Share

Cika & Risa

~Siapa nyaman dengan siapa? Siapa berjodoh dengan siapa? Biar waktu yang menjawab~

 Sreeet! Sreeet!

 Danar sibuk mengunci tas ransel yang akan dibawa untuk kegiatan camping. Semetara itu Sagita sibuk merapikan beberapa barang bawaan yang juga tidak boleh tertinggal. Tempat minum khusus, senter kecil, sarung tangan dan sepatu juga disiapkan oleh Sagita. Keberangkatan mereka menuju ke kegiatan berkemah akan dimulai nanti sore. Titik kumpul berada di rumah Yoga.

  "Kenapa sih, kamu harus mengajak Delia juga Mas?" keluh Sagita sambil tangannya memperbaiki tali sepatu Danar.

 "Biar Yoga sama Jidan senang. Mereka loh yang pengen banget deket sama Delia."

 "Tapi aku enggak suka Mas kalau Delia itu ikut. Aku cemburu Mas!"

 Tidak ada basa-basi bagi Sagita. Dia langsung jujur dan terus terang pada suaminya. Dirinya memang cemburu pada Delia. Apalagi ketika mertuanya terus saja memuji-muji Delia. Sagita bukan hanya cemburu tapi juga benci.

 "Sagita sayang! Kamu jangan seperti itu dong! Masa iya kamu cemburu sama Delia. Kamu tenang saja! Mas ini berniat menjodohkan Delia dengan Yoga atau Jidan. Bukan ada niat yang lain. Apa bahasa gaulnya? Jadi mak comblang? Nah, itu dia."

 "Iya benar. Tapi aku merasa tatapan mata Delia itu berbeda kalau menatap kamu Mas."

 "Ah, itu hanya perasaan kamu saja Git! Mana ada seperti itu. Delia itu wanita baik-baik. Dia bukan tipe wanita yang berbakat jadi pelakor. Kamu itu jangan asal membenci orang. Jangan suka berprasangka buruk."

 "Oh iya Mas! Aku mau laporan. Tadi malam aku mecahin piring satu. Abis itu aku direpetin sama Ibu."
 "Oh yasudah enggak apa-apa. Tangan kamu enggak terkena pecahan piring, kan?" Danar bertanya sambil memegang kedua tangan Sagita.
Memperhatikan tangan itu apakah ada yang terluka atau tidak. Sagita tersipu malu pada suaminya sendiri. Perhatian kecil seperti ini sudah mampu membuat Sagita senang.

 "Enggak luka kok Mas! Cuman ya kita jadi rugi satu piring."

 "Ya sudah! Namanya juga pakai piring kaca. Pasti bakalan ada juga yang pecah satu dua. Kalau enggak mau pecah ya pakai piring plastik aja. Jangan terlalu dipikirkan ya Git!"

"Terimakasih Mas, tidak memarahi Gita."

"Iya Git. Mas sadar jika kedua orangtua Mas itu sudah sering marah-marah sama kamu. Jadi mas enggak mau lagi nambahi beban perasaan kamu. Cukup mereka yang marah, mas enggak mau ikut-ikutan marah." Danar menyubit pipi istrinya.

 Selesai berkemas, Danar segera memanaskan mobil. Mobil milik Delia sudah tidak ada di depan rumah. Sudah diderek dan dibawa ke bengkel. Sagita juga sudah rapi dan hanya tinggal pamit dengan mertuanya. Napasnya kembali lega. Kini dia akan kembali menghirup udara segar. Menghirup udara segar untuk sejenak tidak dimarahi dan direpetin oleh mertuanya. Sagita mengucap syukur sejenak.

 "Hati-hati kalian ya! Terutama kamu Git! Jangan merepotkan suamimu, jangan ceroboh, jangan buat ulah, jangan ada-ada saja tingkah kamu!"

 "Iya Bu!" Sagita menjawab sambil mengangguk.

  Setelah pamit, keduanya segera berangkat menuju ke arah tenggara. Arah rumah Yoga. Rumah Yoga tidak terlalu jauh dari rumah Danar. Hanya cukup dengan 15 menit perjalanan mereka sudah bisa membunyikan klakson di depan gerbang rumah Yoga. Rumah itu terdiri dari dua lantai. Dengan warna cat bewarna jingga, membuatnya terlalu kentara dibandingkan rumah-rumah yang ada di sekitarnya. Yoga menyambut kehadiran Danar dan Sagita. Di teras rumahnya sudah duduk manis dua perempuan cantik.

 "Ayo sini gabung Git!" seru Yoga.

 "Jidan mana?"

 "Tenang Danar! Dia enggak mungkin telat, itu gebetannya udah duduk manis soalnya. Paling bentar lagi nyampe tuh anak!"

 Tin! Tin! Tin!

 Suara klakson mobil Jidan terdengar. Mobil itu mulai masuk ke dalam perkarangan rumah. Terparkir dengan rapi tepat di samping mobil Danar.

 "Aduh! Maafin aku telat datang ya Sayang!" kata Jidan pada salah satu wanita yang duduk di teras.

 "Belum muhrim! Jangan panggil sayang-sayang," celetuk Danar.

 "Lah, emang namanya Sayang loh. Makanya kenalan dulu. Jangan asal protes." Jidan membela diri.

 "Hai! Nama aku Sagita!" kata Sagita pada kedua perempuan tersebut. Dia menjabat tangan keduanya. Keduanya bergantian menyebut nama mereka. Gadis yang berambut pendek sebahu nanya Arisa Putri dan yang rambutnya panjang bernama Sayang Cikana. Sagita hanya tertawa kecil. Jidan benar, nama perempuan itu memang Sayang.

 "Wah! Repot juga nama kamu itu! Kalau aku panggil Sayang, bisa-bisa aku digampar sama Gita!" Danar menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

 "Heh! Kalian tidak boleh memanggil Sayang dengan sapaan Sayang. Kalian cukup palng Cika aja! Inget ya! Panggil Cika, jangan sayang!"

 "Halah! Banyak kali aturan kau Jidan. Enggak perlu heboh kali Jidan. Si Cika ini juga belum resmi jadi pacarmu, kan? Dia aja merasa keberatan kalau dipanggil sayang sama kamu.

 "Bilang aja kamu iri Yoga! Udah kamu fokus aja sama Risa. Biar Cika aku yang jaga. Yakan Cikaku? Cika cantikku?"

 "Ampun banget ya Jidan. Semakin lama semakin ganjen aja." Sagita tertawa setelah berkata seperti itu.

 "Udah ah! Ayo berangkat! Nanti kita kesorean!" ajak Risa.

 "Eh! Tunggu! Satu lagi belum datang."

 "Satu lagi?" kompak Jidan dan Yoga bertanya pada Danar. Mereka tidak mengerti apa yang dimaksud satu lagi oleh Danar. Seingat mereka, mereka hanya tiga pasang. 3 laki-laki dan 3 perempuan. Memang begitu rencana awalnya. Lalu, apa maksud Danar dengan satu lagi belum datang? Yoga dan Jidan tidak mengerti.

 "Aku mengajak satu teman lama kita untuk ikut gabung juga. Tenang aja! Kalian pasti akan senang jika tahu siapa yang aku ajak!"

 "Eh Danar! Kamu emangnya ngajak siapa sih?" Yoga tidak sabar. Dia penasaran sekali.

 "Nanti kalian juga akan tahu. Tadi aku sudah menghubungi dia, katanya dia lagi di jalan menuju kemari. Kita tinggal tunggu saja."

 Yoga dan Jidan saling tatap. Dan memang rasa penasaran mereka tidak lama. Selang beberapa menit kemudian, sebuah mobil sedan merah kilat terparkir di halaman rumah Yoga. Sagita mengira jika mobil ini pastilah mobil baru. Delia memang sempat bilang ketika mobilnya mogok, jika dia ingin membeli mobil baru saja. Dengan anggun, Delia mengeluarkan kakinya yang jenjang dan celana pendek yang dia gunakan membuat mata Yoga dan Jidan melotot.

  "Delia!" pekik Jidan dan Yoga seakan tidak percaya.

 "Hai Yoga! Hai Jidan! Apa kabar? Lama sekali tidak bertemu dengan kalian berdua? Masih ingat padaku? Delia!"

Bukannya membalas sapaan Delia, Jidan dan Yoga malah menyeret Danar masuk ke dalam rumah. Mereka ingin bicara dengan Danar saja, meninggalkan Sagita, Delia, Risa dan Cika dalam perasaan bingung.

 "Gila kamu Danar! Kenapa enggak bilang kalau kamu ngajak Delia, hah?" Yoga berkata dengan intonasi rendah agar tidak kedengaran sampai ke luar.

  "Lah, emang kenapa? Bukannya seharusnya kalian senang? Kan kalian sendiri yang bilang jika kalian ingin dekat dengan Delia. Makanya aku ajak aja Delia."

 "Ya tapi kamu kan tahu, kalau kami juga mengajak Risa dan Cika. Enggak enak dong! Kami ini mau ngegebet mereka berdua. Risa sama aku dan Cika sama Jidan."

 "Lah, terus gimana? Aku enggak mungkin juga nyuruh Delia pulang lagi, kan? Dia udah sampai sini loh! Udah bawa persiapan juga. Lagian kalian juga belum pada jadian sama dua cewek itu kan? Yaudah! Siapa tahu kalian jodohnya sama Delia. Ini ya aku kasih tahu ke kalian! Kalian anggap aja ini itu adalah ajang cari jodoh. Kalian harus melihat kalian itu nyamannya dengan siapa. Dengan Delia, Risa apa Cika? Gitu aja kok bingung." 

  Jidan dan Yoga saling tatap. Kemudian mereka mengangguk setuju. Kini biar waktu yang menjawab, siapa nyaman dengan siapa. Siapa berjodoh dengan siapa. Serahkan saja pada detik dan menit yang terus berjalan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status