LOGINClara telah membuat kesalahan fatal gara-gara mabuk semalam. Alih-alih tidur dengan suaminya, ia justru tidur dengan sepupu dari suaminya sendiri!
View More"Dasar brengsek! kalau kamu memang tidak mencintaiku, kenapa kamu setuju menikah denganku?!" Clara Favietra menenggak segelas minuman panas sampai tandas.
Sudah hampir dua jam wanita dengan dress mini hitam itu duduk di meja bar. Menghabiskan dua botol minuman panas sambil menangis dan meracau sendirian. Barista yang melayaninya tidak sedikitpun bertanya. Clara bukan satu-satunya pelanggan yang mengalami hal serupa. Entah putus cinta atau kesulitan menghadapi masalah hidup, orang-orang selalu memilih club sebagai tempat meringankan beban. Saat Clara hampir ambruk, Barista itu berbicara. "Nona, mau saya panggilkan taksi online?" Clara melambaikan tangan tanpa membuka mata. Kepalanya terasa berat tapi ia masih memiliki sedikit sisa kesadaran. "Tidak usah." "Baiklah." Memegangi satu sisi kepala yang semakin berat, Clara meraih ponsel yang tergeletak di samping minuman ketika benda persegi itu bergetar singkat. Seseorang mengirimkan pesan. Sial. Ia bahkan kesulitan melihat layar. Clara bersusah payah memicingkan mata, kemudian... Deg! Seketika saja kedua bola mata Clara membulat. Ia menerima pesan dari nomor tidak dikenal. Pesan berisi potret suaminya yang sedang merangkul pinggang seorang perempuan dengan begitu mesra. Clara menggenggam ponselnya erat. Selama satu tahun pernikahan mereka, suaminya itu bahkan belum pernah sekali pun memeluknya! "Keterlaluan kamu Sean!" Geramnya emosi. Diantar taksi online, Clara sampai di hotel Louis dan langsung mencari kamar 101 sesuai dengan informasi yang diberikan si pengirim pesan. Dengan gemetar dan napas tersengal, Clara mengetuk pintu coklat besar di hadapannya. Meski Clara selalu menunjukkan sisinya yang tangguh, namun sejujurnya ia begitu lemah dan rapuh. Clara bahkan merasa hampir tidak bisa berdiri lagi saat ini. Ia terlalu takut dengan apa yang akan matanya lihat nanti. "Buka pintunya, brengsek!" Namun, Clara harus melihatnya dengan mata kepalanya sendiri. Jantung Clara semakin berdebar kencang ketika seseorang membuka pintu dari dalam. Tidak, dia tidak boleh menangis lagi! Clara Favietra tidak ingin terlihat lemah meski keadaan menindasnya habis-habisan. Clara tidak sadar jika saat ini ia masih terlalu mabuk untuk mengenali wajah siapapun. Yang ia tahu, seseorang yang kini berdiri di hadapannya adalah seorang lelaki. Gawatnya, Clara meyakini jika lelaki itu adalah Sean, suami sahnya. "Kamu... Sedang apa di sini?" Rahang Clara mengeras. Bukan permintaan maaf, melainkan kalimat itu yang keluar pertama kali dari mulut Sean? Apakah pernikahan mereka hanya permainan baginya? Air mata Clara berderai lagi. Sean memang tidak pernah memperlihatkan raut wajah yang ramah, tapi sekali pun Clara tidak pernah berpikir jika Sean Fernandes akan berselingkuh darinya. Clara marah, ia mendorong lelaki itu masuk ke dalam. Matanya mencari-cari sesuatu. "Di mana kamu menyembunyikan jalang itu?" Clara tidak menunggu jawaban. Ia mencari ke setiap sudut namun tidak menemukan siapapun. "Sebenarnya apa yang kamu cari?" "Diam!" Clara memotong, matanya yang basah mendelik tajam. Kali ini, Clara tidak ingin direndahkan lagi. Hanya karena kakeknya meminta Sean untuk menikahinya, bukan berarti lelaki itu bisa selalu merendahkan dirinya. "Selama ini aku tidak pernah mengeluh dengan apapun yang kamu lakukan. Bahkan saat kamu mengabaikanku, aku tetap berusaha mengerti karena kupikir kamu masih perlu waktu untuk menerimaku sebagai istrimu. Tapi..." Clara menelan ludah getir. Matanya menatap tajam pada lelaki yang ia pikir adalah suaminya. "...aku tidak pernah mentoleransi perselingkuhan!" Kalimatnya tegas dan bergetar. Clara tidak ingin menangis. Namun air matanya jatuh begitu saja. Hatinya luar biasa sakit dan itu membuat dadanya semakin sesak. "Kalau memang kamu tidak bisa mencintaiku dan ingin bersama perempuan lain, kenapa kamu menerima permintaan kakek? Kenapa kamu malah menikahiku dan berselingkuh seperti seorang bajingan?!" Teriakan dan tangis Clara mengisi seluruh ruangan. Selama ini, ia sudah memendam semua lukanya sendirian. Berharap suatu saat Sean akan menatapnya dengan lembut dan memeluknya hangat. Tapi yang ia dapat justru sebuah pengkhianatan. "Setidaknya ceraikan aku jika kamu ingin hidup dengan perempuan lain..." Clara merasa hancur. Lebih hancur dari pada saat ia ditolak secara langsung oleh suaminya ketika menawarkan diri seperti seorang pelacur. "Aku tahu aku memang tidak cantik sampai membuatmu tidak tertarik, tapi aku juga punya perasaan... Aku juga bisa terluka kalau kamu keterlaluan seperti ini...." Suara Clara melemah dan ia masih terisak. Lelaki yang sejak tadi bersandar di pintu sambil melipat tangan di dada itu masih menatap Clara dengan ekspresi datar. Beberapa detik kemudian ia menghela napas berat dan mendekat. Apakah seharusnya ia tidak ikut campur? Lelaki itu sedikit menyesal. Ia tidak menyangka akan mendengar pengakuan menyedihkan seperti itu. Apa ia perlu memberi tepukan agar wanita itu sedikit tenang? "Ck, yang benar saja..." Gumamnya kemudian mengangkat tangan. Clara mendongak ketika seseorang menepuk-nepuk punggungnya. Ia tidak menyangka Sean akan melakukan itu dengan sangat lembut. Apakah Sean menyesal? Apakah setelah ini hubungan mereka akan membaik? Clara tidak bisa menahan diri ketika harapan-harapan kecil itu muncul. Bahkan meski sudah diselingkuhi pun, ia akan tetap menerima Sean kembali jika memang lelaki itu meminta maaf. Ia memang bodoh. Cinta yang membuatnya menjadi sangat bodoh. Clara memberanikan diri mencium bibir lelaki itu dengan kaki berjinjit. Berharap kali ini Sean akan menerimanya meski hanya karena perasaan bersalah. Tidak ada balasan ataupun penolakan. Lelaki itu hanya diam seolah membiarkan Clara melakukan apapun sesukanya. Clara meringis. Hatinya hancur tapi ia yakin bisa memperbaiki semua ini. "Aku... Sudah menunggu ini selama satu tahun." Ucap Clara pelan. "Meski tidak berpengalaman, kuharap aku bisa memuskanmu, Sean." Lirihnya lagi sebelum kembali mengecup lembut bibir lelaki di hadapannya. Dadanya berdebar. Rasa sakit hati itu masih ada, namun kini perasaan lain sudah hadir dan berkecamuk di sana. "Kamu masih mau melakukannya walaupun sudah tahu suamimu selingkuh?" Pertanyaan itu membuat Clara membeku. Clara yakin Sean mungkin menganggapnya bodoh, rendahan, atau apapun hinaan lainnya. Tapi itu bukan masalah yang tidak bisa Clara hadapi. Ia sudah bertekad bulat untuk mengambil hati Sean dan mempertahankan pernikahan mereka. Satu langkah besar yang ia ambil mungkin akan membuahkan hasil yang manis. “Aku akan memaafkanmu,” jawab Clara lirih, namun matanya menatap Sean dengan tulus. "Entah dulu ataupun nanti, aku akan selalu memaafkanmu. Jadi... Kumohon... Sekali ini saja, tolong lihat aku sebagai perempuan. Sebagai seorang istri yang sudah kamu nikahi." Air matanya jatuh terurai, sementara bibirnya bergetar menahan tangis yang hampir pecah. Lelaki itu diam untuk waktu yang lama. Tapi pada akhirnya, ia tetap meraih pinggang Clara dan menariknya mendekat. “Kamu sangat mencintai suamimu, ya?” ucapnya parau. Clara mengangguk pelan. “Aku mencintaimu... Sangat. Entah kamu sadar atau tidak." "Kenapa? Apa yang membuatmu jatuh cinta sedalam itu?" Clara menggumam pelan, namun kalimatnya terdengar jelas. "Karena itu kamu... Karena kalau kamu orangnya... Aku bisa memberikan apapun." Clara tidak menyadari, tapi rahang lelaki itu mengatup keras. “Sial…” gumamnya, entah marah atau iba. Kemudian ia menurunkan suaranya, tajam dan menohok. "Kalau begitu, tunjukkan padaku apa yang akan kamu berikan pada suamimu."Aroma mawar dan eucalyptus memenuhi ruangan ketika Clara menunduk merapikan rangkaian bunga yang baru saja ia mulai.Tangannya bekerja cekatan, menyisipkan batang demi batang ke dalam vas kristal, membentuk kombinasi warna lembut sesuai yang dipesan pelanggan."Jadi benar ya, Bu?" Suara Nella, salah satu pegawai Clara, memecah keheningan.Clara mendongak sedikit, pada Nella yang bersandar di meja kasir sambil mengunyah permen karet. "Apa?""Itu loh... katanya cucu pertama Mananta Group sudah pulang ke Indonesia."Clara membenarkan posisi bunga lily yang mulai mekar. “Kamu dengar dari siapa?”“Sarah," jawab Nella cepat. Dagu lancipnya menunjuk ke arah sudut ruangan, tempat Sarah sedang memberi label harga pada pot bunga kecil. “Dia dengar dari temannya yang jadi salah satu pelayan di rumah keluarga Mananta." Jelas Nella. Clara mencoba tertawa kecil. “Iya… dia pulang.”“Oh, jadi benar?!” seru Nella sambil mengangkat alis tinggi, lalu mulai heboh memanggil Sarah. “Sarah! Cepat kemari!
Clara gugup dengan uluran tangan itu. Tangannya dingin, jemarinya bergetar. Dunia seakan berputar dan hampir membuatnya jatuh. Sendok Clara berhenti di udara.Ia bisa merasakan tatapan Regan tertuju padanya, bahkan sebelum ia menoleh.Ketika Clara akhirnya menengok ke arah laki-laki itu, Regan memang sedang menatapnya. Senyum jahil, nakal, menggodanya—senyum yang langsung menyeret ingatan Clara pada malam memalukan itu.“Baik.”Clara buru-buru mengalihkan pandangan, jantungnya memukul keras. Tangannya yang memegang sendok sedikit bergetar, enggan membalas uluran tangannya.Sean tidak menyadari apapun. Ia tetap makan, tak mengangkat kepala sama sekali. Seakan dunia lain tak berarti baginya.“Sean,” lanjut Jusuf sambil beralih menatap cucu keduanya, “aku sangat puas dengan laporan bulan ini. Kamu melakukan perkembangan besar.”Sean mengangkat dagu sedikit. “Terima kasih, Kek.”“Kamu selalu konsisten. Selalu disiplin. Tidak seperti sepupumu ini,” gumam Jusuf sambil menggeleng, membuat R
Sejak ibunya meninggal, rumah besar keluarga Mananta tidak lagi terasa hangat bagi Clara.Dulu, Mila, ibunya adalah kepala pelayan yang bekerja di rumah itu selama puluhan tahun. Sosok yang disegani dan disukai oleh para pelayan lain. Clara masih kecil ketika Mila membawanya tinggal di sana --menempati rumah pelayan yang terpisah di sisi barat halaman.Meski tinggal di lingkungan keluarga kaya, Clara tidak lupa siapa dirinya. Ia tidak pernah mengganggu pekerjaan ibunya. Sebaliknya, Clara justru membantu apa pun yang bisa dilakukan—memetik sayur di kebun, menyiram tanaman, bahkan menanam bunga di taman belakang. Karena itu para pelayan menyayanginya, dan di masa itu, Clara merasa bahagia.Tapi setelah ibunya meninggal… segalanya berubah.Clara dijodohkan dengan Sean Fernandes—cucu kedua Tuan Jusuf, pemilik Mananta Group. Sebuah perjodohan yang lahir dari balas budi karena ibunya mendonorkan jantung kepada Tuan Jusuf sebelum meninggal. Sebuah hutang nyawa yang ingin dibayar dengan ikata
Sudah lima kali Clara membersihkan diri di kamar mandi. Meski tubuhnya terasa licin oleh sabun, rasa kotor itu tetap menempel kuat. Ia merasa jijik pada dirinya sendiri—lebih dari rasa jijik yang ia rasakan pada Sean.Saat Clara keluar dari kamar mandi, Sean baru saja pulang. Matanya melirik Clara sekilas, tapi hanya sebatas itu. Tidak lebih, tidak ada ketertarikan sama sekali. Padahal… Clara hanya menggunakan handuk pendek. Penampilan yang cukup membuatnya malu di depan seseorang yang bahkan tidak pernah menganggapnya sebagai seorang wanita. "Baru pulang?" Clara berusaha menjaga nada suaranya tetap netral. Berjalan menuju lemari untuk mengambil pakaian. "Hmm. Semalam aku tidur di kantor," jawab Sean tanpa menatap.Pembohong. Aku tahu kamu tidur di hotel dengan selingkuhanmu.Clara memaki dalam hati, namun bibirnya tetap kelu."Oh begitu," hanya itu yang sanggup ia ucapkan sebelum akhirnya menanggalkan handuk dan mengganti pakaian tepat di hadapan Sean. Tapi lagi-lagi lelaki itu
Clara memejamkan matanya rapat ketika bibir lelaki itu menyentuh lehernya. Sentuhan panas itu membuat tubuhnya menegang sekaligus gemetar. Di bawah cahaya kamar hotel yang temaram, ia meremas ujung rok dress hitamnya agar tetap sadar. Pengaruh alkohol membuat dunia berputar, tetapi lengan kekar itu menangkap pinggangnya—mengangkat tubuhnya dengan mudah sebelum membawanya ke tempat tidur. “Emh…” Clara tersenyum kecil. Rasa malu dan sakit hati yang tadi membakar dadanya tergantikan oleh getaran aneh yang selama ini hanya ia bayangkan. Ia sudah menunggu ini selama satu tahun. Menunggu Sean. Menunggu suaminya sendiri. Ketika lelaki itu berhenti bergerak, Clara membuka mata. Ia berada di bawah. Dia berada di atas. Posisi yang seharusnya Clara impikan. “Kenapa berhenti?” bisiknya cemas. Ada ketakutan liar bahwa Sean akan menolaknya lagi—seperti dulu. Seperti saat ia menawarkan diri hanya untuk dibuang mentah-mentah. Tak ingin kesempatan itu hilang, Clara mendadak membalik keadaan. Ta
"Dasar brengsek! kalau kamu memang tidak mencintaiku, kenapa kamu setuju menikah denganku?!" Clara Favietra menenggak segelas minuman panas sampai tandas.Sudah hampir dua jam wanita dengan dress mini hitam itu duduk di meja bar. Menghabiskan dua botol minuman panas sambil menangis dan meracau sendirian. Barista yang melayaninya tidak sedikitpun bertanya. Clara bukan satu-satunya pelanggan yang mengalami hal serupa. Entah putus cinta atau kesulitan menghadapi masalah hidup, orang-orang selalu memilih club sebagai tempat meringankan beban. Saat Clara hampir ambruk, Barista itu berbicara. "Nona, mau saya panggilkan taksi online?"Clara melambaikan tangan tanpa membuka mata. Kepalanya terasa berat tapi ia masih memiliki sedikit sisa kesadaran. "Tidak usah.""Baiklah."Memegangi satu sisi kepala yang semakin berat, Clara meraih ponsel yang tergeletak di samping minuman ketika benda persegi itu bergetar singkat. Seseorang mengirimkan pesan. Sial. Ia bahkan kesulitan melihat layar. Cla
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments