~Sekali api cemburu telah menyala, api itu akan sulit untuk dipadamkan~
Danar menggeleng. Tampaknya kondisi mobil itu memang tidak baik. Dia tidak bisa memperbaikinya. Mobil itu harus di derek ke bengkel atau paling tidaknya, Danar harus memanggil teknisi bengkel untuk datang. Sayangnya hari sudah malam. Orang bengkel terdekat tentu tidak akan mau datang jika sudah di atas jam sembilan malam. Danar tahu benar tabiat para orang bengkel di kawasan ini. "Enggak bisa diperbaiki ya Dan? Kalau didorong dari belakang juga enggak bisa ya?" tanya Delia dengan wajah putus asa sambil menenteng segelas jus jeruk. "Sepertinya gitu Del." "Aduh! Gimana dong? Aku harus segera pulang. Besok ada jadwal operasi di rumah sakit. Aku harus istirahat biar bisa fokus. Operasi bukan pekerjaan mudah, menyangkut hidup mati seseorang. Seharusnya aku dengerin kata Papa aku buat beli mobil baru. Bukannya malah mempertahankan mobil butut ini." Sluuurp! Sluuurp! Sagita hanya menggelengkan kepalanya. Delia memang terlihat sedih. Namun jelas dia juga terlihat sangat menikmati jus jeruk buatan Sagita. Entah kenapa Sagita tidak suka dengan hal itu. "Loh, Nak Delia ini seorang dokter?" Ibu Danar bertanya. "Iya Bu!" "Dokter apa?" "Dokter spesialis bedah Bu." "Waduh! Keren kamu Nak. Masih muda, cantik, sudah jadi dokter bedah lagi. Kamu hebat!" "Puji terus, puji terus!" Hati Sagita mulai panas. Kedua mertuanya jelas terlihat sangat menyukai Delia. Begitu tahu jika Delia adalah seorang dokter. Mertua Sagita langsung membanjiri Delia dengan beragam macam pujian. Hati Sagita sedikit sakit memang. Selama dia menikah dengan Danar, belum pernah mertuanya memuji seperti itu. Sagita iri seketika pada Delia. "Sudah! Sudah! Mobilnya tinggal di sini saja! Kamu bisa pulang dulu, diantar sama Danar." Bapak memberikan usul. "Kok harus diantar sama Mas Danar? Kan bisa naik taksi Pak!" protes Sagita. "Aduh kamu itu gimana sih Git? Ini sudah malam. Bahaya kalau naik taksi malam-malam begini. Iyakan Bu?" "Benar itu. Rawan sekali wanita cantik seperti Delia harus pulang naik taksi." "Enggak perlu repot-repot Bu, Pak! Delia naik taksi saja. Nanti takutnya Delia malah merepotkan Mas Danar. Sebenarnya Delia memang penakut orangnya. Suka parno kalau naik taksi malam-malam. Takut diapa-apain sama sopirnya. Tapi enggak apa-apa deh, daripada ngerepotin Mas Danar." "Aku antar aja Del. Kasian kamu. Makanya buruan nikah dong Del, biar ada yang anterin kemana-mana." "Loh! Delia belum menikah? Masih single?" tanya Bapak. Delia mengangguk malu-malu. "Ya ampun. Kemana aja pria di muka bumi ini? Wanita secantik kamu kok bisa-bisanya masih sendirian. Udah sana, diantar sama Danar aja!" Hati Sagita rasanya mendidih mendengar perkataan ibu mertuanya. Namun sebisa mungkin Sagita mencoba untuk tenang. Dia masuk ke dalam rumah untuk mengambil sweater. "Kamu ngapain pakai jaket sweater Git?" tanya Ibunya Danar. "Sagita mau ikut Mas Danar nganterin Delia, Bu." "Ngapain kamu ikut? Jangan ikut-ikutan Git! Biar Danar sendiri aja yang antar Delia. Kamu cukup di rumah." "Kok gitu Bu? Kan enggak ada salahnya kalau Gita ikut nganter Delia?" "Kamu lupa kalau piring-piring di belakang belum pada dicuci? Jangan gitu dong! Beresin rumah itu tugas seorang istri. Kamu harus jadi istri yang baik." Ingin rasanya Sagita menjerit menolak. Namun dirinya tidak kuasa. Dengan langkah yang sangat berat Sagita pergi menuju dapur. Sebelumnya Sagita sempat berpesan pada Danar agar tidak macam-macam dan juga tidak pulang terlalu lama. Danar mengangguk, meminta Sagita untuk tetap tenang. Dia hanya akan mengantarkan Delia pulang. Bukan mau berbuat yang lainnya. "Maaf loh Danar! Aku jadi ngerepotin kamu malam-malam gini," kata Delia sambil memasang sabuk pengaman. Dia dengan tenang duduk di samping Danar. "Santai aja Del! Kamu jangan khawatir." "Istri kamu orangnya enggak pecemburu, kan?" "Hahaha! Namanya wanita pasti ya cemburu. Cuman aku yakin jika Sagita itu percaya padaku. Dan sebagai suami yang baik. Aku enggak mau merusak kepercayaan Sagita." "Kamu itu tipikal pria idaman sekali ya Danar. Aku mau nanti suamiku juga bisa seperti kamu. Setia." "Kamu pasti bisa mendapatkannya." Delia memperhatikan Danar. Menurut Delia, Danar sangat tampan. Wajahnya bersih cerah, hidungnya macung, dan bibirnya juga sangat menggoda bagi Delia. Delia tidak bosan-bosannya memandangi wajah Danar. Bahkan Danar juga menyadari hal itu. Namun dia membiarkannya dan memilih untuk tetap fokus menyetir. "Oh ya! Delia masih ingat dengan Yoga dan Jidan?" "Yoga? Jidan? Inget dong! Dua temen akrab kamu itukan? Kenapa mereka?" "Mereka pada minta nomor handphone kamu." "Buat apa?" "Hahahah! Biasalah, mereka itukan masih lajang, pasti mereka ngincer kamu." "Tapi aku enggak mau diincer sama Yoga dan Jidan." "Loh kok gitu?" "Iya. Soalnya aku maunya diincer sama kamu." Ciiiit! Mobil yang mereka tumpangi berhenti seketika. Danar melihat ke arah Delia. Wanita itu hanya tersenyum manis. "Kamu bercanda kan?" "Hahahah! Terserah kamu mau anggapnya bercanda atau enggak Danar. Aku pasrah aja sama perspektif kamu. Nanti aku kasih deh nomor handphone aku. Biar kamu bisa bagi ke Yoga dan Jidan." "Oh! Oke!" Danar kembali menginjak pedal gas secara perlahan. Bisa dikatakan jika mobil itu melaju pelan dan tidak terlalu kencang. Entah kenapa Danar nyaman saja dan tidak mau buru-buru agar cepat sampai. "Kamu mau ikut camping?" tanya Danar pada Delia. "Camping? Berkemah?" "Iya. Rencana besok sore, aku, istriku, Yoga dan Jidan mau pergi camping. Gabung yuk!" "Emang boleh?" "Kenapa enggak boleh? Jidan dan Yoga pasti senang sekali. Mereka kangen banget sama kamu katanya. Iyalah! Primadona sekolah kok, masa enggak dikangenin. Eh, tapi apa kamu bisa? Kamukan selalu sibuk?" "Eumm... Besok aku di rumah sakit cuman sampai jam 3 sore doang kok. Sepertinya aku bisa ikut." "Serius?" "Hahahah kamu kok seperti senang sekali gitu?" "Ya enggak apa-apa, cuman senang aja. Habis ini aku pasti bakalan di traktir sama Yoga dan Jidan. Ya iyalah! Udah berhasil ajak primadona sekolah ke acara camping." Danar dan Delia larut dalam obrolan hangat. Obrolan yang membuat mereka saling nyaman satu sama lain. Sementara itu Sagita yang sedang mencuci piring perasaannya tidak tenang. Taaar! Sebuah piring kaca jatuh dan pecah seketika begitu menyentuh lantai. Sagita berkali-kali mencoba untuk menenangkan diri. Sayangnya tidak bisa. Hatinya tetap tidak bisa diajak untuk tenang. "Apa itu yang pecah Git?" tanya ibu mertuanya. "Piring Bu." "Pecahin aja semuanya Git! Biar besok-besok kita makan pakai daun pisang aja. Kok enak banget kamu main pecah-pecahin piring di rumah ini. Kamu kira itu piring belinya pakai daun? Hah? Itu belinya pakai duit Danar. Pakai hasil kerja keras dia. Kalau kamu enggak bisa menghargai hasil kerja suami kamu, gimana kamu bisa jadi istri yang baik? Ada-ada aja kamu memang. Haduh, nasib deh punya menantu seperti kamu ini Git! Coba aja Danar dulu menikahnya sama Delia. Pasti bisa jadi Danar sekarang sudah punya anak dan bahagia." Tap! Tap! Tap! Derap langkah kaki Sagita terdengar. Dia segera masuk ke kamar. Mengurung diri di dalam kamar. Sagita menangis. Hatinya sakit sekali dengan perkataan ibu mertuanya itu. Di lain sisi, Danar dan Delia sedang asyik tertawa. Bercerita tentang apa saja.~Siapa nyaman dengan siapa? Siapa berjodoh dengan siapa? Biar waktu yang menjawab~Sreeet! Sreeet!Danar sibuk mengunci tas ransel yang akan dibawa untuk kegiatan camping. Semetara itu Sagita sibuk merapikan beberapa barang bawaan yang juga tidak boleh tertinggal. Tempat minum khusus, senter kecil, sarung tangan dan sepatu juga disiapkan oleh Sagita. Keberangkatan mereka menuju ke kegiatan berkemah akan dimulai nanti sore. Titik kumpul berada di rumah Yoga. "Kenapa sih, kamu harus mengajak Delia juga Mas?" keluh Sagita sambil tangannya memperbaiki tali sepatu Danar."Biar Yoga sama Jidan senang. Mereka loh yang pengen banget deket sama Delia.""Tapi aku enggak suka Mas kalau Delia itu ikut. Aku cemburu Mas!"Tidak ada basa-basi bagi Sagita. Dia langsung jujur dan terus terang pa
~Setiap perjalanan akan mengukir sebuah cerita. Apalagi perjalanan menuju bukit cinta~Mendekati arah bukit yang mereka tuju, rumah-rumah mulai jarang. Rumah-rumah dan jajaran gedung-gedung mulai tergantikan pemandangan pepohonan yang rapat. Pohon-pohon ini mulai menyejukkan mata. Bukit yang mereka tuju bernama Bukit Cinta. Sebuah bukit yang cukup tinggi dan terkenal di kawasan ini. Konon katanya, bukit ini merupakan tempat untuk mencari cinta sejati. Setelah berkunjung ke bukit ini, orang-orang akan menemukan cinta sejatinya. Namun itu hanya sebatas konon. Sagita tidak terlalu percaya. Kalaupun benar juga untuk apa? Toh cinta sejati Sagita juga sudah ditemukan, yaitu Mas Danar.Sagita satu mobil dengan Mas Danar dan juga Delia. Sementara itu, Risa dan Cika satu mobil dengan Yoga dan juga Jidan. Mobil mereka terparkir di salah satu tempat penitipan mobil yang tidak jauh dari kaki bukit. Danar, Jidan dan Yoga sibuk menurunkan semua baran
~Butuh waktu untuk bisa sampai ke puncak sebuah bukit, begitu juga untuk bisa sampai ke puncak cerita~Begitu sampai puncak bukit, Danar, Jidan dan Yoga sigap dan cepat mendirikan tenda. Mereka harus bergegas agar bisa menikmati sunset dengan tenang nantinya. Ada 2 tenda yang harus mereka buat. Tenda pertama untuk rombongan pria dan tenda kedua untuk rombongan wanita.Sagita memutuskan membantu suaminya Danar dalam menyiapkan segala sesuatu keperluan untuk mendirikan tenda. Sementara itu, Delia hanya mengamati dari sisi yang cukup berjarak. Semilir angin membuat rambutnya terbang dengan lembut. Lalang-lalang yang ada di sekitarnya menyentuh-nyentuh kaki jenjang itu. Risa dan Cika sendiri malah memilih untuk berbaring di atas rumput.Delia sadar jika pemandangan dari atas bukit ini cantik sekali. Pepohonan hijau, sungai yang meliuk-liuk bagai ular dan burung-burung yang wira-wiri. Semuanya tampak indah, komposisi alam yang pas dan mampu
~Api unggun menghangatkan suasana malam yang dingin. Berbeda dengan api cintamu yang hanya akan membakar hubungan asmara orang lain~Nyala api unggun tidak terlalu besar. Warna jingga dari mentari yang tenggelam barusan digantikan dengan warna api unggun yang mulai menjilat ranting-ranting kering. Yoga sudah siap dengan gitar di tangannya. Gitar itu memang sengaja disiapkan sebagai senjata andalan. Senjata andalan merayu Risa atau boleh jadi juga untuk merayu Delia.Jreng...Jreng...Jreeeng..."Sayang, aku cinta padamu. Lihatlah aku dengan mata indahmu. Sayang akan kusebrangi laut Cina Selatan, asal kau bisa kumiliki ...""Halah Yoga, Yoga! Gaya sekali lagumu itu. Boro-boro mau menyebrangi laut Cina Selatan. Aku masih ingat waktu kau pacaran dengan si Sumi dulu. Disuruh datang ke rumahnya pas gerimis saja kau tidak mau. Takut basah, takut demam, takut batuk, takut pilek. Gaya kali lagumu itu.""Danar! Danar! Ak
~Dalam hidup, ada perasaan yang harus diungkapkan dan ada yang sebaiknya disembunyikan~"Makasih banyak ya Danar, udah kasih izin aku buat duduk di sini sama kamu.""Apa-apaan sih Del? Kalau mau duduk ya tinggal duduk aja. Siapapun bebas buat duduk-duduk di sini. Kamu belum mau berpisah sama suasana malam yang bagus ini ya?"Delia mengangguk. Suasana malam itu memang bagus sekali. Langit penuh bintang, angin malam tidak bertiup kencang dan suasana yang hening membuat siapa saja betah berlama-lama di samping api unggun itu."Kamu tahu Danar? Ada beberapa hal yang aku sesalkan ketika dulu kita masih SMA.""Apa? Apa yang harus kamu sesalkan Del? Bukannya kamu melewati masa-masa SMA dengan sangat baik? Kamu jadi idola di sekolah. Idola karena kamu pintar dan satu-satunya siswa yang berhasil lulus ke fakultas kedokteran. Selain diidolakan karena pintar, kamu juga banyak diidolakan karena ketangkasan kamu dalam
~Jangan pernah berdua-duaan dengan seseorang yang bukan muhrim, sebab bisa dipastikan, jika yang ketiganya adalah setan~ Udara segar merasuk ke dalam relung jiwa-jiwa yang tengah berbahagia. Sepagi itu, terlihat tiga orang wanita tengah bercengkrama dan bersendau gurau di atas bukit. Siapa lagi ketiganya jika bukan Sagita, Risa dan Cika. Mereka memang meninggalkan Delia yang masih tidur di dalam tenda. Delia yang tidur paling akhir, sehingga wajar saja jika dia juga yang bangun paling akhir pula."Kak! Ayo mandi ke bawah air terjun yang ada di sebalah sana!" Cika mengajak Sagita."Yakin? Sepagi ini mandi di situ apa enggak dingin?""Enggak kok Kak Git! Justru seger badan kita jadinya. Mumpung itu yang di dalam tenda laki-laki belum pada bangun." Risa berkata sambil mengedipkan mata."Terus Delia gimana?" tanya Sagita sambil menunjuk ke arah tenda."Tinggal aja Kak. Kasihan masih ngant
~Penyesalan memang selalu datang terlambat~Wajah Jidan dan Yoga tertekuk ke bawah. Mata mereka sama-sama hanya tertuju pada tanah. Sementara Cika dan Risa malah menangis karena panik. Jidan mengusap wajahnya yang kelu, mencoba untuk berdamai dengan situasi. Dengan sedikit menggigit bibirnya Jidan berusaha untuk menegakkan kepalanya."Kita harus bertanggungjawab." Jidan memecah keheningan sejenak yang mereka ciptakan sendiri."Maksudmu apa Jidan?" Yoga tidak mengerti."Yoga! Kita yang merencanakan kegiatan camping ini. Kita yang mengajak Danar dan Sagita untuk bergabung. Sekarang semuanya jadi berantakan.""Aku tahu Jidan! Tapi ini jelas bukan salah kita. Ini salah Danar. Gila dia itu. Apa isi otaknya? Bisa-bisanya dia melakukan tindakan kotor di atas bukit ini. Dan Delia? Coba jelaskan padaku gimana bisa wanita secantik dia melakukan tindakan kotor? Mesum dengan suami orang. Jenis wanita macam apa dia i
~Putus asa bukan jalan bagi hati-hati yang luka~ Sagita terus berlari menuruni bukit yang bagi Sagita namanya bukan lagi bukit cinta melainkan bukit pengkhianatan. Sepanjang menuruni bukit, Sagita terus menangis. Tidak dipedulikannya lagi lelah kaki ketika menuruni bukit pengkhianatan itu. Sagita hanya ingin pergi dari sana, pergi jauh dan menangis sepuasnya. Hanya saja Sagita lupa satu hal, sejauh apapun dirinya mencoba lari dan pergi, dia tetap tidak bisa lari dari sebuah kenyataan pahit. Kenyataan jika Mas Danar kesayangannya telah mengkhianati."Tega kamu Mas! Jahat kamu Mas! Apa salah Gita sama kamu Mas? Bisa-bisanya kamu berciuman dengan Delia sebegitu mesranya? Apa yang sebelumnya telah kalian lakukan sebelum adegan ciuman itu? Apa adegan ciuman yang kulihat tadi hanya sebagai ciuman penutup? Jahat kamu Mas!"Sagita tidak bisa menyembunyikan rasa kecewanya. Dia terus berbicara dengan hatinya sendiri. Me