MasukElena Neivara, seorang wanita 20 tahun yang menjadi pelayan di kediaman seorang pengusaha kaya raya yang memiliki satu anak. Ia menggoda Riven agar menjadi milikna dan menceraikan sang istri. Apakah ia mampu? Atau justru Elena akan mendapat masalah besar yang membuatnya hancur?
Lihat lebih banyakElena Neivara, wanita yang baru genap memasuki kepala dua itu keluar dari kamarnya. Tubuhnya dibalut piama satin merah, yang menonjolkan bentuk dada dan bokongnya.
Kaki jenjang Elena melangkah ke dapur, dengan satu gelas kosong di tangannya. "Haus sekali," gumamnya. Dapat Elena lihat, kedua majikannya sedang menonton film di sofa ruang tamu. Saat akan melangkah lebih jauh, suara Riven membuatnya terhenti. "Elena!" Sang pemilik nama menoleh, lalu membungkuk sebentar. "Iya, Tuan? Ada yang bisa–" Decakan Diana memotong ucapannya, wanita itu melirik sinis Elena dan bersedekap dada. "Pakaianmu, Elena. Apa tidak ada yang lain?" tanya Riven. Elena menunduk, jantungnya berdegup cepat. "Maaf, Tuan. Semua pakaian besarku dicuci, karena aku harus menggantinya dua kali sehari," sahutnya pelan. Diana kini berdiri, lalu menghampiri Elena dan menudingnya dengan telunjuk. "Pekerjaanmu itu pelayan, Elena! Perhatikan caramu berpakaian. Kamu tidak sedang berada di rumahmu, dan Tuanmu sudah memiliki istri!" serunya. Riven juga menghampiri, majikannya itu terlihat merangkul pinggang Diana. Matanya tajam menusuk Elena, begitu pun Diana yang meremehkannya. Elena semakin tertunduk, karena aura para majikannya sangat menekan. "Bahkan jika kau tidak memakai apapun, aku tidak akan tergoda, Elena. Pergilah, dan ganti pakaianmu jika kau masih berkeliaran di luar kamar." Setelahnya, Elena hanya mengangguk lalu pergi ke dapur. Mengambil segelas air dan kembali ke kamarnya. Di sana, Elena merenungkan perkataan Diana dan Riven. Ia hanya pelayan di sini, dan harus menghormati keduanya. Elena tidak bisa lagi memejamkan mata, hingga pagi hari tiba. Ia langsung mandi dan mengganti pakaiannya. Elena memakai kaus oversize dan celana longgar di bawah lutut. Meski begitu, bagian dadanya yang besar tetap terlihat cukup jelas. Pagi ini, Elena menyiapkan sarapan dengan mata yang sayu menahan kantuk. Saat akan meraih piring, tubuhnya terhuyung ke depan. Elena dapat merasakan tangan besar menopang tubuhnya, tepat di bawah dadanya. Elena segera menyingkirkan tangan Riven, lalu berdiri tegap. "M-maaf, Tuan," ucapnya gugup. Riven masih terpaku pada ingatannya, dada Elena terasa sangat kenyal dan besar. Hingga Diana turun, menghampiri mereka berdua dengan raut marah. "Apa yang kalian lakukan?! Elena?! Kau menggoda suamiku?!" pekik Diana. Tangan Diana langsung melingkar posesif di lengan Riven, membuat suaminya tersadar dari lamunan kotor. "Dia hampir jatuh tadi, Diana. Sepertinya dia mengantuk," jelas Riven. Elena yang seolah menjadi tersangka, hanya diam dengan wajah menunduk. "Apa sebenarnya yang ada di dalam pikiranmu, Elena?! Pekerjaanmu sangat buruk!" cerca Diana. Elena semakin menunduk, matanya fokus menatap pada kaki yang tidak dibalut apapun. Riven mengikuti arah pandang Elena. Kaki Elena tampak putih, mulus, dan bersih. Terdapat rona merah di setiap lipatan dan ujung jemarinya. Pikiran kotor lagi-lagi hinggap di pikiran Riven, ia membayangkan sebersih apa tubuh Elena jika tidak memakai apapun. "Riven!" seru Diana. Dada Riven dipukul olehnya, hingga kembali tersadar. "Apa yang kau bayangkan?! Kau berniat selingkuh, ya?!" tuding Diana. Riven gelagapan, ia langsung mendekap Diana. Namun, tatapannya tidak beralih dari Elena yang masih menunduk. "Tentu tidak, Sayang. Aku mencintaimu, dan kau tau itu. Justru aku harus bertanya, apa kau masih mencintaiku?" Bukannya mendapat jawaban, Riven malah mendapatkan sebuah tamparan. Emosinya langsung naik, ia mengangkat tangan untuk mengusir Elena. Lalu, menatap Diana yang memberikannya tatapan tajam. "Kau!" Diana menuding Riven, telunjuknya berada tepat di depan wajah sang suami. "Kau menuduhku selingkuh lagi, Riven?!" seru Diana. Riven hanya menghela napas kasar, ia langsung pergi dan mengabaikan Diana yang berteriak. Sedangkan Elena, masih mengintip di antara tembok dapur. Lagi-lagi, ia menyaksikan keributan antara Diana dan Riven. Sebelum pikirannya melayang, kakinya langsung melangkah untuk kembali menyiapkan sarapan dan bekal Jay. Anak majikannya itu tak lama turun, dengan seragam yang berantakan. Elena bergegas menghampiri, dengan raut wajah sendu. Mengingat kedua orang tua Jay yang selalu bertengkar, pikirnya, Jay pasti tertekan. "Tuan Muda, Bibi Elen sudah menyiapkan bekal untuk Tuan Muda," ujarnya. Ia mencoba meraih tangan Jay, namun anak itu menolaknya. "Kata Mama, kau hanya pelayan. Jangan menyentuhku!" sinisnya. Jay menaiki kursi untuk meraih bekalnya di atas meja makan, ia memasukkan bekalnya dan pergi begitu saja tanpa berkata apapun pada Elena. Elena menunduk singkat, kemudian ia kembali fokus pada pekerjaannya. Namun, kedatangan Riven membuatnya sejenak terpaku. Menatap betapa tampannya pahatan Tuhan. Wajah Riven terkesan dingin dan tegas, siapapun pasti menilainya galak. Bahu yang lebar dan gagah, dengan urat yang tampak di sepanjang garis tangan dan jemarinya. Elena melihat itu semua, ia merasa semakin kagum dengan majikannya. "Buatkan aku kopi, Elena." Perintah Riven membuat Elena tersadar, ia bergegas melaksanakan perintahnya.Setelah sama-sama sibuk dengan pikiran mereka, Riven dan Elena kembali beraktivitas seperti semula. Riven sudah berangkat lebih dulu, saat dini hari karena harus pulang pergi ke luar kota. Sedangkan Elena masih sibuk mengurus Jay, yang semakin manja seperti ayahnya. "Jay, ayo bangun, Nak. Mandi, lalu pakai bajunya ya, mmmmuah!"Elena membujuk, seraya mengecup pipi Jay. Sesuai kemauan anak itu, yang memintanya membujuk dan mengecupnya dulu baru ia akan bangun. Selesai dengan Jay, Elena langsung ke arah dapur. Di sana sudah ada Jelia yang menyiapkan sarapan, dan dapat Elena lihat dari pintu kaca, Deo tengah mengelap badan mobil di luar sana. "Kau sudah sangat cocok menjadi ibu Jay, Elena," celetuk Jelia. Elena hanya tertawa pelan, tangannya dengan telaten merapihkan isi bekal Jay dan Riven. Katanya, Riven akan kembali dari luar kota siang hari nanti. "Ah, Elena. Nyonya Diana tidak akan pulang, mungkin sekitar sampai lima bulan ke depan," ujar Jelia. Elena langsung menjeda pergera
Elena memenuhi segala Aspek, yang tidak diisi oleh Diana. Baik dari segi keibuan, sampai hal-hal yang menyangkut hasratnya. Dilihat dari sisi mana pun, Elena yang paling sempurna menurut Riven. Diana kalah telak, karena sejak awal, kesalahannya terletak pada wanita itu. Riven ingin ketulusan, bukan uang atau status semata seperti yang Diana lakukan padanya. Ia ingin seorang wanita, yang selalu bisa menemaninya, bukan yang sibuk sendiri dengan urusannya. Dan Elena 'lah yang memenuhi semua ekspetasinya. Memang, awalnya Riven hanya ingin menjadikan Elena sebagai pelampiasan napsu. Namun, ia justru jatuh pada pesona Elena, yang memenuhi segala hal yang Riven butuhkan. Elena mengisi kekosongan di hatinya, selama menjalani rumah tangga dengan Diana. Ia yang bersumpah, tidak akan tergoda, justru malah jatuh sedalam-dalamnya, dan enggan kembali pada istri sahnya. Malam ini, akan menjadi malam yang panjang untuk Riven dan Elena. Baru saja, Diana menelponnya, dan mengatakan, bahwa Diana a
"Selamat siang, Bunda!" sapa Riven di seberang sana. Lelaki itu belum menyadari, apa yang ada di layar laptopnya. Elena sengaja menaikkan tubuhnya yang bersandar, sampai belahan dadanya terlihat jelas. "Selamat siang, Papa ...." Elena membalas sapaan itu, dengan nada yang mendayu. Ia menepuk air dengan lembut, menciptakan suata ambigu, untuk menarik perhatian Riven. Elena juga menggumam sensual beberapa kali, karena sang tuan tidak juga teralihkan. "Suara apa itu, Bun–"Gleg! Jakun Riven naik-turun, karena salivanya sulit diteguk. Elena melihat hal itu, ia melempar tatapan menggoda pada Riven. Telapak tangannya mengusap tubuhnya sendiri, membawa air pada bagian bahu dan dadanya yang terlihat di permukaan air. Elena juga membasahi lehernya, dan menyingkap rambunya yang terurai, yang menutupi bahunya. "Iya, Papa?" Suaranya berbisik, seolah menggoda Riven tepat di pangkuannya. Riven sendiri terpaku, pada belahan dada Elena yang bergoyang, setiap kali Elena bergerak. Terlihat ken
Jay hanya mengangguk, membalas gumaman Leo. Elena membawa anak majikannya pulang, dengan perasaan yang bercampur aduk. Jay juga hanya diam di atas pangkuan Elena, yang tengah mengabari Gez untuk datang ke kediamannya. Saat mereka sampai ke rumah, Gez tidak lama datang juga. Ia memeriksa Jay, lalu mengganti seragam Jay dengan pakaian santai. Sedangkan Elena, menyiapkan bubur, potongan buah, air hangat untuk Jay, dan minuman untuk Gez. "Bunda, kepala Jay pusing," keluh Jay pada Elena. Mendengar panggilan Jay itu, Gez langsung mendelik. Tidak ia sangka, Elena sudah sedekat ini dengan Jay. Jay juga terlihat sangat nyaman, saat Elena membantunya melahap potongan buah. Setelah Jay tidur karena obat yang diberikan Gez, Elena dan dokter itu pergi ke ruang tamu. Elena mengambil camklan dan minuman yang sebelumnya sudah disiapkan, untuk dibawa ke ruang tamu. Gez menatapnya sangat dalam, membuat Elena mengernyit bingung. "Kenapa kau menatapku begitu?" tanya Elena. Gez menggeleng pelan,
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Ulasan-ulasanLebih banyak