Rasa SesakRaya hendak menyapa ibu Rahma, dia bersemangat untuk mengkonfirmasi pernyataan yang disampaikan oleh Devon.“Hari ini kamu harus menjelaskan semuanya, siapa orang yang mencari bayi tertukar itu,” gumam Raya dalam hati. Tiba tiba ponsel Raya berbunyi. Dia meraih ponsel dari dalam tas ranselnya, rupanya panggilan itu dari Rohaya, ibu tiri Raya.Raya segera berbalik menjauh dari ibu Rahma supaya dia bisa menerima panggilan telepon itu.“Ada apa?” ucap Raya kesal setelah mengangkat panggilan telepon itu.Setelah mendengar suara Rohaya, Raya terlihat merubah ekspresi wajahnya, seketika wajahnya menunjukkan ekspresi syok dan khawatir. Raya segera menutup panggilan telepon itu, segera berlari ke arah depan. Rupaya dia menuju ke arah ruang UGD.“Ayah, ayah,” teriak Raya. Dia melihat Rohaya mondar mandir dengan begitu khawatir dui depan ruang UGD.“Di mana ayah?” tanya Raya pada Rohaya.“Raya, bapak ada di dalam,” ucap Rohaya dengan suara khawatir.“Kenapa ini bisa terjadi?” tanya
Belum SaatnyaDi luar rumah sakit, terlihat Raya berjalan bersama dengan Devon dan Marry.“Kamu akan menemuinya lagi?” tanya Devon pada Raya. Marry hanya berdiri mematung, di pinggir pintu, sepertinya dia masih marah dengan apa yang Devon ucapkan, sungguh hubungan yang cukup rumit.“Apa kamu masih marah? Sudahlah maafkan aku,” ucap Devon pada Marry.“Sebaiknya kalian selesaikan masalah kalian, aku tidak ingin terlibat dalam pertengkaran suami istri, itu sangat menyebalkan,” ucap Raya yang kemudian segera melangkah masuk. Marry hanya bisa menghela nafas, dia benar benar tidak ingin merasa bersalah, dia juga memiliki perasaan, walau sebenarnya dia juga paham dengan apa yang Devon rasakan. Sungguh digantung dalam hubungan bukan sesuatu yang menyenangkan.Raya segera masuk ke dalam, dia akan menemui ibu Rahma, dia sudah berada dalam ambang kesabaran yang menipis.“Biar aku sendiri, kamu selesaikan masalahmu,” ucap Raya pada Devon yang terlihat mengikuti langkah Raya.“Jangan menemuiku s
Kenyataan TerungkapHari yang sama ketika Raya ke rumah sakit untuk mengantarkan paket pesan antar.Kepala rumah sakit swasta, pak Edo Ardian, terlihat berjalan cepat ke arah ruang perawatan ibu Rahma. Dia terlihat bergegas membuka pintu kamar ibu Rahma, sangat gugup dan terlihat ada sesuatu yang ingin dia sampaikan.Dia masuk ke dalam kamar itu tergesa gesa, membuat ibu Rahma bingung.“Ada apa?” tanya ibu Rahma yang kaget melihat pak Edo yang tidak pernah segugup itu.“Ka-katakan padaku, apa semua itu benar,” ucap kepala rumah sakit.“Ada apa? Aku tidak mengerti?” tanya ibu Rahma dengan wajah khawatir.“Aku sudah melakukan penyelidikan, bahkan hal ini sudah aku lakukan sejak tiga belas tahun lalu, namun hari ini aku mendapatkan kenyataan, ya, kamu, ibu Rahma, kamu adalah dalang dari semua ini, ya,” ucap pak Edo dengan tatapan mata yang begitu penuh amarah.Pak Edo menarik nafas panjang, dia tahu dia harus menahan diri. Orang yang ada di hadapannya bukan lagi ibu Rahma yang dulu, ibu
Perhatian DevonDevon terlihat masuk ke dalam toserba 69, dengan langkah gugup.“Raya, apa yang terjadi, apa kamu sakit? Apa yang terjadi?” tanya Devon gugup seraya memegang pundak Raya, mengamati wajah, juga tangannya.“Ada apa Von?” tanya Raya.“Katanya kamu ke rumah sakit, tapi hanya sebentar terus kamu segera pergi, apa kamu sakit? Aku sangat khawatir,” ucap Devon dengan ekspresi kekhawatiran yang tergambar jelas.“Oh iya, maafkan aku, aku tidak sempat menghubungimu, tapi aku ke sana untuk mengantar pesanan ayam, apa aku harus lapor dulu padamu, kamu ini,” ucap Raya dengan dua ekspresi yang berbeda, tadinya dia begitu menyesal, kemudian kesal.“Syukurlah, aku benar benar khawatir,” ucap Devon yang kemudian memeluk erat Raya.“Sudah, sudah, lihatlah keluar,” ucap Raya yang meminta Devon untuk melihat ke arah luar. Devon kemudian melepaskan pelukannya, melihat ke arah luar dan mendapati ada Marry sudah menatapnya dengan tatapan garang.“Marry,” bisik Devon.“Kalian ini, ini tempat u
Tak Ada LawanTantowi terlihat mengambil ponselnya, lalu menghubungi seseorang.“Aku dipukuli di kafe Holly,” ucap Tantowi. Melihat hal itu, laki laki itu terlihat begitu kesal.“Wah, apa kamu meminta bantuan teman temanmu, wah, kamu punya nyali juga rupanya,” ucap laki laki itu seraya melihat ke arah Tantowi, mengamati, dari ujung rambut hingga kaki.“Apa kamu mau aku pukul lagi,” teriak laki laki itu. Laki laki itu terlihat memberi isyarat untuk memanggil teman temannya, yang kebetulan mereka sudah ada di sana dan menyaksikan pemukulan itu seolah seperti hiburan.Tidak lama, beberapa laki laki bertubuh besar mulai berdiri bersama dengan laki laki yang bernama mas Agus itu. Laki laki dengan otot terbentuk sempurna, sepertinya mereka adalah rekan dalam satu tempat latihan yang sama.“Ayo kita pergi dari sini,” ucap Raya.“Jangan meladeninya, itu akan membahayakanmu,” lanjut Raya yang dengan cepat memapah dan membawa tubuh Tantowi keluar dari cafe itu.“Wanita itu setidaknya lebih puny
Tamparan KerasRaya terlihat berbincang dengan salah satu perawat yang ada di rumah sakit.“Maaf, saya mengantarkan pesan antar dari kedai ayam siap saji Lovely, pesanan atas nama ibu Sari, kamar VVIP nomor 5,” ucap Raya.“Oh iya mbak Raya, biar saya bantu antarkan,” ucap perawat Fey.“Terimakasih mbak Fey, oh iya bagaimana kabar ibu Rahma? Apa sudah bisa dikunjungi? Saya dengar kondisinya sedang kurang stabil,” tanya Raya.“Ya, begitulah, dokter yang berwenang atas kesehatan ibu Rahma belum mengizinkan siapapun untuk menemuinya, mohon pengertiannya,” ucap perawat Fey.“Oh, begitu ya, baiklah, kalau begitu saya pergi, terimakasih sebelumnya,” ucap Raya yang kemudian segera meninggalkan rumah sakit. Rupanya dia datang ke rumah sakit itu untuk menjalankan tugasnya sebagai kurir, mengantarkan pesanan ayam siap saji dari kedai ayam Lovely.***Motor Raya berhenti di sebuah kafe, kafe yang menjual aneka minuman yang ada di jalan Melati.“Aku kira akan mengantar ke hotel lagi,” gumam Raya y