lebih penting, ia mengubah posisinya dengan duduk di tepian ranjang. "Soal apa?" Tanyaku penasaran. "Sebenarnya zendra udah suka sama loe sejak lama, bahkan sebelum loe jadian sama si desha!" "Jadi loe mak comblang nih ceritanya?" "Gue kasian sama dia, lagipula waktunya tepat juga kan gak lama setelah kak wito mencampakkan loe. Jadi loe bisa menyelam sambil minum air tuh!" "Maksudnya gimana sih?" Alisku berkerut tak paham. "Selain loe bisa dapat orang yang bisa jagain loe kalau ada apa-apa di sekolah kaya kemarin tuh misalnya, loe sakit. Gak mungkin kan loe ngandelin kak febri terus, nah loe juga bisa balas dendam manasin kak wito kan, sekalian kita lihat sejauh mana dia bakal berjuang buat dapatin loe lagi!" "Perasaan emang gak semudah itu ilang, tapi gue gak mungkin tega pisahin kak wito dari kak pay, na. Gue gak sejahat itu!" "Apa sih salahnya terima dulu? Minimal loe bisa lupain kak wito dari hidup loe lah!" "Ya tapi kenapa mesti orang berkulit putih kaya dia sih na? Gue itu gak bisa suka sama orang putih, tampan, cool, dan sejenisnya itu. Tipe gue ya kaya kak wito yang manis-manis romantis. Masa loe gak inget soal itu?" "Gue tau, tapi apa salahnya coba dulu!" "Gue udah coba ke desha, nyatanya gak bisa suka kan gue sampe akhirnya gue putus sama dia!" "Dia bukan desha ya, zendra anak baik-baik! Orang tuanya juga guru loh! Traning dulu 2 bulan, gimana? Tar kalau loe tetap gak suka juga, putusin aja!" Nia bersikeras membujukku. "Gak tau deh ah! Bingung gue!" "Demi gue deh. Terima ya zendra, demi gue!" Tukasnya penuh penekanan.Perpisahan itu nyata adanya. Kehilangan orang - orang dalam hidup adalah kebiasaan yang tidak pernah membuatku terbiasa.Aku hanya orang biasa yang tidak mampu menahan beban kerinduan dari sebuah kata yaitu PERPISAHAN.Aku menulis buku ini sebagai sebuah penghormatan juga pengenang untuk orang - orang yang pernah hadir dengan baik dihidupku.Memberiku suka dan duka, tawa dan tangis yang sampai 16 tahun ini masih aku ingat dengan baik.Alur ceritanya memang tidak semuanya sama. Karena aku hanya mencoba mengulang yang ada dalam ingatanku yang sudah tidak terlalu baik ini.Mungkin bagi yang lain, di sepanjang hidup mereka, Tuhan masih menyisakan beberapa sahabat terbaik untuk bersama mendampingi hingga akhir usia. Berbeda denganku yang benar - benar harus kehilangan semuanya tanpa tersisa.Aku harap dengan buku ini, aku dapat mengingat semua orang - orang terbaik dalam hidupku terutama saat aku berada di masa peralihan dari anak - anak menuju dewasa.Sejujurnya dari masa SMK lah semua ke
Malam itu setelah aku kembali dari tahlilan 40 harian mendiang kak wito, aku baru ingat kalau malam ini ada janji bertemu dengan Gugun. Begitu sampai rumah aku kembali berpamitan kepada mama untuk pergi menemui Gugun yang mungkin sudah menungguku di halte.Aku sedikit berlari agar dapat cepat sampai di halte. Aku melirik pada jam tanganku dan waktu sudah menunjukkan pukul 21.00. Sedikit gak yakin jika Gugun masih menungguku di halte bis yang aku janjikan.Nafasku terengah - engah karena sudah berlari cukup jauh, tetapi usahaku gak sia - sia karena ternyata Gugun memang masih menungguku di sana."Maaf gue baru datang, udah lama nunggunya?" Tanyaku begitu sampai di halte."Saya nunggu kakak dari jam 7 malam di sini. Saya kira kakak gak akan datang""Loe gila nungguin gue sampai 2 jam? Kenapa loe gak pulang aja sih?""Saya takut saat saya pulang kakak malah datang dan ngira saya bohong karna gak menemukan saya di sini. Jadi saya tunggu, saya fikir saya akan tetap menunggu sampai jam 12 m
"Loe bener - bener ya, masa minta mantan gue buat traktir kita" aku mendumel kesal begitu kami berjalan kembali masuk ke sekolah."Ya biarin aja sih lagian Esha juga ikhlas kok traktir kita. Kali aja loe jadi bisa mempertimbangkan buat dia jadi pacar loe lagi" jawab Eka santai."Gak ya klo harus balikan lagi sama mantan. Kecuali....""Zendra? Ah bosen gue dengernya""Perasaan gue masih banyak banget buat dia, Ka""Udahlah lupain soal dia. Mending loe pacarin tuh adik - adik kelas biar loe makin populer" Eka menjeda ucapannya sebentar, membuatku penasaran "Populer dengan total mantan terbanyak haha" Eka terbahak meledekku."Sialan loe" Aku mengeplak lengan Eka.Memang dia pikir semudah itu aku bisa berganti hati, meskipun aku memang bisa melakukannya apa bisa menjamin dengan memacari sembarang orang sebagai pelampiasan bisa membuatku cepat move on."Oh iya loe nanti ikut kegiatan pramuka enggak?" Tanyaku teringat bahwa hari ini sudah hari jumat dan sekolah kami rutin mengadakan kegiata
Matahari siang cukup terik membakar tubuhku. Perjalanan dari sekolah menuju rumahku gak melulu dipayungi oleh pepohonan. Terkadang aku juga melewati lapang gersang dan trotoar yang banyak kios tanpa ada satu pun pohon yang tumbuh di sana.Hari itu aku pulang bersama Eka dan beberapa teman lain. Dan otakku hampir mendidih karena mereka yang terus membahas masalah Gugun yang dihukum berkeliling kelas untuk meminta maaf."Menurut gue parah sih si hendrik. Dia udah kelas XII pikirannya masih aja lemot" Ucap Nina yang saat itu berjalan bersama kami. Dia adalah siswi dari kelas akutansi."Iya jahat banget si Hendrik apalagi ya ampun gue gak tega liat cowok ganteng dihukum begitu" Sahut Eka dengan nada manja."Tapi menurut gue ada benernya juga kok Hendri hukum adik kelas begitu biar gak ngelunjak" Mira malah mengompori."Gak bisa gue gak terima kalau hukumannya dengan cara begitu. Dulu aja waktu angkatan kita gak ada tuh kakak kelas yang menghukum adik kelasnya begitu" Balas Nina.Aku yang
Aku menuju kantin dan memesan sesuatu di sana. Sejak kelulusan Kak Febri, aku gak kesulitan memesan makanan di kantin meskipun kondisi kantin dalam keadaan penuh sesak. Pelayan kantin selalu mendahulukan pesananku untuk tiba lebih dulu. Kemudahan yang aku dapat itu, aku yakin gak lepas dari campur tangan kak Febri, karena hanya dia yang selalu didahulukan oleh penjaga kantin saat memesan sesuatu. Sambil menunggu aku duduk di kursi tempat biasa kak Febri duduk di sana. Ajaibnya sejak dia gak ada di sekolah ini pun kursi itu selalu kosong gak ada yang berani menempati."Hai kak... akhirnya kita dipertemukan lagi" Gugun berdiri di depanku."Eh... iya...kita udah beberapa kali ketemu yaa hari ini""Tiga kali kak, mungkin sampai kita pulang nanti akan bertambah" Katanya tersenyum padaku."Mm mungkin. Gue sering mondar - mandir di sekolah ini jadi wajar kalau loe bakal sering ketemu gue. Siap - siap aja buat bosen ngeliat muka gue""Saya gak mungkin bosen lihat wajah kakak, justru sebalikn
Angin di awal bulan juli berhembus dengan sejuk. Desirannya menggoyahkan dedaunan dan pepohonan yang tumbuh di sekitar gerbang sekolahku. Sinar mentari hadir ke permukaan bumi dengan leluasa tanpa penghalang, membentuk bayang - bayang di atas jalan berbatu tempat yang aku pijak kini.Aku berdiri di sini, di atas jalan berbatu beberapa meter di depan gerbang sekolah. Melihat beberapa motor melintas memasuki gerbang sekolah. Beberapa hari yang lalu, tempat ini menjadi tempat untuk saling berucap sampai jumpa dan salam perpisahan dengan orang - orang yang pernah dekat denganku. Di sini tempat pertama kali aku bertemu dengan Kak Wito dan di tempat ini pula lah kami mengakhiri pertemuan kami untuk selama - lamanya.Hari perpisahan memang hari paling menyakitkan sedunia. Satu hari yang amat berharga dari 365 yang ada dalam setahun. Beberapa jam yang mewakili keakraban yang terjalin selama ini dan sekarang mereka sudah benar - benar pergi.Aku berdiri di sini, berusaha mengingat segala hal y
Aku bolak - balik mengoper chanel tv karena merasa bosan. Seharian suntuk selama berhari - hari kegiatanku selalu itu - itu saja semenjak libur sekolah. Bangun tidur, sarapan, bantuin mama beresin rumah, nonton tv, sampai waktu kembali malam.Oh Tuhan! Apes banget nasib si jomblo kesepian ini."Dinda mama pergi dulu ya, kamu hati - hati di rumah"Mama berpamitan padaku. Pakaiannya sudah sangat lengkap dan rapi."Mama mau kemana?" Tanyaku heran, tentu saja karena mama memang gak pernah tampil serapih ini selain pergi ke acara undangan. Tapi beberapa hari ini aku gak pernah lihat ada surat undangan jadi gak mungkin dong mama pergi untuk menghadiri acara pernikahan."Mama mau ada perlu. Mama pergi ya sayang, jangan lupa kunci pintu" Katanya lalu keluar.Aku yang penasaran, langsung mengendap - endap mengikuti mama. Di halaman rumah sudah ada sebuah mobil berwarna biru menunggu lalu gak lama seorang pria yang usianya terlihat lebih muda dari mama keluar dari mobil itu. Gak lupa mereka cip
Kak Febri menurunkanku di halaman rumah setelah kami menghadiri acara tahlilan di hari ke tujuh di rumah almarhum Kak Wito."Gue gak masuk ya, soalnya gue buru - buru""Sok sibuk banget sih loe, Kak""Gue langsung pulang. Lagipula tadi gue udah pamitan sama mama""Ya udah deh terserah loe. Hati - hati di jalan ya kak!"Aku melambaikan tangan pada motor Kak Febri yang berlalu pergi. Lalu setelah motor itu sudah semakin menjauh aku masuk ke dalam rumah. Menemukan mama yang masih menungguku pulang di sofa ruang tamu."Sudah pulang Dinda?" Tanya mama menyambutku."Iya mah, mama kok belum tidur?""Mama lagi nungguin kamu. Febri mana gak mampir dulu?""Dia langsung pulang, buru - buru katanya""Oh dia langsung berangkat ya?""Berangkat ke mana?""Ke bandung. Memang Febri gak bilang sama Dinda?"Aku syok, gak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar. Ternyata kehilanganku gak cukup berhenti sampai kak wito, setelah kak Alif di acara tahlilan tadi sempat mengucapkan perpisahan karena diri
Aku dan Umay kembali ke kursi di depan panggung. Menyaksikan acara inti dari keseluruhan acara hari ini. Acara pelepasan kelas XII.Mereka berbaris di hadapan kami semua, dengan bangga dan bahagia, tapi aku justru menangis melihat kebahagiaan yang terlukis di wajah mereka. Berat untuk melepaskan yang sudah pernah dekat dan untuk kesekian kalinya aku harus menerima kehilangan.Setelah hari ini, sekolahan akan berlangsung seperti biasanya tanpa mereka. Terutama tanpa Kak Febri yang menyebalkan, tanpa Kak Alif yang rese juga tanpa Kak Wito yang perhatian. Si ketua osis yang pertama kali aku cintai di sekolah ini.Satu tahun berlalu begitu saja. Gak terasa pertemuan itu sekarang hanya menyisakan momen perpisahan.Aku banyak belajar dari mereka, aku banyak mendapat pengalaman yang mengesankan, yang belum pernah aku dapatkan selama aku duduk di bangku SMP. Tentu saja, pusat dari segala usia adalah saat - saat remaja. Saat masa putih abu - abu. Masa peralihan di antara anak - anak menuju dew